Minggu, 15 Mei 2011

“MEMBONGKAR” EPISTEMOLOGI SASTRA
Oleh: dul abdul rahman

“Garis demarkasi antara sastra dan bukan sastra tidak begitu tetap dan pasti”
(Jan Van Luxemburg)

Saya terpaksa meminjam pendapat Jan Van Luxemburg sebagai “tameng” untuk memulai tulisan ini. Alasannya karena saya sadar tulisan ini pasti mendapat tanggapan pro-kontra. Pun saya takut “bongkaran” yang saya lakukan hanya kian merusak bangunan sastra itu sendiri. Tapi saya percaya setiap “bangunan”(boleh dibaca: karya sastra) akan selalu mengundang pro-kontra. Pro-kontra ini(boleh dibaca: polemik) dari sejak dulu sampai sekarang masih terjadi, maka polemik itu sendiri akhirnya mendapat legitimasi sebagai sebuah khasanah sastra. Bahkan saya yakin suatu karya yang mendapat tanggapan pro-kontra akan menjadi nilai tersendiri bagi karya sastra itu sendiri.

Sebuah “Pembongkaran” Sastra?

Entah, sesuatu yang pro-kontra selalu menarik untuk dibaca. Simaklah! Buku History of the Decline and Fall of the Roman Empire karya sejarawan ternama Inggeris, Thomas Gibbons yang awalnya tidak dianggap sebagai sebuah karya sastra akhirnya kini digolongkan sebagai sebuah karya sastra. Alasan digolongkannya buku sejarah itu ke dalam sebuah karya sastra karena bahasa yang digunakan begitu metaforis dan diksitif. Dari sini bisa muncul pertanyaan, apakah suatu berita atau sejarah yang ditulis secara sastrawi bisa digolongkan menjadi sebuah karya sastra?
Memang saat ini banyak tulisan-tulisan yang sebenarnya hanyalah sebuah laporan atau berita tetapi penulisannya dengan gaya sastrawi, Linda Christanty misalnya, dia adalah seorang cerpenis sekaligus wartawan, sehingga kadang tulisannya “ngecerpen”. Bahkan saya pernah membaca cerpen M Aan Mansyur yang berjudul Kerbau-kerbau dalam Buku John yang sebenarnya hanyalah cerita tentang kerbau yang mana cerita itu sudah diketahui oleh masyarakat umum, tetapi sebagai seorang penyair, Aan sangat piawai mengolahnya dengan kata-katanya yang khas sehingga membentuk sebuah dunia baru tapi sebenarnya dunia itu tidak sepenuhnya baru. Jadi pertanyaan selanjutnya yang muncul, apakah bahasa menjadi patokan utama sebuah karya atau tulisan bisa disebut sebuah karya sastra?

Sekarang ini pun perdebatan-perdebatan tentang layak-tidaknya sebuah karya disebut sebagai sebuah karya sastra terdengar kian santer. Laskar Pelangi misalnya, banyak pembaca(entah mereka paham atau tidah begitu paham dengan sastra) mengatakan bahwa Laskar Pelangi bukan sebuah novel(baca karya sastra). Tentang Laskar Pelangi ini bisa dibaca pada tulisan saya berjudul Benarkah Laskar Pelangi Bukan Sebuah Novel?(Fajar, 12 April 2009). Selanjutnya Ayat-Ayat Cinta juga mendapat tanggapan pro-kontra dari para pembaca(boleh juga dibaca: pengamat). Alasannya karena dalam Ayat-Ayat Cinta, pembaca hanya disuguhi nasehat-nasehat (baca: dakwah) sehingga pembaca tidak punya ruang gerak untuk berimajinatif. Bahkan novel ini pun disertai dengan buku-buku reference yang kian mengesankan bahwa memang Ayat-Ayat Cinta hanyalah sebuah buku dakwah. Pembaca yang lain yang agak “bersahabat” tetapi tetap nampak tidak “ikhlas” dengan menyebut bahwa sesungguhnya Ayat-Ayat Cinta adalah karya sastra tetapi sastra islami.

Penamaan sastra islami (yang sebenarnya lahir berdampingan dengan istilah sastra sekuler) sebenarnya kian membingunkan. Bukankah pengkotak-kotakan semacam itu hanya kian memperkeruh bangunan sastra itu sendiri? Lalu. Kalau ada istilah sastra islami yang sudah pasti “rohnya” adalah Islam, lalu sastra sekuler itu rohnya apa? Bukankah istilah “kebarat-baratan” sangat naif bila diidentikkan dengan “kekristenan?” Kalau begitu ada jugakah yang disebut sastra kristiani, sastra hindu, sastra Buddha?

Sebenarnya, bila ada “pengkotak-kotakan” istilah, apakah itu sastra islami atau sastra lainnya yang dimaksudkan sebagai sebuah identitas maka sesungguhnya bisa menjadi khazanah sastra. Namun bila pengkotakan yang dimaksudkan sebagai “pemisahan” bukan “pengklasifikasian” karena alasan-alasan tertentu misalnya urusan kualitas, maka rasa-rasanya harus ada pemikiran dan perenungan ulang.

Sebuah “Pembangunan”

Istilah “pembangunan” yang saya pakai disini tidak identik dengan kata building atau development tapi lebih identik dengan reparation atau re-building. Jadi bisa saja “bangunan” saya ini disinggahi ataupun tidak disinggahi oleh pembaca. Tapi saya berharap pembaca singgah di bangunan saya, berdiskusi dengan saya, pro-kontra itu urusan belakangan. Intinya mari membangun khazanah sastra, diskusi, polemik. Lupakan dulu politik yang penuh intrik dan munafik.

Bangunan pertama. Fiksionalitas.
Sastra bukan kenyataan, tapi sastra adalah sebuah cermin dari sebuah kenyataan. Sastra menciptakan sebuah dunia tersendiri. Itulah sebabnya Laskar Pelangi bagi sebagian orang dianggap bukan sebuah novel melainkan hanya pengalaman hidup seorang Andrea Hirata. Saya kira pembaca yang menganggap Laskar Pelangi bukan sebuah novel “terkecoh” dalam dua hal. Pertama, sesungguhnya dalam novel Laskar Pelangi meski dianggap sebagai perjalanan Andrea Hirata, tapi buku itu sudah “dimanipulasi” dengan “licik” dan menarik sehingga menjadi sebuah cerita yang utuh laiknya sebuah fiksi. Walau alur novel itu konon benar adanya tetapi sebagai sebuah fiksi maka tak bisa dihindari pembohongan data. Pembohongan disini bukan berarti memutarbalikkan fakta, tetapi mengimajiner sebuah fakta menjadi lebih menarik dan unik. Kedua, andai memang Laskar Pelangi bukan sebuah novel, tetapi dengan bahasanya yang sastrawi serta membawa muatan makna perubahan khususnya di bidang pendidikan, bukankah tetap ada peluang untuk disebut karya sastra?

Bangunan Kedua. Gaya bahasa.
Karya sastra bersifat multi-interpretif. Karena karya sastra senantiasa hadir dalam wujud yang berlapis-lapis serta beraneka ragam di dalamnya, maka tentu saja karya sastra harus memiliki kemampuan untuk menimbulkan ambiguitas lewat metafora-metafora atau gaya bahasa yang membangunnya. Inilah yang membuat buku History of the Decline and Fall of the Roman Empire dikategorikan sebagai sebuah karya sastra meski sebagian yang lain mencibirnya, khususnya dari kelompok berhaluan Amerikanis(ini hanyalah istilah saya pada sebagian orang yang begitu “setia” pada kajian Amerika)

Bangunan Ketiga. Makna.
Sebuah karya meski sudah terbangun dari bangunan pertama dan kedua di atas tapi tidak memuat muatan makna, maka karya itu akan hambar rasanya. Bahkan bisa saja disebut bukan sebuah karya sastra, atau kadar “kesastraannya” berkurang. Atau mungkin sebagian orang menyebutnya bukan sastra serius melainkan hanyalah sastra pop. Dan bukankah sastra pop juga adalah sebuah karya sastra? Ataukah hanyalah sastra picisan? Terserah pembaca yang menilai.


Dari “bahan-bahan bangunan” karya sastra diatas, maka silakan pembaca menilai mana yang layak disebut karya sastra yang baik? Saman oleh Ayu Utami yang sebagian kritikus sudah “bersekutu” mengatakannya bagus, bahkan “Fiksi Alat Kelamin” itu sudah mendapatkan penghargaan dari Mastera(Majelis Sastra Asia Tenggara) atas “jasa-jasa” Gunawan Mohamad sebagai seorang yang berpengaruh di Mastera. Ataukah novel Ayat-Ayat Cinta oleh Habuburrahman El Shirazy yang dianggap oleh sebagian orang sebagai novel dakwah, yang juga sudah mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa atas “jasa-jasa” Taufik Ismail. Ataukah Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata yang sudah membius sebagian pembaca sastra di Indonesia.

Pintu Penutup
Dari berbagai polemik yang terjadi baik dalam konteks sejarah sastra dunia, apalagi dalam konteks sejarah Indonesia, sepertinya epistemologi sastra bisa dibongkar-pasang sesuai dengan “kebutuhan”. Tapi saya kira tiga bangunan sastra yang saya kemukakan di atas tetaplah menjadi acuan. Semoga saja. (dulabdul@gmail.com)

FAJAR, 24 Mei 2009

Kamis, 12 Mei 2011

MENYELISIK JEJAK CINTA SUFISTIK
Oleh: dul abdul rahman

Ada satu catatan khusus yang perlu diingat bila membaca ataupun mambahas novel-novel “Timur Tengah”. Pada umumnya sastrawan(boleh dibaca penyair) dari kawasan Timur Tengah tak bisa melepaskan diri dari pengaruh sastra sufistik dari Rumi, Attar, Nizhami, Hafizh, Syabistari, ataupun Sa’di. Para sufi tersebut mengajarkan cinta kepada Tuhan lewat karya-karyanya dengan mencoba menghadirkan sosok Tuhan sebagai seorang Kekasih. Saya mencoba mengemukakan lima jejak benang merah yang tak pernah “kusut” dari karya para sufi tersebut.

Jejak pertama

Cinta kepada Tuhan dilukishadirkan dalam sosok Aku dan Engkau. Aku adalah pecinta, Engkau adalah yang dicinta. Hakekatnya, Aku adalah hamba, Engkau adalah Tuhan. Namun supaya Aku bisa memiliki Engkau (Tuhan), maka Engkau dihadirkan dalam bentuk rupa seperti Aku. Dan karena Aku adalah sosok laki-laki, maka Engkau dihadirkan dalam sosok perempuan. Begitulah, maka dalam novel Layla Majnun karya Nizhami, hubungan cinta antara Qais dan Layla sesungguhnya bukan hubungan cinta antara manusia dengan manusia, tetapi hubungan cinta antara manusia dengan Tuhan.

Jejak kedua

Meski sosok Tuhan “dilukishadirkan” pada sosok manusia(baca perempuan), bukan berarti sosok Tuhan “wujud” dalam sosok manusia itu sendiri. Namun manusia hanya bisa mengenal Tuhan bila manusia itu mengenal dirinya sendiri. Untuk itulah, agar manusia bisa mencintai Tuhan, maka Tuhan dihadirkan(baca disatukan) dengan manusia itu sendiri. Begitulah, buat kaum sufi cinta adalah sebuah penyatuan diri. Bila seorang hamba mencintai Tuhan maka ia harus menyatu dengan Tuhan. Makna sesungguhnya adalah menyatu dengan sifat Tuhan. Karena Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka seorang hamba bisa disebut mencintai Tuhan bilamana ia menyatukan sifat Tuhan itu dalam dirinya. Dari pemahaman inilah, maka kaum sufi sangat peduli(baca menyayangi) masyarakat, khususnya masyarakat kecil(kaum mustadh’afin). Bahkan ada sufi yang menjadi syahid ditangan penguasa Bani Umayyah, seperti yang dialami oleh Al-Hallaj. Al-Hallaj berprinsip bahwa mana mungkin seorang hamba bisa mencintai Tuhan bila hamba itu tidak mencintai dirinya sendiri. Diri seorang hamba itu adalah manusia itu sendiri. Saya “menebak asumtif”(maaf ini cuma istilah saya), sesungguhnya Al-Hallaj ingin berkata bahwa tidak sah hajinya seseorang bila ia pergi ke tanah suci tetapi “tetangganya” masih ada yang kelaparan. Untuk itulah, kaum sufi cenderung menolak formalistik-legalistik. Dalam kaitan ini buku Kang Jalal(Jalaluddin Rakhmat) Dahulukan Akhlak Daripada Ibadah adalah sebuah buku yang “sufistik” dan menarik untuk dibaca.

Jejak ketiga

Manusia bisa menyatu dengan Tuhan dalam sifatnya, bukan zatnya. Manusia adalah manusia, Tuhan adalah Tuhan. Tuhan bukan manusia, manusia bukan Tuhan, pun manusia bukan malaikat. Untuk itulah, kiranya manusia hanya bisa “nyaman” bersama dengan manusia itu sendiri, bukan bersama dengan Malaikat, apalagi bersama dengan Tuhan. Inilah alasannya mengapa nabi-nabi yang diutus oleh Tuhan untuk membimbing manusia adalah dari kaum manusia itu sendiri. Rumi pun menggambarkan konsep ini lewat suatu karyanya berjudul “Bayi Di Atas Atap”. Suatu ketika seorang bayi memanjat tangga dan berada di atap rumah, tentu saja sang ibu sangat panik karena anaknya bisa saja terjatuh. Sang ibu pun berusaha naik ke atap untuk mengambil anaknya turun, tapi ketika ibu itu mendekat, si bayi mengira ibunya mengajaknya bermain, sehingga merangkak cepat makin ke pinggir. Sang ibu pun panik dan berteriak memanggil bayinya, diteriaki malah bayi itu menangis, sang ibupun kian panik. Dalam keadaan penuh bahaya ini datanglah Imam Ali, sang ibu pun meminta tolong pada Imam Ali. Imam Ali pun berkata, “Jangan buang-buang waktu, kalau kau mau menyelamatkan nyawa putramu, maka naikkan lagi putramu yang lainnya.” Ibu itupun kian kalut dengan nasehat Imam Ali, menaikkan lagi putranya sama dengan mencarikan kematian lagi putranya. Tapi ibu itu tak sanggup menolak usul Imam Ali karena Sang Imam adalah orang termasyhur dan sangat bijaksana. Dan Tak lama kemudian, si bayi yang asyik bermain di pinggiran atap merangkak mendekat ketika ia melihat abangnya. Begitulah, Rumi menjelaskan bahwa karena cintan-Nya pada manusia, Tuhan mengirim seorang utusan(nabi) dari kaum manusia itu sendiri, dimana manusia sering bemain-main dipinggir atap yang bahaya(baca dekat jurang dosa).

Jejak keempat

Dalam karya-karya sufistik, tak pernah terjadi pengkhianatan(boleh dibaca perselingkuhan) dalam cinta. Karena buat para sufi, cinta adalah sebuah totalitas dari sebuah penghambaan seorang pecinta pada yang dicintainya. Cinta tidak pernah terbagi, sebab ia bukan sesuatu yang immaterial. Dan kalau pun “terbagi”, maka cinta tak akan pernah berkurang. Ia akan tetap menjadi sebuah cinta yang utuh, meski harus “terbagi” hingga titik kepuasan tertinggi membaginya. Begitulah, hubungan cinta antara Qais dan Laila, atau Yusuf dan Sulaikha tak pernah “berkurang” padahal dalam novel itu hubungan cinta mereka tetap diterpa badai Tsunami yang dahsyat.

Jejak kelima

Karena para sufi adalah orang yang sangat mengedepankan cinta dan kasih sayang, maka wajar bila lambang yang mereka gunakan dalam karya-karyanya umumnya adalah pengalaman erotic love(cinta-asmara) yang meluap-luap dan meletup-letup. Pengalaman antara dua manusia berlainan jenis diperguankan untuk “melukishadirkan” Tuhan. Tengoklah, cinta Qais pada Layla tidak akan pernah terjadi pada diri manusia. Menurut sastrawan Abdul Hadi WM dalam pengantar buku terjemahan Taman Para Sufistik, lambang-lambang lain yang perlu diperhatikan adalah lambang-lambang kebudayaan, karena kebanyakan para sufi berlatar belakang budaya Persia, maka pembaca pun tak pula “semena-mena” menerima kata-kata secara harfiah. Contohnya kata anggur dan kemabukan. Kata-kata ini hanyalah sekedar symbol. Seperti juga orang yang jatuh cinta akan mabuk kepayang, maka “anggur” cinta kasih pada Tuhan pun bisa sangat memabukkan.

Begitulah, dalam novel Mustafa Chamran yang ditulis oleh Habibah Ja’farian yang notabene juga adalah penulis Persia(Iran) mengandung muatan makna yang tak bisa lepas dari “jejak-jejak cinta” dari para sastra klasik-sufistik yang kharismatik dan puitik.

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam kisah tersebut, diantaranya adalah:

Pertama. Yang membuat novel itu sangat menarik karena settingnya adalah peperangan(Libanon Selatan dan Iran). Peperangan yang notabene adalah sebuah setting yang menyakitkan(bisa dibaca kematian) tetapi dihadirkan menjadi sebuah keindahan. Mustafa Chamran dan Ghadeh yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut adalah dua sosok yang saling mencintai dengan sepenuh ikhlas dan ridho. Simaklah pesan terakhir Mustafa Chamran pada isterinya, Ghadeh, sebelum ia syahid, “Engkau memerlukan cinta yang lebih besar dariku, yaitu cinta Allah. Engkau harus mencapai kesempurnaan yang menjadikanmu tak merasa puas, kecuali Allah dan cinta-Nya. Sekarang aku akan pergi dengan tenang.”(Mustafa Chamran, hal 89).

Kedua. Meski Mustafa dan Ghadeh saling mencintai, dan keduanya bisa saja menikah, tetapi Mustafa lebih memaknai bahwa cinta bukanlah sebuah ego yang hanya dimakanai bahwa cinta harus memiliki lalu membuat orang lain terluka. Simaklah pernyataan Mustafa kepada Ghadeh ketika cinta mereka awalnya tak direstui oleh orang tua Ghadeh, “Berusahalah dengan cinta dan kasih sayang membuat mereka ridha! Aku tak suka, sementara aku menikah denganmu, hati ayah dan ibumu terluka.”(Mustafa Chamran, hal 22).

Ketiga. Kisah percintaan antara Mustafa dan Ghadeh disamping digambarkan secara sufistik, pun secara romantik dan puitik. Simaklah surat terakhir Mustafa pada Ghadeh sebelum ia syahid, “Aku berada di Iran, tapi hatiku bersamamu di Selatan, di yayasan, dan di kota Shur. Bersamamu aku merasakan berteriak, bahkan terbakar. Bersamamu aku berlari di bawah hujan bom dan mesiu. Bersamamu aku merasa sedang pergi menuju kematian, kesyahidan, menuju perjumpaan dengan Ilahi, membawa kemuliaan.”

Begitulah sekelumit makna yang harum semerbak yang bisa saya tangkap dari novel tersebut. Mungkin saja pembaca yang lain akan menangkap makna yang berbeda. Karena memang karya sastra senantiasa hadir dengan wujud yang berlapis-lapis dan beraneka ragam tafsir. Karya sastra adalah polyinterpretable. (dulabdul@gmail.com)

FAJAR, 14 Maret 2010

Senin, 09 Mei 2011

SASTRA TIDAK PERNAH BERBOHONG!
Oleh: dul abdul rahman

Sepertinya sudah menjadi kesepakatan umum bahwa ada dua jenis karya tulis, yaitu karya fiksi dan karya non-fiksi. Kedua kosa kata ini masih bisa dimodifikasi dengan memindahkan kata non, sehingga fiksi dibaca non-ilmiah, non-fiksi dibaca ilmiah. Selanjutnya muncul penafsiran-penafsiran ‘ala kadarnya’. Fiksi atau non-ilmiah adalah tulisan yang berdasarkan hayalan, misalnya novel atau cerpen. Non-fiksi atau ilmiah adalah tulisan yang berdasarkan kenyataan, misalnya laporan penelitian, penulisan sejarah, dan lain sebagainya.

Selanjutnya muncul lagi penafsiran ‘asal-asalan’, fiksi atau non-ilmiah atau hayalan adalah kebohongan. Mungkin karena terhasut dari penafsiran ala kadarnya dan penafsiran asal-asalan itulah, maka banyak penulis sastra(baca novel) yang juga mungkin mempunyai penafsiran ala kadarnya tentang fiksi yang terjung menulis novel(baca sastra?) terpaksa berteriak-teriak: “Novel ini terinspirasi dari kisah nyata”. Teriakan-teriakan tersebut didengar oleh umumnya pembaca di Indonesia yang sebenarnya tidak peduli apakah membaca fiksi atau non-fiksi, yang penting buat mereka karya itu bisa menginspirasi. Maka larislah Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara. Dan tentu saja lahirlah karya-karya sejenis walau nasibnya tidak sebaik kedua novel laris tersebut. Sekali lagi persoalan nasib.

Sastra dan Kenyataan
Istilah fiksi atau hayalan dalam dunia sastra bukan sekedar hayalan belaka. Kata hayalan sesungguhnya mengacu pada daya kreatifitas dari seorang pengarang untuk mencipta dunia baru dalam bentuk karya sastra. Dunia baru sesungguhnya adalah dunia yang bersumber dari fakta yang sudah diramu sedimikian rupa menjadi dunia tersendiri. Karena sudah tercipta menjadi dunia tersendiri atau dunia baru dalam hayalan pengarang maka muncullah banyak interpretasi dari tiap-tiap pembaca. Pembaca punya interprestasi masing-masing yang juga berlandaskan daya kreatifitas membaca.

Jadi, seyogyanya memang penulis novel(baca fiksi) tidak perlu berkoar-koar bahwa novel yang ditulisnya adalah kisa nyata. Sefiksi-fiksinya suatu karya sastra tetaplah sebuah lukisan kenyataan. Bahkan penafsiran mimetik memang menuntut agar sastra mencerminkan kenyataan. Dan sefakta-faktanya suatu karya sastra tetaplah sebuah lukisan imaginasi (kebohongan?) sang pengarang. Contoh sederhana saja, apakah semua isi novel Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara adalah seratus persen kisah nyata? Tidak bukan? Apakah semua cerita tentang pendaratan orang di planet Mars adalah kebohongan belaka? Tidak juga bukan? Cara melukiskan pendaratan di planet mars misalnya bukan dengan omong kosong belaka tetapi berdasarkan teori pengetahuan. Bukankah sebelum Neil Amstrong dan Edwin Aldrin mendarat di bulan bersama pesawat Apollo 11, sudah ada pendaratan di bulan lewat karya sastra. Jadi Science-fiction sesungguhnya adalah hayalan atau penggambaran atas serpihan-serpihan teknologi yang merupakan kenyataan, bukan? Jadi sastra bolehlah juga dikatakan serpihan-serpihan kenyataan dan bolehlah juga disebut serpihan-serpihan kebohongan. Tetapi masalah kebohongan, mari menyimak pendapat Mark Twain, “Pengalaman masing-masing individu adalah sebuah fakta bahwa kebenaran tidak sulit untuk ditiadakan dan kebohongan yang diucapkan dengan baik adalah sebuah keabadian.”

Karya Sastra, karya Tuhan?
Meski dianggap karya fiksi atau karya rekaan, tetapi mata sastra bahkan lebih tajam dari mata karya non-fiksi. Tengoklah! Yang banyak menginspirasi dan melakukan perlawanan adalah teks-teks sastra. Untuk mengetahui ketajaman teks sastra, kita bisa membaca novel karya Gabriel Garcia Marquez, Cien Anos de Soledad (1967). Novel karya peraih Nobel Sastra tahun 1982 ini bercerita tentang kepahlawanan keluarga Kolombia. Novel ini seperti menghipnotis dan menumbuhkan jiwa patriotisme bagi semua warga negara Kolombia. Novel ini benar-benar menyadarkan warga Kolombia untuk bangkit melakukan perubahan dan perjuangan. Mereka sangat yakin bahwa hanya mereka sendiri yang bisa melakukan perubahan.

Tak kalah tajamnya dengan karya Gabriel Garcia Marquez, Luis Sepulveda dalam novelnya Un viejo que leia historias de amor (1989) --telah diindonesiakan menjadi ‘Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta’-- berhasil menyadarkan masyarakat akan terjadinya penggundulan hutan tropis di belantara Amazon. Sepulveda dengan sangat cekatan membangun teks tentang desa kecil di tengah hutan Ekuador. Seorang kakek tua menyepi untuk mencari kedamaian dengan ditemani novel-novel cinta picisan. Tapi akhirnya ketenangannya terusik ketika terjadi penebangan hutan, terjadi perburuan, pengeboran minyak, ladang emas. Lalu alam pun membalas dendam lewat seekor macan kumbang. Penduduk desa terancam dan kakek tua itu tahu bahwa hanya dirinyalah yang mampu menghadapi hewan itu karena selama ini hanya dirinyalah yang mengerti keadaan hewan tersebut.

Tak kalah lebih tajamnya, bacalah teks-teks sastra Chairil Anwar dalam bentuk puisi ketika ia berteriak “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Meski kala itu Chairil sudah sakit-sakitan yang memang meninggal di usia yang masih sangat muda. Tapi Chairil sudah mengajarkan semangat hidup dalam teks sastra yang sangat luar biasa.
Sebagai contoh terakhir, mari melihat Laskar Pelangi. Sebelum novel ini muncul, nama Belitong tidak familiar bahkan terlupakan dibenak masyarakat Indonesia. Tapi setelah mengklaim diri sebagai tanah Laskar Pelangi maka orang ramai-ramai membaca, mengenal, bahkan mengunjungi daerah tersebut. Meski memang daerah itu terkenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia tapi nanti teks sastralah yang membuatnya kian terkenal.

Dengan kekuatan dan kedahsyatan teks-teks sastra tersebut, maka kalau ada istilah Suara Rakyat Suara Tuhan, maka saya pun akan mengatakan Karya Sastra, Karya Tuhan. Apakah saya terlalu berhayal atau berbohong? Hm, bukankah karya sastra juga sebagai alat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan seperti karya Gabriel Garcia Marquez yang saya contohkan di atas. Suara kebenaran, suara keadilan adalah suara Tuhan, bukan?


Tetapi sebagai catatan, ketika saya berteriak Karya Sastra Karya Tuhan, saya sama sekali tidak bermaksud berteriak bahwa bawalah ayat-ayat Tuhan dalam karya sastra. Kalau terpaksa membawa ayat-ayat Tuhan dalam karya sastra mungkin ada motif lain. Dan tentu saja butuh penjelasan lain yang panjang.

Sastra Tidak Pernah Berbohong!
Jadi sangat jelas bahwa sastra bukanlah kebohongan. Sastra juga tidak pernah berbohong. Kalau saja ada yang terlanjur mencap bahwa sastra adalah kebohongan, pendapat itu juga sah-sah saja. Mungkin saja pendapat itu adalah sebuah interpretasi dari hasil pembacaannya terhadap karya sastra. Sastra adalah polyinterpretable yang memungkinkan banyak penafsiran. Mungkin memang sastra tidak bisa terlepas dari ‘kebohongan-kebohongan’ tertentu, tapi yakinlah bahwa kebohongan-kebohongan tersebut adalah jalan untuk mengungkap kebenaran-kebenaran tertentu. Sebagaimana pesan seniman Spanyol, Pablo Picasso(1881-1973) “Seni (boleh dibaca sastra) adalah sebuah kebohongan yang menyadarkan kita akan kebenaran.” Begitulah! (dulabdul@gmail.com)

FAJAR, 15 Agustus 2010