Sabtu, 10 November 2018

Jejak La Galigo dalam Tradisi Mappadendang



 oleh: dul abdul rahman
(Sastrawan dan Peneliti Budaya)

            Bencana pertama yang melanda bumi dalam Cerita La Galigo adalah panen padi yang gagal total. Bencana ini melanda Negeri Tompoq Tikkaq, salah satu dari tiga negeri Manurung, selain Ale Luwuq dan Wewang Nriuq. Dan –boleh jadi, Negeri Tompoq Tikkaq mengacu ke Kerajaan Gowa, Wewang Nriuq adalah Kerajaan Bone. Dan –sudah pasti Ale Luwuq adalah Kerajaan Luwu itu sendiri.
            Bencana gagal panen tersebut pernah saya deskripsikan dalam novel Terbunuhnya Sang Nabi:
Kegagalan panen padi diakibatkan oleh munculnya burung-burung pipit misterius di saat bulir-bulir padi mulai padat berisi. Meski para petani menjaga sawah mereka pada siang hari tetapi tetap saja burung pipit misterius tersebut memakan bulir-bulir padi mereka. Lalu yang tersisa hanyalah bulir-bulir padi yang kosong berdiri menuding Sang Patotoe di Boting Langiq yang mengirimkan burung pipit misterius dan bengis.
(Terbunuhnya Sang Nabi, hal.4)

            Bencana gagal panen tersebut diakibatkan oleh ulah Raja Tompoq Tikkaq bernama La Urung Mpessi yang membuang beras dan nasi ke sungai. Kala itu Sang Raja murka, karena pesta yang diadakan di kerajaan tersebut tidak dihadiri oleh raja-raja yang ada di kolong langit, padahal jauh sebelumnya undangan sudah diedarkan.
            Setelah La Urung Mpessi dan isterinya We Padauleng meninggal, kerajaan itu dikuasai oleh We Tenrijelloq dan suaminya La Tenrigiling. Agar Sang Patotoe (Sang penentu nasib) di Boting Langiq (Kerajaan Langit) tidak lagi murka maka langkah pertama yang dilakukan penguasa baru adalah mengumpulkan seluruh bissu (pemuka agama dalam kepercayaan La Galigo). Lalu diadakanlah ritual tarian bissu sebagai bentuk permohonan maaf kepada dewa di langit, dan juga sebagai bentuk penghormatan kepada Sangiang Serri (Dewi Padi).
            Alhasil, tanaman padi di Kerajaan Tompoq Tikkaq kembali seperti semula. Surplus beras. Sebagai rasa syukur, setiap selesai panen diadakanlah ritual tarian bissu. Meski tarian ini sangat sakral yang melibatkan para bissu termasuk Puang Matowa (kepala bissu), kemeriahan tetap sangat nampak. Tarian bissu memang hanyalah pembuka dari acara pesta rakyat.
            Tarian bissu dimulai dengan munculnya Puang Matowa dengan pakaian kebesarannya. Ia menghadap Dewi Padi Sangiang Serri. Dewi padi disimbolkan dengan sebuah bangunan persegi empat yang bersusun tiga. Tapi mereka percaya Sangiang Serri benar-benar turun dari langit dan berada dalam bangunan tersebut. Di samping bangunan itu berdiri dua bissu yang ‘berwajah kucing’. Kedua bissu tersebut sudah dimasuki roh kucing Meompalo Karellae yang menjadi pengawal setia Sangiang Serri. Puang Matowa berjalan sambil memukulkan dua alosu ke tanah tiga kali sambil berteriak Kurru Sumange kepada Sangiang Serri. Alosu adalah tongkat bissu yang terbuat dari bambu, dibungkus dengan anyaman daun lontar berwarna hijau, berpasangan dengan merah, dan diberi kepala dan ekor ayam pada setiap ujungnya. Alosu biasanya berisi butiran-butiran sehingga berbunyi saat diayunkan.
            Gemerincing alosu Puang Matowa mengundang sekumpulan bissu muncul menghadap Sangiang Serri. Mereka pun meneriakkan kurru sumange setelah memukulkan alosu mereka ke tanah. Lalu muncullah rombongan bissu lainnya yang masing-masing membawa arumpigi. Dua orang bissu membawa lesung. Mereka pun melakukan tarian bissu. Salah satu adegan dari tarian tersebut adalah para bissu memukul-mukulkan arumpigi ke dalam lesung. Arumpigi adalah batangan bambu atau kayu yang dibungkus kain berwarnah merah dan kuning. Pada ujung arumpigi diberi hiasan kepala burung yang bisanya terbuat dari kayu.
            Ketika tarian bissu ini berlangsung, di sekeliling mereka masyarakat awam ikut melakukan pertunjukan. Kelompok penari bissu dikelilingi oleh masyarakat yang ‘berkostum’ kucing sebagai penjaga bissu dan dewi padi. Kucing jadi-jadian tersebut terus mengawasi para hama yang ingin menyerbu. Hama itu berupa tikus, ayam, dan burung pipit. Kostum hama tersebut juga diperankan oleh masyarakat umum.

Pesta Rakyat
            Karya besar La Galigo pada mulanya berfungsi sebagai sebuah kitab suci. Sebelum masuknya Agama Islam di jazirah Selatan Pulau Sulawesi, masyarakat Bugis-Makassar, mayoritas kepercayaan mereka adalah kepercayaan La Galigo.
Seorang misionaris Belanda B.F.Matthes (1818-1908) yang pernah bertugas di Sulawesi sangat tergila-gila dengan Kitab La Galigo. Misionaris yang juga tokoh literasi tersebut ingin memiliki kitab tersebut. Tetapi tidak ada satu kerajaan pun yang mau menyerahkan padanya. Selain sebagai kitab suci, La Galigo memang menjadi simbol ‘kesakralan’ sebuah kerajaan.
Setiap kerajaan pun hanya memiliki satu kitab La Galigo. Sang misionaris akhirnya punya ide untuk menyalin semua kitab La Galigo, ia pun meminta bantuan kepada Retna Kencana Colliq Pujie untuk menyalinnya. Saat itu Colliq Pujie menjadi tahanan Belanda di Benteng Fort Rotterdam. Ratu Kerajaan Tanete (Barru) tersebut berhasil menyalin sepertiga dari seluruh kitab La Galigo. Sepertiga dari kitab La Galigo yang disalin itu terbagi menjadi 12 jilid yang kini berada di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Boleh jadi, karena tokoh sentral yang berperan membuat Kitab La Galigo menjadi lestari hingga sekarang adalah Colliq Pujie yang juga Ratu Tanete (Barru), maka tradisi-tradisi budaya La Galigo banyak ditemukan di Kabupaten Barru dan juga Kabupaten Pangkep saat ini.
Salah satu tradisi yang masih lestari hingga saat ini adalah tradisi pesta panen rakyat yang biasa disebut Mappadendang atau Appaddekko (Makassar). Pesta rakyat tersebut tak ubahnya pesta rakyat di Kerajaan Tompoq Tikkaq pada periode La Galigo.

Tarian Appaddekko
            Suatu siang saya menyaksikan pementasan tarian Appaddekko di SMP Negeri 15 Makassar. Wilayah –yang boleh jadi, bagian Kerajaan Tompoq Tikkaq pada zaman dahulu kala. Tarian itu juga ikut dipentaskan dalam acara F8 Makassar. Saya larut hanyut menyaksikan tarian tersebut. Khayalan saya bolak-balik, antara Zaman La Galigo tempoe doloe, dan Zaman Now.
            Sebuah tarian yang cukup memikat. Agar tarian Appaddekko/Appadendang tidak kehilangan ‘nilai magis’ (baca: nilai budaya), saya pikir ada hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum pementasan. Pertama, kostum harus bercirikan budaya setempat. Kostum tau-tau sebaiknya tidak dibuat berlebihan sehingga menyerupai ondel-ondel Betawi, pun tidak terlalu menyeramkan serupa vampire. Kedua, pemilihan benda-benda budaya atau kostum harus inheren dengan tema tanaman padi atau pesta panen. Kostum yang inheren seperti kostum hama tikus, burung pipit. Atau kostum kucing khususnya Meongpalo Karellae (kucing tiga warna yang menjadi kucing kesayangan Sangiang Serri). Memang, dalam setiap pementasan, sangatlah dibutuhkan daya imajinasi dan kreasi. Yang penting nilai-nilai budaya tetap lestari. Kurru Sumange. dulabdul@gmail.com

Sumber: Harian Fajar, Ahad 28 Oktober 2018