Jumat, 29 Agustus 2014

Menyelisik Ruang-ruang Kecemasan Tiga Orang Penulis


Tiga Orang Penulis

Saya selalu memosisikan diri, bila membaca sebuah buku atau tulisan, maka seumpama saya memasuki sebuah rumah. Tentu saja, saya adalah seorang tamu. Dan, kata-kata, frase, pun kalimat adalah suguhan dari sang empunya rumah. Manis, pahit, amis, kecut, sesungguhnya hanyalah rasa saja. Dan selalu saja, soal rasa hanyalah soal selera. Aha! Siapalah yang bisa memaksakan selera orang sama. Dan siapalah yang mau berdosa memastikan, manis itu obat, dan pahit itu racun.

Setelah bertamu ke ruang-ruang narasi ketiga penulis muda ini, segala rasa membuncah, lalu meluah. Luahan-luahan rasa itu menumpuk pada sebuah ruang. Itulah ruang-ruang kecemasan. Ruang yang di dalamnya terdiri dari bilik-bilik yang berbeda. Itulah bilik interpretasi. Dan, tentu saja, kesuksesan awal tulisan-tulisan dalam buku ini adalah mampu menghadirkan ruang-ruang kecemasan.

Tapi, tentu saja, membaca ruang-ruang kecemasan dalam sebuah karya sastra bukanlah sebuah keniscayaan bagi seorang pembaca. Bukankah, soal rasa hanyalah soal selera saja. Tapi rasa, sebagaimana halnya dengan kata, juga butuh harmonisasi. Manalah kopi enak diteguk kalau terasa teh, dan dimana pula letak enaknya kalau teh beraroma kopi.

 Ya! Bolehlah kita bersilang rasa soal selera, tapi yang jelasnya, ruang-ruang kecemasan dalam karya sastra bukan hanya harus ditafsirkan sebagai sebuah kegalauan pengarang atas dunia atau realitas yang dihadapinya, tetapi juga merupakan sebuah dunia hiper-real yang berusaha dibangunnya.

Bagi seorang pengarang, dunia kecemasan merupakan salah satu hal yang urgen yang harus disajikan dalam karya-karyanya. Dalam ruang-ruang kecemasan ini, seorang pengarang berusaha membangun dunianya sendiri, minimal mereka berusaha menghadirkan ketidak-setujuannya atau penentangannya terhadap realitas yang berserakan di masyarakat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya. Sebab dari dunia kecemasan inilah, manusia akan selalu dapat mengintrospeksi diri. Dan itu berhasil dilakukan oleh ketiga penulis dalam buku ini. Dunia hiper-real yang dibangun oleh Damang Averroes Al-Kharizmi terlihat sebangun dengan dunia hiper-real Andi Paramata Anum, dunia hitam-putih. Sedikit agak lain, Irhyl R Makkatutu membangun dunia hiper-realnya dengan warna abu-abu, sebuah warna yang sebenarnya manipulatif, tak hitam tak putih. Ya, Irhyl R Makkatutu lebih memilih berteriak lembut daripada Damang Averroes Al-Khawarismi dan Andi Paramata Anum. Tapi ini juga soal selera, bukankah kata-kata yang ‘direndahkan’ belum tentu bermakna lembut, dan siapalah yang berani mengklaim bahwa suara yang ‘ditinggikan’ selalu saja kasar.

Dalam banyak hal, pertentangan nilai yang dialami oleh pengarang kadang memunculkan dunia-dunia baru yang diyakininya sebagai dunia yang berisi nilai-nilai baik yang seharusnya dijalankan oleh setiap individu. Dalam dunia-dunia baru ini seorang pengarang menyajikan nilai-nilai yang diyakininya. Dunia makna dikelola berdasarkan nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan seorang pengarang pada pembaca. Tentu saja, dari bilik-bilik kecemasan yang sunyi, Andi Paramata Anum, Damang Averroes Al-Khawarismi, dan Irhyl R Makkatutu berteriak dan berbisik menyuguhkan nilai-nilai yang diyakininya.

Bilik-bilik Kesunyian Andi Paramata Anum
            Meski berdiri di bilik-bilik kesunyian, Andi Paramata Anum tetap berteriak dalam kisah-kisahnya. Lihatlah penggalan dalam cerita “Derita Ragita”:

Rembulan, bintang, purnama tak habisnya kata mewakili kiasan indah untuk diselami. Terkadang itu hanya perwakilan yang tak berujung kebaikan. Ada yang meremehkan dengan buah bibir begitu busuk untuk dinikahi, ada yang menyanjung namun begitu jorok untuk diselami. Lalu setelah itu, semuanya akan diperhadapkan pada masalah-masalah yang hakekatnya akan merasa terpatih dengan rekayasa yang disajikan. Aku tak ingin menyampur ragaku dengan mereka, biarlah mereka yang jalani. Aku punya jalanku. Aku belajar memahami jalanku. Jalan yang nantinya menjadi petunjuk setelah aku menemui luka dan kerinduan.

            Teriakan lain Andi Paramata Anum dari bilik-bilik kesunyiannya, yang sesungguhnya adalah sebuah tangisan terekam dalam kisah “Sisa Mimpi Semalam”:

Aku menoleh pada teriknya malam, rasanya itu nyata, tapi sesaat aku sadar, apa ini halusinasi bagiku ataukah nyata dalam hidupku. Baru kali ini aku melihat teriknya malam, padahal biasanya malam membias rembulan yang begitu indah. Mengapa saat ini terasa begitu penat, ngeri juga galau bagiku. Ah, kuingkari apa yang kurasa. Rasanya aku berlari ke dalam dunia mimpi. Mimpi yang tak mengembalikanku pada kenyataan. Aku memang bahagia, ya bahagia, tapi bukan dalam ketidakpastian dengan keraguan hidupku.

Ada dua hal yang unik dalam kisah-kisah Andi Paramata Anum dalam buku ini. Pertama, ruang-ruang kegelisahan yang dibangunnya adalah sebuah dunia multi-tafsir atas realiatas yang dihadapinya dari kacamata seorang perempuan. Kedua, dari “kacamata” seorang perempuan, Andi Paramata Anum kadangkala dengan mata “sembab” mengusung potongan-potongan kegelisahannya dengan cara menggedor-gedor bahkan menghentakkan palu godam secara “brutal” sehingga pembaca tersentak dan terkepung kengerian.

Batu-batu Kesedihan Irhyl R Makkatutu
            Ketimbang berteriak dalam ruang-ruang kecemasan yang sunyi, Irhyl R Makkatutu lebih memilih benyanyi riang di atas alam yang tak mengenal batas. Lihatlah kutipan penggalan kisah “Madah Gelombang”:

Riuh gelombang menghampir di telinga. Seorang lelaki duduk di hadapan gelombang laut. Menikmati sepoi. Mengecuplah kenangan yang malu-malu menampakkan dirinya. Di ujuang lazuardi sana, matahari mengintip tajam ke arah lelaki itu. Warna yang dilahirkan mengagumkan merah dan kuning. Kedua warna tersebut menyatu, menyempurnakan dirinya jadi jingga yang eksotik; Jingga.

            Dalam kisah “Kelopak Rindu”, dengan lihai Irhyl R Makkatutu mendedahkan kisahnya:
Seorang gadis duduk melamun memegang dagunya. Pandangannya lurus ke barat. Cemberut dan kecewa terlukis di wajahnya. Sebuah batu kecil berwarna putih digenggamannya, sesekali jemarinya mempermainkan benda itu dan tatapannya menyapu semua sisinya. “Kapan batu jodoh ini berubah jadi pertemuan?”

            Dalam semua bangunan kisah-kisahnya, terlihat Irhyl R Makkatutu berdiri di atas batu-batu kepedihan sampi berdendang lirih. Tetapi di akhir kisah-kisahnya, serupa Kahlil Gibran, Irhyl R Makkatutu seolah berbisik, “Semakin dalam sang duka menggoreskan luka dalam sukma, semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia.”

Jejak-jejak Kerinduan Damang Averroes Al-Kharismi
            Dalam jejak kisah-kisahnya, Damang Averroes Al-Kharismi seumpama adalah seorang pejalan kaki. Ia adalah seorang pengelana yang mencoba menapaki kembali jalan-jalan yang dilaluinya. Lihatlah salah satu jejak kerinduan itu, dalam penggalan kisah “Hujan Airmata”:

Dusun Batuleppa telah membawaku pada kedewasaan berpikir. Membawa pada usia yang menjadi senja. Seakan uban ketuaan menjadi petanda. Tidakkah kampung ini menjadi saksi. Bahwa, ia jauh lebih tua dibanding para penghuni yang tiap hari lalu-lalang. Setiap udara pagi yang terbuka. Diramaikan oleh mereka yang turun dari bukit Banyira menjajakan buah langsat dan rambutan di pasar Lancibung. Telah menjadi pemandangan dan ocehan dari para pedagang eceran untuk memanipulasi harga dalam mencari keuntungan pasar.

            Jejak kerinduan lain Damang Averroes Al-Kharismi yang mendedah airmata terekam dalam kisah “Memori Kematian”:
Tak lupa untuk ayahku yang ada di pemakaman. Di kampung. Punya kenangan jelak dengan kematian. Di sini aku benar-benar merasakan yang namanya kepedihan dan rasa sakit saat orang kesayangan kita telah pergi. Engkau memang telah pergi bertahun-tahun. Tapi kadang aku masih diingatkan dengan dirimu. Kematian.

            Meski berjalan di atas jalan-jalan berdebu, terlihat Damang Averroes Al-Khawarismi terlihat tidak gamang. Bahkan ia berteriak, “Jalan-jalan yang berdebu ini telah meninggalkan jejak-jejak makna dalam hidupku.” Begitulah, air mata tidaklah selalu wakil kelemahan. Pun, air mata menetes tidak selalu mewakili kesedihan, tetapi ia mewakili rasa. Rasa bahagia yang terekam indah lewat jejak-jejak makna.
Saya merasa lega. Seumpama juga seorang pejalan kaki, saya sudah berhasil memasuki semua ruang-ruang kecemasan ketiga penulis muda ini. Dari bilik-bilik kesunyian Andi Paramata Anum, batu-batu kesedihan Irhyl R Makkatutu, hingga menyelami jejak-jejak kerinduan Damang Averroes Al-Khawarismi.

Dan, satu yang pasti. Bilik-bilik kesunyian, batu-batu kesedihan, dan jejak-jejak kerinduan, semuanya menyuguhkan menu utama: Cinta.

Akhirnya saya pun meninggalkan rumah kecemasan ketiga penulis muda berbakat ini. Saya pun bernyanyi riang. Saya harap mereka mendengarkan nyanyian saya, nyanyian yang pernah berkali-kali didendangkan oleh sosok yang sangat mengagungkan cinta, Jalaluddin Rumi. “Andai tidak ada cinta, alam menjadi tidak mempesona, kicauan burung tidak lagi merdu, panorama alam tidak lagi mengagumkan, bahkan kehidupan membeku tanpa makna.”
                                                                                    Matabubu, 27 Februari 2014


[1] Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra: Lebaran Kali ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta, 2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo (Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta, 2011), La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Yogyakarta, 2012), dan La Galigo, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut (Yogyakarta, 2012)

Tulisan ini adalah pengantar dari buku: MENETAK SUNYI

KURSI DAN INDONESIA



Oleh :Arif Saifudin Yudistira

Santri Bilik Literasi Solo
 Peminat masalah sosial dan politik
  
Pemimpin mestinya tak banyak bicara, tapi banyak bekerja.

Para Calon Anggota Legislatif (Caleg) saat ini memang lagi ramai memperebutkan “kursi.” Mereka mulai menarik simpati, mulai dari spanduk di jalan raya, sampai iklan di televisi. Wajah mereka memang hadir sehari-hari, meski tanpa visi, mereka rajin menampakkan diri. Bagi mereka, kursi adalah yang utama, meski harus keluar berapapun biayanya. Kursi adalah tempat dan tujuan mereka, sebab rakyat hanya jembatan semata.

Berfoya-foya dan main perempuan menjadi berita memalukan, meski begitu, mereka tak merasa malu dan menyesal. Anggota dewan kita memang terhormat, tapi juga pengkhianat. Mereka sibuk dengan janji dan wajah manis mereka ketika kampanye, ketika mereka jadi, mereka lupa dan sibuk dengan belanja negara. Calon wakil rakyat kita memang cerdik, mereka pandai merayu dan mengundang simpatik. Mereka rajin blusukan, meski hanya saat menjelang coblosan.

Pejabat sekarang memang identik dengan merebut “kursi.” Kursi, dahulu dimaknai dengan singgasana dan kedudukan raja, serta tempat teragung. Kini. kursi di kantor DPR kita justru kursi kosong. Banyak para anggota dewan kita justru bolos dan tak hadir rapat. Mungkin benar kata Buya Syafii Maarif, kita telah kehilangan negarawan.

Pemilu sebentar lagi, mereka saling berebut “kursi,” sikut kanan-sikut kiri, asal dapat duduk di kursi. Dari yang halal sampai yang haram, dari tebar pesona sampai obral omongan. Tiap lima tahun sekali kita seperti disuguhi gambar dan iklan, tak ada visi atau pandangan bagaimana mengubah Indonesia ke depan. Partai politik seperti tak tahu malu, tak punya kader tangguh dan bermutu. Maka, kita tak perlu heran, bila mereka hanya mengandalkan popularitas dan selebritas.

DPR memang penuh dengan akronim dan plesetan miring, dari Dewan Pengkhianat Rakyat, sampai Dewan Pemeras Rakyat. Maklum, mereka tak kerja, mau gaji tinggi, mereka tak rajin rapat maunya bonus dan insentif tinggi. Bagaimana rakyat akan percaya kata-kata mereka, bila yang dahulu-dahulu sudah banyak kasus dan contohnya.

Mulai dari anggota dewan yang ribut dan ricuh di ruangannya, sampai anggota DPR yang terlihat Closed-Circuit television (CCTV) sedang nonton video porno ketika siding. Dari kasus korupsi sampai kasus impor sapi, dari kasus dan skandal perempuan  sampai kasus terlibat sogokan. Mereka seperti tak layak disebut sebagai yang terhormat, tapi lebih tepat disebut sebagai pengkhianat. Mereka bersumpah di depan Alquran, dan kitab suci, tapi perilaku mereka seperti melupakan janjinya sendiri.
Rasanya Caleg kita memang belum memahami makna pemimpin. Pemimpin mestinya tak banyak bicara, tapi banyak bekerja. Mereka tak harus banyak bersuara, tapi banyak merenung dan banyak mendengar.

Politikus dan pejabat negeri kita kini memang seperti sajak yang ditulis WS Rendra : Semua politisi mencintai rakyat/di hari libur mereka pergi ke Amerika dan mereka berkata/bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat/kadang-kadang mereka anti demonstrasi/kadang-kadang mereka menggerakkan demonstrasi/dan kalau ada demonstran mati yang ditembaki/mereka berkata : itulah pengorbanan/yang lumrah terjadi di setiap perjuangan/lalu ia mengirim karangan bunga/dan mengucapkan pernyataan duka cita/… politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi/ sedang massa tanpa daulat pribadi…(Politisi Itu adalah).

Sajak Rendra tadi seperti menjelaskan bagaimana politikus dan pejabat negeri ini, mereka sibuk untuk mengurusi kekuasaan dan mempertahankannya daripada menjalankan dan menunaikan amanahnya. Sebagaimana puisi Rendra yang lain ia mengatakan : Meskipun hidup berbangsa perlu politik/tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal/ di dalam daulat manusia.
Sepertinya para politikus, Caleg dan pejabat kita memang sudah menaruh politik tanpa hati nurani. Sehingga, mereka tak malu untuk korupsi dan menipu diri. Justru tersenyum dan tertawa seolah-olah mereka sedang bahagia. Hal ini membuat kita semakin risih dan tak percaya pada pemimpin kita sendiri. Hal ini yang menimbulkan kita semakin apatis dan pesimis melihat negeri ini ke depan.
Kita pernah punya tokoh dan negarawan seperti Habibie. Meski penuh kontroversi, ia bekerja tanpa peduli caci maki. Ia memanggul tugas negarawan di masa persimpangan dan peralihan rezim. Tidak dimungkiri, ia adalah tokoh yang membuka keran demokrasi, meski orang sering mencibir demokrasi sekarang terlanjur seperti politik dagang sapi, loe jual gue beli! Kita memang masih berharap di tengah pesimisme dan keputusasaan.

Sudah waktunya para politikus dan partai politik berbenah. Agar masyarakat dan rakyat makin percaya pada pemimpinnya sendiri bukan sebaliknya. Kita memang sudah seperti salah kaprah dalam memilih pemimpin kita. Salah sekali, bisa lima tahun kita menyesali dan meratapi. Kita tentu tak berharap demokrasi hanya menjadi ajang perebutan “kursi.” Kita juga tak ingin demokrasi justru berujung anarki dan chaos seperti di Mesir dan negara lain. Kita ingin Pemilu ke depan menghasilkan wakil-wakil yang kompeten dan memiliki kapabilitas memimpin negeri ini. Bukan pemimpin yang rajin belanja dan wisata ke luar negeri, atau yang rajin melakukan kunjungan dan studi banding ke negara lain yang cuma menghabiskan anggaran negara dan foya-foya.

Rasanya kita perlu membuka kembali sejarah kita di masa lalu. Pemimpin kita adalah pemimpin yang tak pernah berfikir tentang ego dan apa yang menjadi kepentingan mereka. Mereka mendharmabaktikan apa yang mereka miliki untuk bangsa dan negara. Soekarno, Mohammad Hatta, Syahrir, Suwardi Suryaningrat adalah figur pemimpin dan politikus kita yang tak memiliki jiwa haus kuasa dan jabatan. Mereka tak menginginkan duduk di “kursi” kekuasaan apalagi uang.

Ketika mereka diminta untuk memimpin, mereka cenderung berbuat dengan tanggungjawab. Inilah yang ditunjukkan oleh Syahrir, ketika rakyat meminta ia untuk berhenti, maka  Syahrir pun mundur dan menyerahkan kekuasaannya kepada penggantinya tanpa ikut campur dan ikhlas. Berbeda dengan presiden, maupun calon legislatif kita, mereka justru merancang dan menyusun rencana bagaimana cara mereka maju dan menang lagi untuk ke dua kalinya.

Apa yang dialami oleh negeri kita hari ini memang mirip dengan sajak yang ditulis sastrawan makasar Dul Abdul Rahman :  

dunia memang sudah retak/ para penguasa galak-galak/ mereka tak memakai otak/ mereka begitu lihai melompat seperti katak/ memangsa apa saja dengan  congkak/ sumpah dan janji hanya disimpan di ketiak/ lalu mereka berteriak-teriak/ “Atas nama rakyat kami bertindak!”/lalu rakyat pun ikut berteriak : “Sekak!”.

Kita memang perlu memberikan “sekak’’ kepada mereka, agar mereka insaf dan lekas sadar. Para Caleg dan wajah calon pemimpin kita memang sudah bermunculan. Tapi kita masih merenung dan bimbang. Siapa sebenarnya pemimpin kita lima tahun mendatang. Indonesia memang dibentuk dan ditentukan dari siapa yang duduk di “kursi”. Kursi dalam kosmologi politik di Indonesia memang rentan dan penuh goda. Ia bisa menjerat orang yang duduk di dalamnya atau sebaliknya menjunjung tinggi dan mengangkat martabat serta kehormatannya. Semua itu tergantung pada siapa yang duduk di “kursi’ kita di masa mendatang.

Sabtu 15-03-2014