Sabtu, 29 Januari 2011

Cerpen: B U N G A B U N D A

BUNGA BUNDA
Cerpen: dul abdul rahman

Pagi masih bening ketika rombongan satuan Polisi Pamong Praja datang merazia para pengemis dan anak jalanan. Melihat kedatangan kami, mereka berhamburan menyelamatkan diri masing-masing. Bayi-bayi dalam gendongan sebagai peluruh ngemisan menjerit-jerit miris. Sementara ibu mereka meraung-raung. Raungan mereka seperti menggaung menusuk hatiku. Entah anggota Polisi Pamong Praja yang lain.
“Jangan tangkap kami!”
“Kami tak mau mati kelaparan.”
“Kami butuh sesuap nasi.”
“Tenang! Tenang Bu! Kami tidak menangkap ibu, kami hanya mau menyelamatkan ibu, kami akan membawa ibu ke panti sosial.”
Rombongan satpol PP terus mengejar para ibu-ibu dan anak-anak yang berlarian. Saat-saat seperti ini memang satpol PP kelihatan lebih gagah perkasa menangkapi para orang-orang pinggiran, atau kami dari unsur pemerintah mencapnya sebagai sampah masyarakat.
“Jangan! Jangan!” Seorang ibu yang usianya sekitar lima puluhan meraung-raung saat petugas memegang kedua tangannya.
“Kami hanya akan membawa ibu ke panti sosial.”
“Jangan! Jangan pisahkan saya dengan anak-anakku!” Ibu itu terus meronta-ronta penuh derita.
“Kami juga sudah menangkap anak-anak ibu.”
“Tidak. Kalian bohong kalau menangkap anak-anakku karena pagi-pagi begini anakku belum mengemis.”
“Anak ibu dimana?”
“Masih di sekolah.”
“Sekolah?”
Entah. Mendadak tanganku lemas. Tak berdaya menangkap perempuan tua itu. Ia benar-benar kuat. Sekuat kemauannya untuk tetap menyekolahkan anaknya. Ia benar-benar perempuan yang berkemauan sekeras baja untuk melihat anaknya maju. Ia hanya mengemis karena memang mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. Hatiku mendadak trenyuh. Mendadak siluet kisah pilu membayang di mataku. Perempuan itu menatapku. Aku tak kuasa. Aku menunduk. Perasaanku kian teraduk-aduk.
“Ayo! Ikut kami perempuan tua, jangan lari!” Tiba-tiba seorang temanku datang menangkap perempuan tua yang meluah hiba di depanku itu.
“Jangan! Jangan!”
Perempuan tua itu terus ditarik kasar. Ia melirik ke arahku seakan minta tolong. Hatiku melolong. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku makin tak kuasa menatapnya. Aku menangis. Wajah almarhum bundaku yang pias bias di wajahnya.
“Jangan menangis ibu!”
Ucapku lemah. Nyaris tak terdengar. Tapi aku yakin perempuan tua itu bisa mendengar ucapanku. Kulihat ada semangat di matanya, semangat baja untuk masa depan anak-anaknya yang cerah. Lalu perempuan tua itu tersenyum kepadaku. “Luar biasa, ia masih bisa tersenyum meski terbias duka.” Batinku.
Tiba-tiba aku bangkit. Mengejar beberapa anak jalanan yang masih belum tertangkap. Aku harus menjalankan tugasku sebagai satpol PP bersama rekan-rekanku. “Bagaimanapun ini tugasku”, aku membatin menguatkan diri.
“Jangan tangkap kami Pak!”
Anak-anak it terus berlarian. Mereka sepertinya sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti ini. Bahkan kelihatan wajah mereka tetap ceria, tak takut sama sekali. Berlari, menari, menyelinap di antara kerumunan orang. Aku tahu, dikejar-kejar petugas keamanan adalah seni anak jalanan. Bahkan belum sah rasanya jadi anak jalanan kalau belum pernah berkelit dari kejaran petugas keamanan. Maka tak heran banyak anak jalanan hanya tertawa-tawa ketika kukejar. Mendadak aku berhenti mengejar. Wajahku seperti dibawa berlari. Dan terus berlari ke masa aku masih kecil dan dekil. Tiba-tiba aku menggigil.

Ini hari, aku sedikit lelah bercampur resah. Aku ditugaskan kembali untuk merazia pedagang kaki lima di bibir jalan poros. Tetapi sebagai satpol PP, aku tak bisa membantah perintah atasan. Terpaksa aku melaksanakan tugas dengan setengah hati. Setengah hati lagi mengutuki diri. Aku tak mampu melihat wajah ibu-ibu yang meraung-raung atau berguling-guling supaya lapaknya tidak dirobohkan. Atau anak-anak menjerit sambil memeluk ibunya, karena takut menatap mata aparat keamanan yang galak.
“Jangan robohkan lapak kami!”
“Jangan angkut gerobak kami!”
“Tapi kalian melanggar peraturan.”
“Kami hanya mampu menjual disini. Kami tak bisa masuk mall. Kami tak mampu membayar retribusi.”
“Jangan hiraukan mereka, cepat angkat gerobak-gerobak mereka ke atas mobil.” Terdengar suara gemuruh komandan.
Tangisan, pun raungan ibu-ibu dan anak-anak mereka tak membuat para satpol PP kasihan, malahan mereka kesetanan, titah komandan harus dilaksanakan. Mereka meratakan lapak-lapak pedagang kaki lima. Tak tersisa.
Aku tak sanggup menyaksikan semua itu. Selalu saja saat-saat aku merazia para orang-orang pinggiran, selalu wajah almarhum bunda seolah menatapku. Seolah ia tak ikhlas dengan profesiku. Aku mencoba mendekati perempuan tua itu.
“Maafkan kami Ibu!”
“Semuanya perampok.” Perempuan tua itu masih emosi.
“Aku tak bermaksud melakukan semua itu Bu,” Ujarku lemah.
“Apa? Tak bermaksud? Pembohong, kalian sudah menghancurkan kehidupan kami.” Perempuan tua itu tersedu dalam tangis.
“Aku hanya menjalankan tugas Bu.” Aku tak sanggup menatap perempuan itu.
“Kalian telah menjadikan kami pengemis.”
“Pengemis?”
“Ya, kalian telah menghancurkan mata pencaharian kami, kami tak punya pilihan selain mengemis.”
Perempuan tua itu semakin meraung-raung. Aku semakin tak sanggup melihat perempuan itu. Refleks aku memeluknya.
Jangan menangis Ibu!”
Perempuan tua itu tiba-tiba terdiam. Ia seperti dipeluk oleh anaknya yang telah merantau jauh. Aku memang memeluknya penuh perasaan serupa aku memeluk bundaku dulu di peristiwa yang sama.
“Baiklah Nak. Tapi jangan tangkapi kami bila mengemis di jalanan.” Mendadak suaranya melembut. Benar-benar seperti suara bundaku.
Kali ini aku yang menitiskan airmata. Aku telah membuat perempuan itu jadi pengemis? Aku membatin dalam tangis. Untungnya rekan-rekan para satpol PP tidak melihatku. Kalau mereka melihatku mungkin mereka akan mencapku sebagai satpol pengkhianat. Tak taat pada amanat.
Akhirnya, penggusuran pedagang kaki lima selesai. Kami sukses menggusur lapak-lapak mereka tanpa ada perlawanan berarti. Rekan-rekanku sangat bahagia. Kami pasti akan mendapatkan tips dari pemerintah kota. Kami adalah adalah pahlawan-pahlawan di bidang ketertiban kota. Mungkin anggota satpol PP yang tidak begitu bahagia hanyalah aku. Dua hari jadwal menggusur dan merazia sangat menyiksaku. Aku seperti telah mengkhianati bunda, menyiksa bunda, menyiksa diriku sendiri. Padahal dulu sebelum jadi satpol PP, aku berjanji untuk tidak melakukan penggusuran.

Pagi masih bening ketika aku tiba di pemakaman bunda. Mendadak saja setelah kami mendapatkan penghargaan dari pemerintah kota karena sukses merazia para pengemis dan menertibkan pedagang kaki lima, aku kangen bundaku.
Di pusara bunda. Aku memohonkan ampun atas dosa-dosa bunda. Dosa-dosaku pada bunda. Aku menangis tersedu-sedu. Dalam hujan airmataku, terkenang masa-masa silam. Saat-saat hujan turun ketika para satpol PP menertibkan lapak bunda.
“Jangan dihancurkan lapak kami, kasihani kami, kami hanyalah seorang janda miskin yang menggantungkan hidup disini. Kasihan anak kami.”
“Jangan macam-macam perempuan tua! Kalau melawan, kami tak segan-segan menangkap kamu dan anakmu.”
“Kasihanilah kami.” Bunda meraung-raung. Aku yang saat itu tak tahu apa-apa hanya bisa memeluk bunda dalam tangis.
Tempo itu aku sangat membenci satpol PP. Aku merasa satpol PP lah yang paling kejam di dunia. Satpol PP yang membuat bunda jadi pengemis. Menurut bunda hanya profesi itulah yang bisa ia lakukan. Meski tetap akan dirazia lagi, tapi tak apa-apa kata bunda karena tidak ada kerugian apa-apa. Yang bunda waspadai jangan sampai ditangkap lalu dibawa ke panti sosial. Bunda takut berpisah denganku. Bunda akan menyekolahkan aku.
“Kamu harus sekolah Nak.”
“Tapi aku kasihan sama bunda.”
“Tidak. Kamu harus sekolah. Bunda sudah menabung untuk biaya sekolahmu, walau hanya sampai sekolah menengah, bunda rasa cukuplah modal buat cari kerja.”
“Biarlah bunda jadi pengemis saja, biar ada tambahan uang untuk keperluan sehari-hari. Bunda tak mau mengganggu biaya sekolahmu.” Bunda menghela napas. Meski napas bunda tersengal-sengal karena asma yang dideritanya kian akut, ia tetap kuat, sekuat kemauannya untuk menyekolahkan aku.”
Takdir telah membawaku sampai kesini. Sampai saat ini. Sebelum aku tamat SMU, bunda yang sangat kucinta meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Aku sedih. Tapi aku berjanji untuk selalu mengingat pesan bunda. Dengan ijazah SMU disertai tekad yang membaja sebagai warisan dari almarhum ayah dan bunda, akhirnya aku diterima sebagai anggota satpol PP.
Aku menyeka airmataku, seperti aku menyeka airmata bunda. Kudekap pusara bunda penuh haru. Kucium bunga-bunga yang bermekaran di pusara bunda. Bunga-bunga itu akan selalu harum di hatiku. Mekar dijiwaku.
“Jangan menangis bunda!”
Aku melangkah jauh menuju kantor. Aku menoleh. Seolah batu nisan bunda tersenyum kepadaku. Tapi hatiku tetap galau. Takut hari ini ada jadwal menggusur atau merazia lagi.

Kendari-Makassar, 2008
1. Cerpen “BUNGA BUNDA” dimuat Harian Fajar, Ahad 1 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar