Minggu, 30 Januari 2011

cerpen: REPUBLIK INDONESIANA

REPUBLIK INDONESIANA
Oleh: Dul Abdul Rahman

Ternyata kepulauan nusantara yang bernama Indonesia bukan hanya dihuni oleh bangsa manusia saja. Bahkan jauh sebelumnya, sebuah bangsa telah membangun peradaban di sana. Bukan bangsa manusia tetapi bangsa binatang. Tak tanggung-tanggung, untuk menunjukkan bahwa mereka bangsa yang beradab, mereka menamai negaranya Republik Beradab Indonesiana. Indonesiana berasal dari kata Indonesia dan fauna. Sedangkan republik berarti rakyat ber-empati pada publik dan lingkungan. Filosofinya, seluruh rakyat yang menghuni negeri itu harus saling menyayangi antar warga serta bersahabat dengan alam.
Alhasil, Republik Indonesiana menjadi negeri yang aman tenteram, makmur, bersahaja, bersahabat. Namun itu beberapa tahun silam. Kini para warga binatang resah. Silih berganti negerinya dilanda bencana. Seperti drama-drama berseri, bencana sambung-menyambung. Banjir lumpur panas, banjir bandang, gempa bumi, gelombang tsunami, kebakaran hutan. Kecelakaan transportasi darat, laut, udara pun tak kalah ganasnya.
Inilah yang sangat merisaukan bangsa binatang. Tak mau negeri mereka seperti Sodom dan Gomorrha. Maka berkumpullah para pakar dari bangsa binatang. Binatang darat diwakili oleh Kambing dan Bunglon. Binatang laut(air) diwakili oleh Buaya dan Lintah. Binatang udara diwakili oleh Kupu-kupu dan burung Beo. Dewan pakar ini dipimpin oleh Kerbau. Sudah menjadi kebiasaan di Republik Indonesiana bahwa selalu dewan kepakaran dipegang oleh binatang darat.
Sebagai wujud keprihatinan yang mendalam. Pertemuan dewan pakar bangsa binatang diadakan di kawasan Porong Sidoarjo. Menurut mereka, tragedi lumpur lapindo diakibatkan seratus persen ketamakan manusia.
“Hadirin para anggota dewan pakar bangsa binatang yang berbahagia! Kita sengaja memilih kawasan lumpur lapindo sebagai tempat sidang sebagai wujud keprihatinan kita. Ini pertemuan keprihatinan. Disini benar-benar memprihatinkan.” Kerbau yang bertubuh besar itu mulai membuka sidang.
Para anggota dewan pakar bangsa binatang terdiam beberapa jenak. Mereka sangat sedih atas segala musibah yang menimpa negerinya. Dan yang menjadi korban bukan hanya dari kaumnya saja, tapi seluruh makhluk yang menghuni nusantara.
“Baiklah hadirin. Sebelum kita membuat suatu rumusan untuk mencegah terjadinya lagi musibah di tanah air kita, sebaiknya kita terlebih dulu mengidentifikasi kesalahan-kesalahan apa saja yang terjadi di negeri ini yang bisa mengundang bencana dan kemurkaan Tuhan.”
“Kesalahan manusia.” Koor peserta sidang.
“Hadirin yang terhormat. Harap jangan melimpahkan kesalahan pada manusia sebelum ada bukti-bukti konkrit. Ingat! Kita bangsa beradab.” Kerbau mengajak rekan-rekannya bersikap bijak.
“Ketua sidang yang terhormat! Kami punya bukti-bukti bahwa manusia itu banyak berbuat dosa.” Buaya setengah berteriak diamini oleh Kambing dan Kupu-kupu.
“Manusia juga curang. Bila mereka berbuat jahat, kejahatannya atas nama bangsa binatang.” Teriak Lintah diamini oleh Bunglon. Sementara burung Beo yang agak dekat dengan manusia hanya terkekeh-kekeh.
“Kejahatan apa yang diperbuat manusia mengatasnamakan binatang?” Kerbau penasaran.
“Ketika mereka menipu, mereka bilang lintah darat.” Hadirin terbahak-bahak mendengar penuturan Lintah. Sementara Lintah hanya cemberut mengkerut dihimpit lumpur lapindo.
“Baiklah. Supaya perkaranya jelas, saya persilakan satu persatu untuk memperjelas duduk perkaranya. Pengadilan bangsa binatang memiliki asas praduga tak bersalah. Yang pertama, silakan Bung lintah!” Ketua sidang rupanya kasihan melihat Lintah yang cemberut mengkerut.
“Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah ketamakan dan kelicikan manusia. Setelah banyak menipu dengan dalih sebagai lintah darat, ketamakannya pula membuat kawasan porong berlumpur.” Suara Lintah terserak dalam kesedihan.
“Tapi bukankah lumpur adalah berkah buat Lintah.” Burung Beo menyela.
“Iya. Asalkan lumpurnya tidak beracun.” Lintah makin sedih.
“Selanjutnya saya persilakan Bung Buaya.” Ketua sidang rupanya tak mau larut dalam kesedihan yang dihembuskan oleh Lintah.
“Pokoknya saya benci pada manusia yang bermerek laki-laki. Benci…!” Buaya terlihat geram. Ekornya menampar-nampar lumpur.
“Ada apa Bung Buaya?” Kupu-kupu tak begitu senang Buaya memercik lumpur, takut kalau sayap-sayapnya yang mungil kena lumpur beracun.
“Manusia yang bermerek laki-laki itu tidak bertanggung jawab. Tidak jantan. Mereka selalu memperkosa namaku dengan sebutan buaya darat. Mereka seenakya saja mempermainkan perempuan. Kawin sana-sini tanpa peduli tanggung jawabnya sebagai suami, pun ayah.”
“Kasihan amat bangsa manusia yang bermerek perempuan.” Bunglon menyela.
“Tunggu dulu! Bangsa manusia tak perlu dikasihani. Laki-laki atau perempuan sama saja.” Kupu-kupu tidak senang dengan pernyataan Bunglon.
“Baik! Baik! Silakan dilanjutkan Bung Kupu-kupu!” Ketua sidang mencoba mengarahkan.
“Kalau Bung Buaya benci pada manusia yang bermerek laki-laki, saya sebaliknya. Saya benci merek perempuan. Mereka menjajakan dirinya di tempat-tempat pelacuran dengan menyebut dirinya sebagai kupu-kupu malam. Ih najis.” Kupu-kupu kelihatan bergidik dengan sayap berkepak-kepak.
“Wow! Menarik sekali. Bagaimana kalau Buaya bertemu dengan Kupu-kupu.” Burung Beo berkomentar bermaksud mencairkan suasana.
“Husy! Jaga mulutmu Beo!” Kompak Buaya dan Kupu-kupu memprotes.
“Maaf Bung Buaya dan Bung Kupu-kupu. Maksud saya bukan Buaya dan Kupu-kupu, tetapi lelaki buaya darat dan perempuan kupu-kupu malam.” Burung Beo membela diri.
Binatang lain tersenyum-senyum saja mendengarkan perdebatan burung Beo dengan Buaya dan Kupu-kupu. Sementara Kambing hanya terbengong-bengong. Ia memang tidak suka berbasah-basah apalagi dengan lumpur beracun. Tapi ketika ia bisa memahami maksud percakapan burung Beo, tiba-tiba ia kangen dengan betinanya yang jauh.
“Untuk mempersingkat waktu, selanjutnya saya persilakan Bung Bunglon.” Ketua sidang kembali mengarahkan sidang.
“Manusia memang selalu berkedok dengan kepalsuan dan kebohongan. Tidak bisa dipercaya. Hari ini bilang hijau. Kemarin bilang merah. Besok bilang abu-abu. Dasar manusia!” Bunglon terlihat emosi tapi ia cepat mengendalikan diri. Ia memang binatang yang gampang berubah bentuk.
“Apa maksudmu Bung Bunglon?” Lintah yang sedari tadi sangat sedih tertarik dengan cerita Bunglon.
“Begitulah manusia yang tidak punya pendirian lalu menamakan diri mereka sebagai bunglon. Saya kan berubah bentuk supaya yang berniat jahat padaku tidak mengenaliku. Saya cuma menghindar dari maut. Manusia? Mereka berubah-berubah sesuai dengan arah angin demi kekuasaan dan jabatan. Lalu, ketika mereka mendapatkan kekuasaan dan jabatan, mereka memperalat namamu Bung Lintah menjadi lintah darat.”
“Ketua sidang! Mohon dipercepat sidang, saya tak tahan dengan lumpur beracun.” Kambing menginterupsi.
“Baiklah. Selanjutnya saya persilakan burung Beo.” Kerbau kelihatan tidak begitu mahir memimpin sidang. Terkadang ia larut, bahkan hanyut terseret cerita peserta sidang.
“Manusia sangat kejam dan egois, mereka tahu bahwa burung Beo itu binatang, eh mereka malah memaksa kami berbicara dengan manusia….”
“Pantas saja nada bicaramu tadi memojokkan saya, ternyata kau dekat dengan bangsa manusia.” Buaya memotong pembicaraan burung Beo. Rupanya Buaya masih sedikit mendendam.
“Dengar dulu Buaya! Manusia itu curang. Kalau mereka berbicara dengan sesamanya, lalu salah satu dari mereka diam membisu, mereka menyebutnya mem-beo. Saya? Saya tidak pernah diam membisu kalau saya diajak berbicara sesama binatang. Dengan manusia? Pasti aku diam dong, karena saya tidak paham bahasa mereka.
“Oo…” Buaya rupanya sudah bisa memahami penjelasan burung Beo.
“Nah, kini tibalah saatnya kita mendengarkan pemaparan terakhir dari Bung Kambing.” Ternyata bukan hanya Kambing yang berharap sidang cepat selesai, Kerbau pun susah bernafas di lumpur beracun.
“Mungkin apa yang akan saya sampaikan ini adalah simpulan dari dosa-dosa manusia. Mereka mendzalimi bangsa binatang, terutama kita yang hadir disini dengan memakai nama kita sebagai tempat persembunyian kebohongan mereka. Mereka mengkambinghitamkan kita.”
“Tunggu dulu Bung Kambing, sayalah satu-satunya disini yang tidak dizalimi manusia.” Ketua sidang merasa namanya suci di mata manusia.
“Hehehe…siapa bilang Bung Kerbau. Manusia yang dulu memaksaku berbicara dengan manusia hidup serumah dengan pasangannya, padahal mereka bukan pasangan suami isteri. Lalu mereka menyebutnya kumpul kerbau (baca kumpul kebo).” Penuturan burung Beo seolah menusuk Kerbau.
Hadirin terkekeh-kekeh mendengar penuturan burung Beo. Sementara Kerbau hanya terdiam. Malu. Namun diam-diam ia membatin, “Dasar manusia!”
“Lalu hukuman apa yang kita timpakan pada manusia agar mereka jera bermaksiat? Kasihan negeri kita yang kena musibah akibat dosa-dosa manusia.” Kerbau kembali tegar mengarahkan sidang.
Hadirin terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka hendak menghukum manusia, tapi disisi lain mereka juga kasihan. Lalu burung Beo memberikan pendapatnya.
“Begini kawan-kawan! Bagaimanapun kita adalah bangsa yang beradab dan bertuhan. Olehnya itu, kita harus tunduk pada peraturan Tuhan. Kita harus tunduk dan rela dikuasai bangsa manusia. Semoga bangsa manusia juga mau tunduk pada peraturan Tuhan, serta mempergunakan akal sehatnya. Bukankah Tuhan telah memberikan banyak cobaan pada mereka dengan perantaraan kita. Penyakit tipes yang dikirim oleh Tikus. Penyakit demam berdarah yang dibiakkan oleh Nyamuk. Dan masih banyak lainnya. Termasuk yang paling menakutkan saat ini, flu burung.”
“Pendapat yang bagus dan bijak.” Kambing mengangguk-angguk sambil mengusap jenggotnya dengan kaki depan.
“Bagus! Bijak!” Koor yang lain.
“Bagus! Bagus!”

“Bagus! Bagus ceritanya Bu.”
“Ibu! Ibu! Aku mau pindah sekolah di Republik Indonesiana.”
Aku tergeragap. Tapi cepat aku menguasai keadaan. Segera kupeluk putraku tercinta. “Mengapa mau pindah sekolah di sana Nak? Bukankah sekolahmu di sini sekolah favorit, murid-muridnya hanyalah anak-anak pejabat dan pengusaha.”
“Aku ingin bersekolah di negeri beradab Bu, supaya kelak aku menjadi insan yang beradab. Lagian kalau aku sekolah di sini, aku malu diantar sama ayah.”
Aku makin tergeragap. Ternyata aku salah sangka dengan putraku. Ia begitu jauh memaknai ceritaku, padahal ia baru berumur enam tahun. Sebenarnya aku mendongeng, biar ia cepat tidur. Aku tak mau ia mengalami tekanan batin. Ia masih terlalu kecil. Ia tak boleh ikut larut dengan peristiwa yang menimpa ayahnya. Hakim memang sudah memutuskan tiga tahun penjara buat ayahnya karena kasus korupsi.

Jakarta, 2007
1. Cerpen “REPUBLIK INDONESIANA” dimuat Harian Fajar, Ahad 1 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar