Senin, 25 September 2017

Tangga La Mellong



Tangga La Mellong
Cerpen: dul abdul rahman

Semestinya aku membenci tangga, karena sudah bertahun-tahun ayahku terbaring lumpuh, gara-gara terjatuh dari tangga. Tetapi kupikir, kurang bijak kalau harus menyalahkan tangga, bukankah ayah terjatuh dari tangga akibat kesalahannya sendiri. Lagi pula, tangga tidak menimpa ayah. Ketika ayah terjatuh, tangga tetap baik-baik saja, ia tetap berdiri kokoh memeluk pohon belimbing sambil menertawai ayah yang selalu saja abai terhadap anak-anak tangga.

Adik perempuanku yang melihat langsung peristiwa tersebut bercerita kalau ayah kami salah mengira anak tangga. Saat itu, ayah yang memanjat pohon belimbing turun lewat tangga, ia mengira sudah sampai pada anak tangga pertama, sehingga ketika bermaksud menginjakkan kaki di tanah, ia melepaskan pegangannya dari tiang tangga. Padahal, saat itu kaki ayah masih berada di anak tangga ketiga dari tanah.

“Mengapa engkau tidak melarang ayah memanjat di saat musim hujan seperti ini?”

“Ayah susah dilarang, ia selalu ingin memanjat.” 

Adik perempuanku membela diri. 

Sejak empat tahun silam, ayah memang mendadak stroke. Dan sejak saat itu, ayah yang kukenal ulet dan pintar, tiba-tiba menjadi sosok setengah pikun. Tetapi kebiasaan ayah, yang selalu duduk di teras rumah saban pagi hari, tetap tidak berubah. Dulu, ayah selalu menyempatkan duduk di teras rumah membaca koran sebelum ke kantor. Sekarang, saban pagi hari ayah tetap duduk di teras, tetapi ia tidak lagi membaca. Ia hanya duduk memandangi pohon belimbing yang tumbuh di pekarangan rumah. Ketika bosan memandangi biji-biji belimbing, atau entah pikiran apa yang ada di benaknya, ayah pun berusaha memanjat pohon belimbing tersebut.

“Tidak usah Bapak memanjat, nanti dijolok saja buahnya oleh Alfian,” ibu mencoba menahan ayah dengan menyodorkan anak laki-laki kesayangannya sebagai pengganti.

Ayah bergeming. Setelah terkena stroke dan agak pikun, baru kali itu kulihat semangat ayah berapi-api kembali. Seolah ingin membuktikan bahwa ia masih laki-laki, dan masih bisa menaklukkan mimpi, ayah berusaha keras memanjat pohon belimbing. Aku ikut merinding melihat niat ayah yang ingin menggapai belimbing. Apalagi kala itu ayah gagal memanjat pohon itu. Ayah begitu kecewa. Mungkin ia merasa tak lagi berguna di mata isteri dan anak-anaknya.

Aku tak ingin melihat ayah terpuruk lagi. Sebagai anak lelaki satu-satunya, sulung pula, aku bisa merasakan impian ayah sebagai laki-laki, sebagai kepala rumah tangga. Saat itu, satu-satunya mimpi ayah adalah bisa memanjat pohon belimbing. Ayah ingin agar masakan ibu adalah hasil jerih payahnya. Ibuku memang senang memasak ikan dengan campuran buah belimbing. Bahkan, tak pernah kulihat ibu memasak ikan tanpa buah belimbing. Mungkin itulah sebabnya ibu tetap langsing meski sudah banyak kali bersalin. Ibu setia dengan petuah bertuah nenek: perempuan mestilah suka buah belimbing, agar tubuh tetap langsing, selain suami tak gampang berpaling, pun mudah bersalin.

Maka tanpa sepengetahuan ayah, aku bersama ibu dan adik-adikku berembuk. Lalu bermufakat memesan sebuah tangga yang nantinya ditempelkan pada pohon belimbing. Adik perempuanku yang bungsu sangat hafal hari ulang tahun ayah, ia mengusulkan agar tangga itu sebagai hadiah ulang tahun ayah.

“Biar ayah bisa memanjat pohon belimbing dan merasa bisa bekerja kembali di hari ulang tahunnya yang ke-50,” ujarku kepada ibu dan adik-adikku setelah tangga itu terpasang.

Ayah benar-benar girang dengan hadiah ulang tahunnya. Sifat ayah yang tidak suka diganggu barang-barang pribadinya, ternyata menular ke tangga miliknya.

“Tidak boleh ada yang memanjat tangga itu kecuali aku,” begitu samar-samar kata ayah kepada ibu pada sebuah pagi.

Ayah benar-benar bergairah kembali. Aku yakin, ia merasa terlahir kembali. Saban pagi hari, ia memanjat pohon belimbing untuk mengambil buah secukupnya saja. Seolah tidak ingin lagi pekerjaannya hilang, sekali mengambil buah belimbing hanya untuk sekali keperluan masak. 

Ayah benar-benar menemukan kembali jati dirinya sebagai laki-laki sebelum peristiwa naas selepas hujan di pagi hari tersebut terjadi. Jatuh dari tangga, membuat ayah kembali kehilangan jati dirinya.
Tidak semestinya memang aku membenci tangga, karena akhirnya aku memilih profesi sebagai penjual tangga. Sebagian orang yang mengenalku, selalu menyebut diriku sebagai pengusaha tangga. Mungkin karena tangga-tangga yang kujual adalah hasil buatanku sendiri. Tetapi aku selalu menghindari sebutan ‘pengusaha’. Kata itu terlalu berat kusandang, aku hanyalah anak-anak tangga yang berusaha menguatkan kembali tiang-tiang tangga keluarga kami yang patah berantakan.

Aku memasarkan langsung tangga-tangga buatanku ke daerah pedalaman, hingga ke kampung asal ayah. Aku bingung menamai kampung asal ayah, karena setiap orang yang kutanyai hampir mempunyai jawaban berbeda. Ada yang menyebutnya sebagai kampung bahi, mungkin karena di kampung itu masih banyak babi hutan yang berkeliaran. Sekali waktu, ada seorang pembeli tanggaku dari kampung sebelah, ia menyebut kampung asal ayah sebagai kampung parakang, mungkin banyak orang datang ke kampung itu untuk memeroleh ilmu hitam.

Penamaan kampung asal ayah yang selalu tak elok, membuatku sedikit kurang enak. Aku tidak mau memberitahu penduduk kampung bahwa ayahku berasal dari kampung itu juga. Lagi pula, keluarga besar ayah berurbanisasi ke Makassar selepas ayah tamat dari satu-satunya sekolah dasar di kampung itu.

Tapi suatu ketika, saat mobil Datsun tua yang kukendarai berhenti di dekat sekolah ayah, aku mendengar percakapan orang-orang kampung. 

“Ternyata Pak Ibrahim itu berasal dari kampung kita.”

“Pak Ibrahim yang dipecat dari jabatannya karena kasus korupsi itu?”

Aku sedih. Aku merasakan kekecewaan warga. Mereka kecewa karena ulah seorang Pak Ibrahim maka kampung mereka mempunyai julukan baru: kampung koruptor.

Lewat percakapan orang-orang kampung itu pula, aku mendengar kalau di kampung itu ada seorang yang sangat ahli membuat tangga. Kalau aku ahli dalam membuat tangga-tangga lipat yang terbuat dari besi dan aluminium, maka orang itu ahli membuat tangga rumah panggung orang Bugis.

“Saya belum pernah mendengar ada orang terjatuh dari tangga yang sudah dijampi-jampi oleh Pak Tolleng,” ujar seorang pemuda yang pernah menawar tangga lipatku dengan harga murah.

Pak Tolleng? Aku pernah mendengar nama itu, tapi aku lupa apakah ayah atau ibuku yang pernah menyebutnya. Lalu, aku pun berusaha menemui ahli tangga tersebut. Aku terpaksa menjual tangga lipatku dengan harga murah kepada pemuda yang mengagumi sang ahli tangga, tetapi dengan syarat ia mau menemaniku berkunjung ke rumah sang ahli tangga.

Akhirnya aku bertemu Pak Tolleng. Ia dikenal sebagai dukun tangga. Setiap ada orang yang ingin membuat tangga rumah, pastilah Pak Tolleng yang diundang untuk memulai pekerjaan itu. 

Ternyata Pak Tolleng pandai berkisah. Ceritanya yag tak bisa kulupakan berkaitan dengan tangga.

“Inilah ceritanya kenapa saya memilih jadi dukun tangga,” Pak Tolleng memulai ceritanya, “karena mendengar seorang anak muda yang sangat cerdas, maka Raja Bone pun memanggilnya menghadap, beliau ingin menjadikan anak itu sebagai kajao. Beliau meminta sang pemuda membawa benda pusaka miliknya, maka sang pemuda pun membawa tangga rangkiang tua. Sang raja hampir saja murka ketika melihat sang pemuda membawa tangga tua, ia merasa sang pemuda memperolok-olok dirinya. Tapi sang pemuda cepat menjelaskan tiga keistimewaan tangganya. Pertama, bila menemukan dua orang yang berselisih, maka tangga itu akan diberikannya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang berselisih karena mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila bertemu dengan orang lapar di tengah hutan, maka ia cukuplah memberi tangga agar orang itu bisa memetik buah-buahan, kalau ia memberikan buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian habis. Ketiga, ketika berjumpa dengan pejabat kerajaan, ia akan memberikan tangganya, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh.”

“Jadi?”

“Ya, akhirnya sang pemuda itu diangkat menjadi kajao, ia mendapat julukan La Mellong Kajao Laliddong,” ujar Pak Tolleng sumringah.

Di akhir pertemuan kami, Pak Tolleng menanyakan apakah saya tahu rumah seorang pejabat yang juga teman masa kecilnya di kampung itu.

“Borahima.”

“Tau, Pak.”

“Tahu alamat rumahnya di Makassar?”

“Tau juga, Pak,” jawabku sambil mengamati miniatur tangga kecil yang dipegang Pak Tolleng.
“Miniatur tangga ini kunamai tangga la mellong, ini hadiah untuk sahabat masa kecilku dulu Borahima, semoga ia masih mengingat diriku,” ujar Pak Tolleng girang.

            Ketika aku hendak meninggalkan rumahnya, Pak Tolleng nampak sedikit ragu, “Apakah kira-kira tangga kirimanku ini akan sampai di tangan Borahima?”

“Jangan khawatir, Pak. Aku tahu persis letak rumah Pak Ibrahim, eh Pak Borahima.”

“Oh iya, saya baru ingat, namanya dulu di sekolah adalah Ibrahim, tetapi kami hanya memanggilnya Borahima,” Pak Tolleng mengangguk-angguk, “kalau begitu sampaikan salamku pada Borahima, semoga ia sehat-sehat selalu.”

“Pak Ib… eh Pak Borahima sekarang menderita lumpuh.”

“Lumpuh?”

“Jatuh dari tangga.”

Kajao                                       = juru bicara kerajaan
La Mellong Kajao Laliddong = juru bicara dan cendekiawan kerajaan Bone abad XV