Sabtu, 02 November 2013

CELANAKU CELANA PRESIDEN


CELANAKU CELANA PRESIDEN
(dari sebuah catatan harian)

Ketika aku masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Buludatu dan masih duduk di kelas satu, aku diledek oleh teman-temanku karena celana yang kupakai nampak kebesaran. Tentu saja saat itu aku menangis dan bergegas pulang ke rumah. Setiba di rumah aku langsung mengadu pada ibuku bahwa teman-temanku mengolok-ngolok celanaku yang kebesaran, aku minta pada ibuku agar menjahitnya kembali dengan ukuran yang lebih kecil dan pas di badanku. Ibuku hanya tersenyum-senyum mendengar penjelasanku. Kemudian ia menciumku dengan penuh kasih sayang dan menepuk-nepuk celanaku. 

Lalu ibuku membuka buku bergambar mantan Presiden Soekarno lalu berujar “Lihatlah Nak! Ini fotonya mantan Presiden Soekarno waktu sekolah dulu, celananya besar juga kan? Makanya Presiden Soekarno itu pintar, ibu yakin engkau juga akan pintar seperti mantan Presiden Soekarno karena celanamu juga besar” 

Ucapan ibuku kala itu benar-benar memberiku semangat yang luar biasa, dan aku langsung berlari kembali ke sekolah dengan tersenyum-senyum sambil menenteng buku bergambar mantan Presiden Soekarno itu. Dan bila ada yang mengejekku lagi bahwa celanaku kebesaran, aku tidak bersedih lagi. Aku bahkan langsung tersenyum bangga dan langsung menunjukkan foto mantan Presiden Soekarno waktu masih kecil yang juga celananya kebesaran, lalu berujar “Jangan salah kawan-kawan! Aku sengaja meniru model celana mantan Presiden Soekarno biar aku juga bisa pintar seperti beliau.” 

Akhirnya celana itu aku pakai sampai tamat di Madrasah Ibtidaiyah Buludatu. Dan alhamdulillah pernyataan ibuku benar adanya karena aku selalu ranking satu terus menerus sampai tamat dari Madrasah Ibtidaiyah Buludatu, bahkan di MTsN dan SMA juga aku selalu ranking satu. Ibuku sangat bangga karena disamping aku selalu ranking satu, ia juga sangat menghemat karena cuma sekali saja ia membelikan celana sekolah untukku. Rupanya inilah alasan utama ibuku membelikan aku celana yang besar karena bisa dipakai selama enam tahun. Tapi itu tak menjadi soal buatku karena orang tuaku memang miskin. Tapi biarpun miskin, mereka tetap cerdas. Termasuk cerdas memilih celana yang bisa dipakai sampai enam tahun.

catatan harian ini
termaktub dalam buku DAUN-DAUN RINDU, hal 82 & 83

Rabu, 16 Oktober 2013

Teropong Karaeng Pattingalloang: "Matturatema ri Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar."


Teropong Karaeng Pattingalloang: “Matturatema ri Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar”

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-15, I Mannuntungi Daeng Mattola atau lebih dikenal dengan Sultan Malikussaid. Saat itu, pelabuhan Makassar merupakan salah satu kota termasyhur di dunia. Di depan istana Somba Opu, ibukota kerajaan Gowa yang berada di pesisir sungai Jeneberang, juga tak kalah ramainya. Dermaga internasional Makassar banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, atau Belanda. Tak ketinggalan kapal-kapal dagang dari negara-negara Arab, Afrika, atau juga Asia khususnya kapal-kapal dagang dari negeri Tiongkok dan Campa.

Orang yang paling berjasa dalam menggapai kejayaan kerajaan Gowa, selain raja Gowa sendiri, adalah seorang Mangkubumi kerajaan Gowa bernama Karaeng Pattingalloang alias I Mangadacinna Daeng Sitaba. Ia menjabat sebagai mangkubumi (perdana menteri, juru bicara, sekaligus panglima perang). Ia pun menjabat mangkubumi sejak era pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin.

Karaeng Pattingalloang adalah seorang intelektual sejati. Ia menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggeris, Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis, Cina, dan tentu saja bahasa Arab. Dengan penguasaan beberapa bahasa itulah, Karaeng Pattingalloang begitu gampang bekerjasama dan berdiplomasi dengan dunia internasional.

Karaeng Pattingalloang juga adalah seseorang yang sangat haus dengan ilmu pengetahuan. Menurut catatan pastor Alexander de Rhodes yang sering berkunjung ke ruang kerjanya, ruang kerja Karaeng Pattingalloang lebih menyerupai sebuah perpustakaan daripada sebuah ruang kerja seorang perdana menteri, apalagi seorang panglima perang. “Masakan seorang panglima perang tidak mempunyai alat perang atau minimal replika alat perang dalam ruang kerjanya,” begitulah batin de Rhodes.

Buku-buku dari beragam bahasa terpampang di ruang perpustakaan (ruang kerja) Karaeng Pattingalloang. Dari buku-buku Al-Ghazali yang berbahasa Arab hingga buku-buku Louis de Granada yang berbahasa Spanyol. Dari buku-buku agama, sastra dan filsafat hingga buku-buku sains.

Bahkan Karaeng Pattingalloang sangat tergila-gila dengan ilmu sains khususnya matematika dan fisika. Demi menunjang minatnya yang kuat terhadap ilmu sains, ia pun memesan langsung atlas bumi dan teropong bintang dari negeri Belanda. Saat itu, kedua barang tersebut sangat langka dan mahal, bahkan tergolong barang rahasia negara. Andaikan bukan karena Karaeng Pattingalloang, maka tidak mungkin kedua barang langka tersebut dikirim ke Somba Opu. Saingan Belanda kala itu.

Saban malam, bila berada di benteng Somba Opu, Karaeng Pattingalloang pun selalu menggunakan teropong. Ia membayangkan suatu saat ada ilmuwan Tana Mangkasara yang bisa mencapai bulan. Mungkin saja, sambil meneropong bulan dan bintang-bintang, Karaeng Pattingalloang memekik, “Matturatema ri bulang.” (Saya sudah sampai di bulan)
Siang yang sangat terik. Macet di jalan Sultan Alauddin sungguh mencekik. Mahasiswa yang berkampus di jalan poros Gowa-Makassar menutup jalan dengan kasar. Saya, yang kebetulan melewati jalan itu selepas memberikan materi penulisan di kampus Universitas (sultan) Hasanuddin, terperangkap dalam kemacetan panjang. Saya memekik kepanasan, roda dua yang saya kendarai tak ber-AC. Saya yang memang kurang sehat kala itu tak bisa bertahan, saya hampir pingsan. Saya pun menepikan kendaraan dan mampir di sebuah masjid.

Saya tertidur sejenak di dalam masjid. Dalam tidur saya bermimpi melihat Karaeng Pattingalloang sedang asyik membaca buku di perpustakaan pribadinya, sesekali ia memperhatikan atlas bumi yang berada di depannya. Keningnya mengerut, mungkin ia berpikir mengapa yang tercatat dalam sejarah penemu Amerika adalah Christopher Columbus, mengapa bukan orang-orang Celebes. Bukankah perahu-perahu Pinisi dari Celebes sudah bisa mencapai Madagaskar atau Venecia, bahkan terdampar di Pulau Acapulco jauh sebelum Columbus juga terdampar di pantai itu lalu mengklaim diri sebagai penemu?

Karaeng Pattingalloang berdiri sejenak. Ia memandangi buku-buku di perpustakaannya.. Sambil tersenyum, Karaeng Pattingalloang berharap dalam hati, “Kelak anak-cucuku harus banyak membaca dan meneliti, tana Mangkasara harus menjadi lokomotif ilmu pengetahuan.”

Terlihat Karaeng Pattingalloang memasang telinganya. Ia menuju jendela perpustakaannya. Lalu ia mengambil teropongnya. Nampak nyata tana Mangkasara di pelupuk matanya. Buku-buku di perpustakaan kampus tetap baru tapi berdebu karena jarang tersentuh. “Dimana mahasiswa?” Batinnya sambil mengarahkan dan menge-zoom teropongnya ke arah jalan Sultan Alauddin. Mahasiswa membakar dan berteriak-teriak histeris sambil menutup jalan. Karaeng Pattingalloang pun memekik, “Quo Vadis mahasiswa Makassar?”

Rabu, 02 Oktober 2013

SANG PEMBOHONG YANG JUJUR


Sang Pembohong yang Jujur

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Seorang pakar kebohongan (bukan pakar pembohong) berkebangsaan Amerika Serikat bernama Duke Christoffersen pernah melakukan penelitian apakah orang-orang Amerika berlaku jujur atau berperilaku bohong. Pertanyaan Christoffersen hanya satu, “Apakah Anda tidak pernah berbohong?” Hasilnya, hanya 5 persen saja orang Amerika yang diwawancari oleh Christoffersen mengaku tidak pernah berbohong. Berarti 95 persen orang Amerika adalah pembohong. 

Christoffersen membuat simpulan, 95 persen orang Amerika adalah orang-orang jujur, selebihnya 5 persen adalah pembohong besar. Ketika Christoffersen digugat oleh 5 persen responden yang mengaku tidak pernah berbohong tetapi dikatakan sebagai pembohong besar, maka Christoffersen pun memberi alasan yang sangat mengejutkan, “Jika Anda mengaku tidak pernah berbohong, maka Anda telah melakukan kebohongan terbesar dalam hidup Anda.”

Begitulah, Christoffersen dalam bukunya The Shameless Liar’s Guide mengurai sekilas sejarah Amerika yang penuh dengan kebohongan. Tentu saja sejarawan Amerika bersikap jujur dalam menjelaskan kebohongan-kebohongan tersebut. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1999, ketika Presiden Amerika Serikat kala itu Bill Clinton beberapa kali muncul di teve membuat pernyataan, “Saya tidak mempunyai hubungan seksual dengan wanita lain, kecuali dengan isteri saya sendiri (Hillary Rodam Clinton).” Tetapi akhirnya laku Clinton ketahuan juga, ia pun mengakui perbuatannya lalu menuliskannya dalam sebuah buku. 

Otobiografi perselingkuhan Clinton dengan mantan sekretaris pribadinya bernama Monica Lewinsky pun menjadi buku best-seller. Salah satu alasan buku tersebut diburu oleh publik Amerika, karena Clinton jujur menceritakan kisah perselingkuhannya. Clinton pun mengakui pendapat Friedrich Nietzsche, “Mulut boleh bohong, tetapi meskipun demikian wajah kita menyiratkan kebenaran.”
...
Alasan utama manusia berbohong adalah untuk bertahan, mempertahankan harga diri. Dan yang paling mahal tentunya adalah mempertahankan ‘harga’ jabatan. Bukankah sering seseorang menjual harga dirinya untuk membeli ‘harga’ jabatan? Dan ketika kebohongan seseorang terbongkar maka jabatan pun akan hangus terbakar.

Kebohongan memang adalah senjata untuk bertahan. Tetapi orang tidak sadar bahwa setiap kali senjata kebohongan ditembakkan maka senjata tersebut akan mengalami kemiringan beberapa derajat. Karena ketika senjata kebohongan ditembakkan maka saat itu juga peluru-peluru kebenaran akan bergetar dalam sanubari sang pembohong. Ketika kemiringan senjata kebohongan sudah mencapai angka 90 derajat, maka bila seseorang tidak berhati-hati atau bertobat, dan terus menembakkan senjata kebohongan, maka peluru-peluru kebenaran akan semakin bergetar menuju angka 180 derajat. Saat itu juga senjata kebohongan akan menembak diri sendiri.

Berbeda dengan kebohongan, sesungguhnya kejujuran juga adalah alat untuk bertahan. Tetapi kejujuran bukanlah sebuah senjata, ia adalah sebuah tameng. Semakin tameng kejujuran terus terpasang maka tameng itu semakin menebal. Ketika tameng pertahanan diri semakin menebal maka hati pun akan menjadi tenteram. Harga diri, apalagi ‘harga jabatan’ pun akan bertahan.

Maka sebelum senjata kebohongan mencapai kemiringan maksimal 180 derajat dan menembaki dirinya sendiri, maka Clinton pun berusaha bertahan. Ia membuang senjata kebohongan dan mencoba memasang tameng kejujuran. Ia pun selamat. Bahkan isterinya Hillary, yang awalnya sangat sakit hati atas ulah sang suami, akhirnya bisa memaafkan suaminya yang dengan gentlemen memasang tameng kejujuran.

Bagaimana dengan Muhammad Nazaruddin? Apakah aktor fenomenal dalam sandiwara korupsi di Indonesia itu aman dari senjata kebohongan seperti halnya Clinton? 

Meski tema dan tingkat kedalaman kebohongan berbeda, tetapi rupanya Nazaruddin juga paham bahwa alat untuk bertahan bukan hanya dengan senjata kebohongan, tetapi ada yang lebih terhormat, tameng kejujuran. Maka, di saat-saat senjata kebohongan sudah hampir mencapai kemiringan 180 derajat, Nazaruddin pun cepat memasang tameng kejujuran. Ia membongkar dengan jujur segala senjata-senjata kebohongan yang ia telah tembakkan secara berjamaah bersama rekan-rekannya (berubah menjadi musuh-musuhnya).

Selamatkah Nazaruddin? Sang Alim dari kepercayaan dan agama apa pun akan sepakat dengan sebuah pernyataan, “Manusia akan selamat dengan memasang tameng kejujuran.” 

Saya kira Nazaruddin juga percaya dengan kalimat tersebut, sangat percaya malah. Hanya saja, tameng kejujuran yang dipasang oleh Nazaruddin adalah tameng yang terlalu tipis untuk menahan beribu-ribu senjata kebohongan yang terlanjur membidik dirinya sendiri. Bukan hanya itu, senjata kebohongan Nazaruddin juga siap menembak teman-teman aktornya dalam sandiwara korupsi di Indonesia.

Kamis, 26 September 2013

Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung


Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Bermula dari cerita I La Galigo, sebuah napak tilas manusia pertama di kerajaan bumi, bahwa manusia pertama yang menghuni bumi adalah Batara Guru. Ia adalah tomanurung (orang yang turun) dari langit. Sang tomanurung (Batara Guru) berjodoh dengan We Nyiliq Timoq, perempuan totompoq (orang yang muncul) dari dunia bawah (Peretiwi). Duet tomanurung dan totompoq yang maddara takkuq (berdarah putih, bangsawan) kemudian beranak-pinak membentuk kerajaan di jazirah Sulawesi.

Selanjutnya, akibat pengaruh epik I La Galigo, yang dulunya sangat disakralkan dan dianggap sebagai sebuah kitab suci, maka sejarah dan asal-usul kerajaan di jazirah Sulawesi ikut terselubung oleh mitos tomanurung. Semua raja pertama konon adalah tomanurung, manusia suci atau manusia sakti dari langit. Tentu saja ini hanyalah sebuah mitos, tetapi sejak dahulu hingga sekarang orang tetap percaya kepada mitos atau hal-hal gaib lainnya.

Sebenarnya, pengakuan sebagai manusia tomanurung sengaja di-lontara-kan oleh pihak istana kerajaan, lalu dituturkan secara lisan agar masyarakat semakin tunduk dan patuh kepada sang raja yang notabene adalah tomanurung atau turunan tomanurung. Itulah sebabnya, lontara I La Galigo hanya dimiliki keluarga kerajaan yang dianggap sebagai kitab yang sangat sakral, dan tidak bisa dipindahtangankan kepada pihak yang bukan turunan tomanurung. Makanya, ketika B.F Matthes ingin memiliki lontara I La Galigo, ia terpaksa meminta Colliq Pujie Arung Pancana Toa menyalin lontara tersebut untuknya.

Dalam sejarah kerajaan di jazirah Sulawesi, konsep tomanurung tetap terjaga. Bila suatu kerajaan mengalahkan kerajaan lain, maka sang pemenang tidak akan mengganggu sistem kepemimpinan tomanurung pada kerajaan yang kalah. Ketika Gowa takluk, Arung Palakka tidak serta merta punya hak berkuasa di Gowa. Sebab Gowa hanya boleh dipimpin oleh turunan tomanurung di Gowa. Hanya saja Arung Palakka yang bercita-cita ingin menyatukan kerajaan di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) punya taktik jitu, ia menikahkan La Patau (putra mahkota kerajaan Bone) dengan putri Raja Gowa Karaeng Sanrabone alias I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil.

Yang sangat menarik, dengan konsep tomanurung, tidak ada huru-hara dalam pergantian kekuasan pada kerajaan-kerajaan terdahulu di Sulawesi Selatan. Tidak ada peristiwa ala Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung lalu memperisteri Ken Dedes dan berkuasa, selanjutnya adalah perebutan kekuasan dan pertumpahan darah.
Di era demokrasi sekarang ini, konsep tomanurung sebenarnya tidaklah hilang (atau jangan dihilangkan). Ia hanya berubah wajah menjadi pemilu/pilkada. Pemimpin yang terpilih lewat pilkada sebagai wajah lain konsep tomanurung, semestinya disambut dengan suka cita sebagai orang ‘manurung’ (turun) untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik. Pihak yang kalah harus menyadari bahwa mereka bukanlah tomanurung yang dinginkan oleh rakyat.

Di sisi lain, mereka yang terpilih, harus juga sadar bahwa mereka adalah tomanurung, orang yang turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dan yang terpenting, mereka yang terpilih harus benar-benar berperilaku sebagai tomanurung, manusia suci yang turun dari langit suci demokrasi, manusia yang yang bertanggung jawab, jujur, dan amanah. Sebab jika tidak, sang tomanurung akan mendapat kutukan. 

Pada akhir cerita I La Galigo, Sang Patotoe menutup pintu langit sebagai sebuah hukuman kepada tomanurung yang semena-mena memerintah di kerajaan bumi. Sejarah juga mencatat, meski seorang pemimpin (raja) sudah terpilih, tetapi jika ia menyalahi sumpah dan janji maka ia pun akan dicap sebagai sang peresola (sang perusak) yang harus disingkirkan. Itulah yang menimpa Raja Gowa ke-13 Karaeng Tunipasulu Tepukaraeng Daeng Marabbung, ia dimakzulkan oleh Bate Salapang (Dewan Adat) Kerajaan Gowa karena dianggap semena-mena dan tidak adil.
 
Sejatinya, bilamana pemilu/pilkada dianggap sebagai wajah lain konsep tomanurung, yang akan melahirkan sang pemimpin yang akan turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka tidak ada lagi huru-hara yang mewarnai pesta demokrasi di negeri ini, khususnya Sulawesi Selatan sebagai Bumi Tomanurung. Sebab yang terpilih haruslah diselamati sebagai tomanurung yang turun membawa perubahan. Pun, sang tomanurung yang terpilih harus berjanji pada dirinya sendiri untuk turun gelanggang, menyingsingkan lengan baju untuk menjalankan janji-janji program kampanyenya. Sebab tomanurung dalam wajah demokrasi sekarang ini lebih bermakna sebagai seorang pelayan

Kamis, 05 September 2013

LELAKI BUGIS, TARO ADA TARO GAU


Lelaki Bugis, Taro Ada Taro Gau

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVI, persekutuan Kerajaan Tellulimpoe (Lamatti, Bulo-Bulo, dan Tondong) melakukan perjanjian dengan Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga  alias I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Ketiga kerajaan yang menjadi cikal-bakal Kabupaten Sinjai itu bersama persekutuan Pitulimpoe, diwakili oleh Arung Lamatti bernama Arung Pali’e. Perjanjian tersebut berlangsung di Aruhu di bawah pohon beringin. Perjanjian itu berisi kesepakatan antara Kerajaan Gowa dan persekutuan Kerajaan Tellulimpoe untuk saling membantu dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Barang siapa yang mengingkari isi perjanjian tersebut, maka ia akan ditimpa oleh pohon beringin yang sudah ditanam bersama di Aruhu. Isi perjanjian lainnya, Gowa dan Tellulimpoe adalah bersaudara. Gowa dan Tellulimpoe harus bersatu padu, bila Gowa meninggal di pagi hari, maka Tellulimpoe menyusul di sore hari. Gowa dan Tellulimpoe akan Mate Siwalung (mati bersama).

            Belum cukup setahun peristiwa perjanjian Aruhu tersebut, datanglah utusan Raja Gowa ke Tellulimpoe. Raja Gowa Karaeng Tunipallangga meminta bantuan dari persekutuan Tellulimpoe untung menyerang Kerajaan Bone. Tentu saja para arung di Tellulimpoe sangat terkejut dengan permintaan Raja Gowa, sebab bagi Tellulimpoe, menyerang Bone sama dengan menyerang dan mengkhianati saudara sendiri.

            Maka berkumpullah para arung dan bangsawan ketiga kerajaan persekutuan Tellulimpoe. Pertemuan berlangsung hening, para bangsawan hanya terdiam, umumnya mereka menyesalkan Raja Gowa yang ingin menyerang Bone, tetapi ada juga yang bisa memahami langkah Raja Gowa, sebab Bone merupakan pesaing utama Gowa, apalagi saat itu Bone sudah menjalin kerjasama erat dengan Soppeng dan Wajo atas prakarsa utama penasehat Kerajaan Bone, La Mellong Kajao Laliddong.

            Di tengah keheningan tersebut, Arung Pali’e yang menjadi wakil persekutuan Tellulimpoe ketika mengadakan perjanjian dengan Karaeng Tunipallangga, berdiri sambil memandang semua yang hadir.

            “Kita tidak mungkin ikut menyerang Bone yang merupakan saudara kita sendiri,” Arung Pali’e menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melanjutkan kalimatnya, “tetapi kita tidak bisa juga menolak permintaan Raja Gowa karena kita sudah mengikat perjanjian dengan mereka.”

            “Lalu apa yang harus kita lakukan, Puang?” Tanya La Patolai yang kelak akan menggantikan Arung Pali’e bertahta di Lamatti.

            “Saya tidak rela pasukan Tellulimpoe ikut menyerang Bone, tetapi karena Tellulimpoe terlanjur sudah mengikat perjanjian dengan Gowa maka saya tetap akan mengutus seorang panglima Tellulimpoe untuk bergabung dengan pasukan Gowa. Karena sayalah yang bertanggung jawab langsung atas segala perjanjian dengan Gowa di Aruhu, maka saya sendirilah satu-satunya utusan Tellulimpoe. Dan, kelak bila saya gugur dalam perang, maka janganlah kalian menganggap saya gugur karena berperang melawan saudara sendiri, tetapi anggaplah saya gugur dalam menegakkan harga diri orang Tellulimpoe, harga diri kita adalah taro ada taro gau (satunya kata dengan perbuatan).

            Maka bergabunglah Arung Pali’e seorang diri dari Tellulimpoe dengan pasukan Gowa untuk menyerang Bone. Dalam peperangan antara Gowa dan Bone yang terkenal dengan nama perang Tobala tersebut, Arung Pali’e pun tewas terbunuh. Orang Tellulimpoe pun menggelari Arung Pali’e sebagai arung tolempu na magetteng (orang jujur dan teguh pendirian)

            Arung Pali’e adalah sosok lelaki Bugis yang memegang prinsip taro ada taro gau. Ia adalah sosok pemimpin yang malempu (jujur) dan magetteng (teguh pendirian). Ia adalah perwujudan nilai-nilai keteladanan orang Bugis-Makassar “Eppa’i gau’na gettennge: tesalaie janci, tessoroe ulu ada, telluka anu pua teppinra assituruseng, mabbicarai naparapi mabbinru’i tepupi napaja.” (Ada empat perbuatan nilai keteguhan: tidak mengingkari janji, tidak menghianati kesepakatan, tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah kesepakatan). 

Adakah lelaki Bugis sekarang seperti Arung Pali’e? Lelaki Bugis yang rela menyerang saudaranya sendiri, menyerang dirinya sendiri, mengorbankan dirinya sendiri, demi menegakkan harga dirinya: taro ada taro gau.

Ah! Jangan-jangan sekarang, lelaki Bugis berubah menjadi lelaki bengis. Lelaki yang begitu gampang membuat janji lalu dengan sangat gampang pula menghianati janji dan kesepakatan, karena ia adalah lelaki pengemis, pengemis harta dan jabatan. Ataukah lelaki Bugis menjadi lelaki gamis, lelaki yang sering puasa senin-kamis, tapi korupsinya juga berjalan lancar seperti air yang tak bertapis. Maka, wahai lelaki Bugis! Jangan pernah memahat janji lalu sibuk mencari alibi untuk tidak menepati janji. Ya, termasuk janji-janji politik. Assekki Ada Jancie (Berpegang teguhlah pada janji).

Kamis, 22 Agustus 2013

Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita


Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVII, Raja Bone mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone.
Raja Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin mengetes kecerdasan pemuda tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun mengiyakan kedua permintaan sang raja.
La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Laliddong. Ia mengambil tangga rangkiang tua miliknya. Lalu ia menyeret tangga itu menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?”
Setiap ada orang yang bertanya, maka La Mellong pun meminta orang itu ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sudah ada 69 orang yang mengikuti La Mellong.
“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?” Tanya seorang pengawal istana ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana.
Pammasena Dewatae (Syukur Alhamdulillah), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja.
“Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong.
“Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan suara meninggi.
“Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah tangga rangkiang maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tidak melihat.”
Seketika sang raja menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong.
“Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”
La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.”
“Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” Cecar raja.
“Tabek Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya menemukan dua orang yang berselisih maka saya akan memberikan tangga ini kepada keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka tidak bisa memanjat pohon, maka saya cukuplah memberi tangga ini agar orang lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La Mellong.
“Engkau benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.
La Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia diberi gelar Kajao Laliddong.
Makassar, kota yang acapkali dicap kasar, karena penduduknya berkelahi melulu di layar teve  -teve juga mungkin kurang ajar karena hanya mengejar pasar- padahal masih banyak sudut kota Makassar yang damai tapi tak diberitakan. Makassar butuh tangga La Mellong agar warga yang selalu bertikai tidak lagi saling melempar, tetapi saling mengunjungi dan berdamai dengan hati sabar dan jiwa yang besar.
Tak hanya sebatas kota Makassar, tetapi Indonesia saat ini sangat butuh tangga La Mellong. Para pemimpin perlu memiliki tangga La Mellong, agar mereka selalu berhati-hati dalam memanjat, baik memanjat pangkat maupun memanjat harta. Karena bisa saja kalau mereka memanjat harta dengan melompat terlalu tinggi, lalu mengambil yang bukan haknya, maka mereka akan terjatuh dalam penjara Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka, sebelum mereka terkena kutukan adagium ‘sudah terjatuh tertimpa tangga pula’ maka sebaiknya mereka meminjam tangga La Mellong.

Sumber: LITERASI KORAN TEMPO MAKASSAR
Kamis 22 Agustus 2013

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas
Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Setelah berhitung segala ongkos kepulangannya, pun plus-minusnya, akhirnya Sangkala memutuskan untuk mudik. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk tidak mudik. Tidak seperti lima tahun sebelumnya, setiap lebaran tiba, Sangkala selalu terburu-buru memburu mudik. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa. Saat itu pula ia benar-benar menikmati mudik. Mudik baginya seperti sebuah terapi untuk melupakan segala rutinitasnya di kampus. Ia bisa bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya, pun teman masa kecilnya di kampungnya dulu. Ia bisa menikmati wajah-wajah kampung ramah dan bersahabat. Pun ia bisa menjadi sosok idola bagi para bunga-bunga desa di kampungnya. Predikat mahasiswa yang ia sandang kala itu seperti sebuah azimat yang dapat meluluhkan hati setiap bunga desa yang ayu dan kemayu.
            Tapi kini, setiap lebaran tiba, Sangkala benar-benar berhitung masak-masak. Jarak antara Makassar dengan kampung halamannya tidaklah terlalu jauh di pelosok desa di kabupaten Sinjai. Uang transport pulang pergi cukuplah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Tapi bukan itu yang membuat Sangkala berpikir keras. Tapi oleh-oleh buat para kerabat dekatnya, ponakan-ponakannya, bahkan para tetangganya adalah sesuatu yang ia harus persiapkan. Ia malu bila ia tiba di rumah orang tuanya di kampung, lalu banyak kerabat yang mengunjunginya tapi tidak diberikan apa-apa. Apalagi Sangkala telah dicap di kampungnya sebagai orang sukses. Padahal sesungguhnya pendapatan Sangkala hanyalah cukup untuk biaya hidup saja. Ia belum mapan, apalagi mau disebut orang kaya. Tapi Sangkala harus mudik. Lalu. Mau tak mau ia harus mengeringkan rekeningnya di bank.
            Orang-orang seperti Sangkala sangat mudah kita lihat dimana-mana. Di pelabuhan-pelabuhan, di terminal-terminal, tapi jangan lihat di bandara-bandara. Kita bisa melihat wajah para pemudik yang kuyu tetapi tetap terpancar kebahagiaan karena akan bertemu dengan para kerabat dan handai tolan, meski kebanyakan dari mereka tetap membawa sebungkus kegelisahan karena biaya mudik. Tapi hakekatnya mereka tetap bahagia.
Kata mudik tidak persis sama dengan pulang, tapi jelasnya bila kita mendengar idiom mudik maka yang terbayang dalam ingatan kita adalah pulang atau pulang kampung. Berbeda dengan kata pulang, mudik mengandung arti tersendiri. Istilah mudik baru dibicarakan pada saat-saat tertentu yang dianggap sakral seperti saat lebaran, pun natalan.
            Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk pikuk dan kepalsuan kota, ingin menemukan dirinya kembali dengan mengenang masa-masa lalunya di kampung halaman yang penuh dengan kenangan indah. Mereka yang di kota hanya dihitung sebagai angka-angka pecahan, pun sebagai mor kecil yang berkarat dalam mesin raksasa kota yang rakus ingin menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mereka juga ingin melupakan wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati keramahan wajah-wajah kampung dengan girang. Para pembantu rumah tangga ingin bebas sementara dari majikan-majikan perempuan yang galak, atau mata majikan laki-laki yang jalang. Para buruh-buruh pabrik ingin bebas dari raungan mesin-mesin yang pongah dengan menikmati desahan sungai-sungai yang renyah. Dengan mudik, mereka dapat merenungkan apa yang telah dikerjakannya dan merenungkan eksistensi dirinya sebagai manusia. Itulah makna mudik.
            “Mudik adalah salah satu terapi untuk manusia modern,” kata Jalaluddin Rakhmat. “Manusia modern melahirkan manusia robot,” kata Lewis Yablonsky. Manusia robot telah kehilangan kreativitas, mereka menjadi mesin yang terikat pada rutinitas yang monoton, mereka digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan, baik penguasa maupun pengusaha yang terkadang susah dibedakan. Pagi hari bangun, mandi, sarapan lalu ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sehingga kota-kota besar telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar yang dihuni oleh para manusia robot sehingga penyembuhannya memerlukan suatu terapi yang memanusiakan manusia. Ya, itulah makna mudik.
            Sayang! Kebanyakan yang berburu dan terburu-buru untuk mudik hanyalah orang-orang kecil saja. Alangkah indahnya bila mudik sebagai terapi manusia modern dilakukan pula oleh para penguasa pun pengusaha. Dan mudik jangan hanya pada waktu lebaran saja, sehingga mereka itu para penguasa dan pengusaha bukan lagi manusia robot yang melibas manusia dengan tangan kekuasaannya, tetapi mereka memperlakukan manusia secara manusiawi sebab dengan mudik mereka akan menemukan kemanusiaan dirinya sebagai manusia. 

sumber: LITERASI KORAN TEMPO MAKASSAR
Sabtu 3 Agustus 2013

Rabu, 08 Mei 2013

Permasalahan Agraria dalam Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra


Permasalahan Agraria dalam Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra

(Skripsi Riani Eka Saputri, 2012, STKIP PGRI Pacitan Jawa Timur)

Abstrak:
Karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman batin yang pernah dialami oleh pengarang. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan masyarakat menjadi dasar olahan pengarang. Sosiologi sastra menganalisis masalah-masalah social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.

Berdasarkan latar belakang di atas alasan penulis memilih judul Permasalahan Agraria Dalam Novel Sarifah Karya Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra adalah; 1) untuk mengetahui permasalahan agraria yang terjadi dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman; 2) selain itu, novel Sarifah ini belum ada yang meneliti maupun menelaah baik dari segi instrinsik maupun ekstrinsiknya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; 1) permasalahan agraria yang terdapat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman; 2) dampak permasalahan agrarian terhadap masyarakat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. Kedua hal ini diungkap dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, simak, dan catat.

Hasil analisis data dinyimpulkan bahwa: 1) masalah utama dalam novel Sarifah adalah permasalahan tanah antara petani dengan PT Lonsum. 2) permasalahan agraria yang terjadi antara petani dengan PT Lonsum disebabkan oleh beberapa hal yaitu tanah petani diambil secara paksa, rumah-rumah petani dibakar, tanaman jagung petani dibulldozer, petani disiksa dan ditangkap polisi. 3) dampak permasalahan agraria terhadap masyarakat yaitu petani merasa sedih kehilangan tanah, kehilangan rumah. Juga petani mengalami luka-luka, membuat hubungan yang tidak harmonis antara petani dengan kepala desa, dan dua orang petani yang meninggal karena mempertahankan tanahnya.

Kata Kunci:
            Permasalahan Agraria, Novel Sarifah, Sosiologi Sastra.

Sinopsis:
          Sarifah (Pohon-Pohon Peluru)

         Empat orang petani bernama Barra Tobarani, Lahajji, Sallasa, dan Mattorang mencoba mempertahankan tanahnya. Pihak perkebunan karet PT Lonsum (PT London Sumatra) dengan dibantu oleh pemerintah setempat memang terus mengambil-alih tanah-tanah petani secara paksa. Bukan hanya itu empat sekawan tersebut mencoba membela petani-petani lainnya yang tanahnya dirampas oleh pihak perkebunan.

            Barra Tobarani yang paling tinggi sekolahnya di antara petani karena ia adalah jebolan SMA, sedangkan petani-petani lainnya kebanyakan tidak pernah mengenyam pendidikan, memprakarsai terbentuknya LSM Tobarani. LSM tersebut berusaha membela hak-hak petani yang tertindas. Keberanian empat sekawan yang dipimpin oleh Barra Tobarani mendapat simpati dan dukungan dari warga.

            Pihak perkebunan tidak tinggal diam dengan usaha-usaha Barra Tobarani dan kawan-kawan untuk menolak menyerahkan tanah-tanah mereka kepada pihak perkebunan. Pihak perkebunan menggunakan mandor-mandornya untuk meneror Barra Tobarani. Apalagi seorang mandor bernama Lamakking sejak dulu tidak menyukai Barra Tobarani. Dalam hati kecilnya, Lamakking sesungguhnya membela para petani yang tertindas, tapi ia dendam pada Barra Tobarani. Sarifah, isteri Barra Tobarani adalah perempuan yang sangat dicintai oleh Lamakking. Tapi saat itu Sarifah lebih memilih Barra Tobarani, seorang pemuda kampung yang miskin tapi dikenal sebagai pemuda yang baik dan berani. Sarifah menampik cinta Lamakking yang turunan bangsawan tapi dikenal sebagai preman di kampung, Sarifah dan Lamakking sebenarnya masih keluarga dekat.

            Karena mengetahui bahwa Barra Tobarani dan kawan-kawan bersatu dengan warga untuk mempertahankan tanah mereka, Lamakking mencoba mendekati Barra Tobarani secara halus. Lamakking membujuk Barra Tobarani dan kawan-kawan agar menjadi TKI di Malaysia. Bujukan Lamakking yang merupakan orang keprcayaan pihak perkebunan akhirnya sedikit demi sedikit meluluhkan hati Barra Tobarani dan kawan-kawan. Apalagi keadaan petani di sekitar perkebunan memang sangat miskin. Maka untuk mengubah hidup mereka lebih baik menjadi TKI saja. Sesungguhnya Lamakking dan pihak perkebunan fokus merayu Barra Tobarani dan isterinya agar mau menjadi TKI di Malaysia. Menurut perhitungan Lamakking dan pihak perkebunan, kalau Barra Tobarani sudah pergi ke Malaysia maka para petani tidak ada lagi berani melawan pihak perkebunan.

            Dengan alasan untuk biaya sekolah anak-anaknya kelak, Barra Tobarani akhirnya memutuskan akan menjadi TKI di Malaysia. Ia memang berpikiran kalau tetap tinggal di kampung dengan tanah yang tak seberapa luas maka penghidupannya tidak akan berubah, kelak anak-anaknya tidak bisa bersekolah seperti halnya dirinya karena tidak ada biaya sekolah. Tetapi Barra Tobarani tetap tidak akan menjual tanahnya kepada pihak perkebunan. Ia pun meminta kepada seluruh kawan-kawannya agar jangan menjual tanah-tanah mereka. Menurutnya menjual tanah-tanah mereka maka sama saja dengan membunuh kampung mereka. Karena kelak kampung mereka akan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan milik kaum bermodal.

            Keberangkatan Barra Tobarani dan isterinya ke Sabah Malaysia diurus dan dibiayai oleh Lamakking. Selain bekerja sebagai mandor, Lamakking juga bekerja sebagai penyalur TKI ilegal ke Malaysia.

            Di saat Barra Tobarani akan berangkat ke Malaysia, ibu Barra Tobarani sakit keras. Barra Tobarani tidak mau meninggalkan ibunya yang sangat ia cintai, apalagi ia dibesarkan oleh ibunya dengan status single-parent karena ayahnya meninggal dunia semasa ia masih kecil. Lamakking ngotot agar Barra Tobarani dan Sarifah tetap berangkat ke Malaysia karena ia sudah mempersiapkan segala keperluan keduanya. Agar Lamakking tidak mengalami kerugian yang banyak, Barra Tobarani menganjurkan Sarifah tetap berangkat, ia akan menyusul kemudian setelah ibunya sembuh.

            Lamakking sangat senang dengan ide Barra Tobarani yang menganjurkan isterinya tetap berangkat. Bahkan keadaan seperti itulah sebenarnya yang sangat diinginkan oleh Lamakking. Bahkan ia sudah punya rencana tersendiri. Lamakking memang tidak pernah kehabisan akal.

            Akhirnya Sarifah dan kawan-kawan tiba di Malaysia atas jasa Lamakking. Rombongan Sarifah dan kawan-kawan ditempatkan di daerah sangat terpencil di kawasan Sabah, Malaysia. Rombongan Sarifah dan kawan-kawan hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga mereka di kampung halaman dengan perantaraan Lamakking dan orang-orang kepercayaannya.

            Sementara Barra Tobarani di Bulukumba semakin berduka cita, ibu yang sangat dicintainya meninggal dunia. Dan berita yang paling membuat Barra Tobarani kemudian semakin berduka adalah berita yang dibawa oleh Lamakking dari Malaysia bahwa Sarifah, isterinya, di Malaysia diculik dan kemungkinannya sudah meninggal dunia karena ia sudah mencarinya tetapi Sarifah tidak ditemukan. Barra Tobarani pun tidak sanggup berangkat ke Malaysia untuk mencari isterinya karena ia tidak punya biaya, apalagi Lamakking memang berusaha keras agar Barra Tobarani tidak perlu berangkat ke Malaysia karena hanya membuang-buang uang saja. Lebih baik Barra Tobarani mendoakan saja almarhumah isterinya. Bahkan Lamakking berjanji akan membantu menyekolahkan anak-anak Barra Tobarani dan Sarifah. Hal itu dilakukan Lamakking sebagai penebus kesalahannya. Karena gara-gara dirinyalah yang ngotot sehingga Sarifah berangkat ke Malaysia tanpa kepergian suaminya.

            Barra Tobarani mengiyakan maksud baik Lamakking, bahkan ia berterima kasih pada Lamakking yang mau membiayai sekolah anak-anaknya. Sama sekali Barra Tobarani tidak curiga dengan niat jahat Lamakking. Karena sesungguhnya ia hanya berbohong kalau Sarifah sudah meninggal dunia.

            Lamakking memang diam-diam menyusun rencana busuk untuk mendapatkan kembali Sarifah. Melalui orang-orang kepercayaannya, Lamakking menculik Sarifah dengan diam-diam. Sarifah sebenarnya diambil baik-baik. Kala itu Sarifah berada seorang diri di barak TKI, saat itu Sarifah tidak bekerja karena kurang sehat. Saat itulah orang kepercayaan Lamakking datang memberitahukan kabar pada Sarifah bahwa Barra Tobarani meninggal di kampung. Orang tersebut bermaksud menjemput Sarifah untuk segera pulang ke Indonesia. Sarifah akan dijemput oleh Lamakking di Nunukan lalu bersama-sama pulang ke Bulukumba. Sarifah saat itu sangat sedih dan kaget, ia langsung pulang tanpa sempat memberitahu rekan-rekannya sesama TKI/TKW.

            Setiba di Nunukan, Sarifah bertemu dengan Lamakking. Sarifah lalu meminta Lamakking untuk segera mengantarnya pulang ke Bulukumba. Lamakking yang memang sangat mencintai Sarifah mulai menancapkan kuku-kuku rayuannya. Lamakking membujuknya agar tidak perlu pulang ke Bulukumba karena Barra Tobarani sudah dua minggu dikuburkan. Lamakking pun berjanji akan membiayai sekolah anak-anaknya di kampung. Di saat itu pula Lamakking mengungkapkan perasaannya bahwa ia sangat mencintai Sarifah dan akan menikahinya. Meski Sarifah terus menolak, Lamakking tidak pernah kehabisan akal. Akhirnya Sarifah takluk dengan segala rayuan dan janji Lamakking. Sarifah berpikir untuk apa menolak lamaran dan cinta Lamakking, apalagi ia hanyalah seorang janda. Bahkan jauh dalam relung hatinya, Sarifah sangat bangga mendapatkan cinta Lamakking. Lamakking memang sangat mencintai Sarifah hingga ia rela menjadi bujang lapuk. Dan yang paling membuat Sarifah tak mampu menampik cinta Lamakking karena Lamakking memang sudah menjadi idola gadis-gadis dan perempuan sesamanya TKW. Lamakking adalah pemuda, walau cukup berumur, tapi tetap nampak ganteng serupa Rano Karno. Lamakking pun sudah menjadi kaya.

            Lamakking pun menikahi Sarifah, lalu membawa Sarifah tinggal di Bontang. Lamakking membangunkan rumah mewah untuk isterinya. Sarifah hidup bahagia bersama dengan Lamakking. Di mata Sarifah, Lamakking benar-benar pria bertanggung jawab. Karena sudah silau dengan harta dan benda pula, Sarifah kadang menyesal mengapa bukan sejak dulu ia menikah dengan Lamakking. Tapi Sarifah juga tidak mau menyesali karena menikah dengan sosok lelaki macam Barra Tobarani. Meski dibenaknya suaminya sudah meninggal dunia, ia tetap mencintai suaminya. 

Sejak menikahi Sarifah dan tinggal di Bontang, Lamakking hanya sebulan sekali pulang ke Indonesia atau pergi ke Malaysia. Untuk bisnis penyalur TKI illegal, Lamakking menggunakan orang-orang dekatnya.
            Ketika pulang ke Bulukumba, Lamakking yang sudah tidak menjadi mandor lagi di perkebunan mulai berbalik arah mendukung perjuangan petani dibawah LSM Tobarani yang dipimpin oleh Barra Tobarani. Bahkan Lamakking memberikan bantuan finansial kepada LSM Tobarani yang dipimpin oleh Barra Tobarani. Lamakking yang dulu menjadi musuh para petani berubah menjadi pahlawan. Barra Tobarani pun mulai kagum dengan Lamakking.

            Atas dukungan moral dan finansial dari Lamakking, Barra Tobarani dan kawan-kawan semakin berani melawan pihak perkebunan. Bahkan Barra Tobarani membuat target untuk merebut kembali tanah mereka yang sudah terlanjur direbut oleh pihak perkebunan. Pada suatu hari, Barra Tobarani dan kawan-kawan menjalankan aksinya untuk mengambil tanah mereka yang sudah dicaplok oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan dengan dibantu oleh aparat keamanan mencoba menghalau para petani. Barra Tobarani dan kawan-kawan melakukan perlawanan. Dalam peristiwa itu, akhirnya Barra Tobarani dan temannya Sallasa Tomacca meninggal dunia karena terkena peluru tajam oleh aparat keamanan. Meski sangat bersedih atas kejadian itu, diam-diam Lamakking tersenyum karena Barra Tobarani yang sudah lama ia isukan meninggal dunia, bahkan ia sudah rebut isterinya akhirnya benar-benar meninggal dunia. Namun Lamakking tetap melanjutkan aktingnya, ia terus memprakarsai dan menuntut bahwa kasus meninggalnya Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca adalah pelanggaran HAM berat.

            Waktu terus berjalan. Sementara itu, Haji Hamide, yang dulunya juga adalah penyalur TKI ilegal yang akhirnya memilih profesi lain karena tidak bisa bersaing dengan Lamakking. Haji Hamide mencoba berdagang antar pulau bahkan antar negara. Ia bolak-balik antara Bulukumba – Pare-Pare – Nunukan – Sabah. Anak-anak Haji Hamide yang sudah menikah tinggal di tempat yang berbeda-beda. Bahkan seorang putrinya yang bersuamikan dengan pemuda dari pulau Jawa tinggal di Bontang. Dari anak dan menantunya, Haji Hamide mendengar kabar bahwa Lamakking sudah menikah dengan seorang perempuan cantik. 

            Pada suatu ketika Haji Hamide mengunjungi anaknya di Bontang. Dan betapa terkejutnya Haji Hamide karena ternyata isteri Lamakking adalah Sarifah. Isteri dari almarhum Barra Tobarani. Namun ada yang janggal dibenak Haji Hamide, karena Barra Tobarani meninggal dunia baru setahun silam, padahal menurut pengakuan Sarifah ia menikah dengan Lamakking sejak lima tahun silam setelah suaminya meninggal dunia.

            Pada saat perjumpaan Haji Hamide dan Sarifah, Lamakking sedang berada di Malaysia mengurusi bisnis penyaluran TKI ilegal. Sarifah pun tidak bisa menahan kesedihan dan kekagetannya atas segala peristiwa yang menimpanya. Dan yang paling menusuk-nusuk ulu hatinya karena ternyata ia dinikahi oleh Lamakking ketika suaminya masih segar bugar di Bulukumba. Sarifah pun menghembuskan nafas terakhir karena tak sanggup menahan derita dan kesedihannya. Lamakking hadir di saat pemakaman isterinya. Ia pun teramat sedih. Pada pertemuan itu, Haji Hamide mencoba menghindar dari Lamakking. Lamakking mengira Haji Hamide masih tidak suka pada dirinya yang dulu saingannya dalam bisnis penyaluran TKI. Lamakking tidak sadar bahwa sesungguhnya Haji Hamide tidak suka pada dirinya karena ulahnya yang telah menikahi isteri orang. Tapi Haji Hamide tidak mau berurusan panjang, apalagi Barra Tobarani dan Sarifah sudah meninggal dunia. Haji Hamide tidak bermaksud membuka rahasia jahat Lamakking. Hanya saja Haji Hamide ingin mengultimatum Lamakking agar bertanggung jawab dengan nasib anak-anak almarhum Barra Tobarani dan almarhumah Sarifah.