Kamis, 20 Januari 2011

cerpen


POHON-POHON PELURU1
Oleh: dul abdul rahman2

            Pohon-pohon karet itu seumpama pemukiman yang diam-diam terus meluas dengan buas. Bak penindas sadis berhati kapitalis, tak ada yang mampu menghalangi, pohon-pohon karet itu terus berjalan dengan pongah memasuki wilayah demi wilayah meski dengan susah payah. Pohon-pohon karet itu mungkin sudah lelah puluhan tahun hanya mendiami wilayah Kabupaten Bulukumba saja. Pohon siapa yang tidak cemburu ingin tumbuh di Kabupaten Sinjai yang tanahnya memang sangat subur. Saking suburnya tanah Sinjai, pohon-pohon berebutan tumbuh di kebun-kebun penduduk. Penduduk pun nampak puas bisa menanam di kebunnya berbagai macam tanaman komoditi yang menghasilkan uang. Cengkih, ladah, coklat, dan kopi berdesak-desakan tersenyum di kebun petani. Warga yang tinggal di pinggiran perkebunan karet pun tanpa syak wasangka seperti menerima perkebunan karet dengan penuh suka cita. Ibaratnya pohon-pohon karet adalah tamu agung yang datang menawarkan sebuah penghidupan yang layak bagi khayalak.
            Di sebidang kebun yang berbatasan langsung dengan perkebunan karet itu, berkumpullah beberapa petani di kebun milik seorang petani yang bernama Sangkala. Sangkala memang sedang mappaolli(bergotong royong) Sangkala ingin menanami kebunnya yang tak seberapa luas dengan tanaman cengkeh. Meski tidak luas, tetapi kebun milik Sangkala bak perisai dari kebun-kebun petani yang lain. Para mandor perkebunan itu tak ada yang berani mengambil paksa kebun Sangkala. Semua mengenal bahwa Sangkala punya banyak jaringan LSM.
Setelah makan siang bersama dengan makanan yang dibawa oleh isteri Sangkala. Mereka bercengkerama di tengah kebun itu. Semilir angin sore yang berhembus seperti meniru irama gambus dari Tanah Bugis dari hamparan pohon-pohon karet begitu menggoda seperti peri-peri penggoda yang siap menenggelamkan kapal-kapal nelayan di kawasan keramat Pulau Sembilan Sinjai di Teluk Bone. Tak ada tanda-tanda bahwa pohon-pohon itu datang berhati jahanam ingin mengganti tanaman komoditi yang sekian lama menjadi mata pencaharian penduduk. Tawa berderai-derai dari para petani yang menggarap tanah sendiri tanpa intimidasi seperti penguat bahwa mereka mandiri dan merdeka.
            “Saya mendengar kabar dari Mandor Bajide bahwa kebun-kebun disini akan dibeli oleh perusahaan perkebunan.”
            “Hah! Benarkah?” Semua petani mendadak heran mendengar penuturan Sudding. Hanyalah Sangkala yang kelihatan cuek saja.
            “Benarkah begitu Sangkala?” Sudding nampak kian tak sabar.
            “Benar.” Jawab Sangkala acuh tak acuh.
            “Jadi kebun-kebun kita di sini nanti akan dimiliki juga perkebunan karet?” Hamide bertanya dengan nada sedih. Tenggorokannya perih.
            “Wah, saya tidak mau menjual tanahku, tanah disini adalah turun temurun warisan dari nenekku.” Hasang menampakkan wajah cemberut.
            “Jadi bagaimana ini Sangkala?” Sudding kembali mencecar tak sabar.
            Sejenak Sangkala manggut-manggut seperti sudah mengerti semua persoalan yang ditanyakan oleh teman-temannya sesesama petani. Inilah sebenarnya tujuan utama Sangkala mappaolli. Disamping meminta bantuan teman-temannya menggarap kebunnya, ia pun ingin bermusyawarah, bahkan kalau perlu memberi penjelasan kepada teman-temannya. Bagaimana pun, dari sesama petani, dirinyalah yang selalu diandalkan. Ia memang pandai bersilat lidah. Ia pulalah yang paling tinggi sekolahnya diantara sesama petani. Bahkan sebenarnya takdirlah yang membawanya sehingga ia tidak bisa melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, ibunya tak sanggup membiayai kuliahnya, sementara ayahnya sudah berpulang ke rahmatullah sejak ia masih duduk di sekolah dasar. Kalaulah ia pandai bersilat lidah, karena ia memang mantan ketua OSIS sewaktu di SMA dulu. Sangkala adalah korban dari mahalnya pendidikan serta ketakpedulian pemerintah pada masyarakat kecil dan dekil.
            “Begini kawan-kawan! Memang pihak perkebunan akan membeli semua kebun-kebun disini untuk ditanami pohon karet. Tapi keputusannya kan ada di tangan kita sebagai pemilik kebun. Apakah kita mau menjualnya atau tidak. Ini hak kita kawan.”
            “Tapi biasanya kalau Mandor Bajide yang bilang biasanya jadi.” Sudding memotong pembicaraan Sangkala. Ada kecemasan yang tak tertahankan bagi Sudding akan kekasaran Mandor Bajide yang selalu berlagak kompeni. Mandor Bajide memang kemana-mana bawa tongkat seperti orang kompeni berpangkat zaman dulu.
            Sangkala yang pandai berdiskusi manggut-manggut mendengar penuturan Sudding, ia paham benar dengan kegalauan Sudding. Sedangkan yang lainnya juga terlihat manggut-manggut meski dengan mimik berbeda dari Sangkala. Siapa pun memang akan galau bila Mandor Bajide yang membawa kabar. Karena apa yang dikatakannya biasanya akan terbukti. Bajide memang adalah seorang mandor di perkebunan karet itu. Itulah sebabnya namanya melekat menjadi Mandor Bajide. Ia adalah adik kandung dari Petta Loppo, kepala desa tempat Sangkala dan teman-temannya berdomisili. Keluarga Petta Loppo sangat berpengaruh di daerah Sinjai dan Bulukumba. Makanya pihak perkebunan sengaja merekrut Mandor Bajide sebagai mandor sekaligus tenaga keamanan.
            “Nah memang Mandor Bajide sekarang memprovokasi bahkan menakut-nakuti warga agar mau menjual tanahnya kepada pihak perkebunan.”
            “Jadi kita harus bagaimana?” Hasang menatap Sangkala lekat-lekat. Pandangannya pekat.
            “Ya, satu-satunya jalan supaya kebun-kebun kita tidak jatuh ke tangan kaum kapitalis adalah kita bersepakat untuk tidak menjualnya.”
            “Bagaimana kalau pihak perkebunan memaksa kita menjual tanah lewat Mandor Bajide dan Petta Loppo?” Hamide seperti tak percaya dengan pendapat Sangkala. Ia tahu bahwa sebelum menjadi mandor, Bajide adalah pimpinan preman yang tak beriman yang dikenal luas di Sinjai dan Bulukumba. Bahkan terkadang Mandor Bajide dipanggil dengan Karaeng Preman.
            “Pokoknya satu-satunya jalan adalah kita sepakat tidak menjual kebun kita. Jangan takut! Kalau memang tidak ada LSM yang membela kita, kita dirikan LSM sendiri.” Sangkala mencoba menguatkan teman-temannya.
Sangkala menatap teman-temannya satu persatu. Menggelantung ketakutan di wajah teman-temannya. Meski demikian, semua yang hadir tetap percaya kepada Sangkala. Sangkala memang satu-satunya warga yang mampu bersilat lidah dengan para birokrat desa di kampungnya. Bahkan andai bukan karena Sangkala, sudah sejak dulu kampung mereka sudah menjadi lahan perkebunan karet. Masih teringat peristiwa berdarah tahun lalu di bulan Maret. Orang-orang yang mencoba mempertahankan kebunnya diseret-seret berderet-deret oleh orang berbaret.
Alasan Sangkala mempertahankan kampung halamannya karena bila ia menjual tanahnya pada perkebunan maka sama saja dengan menjual dan menggadaikan kampung halamannya lalu menjadi pembantu di negeri sendiri. Alasan kedua, dengan menjual tanahnya berarti ia telah meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kampung halamannya. Alasan pertama terjadi bila ia menjual kebunnya lalu menjadi tenaga kerja di perkebunan itu. Alasan kedua, dengan menjual tanahnya berarti ia akan hijrah mencari tanah yang lain yang mungkin bukan lagi di Sinjai tapi di Sulawesi Tenggara seperti Kolaka dan Konawe. Sangkala tak mau hal itu terjadi, ia akan tetap tinggal di kampungnya. Kampung yang sudah ditinggali oleh nenek moyangnya secara turun temurun. Sangkala tidak mau mengalah pada kekuatan kaum bermodal berhati dajjal yang datang menawarkan kesejahteraan berbungkus kesengsaraan. Ujung-ujungnya nanti turunannya akan menjadi budak pekerja di perusahaan perkebunan karet itu. Jadi budak di kampung sendiri, samasekali tak ada dalam kamus hidup Sangkala.
“Bagaimana kalau Mandor Bajide meneror supaya kita menjual tanah kita?” Sudding masih menyimpan sejuta kecemasan.
“Begini saja kawan-kawan! Kebetulan kebun saya yang berbatasan langsung dengan perkebunan karet. Jadi tentu saja kebun saya pertama-tama dulu akan dibeli. Dan saya sudah pasti menolaknya. Jadi misalnya bila ada yang membujuk atau memaksa kalian menjual tanah ke pihak perkebunan, bilang saja bahwa tanah kalian akan dijual bila saya juga menjual tanah.”
Semua manggut-manggut bersemangat mendengar penuturan Sangkala yang sangat berani. Mereka semua  memang sudah mendapatkan doktrin nasionalis dari Sangkala. Sangkala dengan persepsinya sendiri tentang hakekat nasionalis adalah mempertahankan tanah sendiri serta hidup bebas di kampung sendiri, bukan sebagai pembantu, apalagi menjadi pembantu perkebunan karet. “Hidup miskin dan merdeka di kampung sendiri lebih baik daripada hidup kaya tapi dalam cengkeraman orang lain.” Begitu selalu ucapan Sangkala dengan semangat pejuang 45 kepada rekan-rekannya sebagai petani. Mungkin memang kampung dan kebun bukan habitat Sangkala, tetapi di kampus-kampus, namun apalah daya biaya tak sampai.
“Merdeka negeriku! Merdeka tanahku!” Sudding rupanya sudah terjerat sikap nasionalis versi Sangkala.
“Merdeka tanah leluhurku!” Hasang tak mau kalah.
“Tanah leluhurku! Tanah tumpah darahku!” Hamide mengacungkan tangan serupa pahlawan Robert Wolter Monginsidi.
Sangkala tersenyum-senyum menatap teman-temannya yang sudah satu semangat dengannya. Ia yakin, dengan munculnya orang-orang yang berani mempertahankan hak-haknya, pihak perkebunan akan berpikir seribu kali untuk mengambil paksa tanah rakyat. “Kawan-kawan! Kita adalah rakyat yang melarat. Makanya jangan lagi mau disayat-sayat! Kita terus melawan sampai kiamat!” Ujar Sangkala berapi-api untuk kian memanaskan teman-temannya.
“Semangat!” Koor yang lain. Lalu sebagai penutup rapat, mereka melakukan tos bersama. Atas inisiatif Sangkala, sebagai simbol rakyat kecil, mereka melakukan tos dengan alat pertanian. Cangkul, sabit, parang pemotong rumput, dan alat-alat lainnya bertalu-talu seperti sebuah simfoni liris yang meringis yang akan mengiris-ngiris hati yang mendengarnya.
Matahari sudah condong ke arah Barat, siang sebenarnya masih sangat panjang tetapi pohon-pohon karet sudah menelan matahari. Hanyalah sesekali sinar matahari jatuh dan malu-malu bersinar ke arah Sangkala dan kawan-kawan. Akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Sudding, Hamide, dan Hasang paling dulu bergegas pulang dengan hati mulai tenang. Mereka memang tidak mau ikut-ikutan menjual tanahnya lalu menjadi tenaga kerja di perkebunan karet itu. Ataukah menjual tanahnya, lalu pindah ke daerah lain, atau bahkan merantau ke Malaysia. Bagaimana pun mereka ingin tinggal bebas dan merdeka di kampung sendiri. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, mereka tetap memilih kampung sendiri. Tetapi mereka tak akan rela bila kampungnya dilanda hujan batu. Apalagi kalau hanya hujan batu buatan. Dan mereka senang, karena Sangkala yang mereka anggap sebagai tokoh masyarakat sependapat dengan mereka.
Namun tak berapa lama perpisahan mereka. Seperti ada komando, Sudding, Hamide, dan Hasang berlarian kembali ke tempat semula.
“Apa yang terjadi dengan Sangkala?” Koor ketiganya bertatapan sambil memeriksa tubuh Sangkala yang berlumuran darah.
“Pohon itu punya peluru.” Sangkala terengah-engah menahan kesakitan.
“Apa?” Koor ketiganya masih bertatapan. Tentu saja Sangkala tak bisa mengulangi kalimatnya. Karena ia telah tidur untuk selamanya.

Sinjai-Bulukumba, 2009

1.      Cerpen ini pernah dimuat koran nasional SINDO, Ahad 18 April 2010.
2.      Dul Abdul Rahman. Bekerja sebagai sastrawan, peneliti, dan dosen. Tulisan-tulisannya berupa kritik sastra dan karya sastra dimuat di koran lokal dan nasional. Bukunya yang sudah terbit
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Nala Makassar, 2006);
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogjakarta, 2009);
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogjakarta, 2010); 
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogjakarta, 2010);
5. Sabda Laut (Novel. Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010). 
6. Nyanyian Ombak (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2011).
Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar