Sabtu, 29 Januari 2011

CERPEN: KELELAWAR

KELELAWAR
Cerpen: dul abdul rahman

“Tak mungkin saya akan mendapatkan jodoh lagi, Bondeng.”
“Bisa saja.”
“Mana ada laki-laki yang mau sama saya.”
“Kalau ada?”
“Tak mungkinlah.”
“Mungkin saja.”
Rabatang terus mengucek beberapa lembar pakaian. Sementara Bondeng tinggal membilasnya. Pagi ini Rabatang memang agak terlambat ke pancuran, tempat mandi dan cuci bersama di kampung itu.
Hari-hari terakhir ini memang Rabatang gelisah. Tiga hari berturut-turut ia mimpi berjalan di hutan, ia diberaki kelelawar. Menurut kepercayaan orang-orang di kampung itu, apabila seorang perempuan diberaki kelelawar berarti ia akan mendapatkan jodoh. Jodoh? Buat Rabatang, saat ini bukan jodoh yang ia tunggu-tunggu. Meski memang terkadang ada niat buat menikah lagi. Tapi dibenaknya saat ini hanyalah bagaimana ia bisa membesarkan dan berusaha menyekolahkan dua anak perempuannya. Buah cinta dari almarhum suaminya tercinta.
“Tapi itu cuma mimpi Bondeng. Menurut kepercayaan orang tua, nanti kita akan dapat jodoh kalau benar-benar diberaki.” Rabatang masih penasaran dengan mimpinya.
“Kalau begitu, mungkin laki-laki yang ingin melamarmu masih pikir-pikir dulu, ataukah….” Kalimat Bondeng menggantung.
“Atau apa?”
“Atau anakmu yang mau dilamar.”
“Anakku?”
Rabatang agak gelagapan. Ia memang tak pernah menghubungkan mimpi-mimpinya dengan anaknya. Ia ingin kedua anak perempuannya bersekolah dulu. Rasmitang, anaknya yang pertama sudah kuliah di Makassar. Sementara anak keduanya masih di bangku SMP yang kini menemaninya di kampung.
Rabatang memang beruntung. Almarhum suaminya yang meninggalkannya lima tahun silam meninggalkan tanah warisan yang cukup untuk menghidupi Rabatang dan kedua anaknya. Bahkan karena keuletannya berdagang coklat, kehidupan Rabatang lumayan cukup.
“Mungkin saja ada yang mau melamar anakmu. Rasmitang kan sudah besar, cantik pula.” Bondeng terus berceloteh. Soal gosip-bergosip, Bondeng memang jagonya. Ia bahkan digelari Bocar di kampungnya. Alias Bondeng Paccarita.
“Tidak Bondeng. Saya tidak mau menikahkan anakku dulu. Biar ia selesai dulu kuliahnya.”
“Kalau misal orang tua pacarnya datang melamar?” Bondeng terus mencecar.
“Saya jamin anakku belum berpacaran. Ia bukan perempuan kota yang begitu gampang berkenalan dengan laki-laki.”
“Eh, jangan salah! Anakmu sekarang bukan lagi perempuan desa.”
“Maksudmu?” Rabatang meresah.
“Sekarang ia tinggal di kota, berarati ia sudah jadi perempuan kota.”
“Tapi anakku tak mungkin berubah. Ia anak yang taat beragama. Lagian setiap bulan aku menelpon untuk menasehatinya.”
“Semoga anakmu tetap seperti yang dulu.”
Bondeng bergegas meninggalkan pancuran. Ia meniggalkan Rabatang seorang diri. Sementara Rabatang masih membilas cuciannya. Dalam hatinya ia berdoa, semoga anaknya di Makassar tidak macam-macam seperti yang diperkirakan Bondeng. “Dasar Bondeng, bocor bocar.” Ia tak suka dengan Bondeng yang selalu berprasangka jelek kepada anaknya.

Sudah dua tahun Rasmitang tinggal di kota. Tinggal setahun lagi ia akan menyelesaikan kuliahnya pada diploma kesehatan di sebuah perguruan tinggi swasta di Makassar.
Ada yang berubah pada diri Rasmitang sejak ia tinggal di sebuah rumah kost dekat kampusnya. Sebelumnya ia tinggal di rumah pamannya. Saudara kandung almarhum ayahnya. Tapi ia tida tahan. Ia ingin menikmati kebebasan tinggal di tempat kost seperti teman-temannya yang lain.
“Kasihan kamu Rasmi, masa tinggal di rumah paman, dipingit lagi.”
“Kamu tidak menikmati kehidupan mahasiswa ala anak kost, ceria selalu, bersama selalu, bersama….”
Propaganda teman-temannya, akhirnya membuat Rasmitang ngotot untuk tinggal di rumah kost. Meski pamannya melarang, tetapi ia tetap ingin tinggal di rumah kost dengan alasan dekat kampus plus menikmati kebersamaan.
Paman Rasmitang tak rela jika ponakannya tinggal di rumah kost. Selain karena ia tidak bisa mengawasinya, Rasmitang akan mengeluarkan lagi biaya, padahal ia tahu ponakannya hanya dibiayai seorang ibu, isteri almarhum adiknya. Tapi tatkala Rasmitang mendapatkan lampu hijau dari ibunya di kampung, paman Rasmitang hanya pasrah.
“Ibu percaya kamu Nak, yang penting jaga diri baik-baik.”
Rasmitang senang. Ibunya percaya kepadanya. Rabatang memang sangat percaya pada anaknya. Ia tahu Rasmitang adalah gadis pemalu pada laki-laki. Jadi tak mungkinlah ia akan macam-macam seperti yang dikhawatirkan oleh pamannya.
“Akh! Paman Rasmitang persis sama dengan adiknya mendidik anak, keras dan disiplin. Masa orang kota begitu caranya mendidik anak.” Celoteh Rabatang dalam hati. Sepertinya dialah yang lebih jago mendidik anak daripada almarhum suaminya dan iparnya.
Rasmitang benar-benar menikmati kehidupan barunya sebagai anak kost. Dulu, waktu masih tinggal bersama pamannya, biasanya jam sepuluh sudah tidur. Sekarang, ia menghabiskan waktu sampai larut malam. Bercanda ria, tertawa lepas. Tak ada lagi sikap tegas dari pamannya.
Sejak tinggal kost pula, biaya kuliah Rasmitang bertambah. Tak segan-segan ia meminta uang yang banyak pada ibunya.
“Biasalah Bu. Yang namanya mahasiswa semakin mau selesai semakin banyak dibayar. Ada acara praktek lapangan, acara pelatihan, acara….”
“Baiklah Nak, tapi kamu harus menghemat, dagangan coklat tidak seperti dulu lagi, di kampung sekarang sudah banyak tengkulak coklat dari kota.”
“Percayalah Bu.”
“Ibu percaya Nak. Yang penting berhemat, juga jaga diri baik-baik.” Nasehat klise Rabatang mengakhiri percakapan dengan anaknya.

Akhirnya Rabatang percaya omongan Bondeng bahwa bila perempuan diberaki kelelawar berarti ia akan berjodoh. Kalau hanya bermimpi saja, mungkin keluarganya yang akan berjodoh.
“Benar Bondeng, anakku memberitahu bahwa minggu depan ada yang akan melamarnya langsung di kampung ini.”
“Benarkah?”
“Pamannya juga mengatakan begitu.”
“Tak selesai kuliahnya dulu?”
“Maunya saya begitu, tapi pamannya bilang Rasmitang harus dinikahkan, dari dulu memang pamannya begitu. Maunya saja yang mau diikuti.”
“Benar-benar jodoh.” Bondeng bergegas meninggalkan pancuran. Hari sudah merangkak sempurna.
Ramai orang memperbincangkan berita pernikahan Rasmitang.
“Kalau sudah ada laki-laki yang mau, masa ditolak.”
“Kan ia masih kuliah.”
“Mungkin…”
“Mungkin apa?”
“Hush, nanti kedengaran sama Rabatang.”
Rabatang terus bergegas. Ia tak menghiraukan omongan para ibu-ibu yang mencuci di pancuran umum. Yang ia ingat sekarang, bagaimana mengambil keputusan nanti. Hatinya bimbang. Tapi akhirnya ia bersikeras bulat. Anaknya harus selesai kuliah dulu. Lelaki yang melamarnya harus bersabar. Titik. Rabatang tak mau kompromi.
Hari yang ditunggu Rabatang datang jua. Orang tua calon suami anaknya benar-benar datang. Yang membuat Rabatang sedikit kaget, karena paman Rasmitang datang bersama calon besannya.
“Dik Rabatang, saya bersama calon besanmu datang untuk membicarakan pernikahan anakmu.”
“Tapi saya belum mau menikahkan ponakanmu Daeng, nantilah kalau kuliahnya selesai.”
Paman Rasmitang terdiam. Begitu pula calon besan Rabatang. Tapi dicobanya untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Semoga Rabatang bisa menerima kenyataan ini. Harapnya.
“Tapi Dik, pernikahan ini harus diadakan secepatnya sebelum….” Kalimat paman Rasmitang menggantung.
“Sebelum apa?” Rabatang tak mengerti.
“Sebelum anakmu melahirkan.”
“Me…me…melahirkan?”
“Kandungannya sudah tujuh bulan.”
“Tu..tu…tujuh…”
Kalimat Rabatang menggantung di kerongkongan karena ia mulai pingsan. Lalu gelap. Yang terbayang olehnya hanyalah sepasang kelelawar bercinta lalu menimpuki mukanya dengan tahi.

Makassar, 30.06.07

1. Cerpen “KELELAWAR” dimuat Harian Fajar, Ahad 6 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar