Jumat, 29 Agustus 2014

Menyelisik Ruang-ruang Kecemasan Tiga Orang Penulis


Tiga Orang Penulis

Saya selalu memosisikan diri, bila membaca sebuah buku atau tulisan, maka seumpama saya memasuki sebuah rumah. Tentu saja, saya adalah seorang tamu. Dan, kata-kata, frase, pun kalimat adalah suguhan dari sang empunya rumah. Manis, pahit, amis, kecut, sesungguhnya hanyalah rasa saja. Dan selalu saja, soal rasa hanyalah soal selera. Aha! Siapalah yang bisa memaksakan selera orang sama. Dan siapalah yang mau berdosa memastikan, manis itu obat, dan pahit itu racun.

Setelah bertamu ke ruang-ruang narasi ketiga penulis muda ini, segala rasa membuncah, lalu meluah. Luahan-luahan rasa itu menumpuk pada sebuah ruang. Itulah ruang-ruang kecemasan. Ruang yang di dalamnya terdiri dari bilik-bilik yang berbeda. Itulah bilik interpretasi. Dan, tentu saja, kesuksesan awal tulisan-tulisan dalam buku ini adalah mampu menghadirkan ruang-ruang kecemasan.

Tapi, tentu saja, membaca ruang-ruang kecemasan dalam sebuah karya sastra bukanlah sebuah keniscayaan bagi seorang pembaca. Bukankah, soal rasa hanyalah soal selera saja. Tapi rasa, sebagaimana halnya dengan kata, juga butuh harmonisasi. Manalah kopi enak diteguk kalau terasa teh, dan dimana pula letak enaknya kalau teh beraroma kopi.

 Ya! Bolehlah kita bersilang rasa soal selera, tapi yang jelasnya, ruang-ruang kecemasan dalam karya sastra bukan hanya harus ditafsirkan sebagai sebuah kegalauan pengarang atas dunia atau realitas yang dihadapinya, tetapi juga merupakan sebuah dunia hiper-real yang berusaha dibangunnya.

Bagi seorang pengarang, dunia kecemasan merupakan salah satu hal yang urgen yang harus disajikan dalam karya-karyanya. Dalam ruang-ruang kecemasan ini, seorang pengarang berusaha membangun dunianya sendiri, minimal mereka berusaha menghadirkan ketidak-setujuannya atau penentangannya terhadap realitas yang berserakan di masyarakat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya. Sebab dari dunia kecemasan inilah, manusia akan selalu dapat mengintrospeksi diri. Dan itu berhasil dilakukan oleh ketiga penulis dalam buku ini. Dunia hiper-real yang dibangun oleh Damang Averroes Al-Kharizmi terlihat sebangun dengan dunia hiper-real Andi Paramata Anum, dunia hitam-putih. Sedikit agak lain, Irhyl R Makkatutu membangun dunia hiper-realnya dengan warna abu-abu, sebuah warna yang sebenarnya manipulatif, tak hitam tak putih. Ya, Irhyl R Makkatutu lebih memilih berteriak lembut daripada Damang Averroes Al-Khawarismi dan Andi Paramata Anum. Tapi ini juga soal selera, bukankah kata-kata yang ‘direndahkan’ belum tentu bermakna lembut, dan siapalah yang berani mengklaim bahwa suara yang ‘ditinggikan’ selalu saja kasar.

Dalam banyak hal, pertentangan nilai yang dialami oleh pengarang kadang memunculkan dunia-dunia baru yang diyakininya sebagai dunia yang berisi nilai-nilai baik yang seharusnya dijalankan oleh setiap individu. Dalam dunia-dunia baru ini seorang pengarang menyajikan nilai-nilai yang diyakininya. Dunia makna dikelola berdasarkan nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan seorang pengarang pada pembaca. Tentu saja, dari bilik-bilik kecemasan yang sunyi, Andi Paramata Anum, Damang Averroes Al-Khawarismi, dan Irhyl R Makkatutu berteriak dan berbisik menyuguhkan nilai-nilai yang diyakininya.

Bilik-bilik Kesunyian Andi Paramata Anum
            Meski berdiri di bilik-bilik kesunyian, Andi Paramata Anum tetap berteriak dalam kisah-kisahnya. Lihatlah penggalan dalam cerita “Derita Ragita”:

Rembulan, bintang, purnama tak habisnya kata mewakili kiasan indah untuk diselami. Terkadang itu hanya perwakilan yang tak berujung kebaikan. Ada yang meremehkan dengan buah bibir begitu busuk untuk dinikahi, ada yang menyanjung namun begitu jorok untuk diselami. Lalu setelah itu, semuanya akan diperhadapkan pada masalah-masalah yang hakekatnya akan merasa terpatih dengan rekayasa yang disajikan. Aku tak ingin menyampur ragaku dengan mereka, biarlah mereka yang jalani. Aku punya jalanku. Aku belajar memahami jalanku. Jalan yang nantinya menjadi petunjuk setelah aku menemui luka dan kerinduan.

            Teriakan lain Andi Paramata Anum dari bilik-bilik kesunyiannya, yang sesungguhnya adalah sebuah tangisan terekam dalam kisah “Sisa Mimpi Semalam”:

Aku menoleh pada teriknya malam, rasanya itu nyata, tapi sesaat aku sadar, apa ini halusinasi bagiku ataukah nyata dalam hidupku. Baru kali ini aku melihat teriknya malam, padahal biasanya malam membias rembulan yang begitu indah. Mengapa saat ini terasa begitu penat, ngeri juga galau bagiku. Ah, kuingkari apa yang kurasa. Rasanya aku berlari ke dalam dunia mimpi. Mimpi yang tak mengembalikanku pada kenyataan. Aku memang bahagia, ya bahagia, tapi bukan dalam ketidakpastian dengan keraguan hidupku.

Ada dua hal yang unik dalam kisah-kisah Andi Paramata Anum dalam buku ini. Pertama, ruang-ruang kegelisahan yang dibangunnya adalah sebuah dunia multi-tafsir atas realiatas yang dihadapinya dari kacamata seorang perempuan. Kedua, dari “kacamata” seorang perempuan, Andi Paramata Anum kadangkala dengan mata “sembab” mengusung potongan-potongan kegelisahannya dengan cara menggedor-gedor bahkan menghentakkan palu godam secara “brutal” sehingga pembaca tersentak dan terkepung kengerian.

Batu-batu Kesedihan Irhyl R Makkatutu
            Ketimbang berteriak dalam ruang-ruang kecemasan yang sunyi, Irhyl R Makkatutu lebih memilih benyanyi riang di atas alam yang tak mengenal batas. Lihatlah kutipan penggalan kisah “Madah Gelombang”:

Riuh gelombang menghampir di telinga. Seorang lelaki duduk di hadapan gelombang laut. Menikmati sepoi. Mengecuplah kenangan yang malu-malu menampakkan dirinya. Di ujuang lazuardi sana, matahari mengintip tajam ke arah lelaki itu. Warna yang dilahirkan mengagumkan merah dan kuning. Kedua warna tersebut menyatu, menyempurnakan dirinya jadi jingga yang eksotik; Jingga.

            Dalam kisah “Kelopak Rindu”, dengan lihai Irhyl R Makkatutu mendedahkan kisahnya:
Seorang gadis duduk melamun memegang dagunya. Pandangannya lurus ke barat. Cemberut dan kecewa terlukis di wajahnya. Sebuah batu kecil berwarna putih digenggamannya, sesekali jemarinya mempermainkan benda itu dan tatapannya menyapu semua sisinya. “Kapan batu jodoh ini berubah jadi pertemuan?”

            Dalam semua bangunan kisah-kisahnya, terlihat Irhyl R Makkatutu berdiri di atas batu-batu kepedihan sampi berdendang lirih. Tetapi di akhir kisah-kisahnya, serupa Kahlil Gibran, Irhyl R Makkatutu seolah berbisik, “Semakin dalam sang duka menggoreskan luka dalam sukma, semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia.”

Jejak-jejak Kerinduan Damang Averroes Al-Kharismi
            Dalam jejak kisah-kisahnya, Damang Averroes Al-Kharismi seumpama adalah seorang pejalan kaki. Ia adalah seorang pengelana yang mencoba menapaki kembali jalan-jalan yang dilaluinya. Lihatlah salah satu jejak kerinduan itu, dalam penggalan kisah “Hujan Airmata”:

Dusun Batuleppa telah membawaku pada kedewasaan berpikir. Membawa pada usia yang menjadi senja. Seakan uban ketuaan menjadi petanda. Tidakkah kampung ini menjadi saksi. Bahwa, ia jauh lebih tua dibanding para penghuni yang tiap hari lalu-lalang. Setiap udara pagi yang terbuka. Diramaikan oleh mereka yang turun dari bukit Banyira menjajakan buah langsat dan rambutan di pasar Lancibung. Telah menjadi pemandangan dan ocehan dari para pedagang eceran untuk memanipulasi harga dalam mencari keuntungan pasar.

            Jejak kerinduan lain Damang Averroes Al-Kharismi yang mendedah airmata terekam dalam kisah “Memori Kematian”:
Tak lupa untuk ayahku yang ada di pemakaman. Di kampung. Punya kenangan jelak dengan kematian. Di sini aku benar-benar merasakan yang namanya kepedihan dan rasa sakit saat orang kesayangan kita telah pergi. Engkau memang telah pergi bertahun-tahun. Tapi kadang aku masih diingatkan dengan dirimu. Kematian.

            Meski berjalan di atas jalan-jalan berdebu, terlihat Damang Averroes Al-Khawarismi terlihat tidak gamang. Bahkan ia berteriak, “Jalan-jalan yang berdebu ini telah meninggalkan jejak-jejak makna dalam hidupku.” Begitulah, air mata tidaklah selalu wakil kelemahan. Pun, air mata menetes tidak selalu mewakili kesedihan, tetapi ia mewakili rasa. Rasa bahagia yang terekam indah lewat jejak-jejak makna.
Saya merasa lega. Seumpama juga seorang pejalan kaki, saya sudah berhasil memasuki semua ruang-ruang kecemasan ketiga penulis muda ini. Dari bilik-bilik kesunyian Andi Paramata Anum, batu-batu kesedihan Irhyl R Makkatutu, hingga menyelami jejak-jejak kerinduan Damang Averroes Al-Khawarismi.

Dan, satu yang pasti. Bilik-bilik kesunyian, batu-batu kesedihan, dan jejak-jejak kerinduan, semuanya menyuguhkan menu utama: Cinta.

Akhirnya saya pun meninggalkan rumah kecemasan ketiga penulis muda berbakat ini. Saya pun bernyanyi riang. Saya harap mereka mendengarkan nyanyian saya, nyanyian yang pernah berkali-kali didendangkan oleh sosok yang sangat mengagungkan cinta, Jalaluddin Rumi. “Andai tidak ada cinta, alam menjadi tidak mempesona, kicauan burung tidak lagi merdu, panorama alam tidak lagi mengagumkan, bahkan kehidupan membeku tanpa makna.”
                                                                                    Matabubu, 27 Februari 2014


[1] Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra: Lebaran Kali ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta, 2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo (Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta, 2011), La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Yogyakarta, 2012), dan La Galigo, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut (Yogyakarta, 2012)

Tulisan ini adalah pengantar dari buku: MENETAK SUNYI

KURSI DAN INDONESIA



Oleh :Arif Saifudin Yudistira

Santri Bilik Literasi Solo
 Peminat masalah sosial dan politik
  
Pemimpin mestinya tak banyak bicara, tapi banyak bekerja.

Para Calon Anggota Legislatif (Caleg) saat ini memang lagi ramai memperebutkan “kursi.” Mereka mulai menarik simpati, mulai dari spanduk di jalan raya, sampai iklan di televisi. Wajah mereka memang hadir sehari-hari, meski tanpa visi, mereka rajin menampakkan diri. Bagi mereka, kursi adalah yang utama, meski harus keluar berapapun biayanya. Kursi adalah tempat dan tujuan mereka, sebab rakyat hanya jembatan semata.

Berfoya-foya dan main perempuan menjadi berita memalukan, meski begitu, mereka tak merasa malu dan menyesal. Anggota dewan kita memang terhormat, tapi juga pengkhianat. Mereka sibuk dengan janji dan wajah manis mereka ketika kampanye, ketika mereka jadi, mereka lupa dan sibuk dengan belanja negara. Calon wakil rakyat kita memang cerdik, mereka pandai merayu dan mengundang simpatik. Mereka rajin blusukan, meski hanya saat menjelang coblosan.

Pejabat sekarang memang identik dengan merebut “kursi.” Kursi, dahulu dimaknai dengan singgasana dan kedudukan raja, serta tempat teragung. Kini. kursi di kantor DPR kita justru kursi kosong. Banyak para anggota dewan kita justru bolos dan tak hadir rapat. Mungkin benar kata Buya Syafii Maarif, kita telah kehilangan negarawan.

Pemilu sebentar lagi, mereka saling berebut “kursi,” sikut kanan-sikut kiri, asal dapat duduk di kursi. Dari yang halal sampai yang haram, dari tebar pesona sampai obral omongan. Tiap lima tahun sekali kita seperti disuguhi gambar dan iklan, tak ada visi atau pandangan bagaimana mengubah Indonesia ke depan. Partai politik seperti tak tahu malu, tak punya kader tangguh dan bermutu. Maka, kita tak perlu heran, bila mereka hanya mengandalkan popularitas dan selebritas.

DPR memang penuh dengan akronim dan plesetan miring, dari Dewan Pengkhianat Rakyat, sampai Dewan Pemeras Rakyat. Maklum, mereka tak kerja, mau gaji tinggi, mereka tak rajin rapat maunya bonus dan insentif tinggi. Bagaimana rakyat akan percaya kata-kata mereka, bila yang dahulu-dahulu sudah banyak kasus dan contohnya.

Mulai dari anggota dewan yang ribut dan ricuh di ruangannya, sampai anggota DPR yang terlihat Closed-Circuit television (CCTV) sedang nonton video porno ketika siding. Dari kasus korupsi sampai kasus impor sapi, dari kasus dan skandal perempuan  sampai kasus terlibat sogokan. Mereka seperti tak layak disebut sebagai yang terhormat, tapi lebih tepat disebut sebagai pengkhianat. Mereka bersumpah di depan Alquran, dan kitab suci, tapi perilaku mereka seperti melupakan janjinya sendiri.
Rasanya Caleg kita memang belum memahami makna pemimpin. Pemimpin mestinya tak banyak bicara, tapi banyak bekerja. Mereka tak harus banyak bersuara, tapi banyak merenung dan banyak mendengar.

Politikus dan pejabat negeri kita kini memang seperti sajak yang ditulis WS Rendra : Semua politisi mencintai rakyat/di hari libur mereka pergi ke Amerika dan mereka berkata/bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat/kadang-kadang mereka anti demonstrasi/kadang-kadang mereka menggerakkan demonstrasi/dan kalau ada demonstran mati yang ditembaki/mereka berkata : itulah pengorbanan/yang lumrah terjadi di setiap perjuangan/lalu ia mengirim karangan bunga/dan mengucapkan pernyataan duka cita/… politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi/ sedang massa tanpa daulat pribadi…(Politisi Itu adalah).

Sajak Rendra tadi seperti menjelaskan bagaimana politikus dan pejabat negeri ini, mereka sibuk untuk mengurusi kekuasaan dan mempertahankannya daripada menjalankan dan menunaikan amanahnya. Sebagaimana puisi Rendra yang lain ia mengatakan : Meskipun hidup berbangsa perlu politik/tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal/ di dalam daulat manusia.
Sepertinya para politikus, Caleg dan pejabat kita memang sudah menaruh politik tanpa hati nurani. Sehingga, mereka tak malu untuk korupsi dan menipu diri. Justru tersenyum dan tertawa seolah-olah mereka sedang bahagia. Hal ini membuat kita semakin risih dan tak percaya pada pemimpin kita sendiri. Hal ini yang menimbulkan kita semakin apatis dan pesimis melihat negeri ini ke depan.
Kita pernah punya tokoh dan negarawan seperti Habibie. Meski penuh kontroversi, ia bekerja tanpa peduli caci maki. Ia memanggul tugas negarawan di masa persimpangan dan peralihan rezim. Tidak dimungkiri, ia adalah tokoh yang membuka keran demokrasi, meski orang sering mencibir demokrasi sekarang terlanjur seperti politik dagang sapi, loe jual gue beli! Kita memang masih berharap di tengah pesimisme dan keputusasaan.

Sudah waktunya para politikus dan partai politik berbenah. Agar masyarakat dan rakyat makin percaya pada pemimpinnya sendiri bukan sebaliknya. Kita memang sudah seperti salah kaprah dalam memilih pemimpin kita. Salah sekali, bisa lima tahun kita menyesali dan meratapi. Kita tentu tak berharap demokrasi hanya menjadi ajang perebutan “kursi.” Kita juga tak ingin demokrasi justru berujung anarki dan chaos seperti di Mesir dan negara lain. Kita ingin Pemilu ke depan menghasilkan wakil-wakil yang kompeten dan memiliki kapabilitas memimpin negeri ini. Bukan pemimpin yang rajin belanja dan wisata ke luar negeri, atau yang rajin melakukan kunjungan dan studi banding ke negara lain yang cuma menghabiskan anggaran negara dan foya-foya.

Rasanya kita perlu membuka kembali sejarah kita di masa lalu. Pemimpin kita adalah pemimpin yang tak pernah berfikir tentang ego dan apa yang menjadi kepentingan mereka. Mereka mendharmabaktikan apa yang mereka miliki untuk bangsa dan negara. Soekarno, Mohammad Hatta, Syahrir, Suwardi Suryaningrat adalah figur pemimpin dan politikus kita yang tak memiliki jiwa haus kuasa dan jabatan. Mereka tak menginginkan duduk di “kursi” kekuasaan apalagi uang.

Ketika mereka diminta untuk memimpin, mereka cenderung berbuat dengan tanggungjawab. Inilah yang ditunjukkan oleh Syahrir, ketika rakyat meminta ia untuk berhenti, maka  Syahrir pun mundur dan menyerahkan kekuasaannya kepada penggantinya tanpa ikut campur dan ikhlas. Berbeda dengan presiden, maupun calon legislatif kita, mereka justru merancang dan menyusun rencana bagaimana cara mereka maju dan menang lagi untuk ke dua kalinya.

Apa yang dialami oleh negeri kita hari ini memang mirip dengan sajak yang ditulis sastrawan makasar Dul Abdul Rahman :  

dunia memang sudah retak/ para penguasa galak-galak/ mereka tak memakai otak/ mereka begitu lihai melompat seperti katak/ memangsa apa saja dengan  congkak/ sumpah dan janji hanya disimpan di ketiak/ lalu mereka berteriak-teriak/ “Atas nama rakyat kami bertindak!”/lalu rakyat pun ikut berteriak : “Sekak!”.

Kita memang perlu memberikan “sekak’’ kepada mereka, agar mereka insaf dan lekas sadar. Para Caleg dan wajah calon pemimpin kita memang sudah bermunculan. Tapi kita masih merenung dan bimbang. Siapa sebenarnya pemimpin kita lima tahun mendatang. Indonesia memang dibentuk dan ditentukan dari siapa yang duduk di “kursi”. Kursi dalam kosmologi politik di Indonesia memang rentan dan penuh goda. Ia bisa menjerat orang yang duduk di dalamnya atau sebaliknya menjunjung tinggi dan mengangkat martabat serta kehormatannya. Semua itu tergantung pada siapa yang duduk di “kursi’ kita di masa mendatang.

Sabtu 15-03-2014

Minggu, 27 April 2014

KADAR REALISME MAGIS DALAM NOVEL PEREMPUAN POPPO KARYA DUL ABDUL RAHMAN



KADAR REALISME MAGIS DALAM NOVEL PEREMPUAN POPPO KARYA DUL ABDUL RAHMAN

(Tesis S2 Burhan Kadir, 2014. Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Abstrak
Pokok masalah  dalam penelitian ini adalah menghadirkan kembali mitos, magis dan tradisi dalam sebuah kesusastraan Indonesia modern yakni pada sebuah novel Perempuan Poppo ditengah hiruk-pikuk arus globalisasi dan paham modernitas yang semakin mewabah. Persoalan yang kemudian ditemukan pengarang menghadirkan dunia magis itu, lalu kemudian mematikannya dengan pikiran-pikiran realis dan menghadirkan pikiran-pikiran modern dengan pembacaan-pembacaan magis. Pengarang memosisikan tradisi dalam novel ini dengan oposisi modernitas serta oposisi lokalitas dan globalisasi dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Bugis-Makassar yang menjadi obyek dalam cerita novel Perempuan Poppo ini. Untuk memecahkan masalah ini digunakan cara pandang realisme magis.

Penelitian ini menggunakan teori realisme magis yang merupakan cara pandang posmodernitas untuk melihat gejala tradisi sebagai dunia magis dalam pengaruh modernitas dalam sebuah karya sastra sebagai dunia riil. Hal pertama yang dilakukan dengan teori adalah melihat kadar realisme magis dalam novel ini, pertama yakni melihat lima karakteristik realisme magis untuk menentukan kadarnya, lalu melihat relasi antar elemen itu dan menemukan fungsi struktur elemen tersebut. Selanjutnya adalah menentukan kadar realisme magis dalam novel Perempuan Poppo ini. Setelah kadar itu diidentifikasi, selanjutnya adalah melihat konteks sosial dan budaya untuk melihat keberpihakan pengarang dengan dua dunia tersebut dan ide yang coba dihadirkannya dalam novel Perempuan Poppo.

Dalam novel Perempuan Poppo ini, pengarang mengakui keberadaan dunia magis dalam dunia riil namun memisahkan dua dunia tersebut dengan posisi saling berjauhan. Pengarang beranggapan bahwa dunia magis mengganggu kehadirannya pada dunia riil. Pemisahan dunia magis dan dunia riil itu yang membuat novel ini tidak dikategorikan sebagai karya realisme magis. Harapan yang coba dihadirkan pengarang adalah masyarakat Bugis-Makassar menjadi masyarakat yang modern dan tidak terganggu akan keberadaan dunia magis.

Ringkasan Hasil Penelitian
A. Karakteristik Realisme Magis
            Langkah awal untuk melihat kadar dan mengkategorisasi sebuah karya sastra bergenre realisme magis adalah dengan menemukan elemen-elemen dari lima karakteristik yang digunakan untuk mengukur kadar karya tersebut. Faris menentukan lima karakteristik tersebut, yaitu pertama Irreducible Element atau elemen yang tidak dapat direduksi, kedua Phenomena World atau dunia yang fenomenal, ketiga Unsettling Doubt atau keragu-raguan yang menggoyahkan dan keempat Merging Realism atau penggabungan magis dan riil, serta kelima Disruption Time, Space and Identity atau gangguan atas waktu, ruang, dan identitas.

            Lima karakteristik tersebut akan digunakan untuk melihat kadar novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman, apakah termasuk dalam karya realisme magis atau bukan. Apabila kadar tersebut terpenuhi dalam lima karakteristik ini dan dinyatakan sebagai sebuah karya realisme magis, maka selanjutnya adalah apakah ada persamaan dan perbedaan antara karya-karya realisme magis yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut terungkap dalam buku Faris menyangkut tentang pengungkapan-pengungkapan unsur magis dan riil tersebut berupa; apabila sama, apa persamaannya dan apabila berbeda, apa perbedaannya.

            Apabila ternyata kadar tersebut tidak terpenuhi, misalnya magis mendominasi penceritaan atau justru riil yang mendominasi alur cerira dan atau pada kasus lain yang mungkin ditemukan dalam sebuah karya sastra disinyalir mempunyai kadar magis atau mitos seperti novel Perempuan Poppo ini. Seperti dunia magis dan dunia riil atau elemen magis dan elemen riil menjadi dua dunia terpisah jauh. Persoalan-persoalan ini nantinya mungkin akan ditemukan di dalam pembahasan lima karakteristik tersebut sebagai sebuah temuan dalam novel Perempuan Poppo. Selanjutnya adalah bagaimana melihat karakteristik itu bekerja dalam novel ini. (Catatan: dalam intisari tulisan ini, hanya akan dipaparkan salah satu contoh Irreducible Element sebagai contoh saja).

Bunyi Magis
            Hal pertama yang akan diidentifikasi dari pengelompokan elemen magis beradasarkan objek magis adalah kemunculan elemen magis sebagai suara atau bunyi magis. Elemen magis tersebut dapat dilihat pemunculannya dari awal cerita, yaitu pada saat tokoh bernama Lam selesai menulis dan ketika itu larut malam dan ingin berbaring.

Lam segera memejamkan mata. Tapi lamat-lamat ia mendengar suara aneh, “po…po…po…” tapi ia mencoba tidak menghiraukan bunyi itu. Di telinganya, bunyi itu memang jauh. Teramat jauh, tapi firasatnya seolah dekat. “Aneh!” gumam Lam.
(Perempuan Poppo: 16)

Ini adalah pemunculan pertama objek magis berupa bunyi atau suara magis. Bunyi tersebut merupakan bunyi dari makhluk jadi-jadian yang bernama Poppo. Penamaan mahluk jadi-jadian Poppo ini karena berdasarkan dari suara po…po…po sendiri. Narator hadir dalam adegan diatas dan menyatakan bahwa Lam mendengar suara aneh. Po…po…po, jadi secara tidak langsung narrator menyatakan bahwa suara itu aneh. Sedang Lam pada awalnya tidak memedulikan suara itu, namun akhirnya merespon juga suara itu dengan mengatakan aneh berdasar firasatnya.

Pada tindakan Lam yang mengaatakan aneh terhadap bunyi yang didengar berdasar atas firasatnya, maka bunyi tersebut memang adalah bunyi aneh, bukan bunyi yang sering didengar pada umumnya. Hal ini dikarenakan pikiran yang lahir dari sebuah firasat adalah hal yang bertentangan dengan empiris karena firasat adalah irasional bukan berdasar atas nalar atau logika dari ilmu pengetahuan empiris. Hal ini seperti perkataan narrator, di telinganya bunyi itu memang jauh, teramat jauh tapi firasatnya seolah begitu dekat, “Aneh” gumam Lam. Pada adegan cerita ini, jelas terlihat respon Lam menjadi irrasional. Hal tersebut membuat “suara aneh” diidentifikasi menjadi sebuah bunyi magis.

Namun objek magis dari elemen bunyi tersebut menjadi reducible. Pertama, karena hanya Lam dan narrator yang mendengar bunyi tersebut. Kedua, Lam dan narrator hanya menganggap bunyi magis itu sebagai bunyi aneh. Aneh adalah sebuah bentuk keraguan dari suara itu, ada ambiguitas yang dihadirkan di dalam suara aneh tersebut, apakah itu suara memang magis atau tidak. Hal demikian membuat elemen magis tersebut tidak dalam kategori irreducible.

Elemen magis dengan bunyi magis kembali terdengar di kos Padaidi. Hal ini dapaat dilihat dalam kutipan berikut:
“Po…po..po…” Malam itu sebenarnya sunyi. Tetapi bunyi itu membuat gempar penghuni kos Padaidi. Awalnya hanyalah penghuni kos bernama Saribanong yang mendengarnya. Ketika mulai bercerita, penghuni kos tidak percaya dengan Saribanong yang memang suka bercanda. Tapi Saribanong bercerita panjang lebar dengan tiada sanggup menyembunyikan ketakutannya. Memang saat itu bertepatan dengan malam Jumat yang oleh banyak orang dianggap keramat.
(Perempuan Poppo: 19-20)

Bunyi Poppo menjadi kali kedua kemunculannya dan terdengar oleh tokoh dalam cerita. Saribanong terbata-bata menceritakan apa yang didengarnya, “Be…benar. Saya…saya mendengar bunyi poppo itu sebanyak dua kali, sambil menunjuk ke arah pohon mangga dekat asrama mereka bahwa bunyi yang didengarnya berasal dari pohon mangga itu. Wajah Saribanong pucat pasi dan seperti tak mampu bernafas, sesak dan tercekak menceritakan apa yang dia dengar” (Perempuan Poppo: 20). Penggambaran detail dari narrator tentang kondisi tokoh Saribanong saat mendengar bunyi poppo tersebut semakin meyakinkan bahwa yang didengar adalah suatu bunyi magis.

Apalagi dengan terlihatnya ketakutan pada diri Saribanong saat menceritakan apa yang didengarnya kepada penghuni lain di kos Padaidi. Ketakutan tersebut menjadi sebuah respon pada elemen magis tersebut bahwa bunyi poppo memang benar sebuah bunyi magis. Artinya, suara poppo tersebut sangat dikenal oleh Saribanong. Saribanong tidak mengetahui suara itu dengan pasti darimana berasal, hingga ada perasaan ketakutan saat mendengaar bunyi itu, apalagi sampai dua kali terdengar. Narrator pun hadir dan mendengar bunyi tersebut. Hal in terlihat ketika narrator menggambarkan perasaan ketakutan Saribanong saat menceritakan bunyi Poppo tersebut pada penghuni lainnya.

Narrator seakan membuat bunyi tersebut semakin diyakini sebagai bunyi magis dengan mengatakan bunyi itu membuat gempar penghuni kos Padaidi. Artinya, bunyi itu memang menjadi sesuatu yang menakutkan. Apalagi malam itu adalah malam Jumat yang oleh banyak orang dianggap keramat. Hal ini dikemukakan oleh narrator dengan mengatakan bahwa malam jumat adalah malam keramat bagi sebagian orang. Keadaan ini semakin memperkuat identifikasi bahwa memang bunyi Poppo itu adalah bunyi magis, apalagi cerita Saribanong menjadi bukti bahwa suara itu memang suara magis, apalagi cerita Saribanong menciptakan ketakutan pada penghuni lainnya, khususnya perempuan, itu terlihat dengan respon mereka mengatakan “Seram”, “Ikhhhh”, teman-temannya yang perempuan yang mengelilinginya ikut bergidik. Mereka yakin kali ini Saribanong tidak beromong kosong” (Perempuan Poppo:20).

Objek magis tersebut adalah elemen magis yang disebabkan oleh bunyi magis, namun tidak termasuk dalam karakteristik sebagai elemen yang tidak dapat direduksi. Hal ini dikarenakan bahwa hanya tokoh Saribanong yang mendengarnya, penghuni lain dalam kos tersebut tidak ada yang mendengar bunyi itu. Hal ini meski dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa magis, namun tidak cukup meyakinkan kebenarannya pada penghuni laki-laki kos Padaidi. Mereka tidak percaya dengan adanya bunyi tersebut. Massarappi sebagai seorang petugas kesehatan, hanya mengatakan setelah mendengar cerita Saribanong, “Tidak usah takut, tidak ada poppo di kota, mungkin tadi Saribanong salah dengar.” Lalu tokoh laki-laki lainnya bernama Pawenneri mengatakan, “Mungkin suara kelelawar yang kesasar,” sambil berkacak pinggang, (Perempuan Poppo: 21)

Lam juga mengatakan, “Tidak ada poppo di kota, Poppo hanya halusinasi dari desa (Perempuan Poppo: 21). Lalu pernyataan Tenriadjeng yang mengatakan “Sudahlah teman-teman, bunyi Poppo sebenarnya hanyalah halusinasi ketakutan seseorang. Jangan diingat dan dibayangkan terus bunyi itu, karena hanya akan menciptakan ketakutan (Perempuan Poppo: 23). Pernyataan Lam, isterinya Tendriajeng serta penghuni laki-laki lainnya adalah sebuah kooptasi berdasarkan kode-kode realisme pada bunyi poppo sebagai bunyi magis. Hal demikian membuat peristiwa magis tersebut menjadi tereduksi, sehingga tidak dikategorikan sebagai Irreducible Element.

B. Kadar Realisme Magis
            Gradasi posisi dunia magis dan dunia riil dilihat sebelum menentukan kadar. Apakah posisi magis dan riil terletak ditengah-tengah dan saling mengganggu, maka novel Perempuan Poppo termasuk dalam karya realisme magis. Namun, kalau ternyata setelah melihat keseluruhan struktur ceritanya tidak demikian, maka akan terlihat dimana posisi magis dan riil, apakah berat di dunia riil atau berat di dunia magis. Barangkali pada temuan nanti hanya terdapat dunia magis dan dapat juga cerita novel ini murni realisme dunia magisnya hilang sama sekali. Untuk itu, perlu ketelitian dalam melihat gradasi unsur dunia magis dan dunia riil dari struktur narasi dalam novel Perempuan Poppo sebagai sebuah kesatuan cerita yang saling berhubungan satu sama lain.

            Di awal cerita novel Perempuan Poppo menggambarkan realitas kehidupan Lam dan isterinya, bagaimana keduanya hidup sebagai pasangan suami isteri yang bahagia dan mempunyai sepasang anak. Lam berprofesi sebagai penulis juga menjadi dosen luar biasa pada sebuah perguruan tinggi swasta. Isterinya pun sementara menyelesaikan kuliah di jurusan ilmu keperawatan di salah satu kampus kesehatan di kota Makassar. Sehari-hari, mereka membuat penganan tradisional, lalu dititipkan di penjual-penjual dekat rumah kos mereka di kawasan Tamalanrea di area Universitas Hasanuddin. Ini adalah gambaran yang digunakan pengarang untuk melukiskan kehidupan dunia riil mereka yang sangat bahagia sebagai pasangan suami istri.

            Karakter Lam diperlihatkan oleh pengarang lewat narrator menggunakan alur mundur dalam bentuk flashback memori yang dihadirkan lewat tokoh Lam. Adegan itu saat Lam melamun mengingat waktu dia datang bertemu orang tua Tenriadjeng isterinya dan melamar. Sosok Lam diperlihatkan oleh narrator sebagai sosok yang sangat percaya diri, optimistis, tekad yang kuat, dan laki-laki yang penuh semangat. Pada memori flashback tersebut, narrator mulai menunjukkan keberadaan sisi magis dalam cerita. Hal pertama adalah saat orang tua Tenriadjeng berpikir bahwa sosok Lam adalah orang yang dapat membebaskan anaknya dari jeratan mistik. Kedua, saat narrator memunculkan gejolak-gejolak dari laki-laki lain yang cemburu melihat Lam mempersunting gadis cantik anak kepala desa sebagai gadis Poppo.

            Kehadiran dunia magis itu bermula dari pemahaman yang dibangun narrator lewat orang tua Tenriadjeng, diperkuat dengan menyebutkan profesinya sebagai kepala desa, secara tidak langsung menyebutkan bahwa di desa tersebut masih percaya akan adanya hal-hal mistik. Lalu hal mistik itu disebutkan secara eksplisit “Poppo” seseorang yang menganut ilmu hitam hingga dapat berubah wujud menjadi makhluk jadi-jadian dalam kepercayaan Bugis-Makassar. Kepercayaan ini ada yang hanya sebatas mitos, seperti Lam, Poppo hanya dianggap sebagai mitos untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak berkeliaran malam-malam. Ada juga masyarakat yang percaya bahwa Poppo ini ada yang nyata, inilah yang menjadi oposisi antara magis dan riil dalam segi kepercayaan masyarakat pada dunia riil.

            Salah satu wacana yang coba dibangun dalam alur cerita novel Perempuan Poppo adalah pandangan modernisme, Lam menjadi orang yang mewakili orang-orang yang berpikiran empiris. Rasional sebagai pandangan yang modern, sebagai sebuah representase dari paham modernisme Lam tidak percaya dengaan keberadaan Poppo, hanya sebagai sebuah mitos. Dari rangkaian pemunculan objek magis di sekitarnya, Lam tidak percaya bahkan membuat kooptasi dengan kode-kode realitas atas kehadiran elemen magi situ, meski terlihat Lam menggunakan dongeng dalam memberikan pembelajaran hidup untuk anak-anaknya dan berbicara tentang budaya local sebagai kekuatan untuk melawan arus globalisasi yang semakin membuat budaya dan pengetahuan local tergerus, bahkan dalam tulisannya pun Lam menjadikan tema budaya sebagai spesialisasinya.

            Faktor lain yang mempertentangkan modernitas dengan tradisi adalah usahanya untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kebudayaan yang ada sebelumnya yang sudah berhegemonik. Dalam hal ini, modernitas menyatakan diri sebagai kekuatan cultural yang reflektif, yang bekerja atas daya nalar, daya kognisi, atas dasar kesadaran, bukan daya emosi atau perasaan yang bersifat naluriah, intuitif, tak sadar. Hal ini sebagai sebuah gerakan kebudayaan baru. Modernitas berusaha terus menerus membangun kemampuan reflektif manusia sehingga pada gilirannya dapat menyadari operasi kebudayaan tradisional dan akhirnya melakukan kritis atas kebudayaan tersebut (Faruk, 2011: 18).

            Terlihat narrator membuat sebuah dinamika dalam diri Lam, Lam sebagai orang yang berpandangan modern, empiris, namun juga melawan globalisasi dengan kekuatan lokalitas. Wacana oposisi selanjutnya yang dihadirkan adalah global versus lokalitas, sebagai manusia yang berpikiran modern namun menggunakan pengetahuan-pengetahuan local untuk melawan globalisasi, tetapi tidak percaya dengan mitos-mitos adalah sosok Lam yang digambarkan pengarang lewat novel. Lam hanya mempercayai mitos sebagai sebuah alat untuk menyampaikan ajaran budi pekerti orang tua dulu, begitu juga dengan dongeng-dongeng yang setiap malam dijadikan pengantar tidur untuk anak-anaknya.

            Kehidupan manusia, dan dengan sendirinya hubungan antarmanusia dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri. Mitos menyebabkan untuk disukai atau dibenci. Mitos akan menyebabkan suatu prasangka tertentu terhadap sesuatu yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan diri dengan hal tertentu, dapat diketahuinya kebenaran atau kesalahan dari mitos tersebut. Persentuhan tersebut mungkin dapat memperkuat mitos itu atau mungkin juga dapat meniadakannya (Junus, 1981: 84).

            Polemik tentang magis dan riil, mitos dan empirisme mulai terlihat setelah Lam mendengar suara Poppo, namun narrator hanya menyebutkan suara itu sebagai suara aneh. Lam sebenarnya yang mendengar suara itu pertama kali, namun Lam hanya menganggapnya sebagai suara yang aneh karena Lam memang tidak percaya kalau Poppo itu nyata keberadaannya. Berbeda dengan Saribanong, suara itu membuatnya ketakutan bahkan setelah menceritakan apa yang didengarnya pada teman-teman sesama penghuni asrama maka semua menjadi ketakutan. Hal ini adalah bentuk respon bahwa Poppo dipercayai bukan sekedar mitos atau dongeng semata, Poppo dipercayai keberadaannya, meskipun belum melihatnya secara langsung dengan hanya mendengar diri orang lain bahwa itu suara Poppo.

            Kejelasan akan hal itu semakin terlihat setelah mereka menceritakan tentang bagaimana Poppo berdasarkan pengalaman di kampungnya masing-masing. Tokoh bernama Saribanong misalnya, Halimah, dan Hasnah yang paham betul bagaimana Poppo ittu, meski pengetahuan itu hanya didapatkan dari cerita orang tua maupun kakeknya waktu masih tinggal di kampung, tetapi Lam mengatakan kepada mereka semua, bahwa Poppo hanya ada di desa, Poppo tidak ada di kota, meski yang dikatakan Lam ini hanya untuk membuat teman-temannya tidak ketakutan dengan cerita Saribanong, namun secara tidak langsung Lam membuat sebuah oposisi tentang desa dan kota. Desa adalah tempat mitos dan hal yang menakutkan tersebut sedangkan kota adalah tempat dunia modern dan yang baik-baik.

            Seperti kata Junus dalam bukunya mitos dan komunikasi, mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduk. Ketakutan atau keberanian terhadap sesuatunya ditentukan oleh mitos-mitos yang hidup. Banyak hal yang sukar dipercayai berlakunya, tapi berlaku hanya karena penganutnya begitu memercayai sebuah mitos. Ketakutan pun akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan suatu mitos, bukan karena ketakutan akan keadaan yang sebenarnya. Karena itu segala peraturan dalam kehidupan kita biasanya diterangkan dengan suatu alasan mitos. Dengan kekuatan mitos yang ada padanya, peraturan itu diharapkan akan dapat begitu mencekam kehidupan, sehingga masyarakat takut untuk melanggarnya. Kehadiran suatu mitos merupakan kemestian terutama pada hal-hal abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang ambiguous (1981: 93-94).

            Apa yang dikatakan Lam itu semakin terlihat bagaimana dilema Lam sendiri dalam dirinya, dengan mengatakan hal seperti itu seperti mengingkari apa yang diperjuangkan selama ini. Kekuatan pengetahuan local untuk melawan arus globalisasi. Padahal pengetahuan local hanya bisa didapatkan dalam kehidupan pedesaan, muncul dan bersemi dari kehidupan yang masih murni tanpa pengaruh dunia perkotaan yang modern dan mulai kehilangan identitasnya sebagai seorang manusia yang menjunjung tinggi adat dan adab. Lam memosisikan dirinya sebagai orang-orang kota yang empiris dan memang tidak percaya akan mitos-mitos.

            Dalam cerita ini pengarang menggunakan latar pegunungan, tempat yang magis dan mitos itu tersimpan dan berada. Ini ada anggapan bahwa mistik itu berada sangat jauh dari kota. Dunia kampus juga banyak menjadi latar kejadian dan tokoh-tokoh cerita juga banyak mahasiswa, sepertinya pengarang memiliki alasan tersendiri menghadirkan dua dunia yang saling bertentangan. Hal ini adalah sebuah pandangan bahwa dunia kampus sebagai tempat yang sangat menjunjung tinggi empirisme, melahirkan agen-agen empiris, yaitu mahasiswa. Kehadiran magis dianggap sebagai pengganggu kenyamanan hidup. Hal itu terlihat bagaimana ketakutan dan tidak tenang menjalani hari-hari, meski mereka percaya akan keberaadaan dunia magis itu, namun hanya dianggap sebagai pengganggu, seperti terlihat dari beberapa adegan dalam karakteristik di atas.

            Hanya tiga orang mahasiswa dari beberapa penghuni di asrama Padaidi yang percaya akan keberadaan Poppo, yaitu Saribanong, Halimah, dan Hasnah, namun tetap menjadikan objek magis itu sebagai hal yang menakutkan dan mengganggu kehidupan mereka. Mereka yang lainnya mengkooptasi setiap pemunculan magis itu, sebagai seorang mahasiswa yang empiris dan berpikiran modern atas logika dan yang diperhadapkan kepadanya harus terbukti secara empiris dan rasional. Mereka menjadi manusia modern yang melupakan akar budayanya dan tidak memercayai mitos-mitos sebagai pengetahuan local mereka yang sarat akan ajaran-ajaran moral dan pengetahuan yang melampaui zamannya.

            Hal tersebut terbukti dari beberapa kejadian yang penting dalam cerita, pertama Lam sebagai manusia modern, empiris dan rasion secara sadar sesuai apa yang terlihat dengan mata kepalanya, menikahi seorang yang berparas cantik, dan baik, namun secara tidak sadar pula menikahi seorang perempuan Poppo. Isterinya adalah seorang mahasiswa tentunya juga sangat empiris, namun di dalam dirinya ada Poppo. Dia tidak menjadi empiris hanya karena alasan sebagai anak berbakti, tidak ingin melihat orang tuanya sedih, menderita, tidak lagi menjadi kepala desa, dan hidup melarat, dia rela Poppo dimasukkan dalam dirinya sebagai tumbal untuk tetap menjaga harta dan posisi orang tuanya. Padahal belum tentu itu semua terjadi bila ia menolak Poppo itu menjelma dalam dirinya.

            Persemaian rill dan magis ini dalam objek yang empiris sebagai bentuk perlawanan akan orang-orang yang berpikiran modern, orang-orang yang meninggalkan dan tidak mempercayai budaya leluhur nenek moyangnya. Hal ini seperti yang dikatakan sebelumnya kejadian munculnya elemen magis ini banyak terjadi di kampus. Ini adalah sebuah bentuk serangan ke benteng dunia empiris dan modern, seperti menceritakan makam keramat yang berada dalam kampus depan Masjid Kampus Universitas Hasanuddin. Agama bersanding dengan kepercayaan kuno masyarakat Bugis-Makassar, yang semua berjalan seiring dalam kehidupan bermasyarakat.

            Pada akhir cerita dalam novel ini, setelah Lam mempercayai bahwa Poppo bukan sekedar mitos dan dunia magis itu benar adanya, Lam terlihat menyembunyikan apa yang diketahuinya benar, meski Lam menerima kenyataan bahwa isterinya adalah seorang perempuan Poppo, tetapi Lam menyembunyikannya. Lam tidak ingin semua orang tahu bahwa Poppo itu sebenarnya adalah jelmaan isterinya. Lam mengatakan kepada teman-teman sesama penghuni asrama Padaidi bahwa sekarang sudah zaman modern, Poppo sudah tidak ada, jadi jangan saling memfitnah lagi.