Rabu, 19 Januari 2011

Dul Abdul Rahman, Bertahan (Menulis) Demi Kearifan Lokal


Oleh: Supa Atha’na
(Staf  Pengajar Jurusan Sastra Asia Barat dan Direktur Iranian Corner Universitas Hasanuddin)

“Di novel Sabda laut ini, Dul Abdul Rahman  tetap bertahan pada ciri khas kepenulisannya penuh dengan nuansa local wisdom.” Itu adalah komentar di sampul depan novel ini dari seorang professor dalam bidang kesusastraan sekaligus dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas: Burhanuddin Arafah.

Melihat kualifikasi dan jabatan yang disandang Burhanuddin Arafah, tentu saja sebagai pembaca, membuat kita percaya dan yakin pada kesaksian yang diberikan pada novel Dul Abdul Rahman, bukan sesuatu yang sifatnya terkesan seadanya atau hanya sekadar menyematkan sebuah komentar seperlunya. Melainkan sebuah kesaksian yang betul-betul dalam dan disertai dengan penilaian dan pengamatan yang cukup dalam terhadap karya-karya Dul Abdul Rahman. Maka kesimpulan Burhanuddin Arafah menyebut Dul Abdul Rahman bertahan pada ciri khas kepenulisannya sangat terasa validitasnya.

Sesuatu yang harus digarisbawahi dan dicatat dari komentar dan penilaian Burhanuddin Arafah adalah penegasan ke-bertahan-an itu. Bertahan, berarti memang sudah pasti menisbatkan sebuah konsekuensi logis yang melahirkan sebuah ciri khas.

Pandangan umum menyebutkan bila seseorang sudah memiliki ciri khas (karakter) maka dianggap seseorang itu sudah memiliki kematangan. Logika yang sama dalam dunia kepenulisan berlaku bahwa ketika seorang penulis dipandang sudah memiliki ciri khas itu berarti bahwa sang penulis sudah sampai pada taraf kematangan kepenulisannya.

Kematangan tidak serta merta jadi begitu saja. Ada proses panjang dan aktvitas yang berkesinambungan terus dilakukan. Dalam masa proses itu juga tidak bisa dilihat bahwa semuanya berjalan dengan mulus. Ada banyak fase godaan, rintangan, halangan, dan kesulitan yang dihadapi. Ketika seseorang tidak punya komitmen dan semangat idealis yang bertahan maka seseorang tidak akan sampai pada kebertahanan yang melahirkan kematangan ciri khas. 

Fase kematangan punya asumsi bahwa sebuah karya- dalam kaitan ini- punya sudut pandang dan nilai (konten) yang bisa dinilai tidak lagi picisan atau sederhana. Mungkin dari segi kata-kata, penyampaian, dan pemaparan latar cerita itu sederhana, akan tetapi dengan kesederhanaan itu malah menjadi kekuataan utama melahirkan sebuah karya yang istimewa. Katakanlah sebuah karya yang bisa diakses dan dicerna oleh semua golongan masyarakat.

Fase kematangan juga dipandang mampu melahirkan sebuah bentuk gagasan, pandangan, penghayatan, pemaknaan dan refleksi pemikiran terhadap realitas sosial yang sedang dihadapi oleh seorang penulis atau mungkin saja berupa keinginan besar yang diinginkan oleh seorang penulis dalam melakukan sebuah konstruksi sosial yang diharapkan bisa terwujud untuk sebuah kehidupan yang lebih baik pada semua ranah yang ada ada dalam benak ideal seorang penulis.

Catatan ‘bertahan’ berikutnya adalah sebuah kebermaknaan akan konsistensi sekaligus tekad yang luar biasa dari seorang Dul Abdul Rahman untuk tetap bisa bertahan di jalur kepenulisan ditengah kondisi masyarakat, seperti Sulawesi Selatan, dimana kegiatan dan pekerjaan menulis novel belum bisa dipandang sebagai sebuah profesi yang istimewa. Katakanlah, apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap novel dan profesi menulis belum mendapat tempat khusus di hati masyarakat kita. Sehingga sebuah indikasi besar lahir bagi orang yang memilih dan komitmen pada jalur ini adalah orang-orang yang punya semangat ‘bertahan’ dan daya tahan yang sedikit pun tidak bisa diragukan lagi. Orang yang punya semangat pantang menyerah. Semangat yang lahir dari nurani yang jujur.

Semangat dan kekuatan kebertahanan yang jujur- bagi saya- adalah sebuah modal yang sangat penting dan diperlukan manusia Indonesia sekarang ini. Sebab kita tahu ditengah derasnya arus kehidupan yang penuh dengan kompetisi, intrik dan kepentingan yang mana kondisi itu menjadi lahan subur tumbuhnya manusia-manusia yang opportunist dan munafik. Akibatnya, bermunculan manusia yang tidak bisa bertahan dengan apa yang diperjuangkan, menjadi manusia yang tega sekaligus kejam untuk mengingkari dan menafikan apa yang ada dan telah menyatu dalam diri dan budaya kita demi menjadi pelayan apa yang datang dari luar budaya, bangsa, dan diri kita sendiri untuk memenuhi keperluaan dan keuntungan akan kebutuhan gaya hidup yang serba glamour.

Pada titik keberkaitan, konsistensi dan kebertahanan pada kearifan lokal yang menjadi landasan karya-karya Dul Abdul Rahman semakin istimewa dan unik ditengah semaraknya karya sastra yang  muncul beberapa tahun terakhir di seluruh persada nusantara. Hebatnya lagi, produktivitas kepenulisan Dul Abdul Rahman sangat patut diapresiasi. Saya kira sangat jarang penulis yang bisa menghasilkan novel empat buah judul dalam kurum waktu dua tahun. Novel Dul Abdul Rahman dalam dua tahun terakhir ini adalah: Pohon-Pohon Rindu, Daun-Daun Rindu, Perempuan Poppo, dan terakhir  Sabda Laut.

Kehadiran karya-karya Dul Abdul Rahman di tengah euphoria konsep otonomi daerah merupakan salah satu jawaban, yang setidaknya, bagi pemerintah maupun masyarakat sedikit punya tambahan untuk memperkaya ide dan pikiran tentang otonomi daerah, bila terlalu berlebihan untuk dikatakan karya-karya Dul Abdul Rahman bisa dijadikan oleh pengelolah daerah sebagai pemicu semangat atau sebuah kerangka titik acuan guna memacu dan mengkonstruksi sebuah kebijakan dalam menggenjot pembangunan. Sementara masyarakat umum menjadikannya sebagai tempat menimba dan mematangkan panduan budayanya yang boleh jadi sudah menjadi asing dan terasa aneh bagi dirinya lantaran tidak pernah lagi akrab dengan dirinya sebab lebih menyatu dengan budaya dan tawaran pola hidup yang datang dari luar.

Ada kesan yang sangat kuat dari keseluruhan karya-karya Dul Abdul Rahman, terkhusus dalam Sabda Laut ini, kegelisahan dan keresahan akan tergerusnya nilai kearifan lokal kita.  Dengan begitu, novel ini bisa dilihat punya pretensi kuat menggelitik dan menghentak pemerintah juga masyarakat untuk kembali melihat potensi kekayaan  dan budaya laut yang selama ini tidak mendapat  perhatian yang cukup baik oleh pemerintah maupun masyarakat pelaut tu sendiri.

Sekali lagi, dalam kaitan otonomi daerah, di sinilah letak signifikjasi kehadairan novel Dul Abdul Rahman yang mana secara eksplisit dan implisit melakukan sindiran terhadap peningkatan sumber daya manusia serta pengelolaan potensi sumber daya alam guna pencapaian pola dan interaksi sosial yang semakin matang dan baik. Perhatikan kalimat kearifan lokal Dul Abdul Rahman:” Manna majai tedonnu, mattambung barang-barangnu, susajakontu, punna tena sikolannu. (Meskipun banyak kerbaumu, bertumpuk-tumpuk harta bendamu, engkau akan susah juga, jika tidak berpendidikan)” (Dul Abdul Rahman, Sabda Laut,Hal.10) .

Kehadiraan novel Dul Abdul Rahman  tidak sekadar menginspirasi dan menghentakan kita pada sebuah kenyataan bahwa ketika bicara dan membahas obyek laut tidak hanya kemudian menisbatkan sepenuhnya orang kelautan untuk mendekati, membahas dan mengeksplorasi laut. Laut sebagaimana umumnya obyek kajian yang ada pada realitas kita tidak membatasi orang-orang dan latar belakang tertentu untuk bisa akrab dengannya, Karena kedalaman semua obyek termasuk laut sangat kaya untuk hanya disentuh oleh seseorang, segolongan dan skil tertentu.

Bahkan kemudian berdasarkan revolusi intelektual dengan pendekatan holistik-nya, seharusnya laut harus ‘dikeroyok’ oleh banyak orang, keilmuan, skill dan pengalaman yang beranekaragam sehingga kekayaan, keluasaan, dan kedalam laut bisa tereksplorasi secara baik dan sempurna. Dengan begitu memungkinkan untuk melihat kekayaaan dan keindahan laut yang beragam dan kompleks itu bisa terpencar sesuai jumlah banyaknya manusia mengelolah dan memanfaatkannya.

Jangan pernah ada perasaan dan cetusa pikiran bahwa laut akan habis bila banyak orang yang memanfaakannya. Simaklah isyarat Tuhan dalam ayat:” Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur (Q.S.16:14).

Quran menyebutkan banyak variabel yang bisa didapatkan dari laut. Ketika Tuhan sudah membahasakan sesuatu yang banyak maka dalam ukuran manusia tidak ada lagi habisnya. Tuhan telah menjamin ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari laut. Tapi Tuhan juga member isyarat bahwa kita harus bersyukur. Artinya, laut akan menjadi sumber kehidupan yang baik dan dan kenikmatan yang melimpah jika laut dikelolah dengan baik dan hati yang penuh syukur pada Tuhan. Syukur itu terkait kesabaran, ketekunan, kedermawanan dalam mengelolah laut dan tidak iri serta mengekploitasi kekayaan laut hanya untuk memperkaya diri sendiri sekaligus melakukan dengan cara-cara yang tidak benar. Kalau hal seperti itu dilakukan maka satu orang saja yang melakukan pencemaran dan pengrusakan di laut maka laut tidak saja menjadi tidak cukup bagi satu orang sekalipun bahkan laut akan menjadi  musuh bagi manusia itu sendiri.  Laut hanya bisa ditaklukan oleh orang yang bersyukur. Jadi menghadapi laut juga harus diperlakukan sebagaimana kita perlakukan diri kita sendiri. Penuh hormat dan sayang, dan tidak berlaku semen-mena, sombong, kikir, dan rakus terhadap laut. Untuk pesan-pesan seperti ini merupakan peran para penulis sastra dan aktivis kebudayaan menyediakannya sehingga kesakralan laut terus terjaga dan laut pun tidak mengamuk sebagaimana di Mentawai dan juga amukan Merapi

Ada banyak contoh yang dekat dalam keseharian kita menunjukkan bahwa laut akan berteman dengan orang-orang yang bisa memperlakukan laut dengan baik dan sekaligus bagi orang yang bersyukur.  Sekadar contoh dalam quran sendiri disebutkan bahwa perut laut Merah terbelah seolah menjadi gumpulan gunung oleh hentakan tongkat Nabi Musa dan sebaliknya menelan habis pasukan Firauan. “Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu (Al Qur'an, 26:63-66).

Ada pula kisah Nabi Yunus yang diselamatkan tentara laut ikan Hiu karena ia termasuk orang yang tidak membuat kerusakan:”Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim). Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (Q.S.21:87-88).

Akhirnya, pilihan sikap Dul Abdul Rahman untuk bertahan pada wilayah kearifan lokal dalam novel-novelnya sungguh harus diapresiasi dengan layak. Setidaknya berupa dukungan moral dengan harapan Dul Abdul Rahman tetap selalu bisa bertahan menuliskan karya-karyanya. Selamat!

Dul Abdul Rahman menulis buku:
  1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
  2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
  3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
  4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
  5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
  6. Nyanyian Ombak (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2011)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar