Sabtu, 10 November 2012

CATATAN SIRTJO KOOLHOF TENTANG LA GALIGO



La Galigo sebagai cermin budaya; Beberapa catatan
Ringkasan presentasi pada Seminar I La Galigo
Masamba, 25 April 2012
Apa sebenarnya La Galigo?
Sureq Galigo, atau La Galigo, atau Bicaranna Sawérigading bukan karya sastera seperti kita biasa mendefinisikan karya sastera: Tidak ada penulis atau pengarangnya; jalur cerita cukup jelas, namun tidak tetap; perkataan tidak tetap, walau gaya bahasanya sangat konsisten; besar, atau panjangnya, tidak tetap; dan tidak pasti pengarangnya sudah tamat atau belum. Kita kenal La Galigo kebanyakan dari sejumlah naskah yang masing-masing mengandung satu, dua atau kadang-kadang tiga episode. Tidak ada naskah yang memuat cerita dari awal sampai akhir. Bahkan jumlah episode tidak diketahui. Di samping tradisi naskah (yang sebenarnya juga sangat penting aspek kelisanannya, karena dilagukan), ada juga tradsisi lisan yang dapat dianggap merupakan bagaian dari tradisi La Galigo. Dan sejak tahun 2004 teater internasional juga menjadi bagian dari tradisi tersebut.
Tahun-tahun terakhir juga terbit novel berdasarkan cerita La Galigo, antara lain dikarang oleh Idwar Anwar (diterbitkan oleh Pustaka Sawerigading Makassar) dan Dul Abdul Rahman (diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta). Dan barangkali seminar-seminar yang mengambil topik La Galigo dapat dianggap pula bagian baru dari tradisi tersebut.
Daripada dianggap satu karya sastra, mungkin lebih baik kita anggap La Galigo sebagai tradisi atau kumpulan cerita berseri. Tidak terlalu jauh berbeda dari serial TV sinetron di mana cerita juga cukup cair (fluid), tidak pasti panjangnya, dan setiap episode dapat dinikmati tanpa persis mengetahui jalur cerita utama.

Isinya?
La Galigo menceritakan awal penghunian dunia dan asal-usul manusia. Enam generasi pertama manusia yang berasal dari dewata di dunia atas, Boting Langiq, dan dunia bawah, Peretiwi, jelajahnya di dunia tengah diceritakan. Setelah enam generasi dunia kosong lagi, penghuninya kembali ke dunia atas dan dunia bawah. Generasi-generasi Batara Guru, Batara Lattuq, Sawerigading, I La Galigo, La Tenritattaq dan Apung ri Toja masing-masing diceritakan kehidupannya di dunia (dan sebagian kecil di dunia atas dan dunia bawah). Dari kehidupannya kita khusus mengetahu mengenai kehidupan social tokoh-tokoh: kelahiran, pendidikan, perkawinan dan perjuangannya. Dan semua cerita itu dibangun atas silsilah tokoh-tokoh.

Bagaimana cara transmisinya?
Transmisi cerita-cerita La Galigo kebanyakaan dalam bentuk naskah. Bagaimana cara menulis atau mengarang naskah tidak diketahui. Namun dapat kita perkirakan bahwa salah satu cara adalah sebagai ‘writing composer’ seperti dalam tradisi lisan seorang pengarang mengarang cerita berdasarkan ‘alat’, misalnya: formula, paralelisme, ulangan dan metrum. Garis besar alur cerita menjadi ‘batang’ cerita.
Selain ‘writing composer’ dapat juga dipastikan naskah dapat disalin dari naskah yang lain. Bagaimana cara iti, tidak begitu jelas. Seandainya pada umumnya salinan sangat teliti, seharusnya kita dapat jauh lebih banyak naskah yang lebih bermiripan. Tapi, justru variasi antara naskah-naskah salah satu episode sangat besar. Hal itu sesuatu yang khas untuk tradisi La Galigo: hampir tidak dapat naskah isinya pasto dikopikan dari naskah yang lain. Berarti juga tidak dapat dipastikan ada versi ‘asli’.
Di sini juga perlu dikemukakan bahwa untuk mayoritas konsumen cerita La Galigo merupakan tradisi lisan: mereka selalu mendengar seorang passureq membacakan ceritanya. Buat mereka tidak ada bdanya antara cerita yang dituliskan atau cerita yang dikarang pada saat performancenya. Sebuah naskah mengandung satu atau dua episode. Jalur cerita utama, yang memuat ‘semua’ episode tidak ada dalam bentuk tertulis.

Apa fungsi cerita?
Sebuah karya (atau koleksi karya) seperti La Galigo, selain mempunyai fungsi penghiburan dalam masyarakat ada fungsi lain pula. Manusia tidak bisa hidup tanpa cerita. Dua minggu lalu ada buku diterbitkan dengan judul: The Storytelling Animal (Binatang yang bercerita). Intinya, manusia selalu memerlukan cerita untuk mengerti dan mengertikan dunia dan lingkungannya. Setiap pengalaman diberikan tempat di dalam sebuah cerita. Dan otak kita hanya dapat memproseskan informasi (baik dari luar, maupun dari dalam) melalui cerita.
Mungkin cirri khas kemanusiaan yang paling menonjol adalah sifat social kita. Setiap orang mempunyai jaringan dan hubungan dengan ratusan orang lain. Setiap manusia harus menyesuaikan diri dengan orang lain, dan perlu mempunyai ketrampilan bergaul dan mencari jalan hidup di antara masyarakat lain yang harus berbuat begitu juga. Untuk menghadapi tantangan yang bermuncul dalam jaringan sosial manusia mempunyai bahasa. Dengan kata lain: kita punya budaya.
Robin Dunbar berpendapat bahwa kemampuan berbahasa manusia  berasal dari tantangan jaringan sosial yang meluas. Hanya dengan bahasa kita dapat memelihara hubungan sosial dengan begitu banyak orang lain. Dan menurut Dunbar fungui awal  bahasa adalah gossip: cerita atau tukara informasi mengenai orang lain di lingkungan kita. Berarti, bukan hanya gossip dalam arti sempit –menukarkan informasi negative mengenai orang di sekitar– tapi yang luas, semua informasi mengenai orang lain, mengenai hubungan antara orang lain, mengenai perbuatan oranag lain, mengenai pendapat orang lain, mengenai karakternya, dst.
Untuk bertahan di dalam lingkungan sosial dan alam tidak cukup hanya bercerita, kita memerlukan pengalaman. Dari pengalaman kita belajar dan dapat menangani sebuah situasi yang pernah sebelumnya kita alami lebih baik dan tepat. Namun, tidak mungkin kita dapat mengalami setiap situasi dalam kenyataan. Dan kadang-kadang lebih baik begitu: banyak situasi terlalu bahaya dan risikonya kita terluka atau malah mati terlalu besar.
Kita juga dapat mengalami sesuatu atau sebuah situasi melalui cerita. Dan bukan hanya melalui cerita yang benar atau nyata, tetapi juga melalui fiksi, cerita yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan tapi muncul dari imajinasi seseorang atau sekelompok orang. Pasti kita semua pernah mengalami emosi kita pada saat lagi menikmati sebuah karya fiksi, seperti film, sinetron, novel atau dongeng. Ada yang ketawa, menangis, marah, berteriak atau terharu, walaupun kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa kejadian yang membuat kita beremosi tidak nyata. Hanya fiksi. Hal sama terjadi di dalam fiksi yang paling pribadi, yaitu mimpi: kita dapat mengalami situasi apa saja, tanpa ada bahaya. Dan itu merupakan pelajaran buat situasi yang nyata.


La Galigo sebagai gossip?
Mengingat apa yang dikemukakan di atas, kita kembali ke La Galigo. Jika melihat isinya dapat dikatakan bahwa sebagian besar merupakan gossip: cerita mengenai orang dan hubungan soasilnya. Setiap episode menceritakan mengenai kehidupan social dan masalah-masalahnya. Siapa calon suami atau isteri yang paling cocok, dia sudah punya jodoh, mau kawin atau tidak, dsb? Siapa musuh, siapa dapat dipercaya, siapa teman? Malah, jarang ada deskripsi yang intinya bukan social. Tidak ada deskripsi jelas mengenai bentuk perahu atau rumah, tidak ada deskripsi pemandangan alam, atau kota, atau Negara. Kalau disebut, perkataannya pendek dan hanya terdiri dari formula-formula.
Bahwa intinya La Galigo adalah gossip dalam arti yang luas, tidak mengherankan. Setiap karya sastra atau fiksi dari seluruh sudut dunia mempunyai inti begitu: dari Ilias dan Odyssee dari Yunani Kuno, Mahabharata dan Ramayana dari India, Hikayat Hang Tuah dari daerah Melayu sampai film Bollywood dan Hallywood, sinetron dan telenovela, dan sastra pop. Tema dan motifnya universal. Kalau mau diringkaskan: cinta, perang dan penjelajahan.
Di mana-mana dan pada setiap zaman hal itu yang ternyata paling menarik untuk diceritakan. Tidak aneh, karena itu hal yang paling penting dalam kenyataan kehidupan social juga. Dari awal La Galigo pencarian isteri yang cocok untuk Batara Guru menjadi pokok cerita, kemudian perkawinannya dan kelahiran anak-anaknya. Dan itu diteruskan pada setiap generasi: pencarian isteri Batara Lattuq di Tompoq Tikkaq, Sawerigading di Cina, I La Galigo di beberapa Negara lain, dan puluhan tokoh lain.
Perang sebagai halangan dalam perjalanan hidup juga sering menjadi pokok cerita. Baik sebagai halangan dalam pencarian jodoh di mana dua pesaing harus dipastikan siapa yang mendapat jodoh, atau sebagai halangan yang harus dihadapi untuk meraih tujuan salah satu tokoh. Misalnya Sawerigading yang harus melawan tujuh musuh selama perjalanan dari Luwuq ke Cina. Salah satu musuhnya Settia Bonga, tunangannya I We Cudaiq, calon  isteri Sawerigading

La Galigo: sumber atau cermin?
Dari karya sastra yang begitu panjang, jelas kita masih bisa mengambil banyak contoh yang lain, namun tidak mungkin dalam rangka satu presentasi. Lebih baik sekarang kita bertanya apakah yang diceritakan dalam La Galigo merupakan contoh yang perlu diikuto oleh masyarakat, atau mungkin La Galigo merupakan cermin budaya pada zaman-zaman naskah ditulis? Atau, dan itu pendapat saya, La Galigo mencerminkan imajinasi masyarakat mengenai dunia nenek moyangnya yang diagungkan dan dicocokkan dengan dunia dan budaya mereka sendiri? Pada titik ini kita kembali lagi ke bentuk tradisi La Galigo. Seperti dikatakan pada awal presentasi ini, bentuk dan isi naskah dan tradidi La Galigo tidak tetap. Banyak variasi di antara naskah, dan malah kadang-kadang ada yang bertentangan. La Galigo berabad-abad lamanya bertumbuh: ada tambahan episode, ada perluasan episode tertentu (misalnya ada satu naskah di mana deskripsi kelahiran I La Galigo sepanjang 100 halaman, padahal di naskah lain jauh lebih pendek).
Salah satu episode yang mungkin baru ditambah setelah intinya La Galigo sudah terbentuk adalah episode kelahiran Sangiang Serri dan asal-usulnya padi. Ada beberapa versi yang cukup berbeda, dan sebenarnya ceritanya agak berbeda dengan cerita lain dalam La Galigo. Mungkin episode tersebut baru diciptakan setelah padi dikenal oleh masyarakat Bugis. Yang menurut saya agak aneh juga, walaupun daerah Luwuq menonjol pada awal La Galigo setahu saya sama sekali tidak disebut kapurung, makanan khas daerah itu. Berhubungan dengan makanan juga kami bisa pertanyakan apakah mungkin babi juga dihilangkan dari tradisi La Galigo setelah agama Islam masuk di Sulawesi Selatan? Kemungkinan besar masyarakat tidak mau nenek moyangnya makan barang yang haram. Sayangnya, tidak dapat dipastikan karena tidak ada lagi naskah dari zaman pra Islam.
Salah satu episode yang saya suka sebagai orang Belanda paling suka adalah mengenai asal-usul orang Belanda. Cerita ini setahu saya hanya ada dalam bentuk lisan. Sawerigading bepergian ke dunia arwah, Pammessareng, dan di situ jatuh cinta dengan In Pinrakati. Maunya membawa I Pinrakati ke dunia tengah, tapi tidak mungkin karena orang yang telah meninggal tidak bisa kembali lagi. Setelah beberapa bulan, I Pinrakati hamil. Datang waktunya Sawerigading harus kembali ke dunia tengah. I Pinrakati mengantar Sawerigading ke perbatasan dunia bawah dan dunia tengah. Pas tiba di situ dia melahirkan. Karena I Pinrakati sebenarnya sudah meninggal, kulit bayinya pucat dan matanya kayak kaca. Sawerigading ingin bawa anaknya ke dunia tengah dan setelah dia naik, orang dunia tengah tarik bayinya juga ke atas, memegang hidunynya, sampai hidungnya jadi mancung. Berarti orang Belanda juga keturunan Sawerigading.
Beberapa hal bisa kita lihat dari cerita ini. Pasti baru diciptakan setelah orang Belanda masuk di daerah Sulawesi Selatan, abad ke-17. namun mengapa justru orang Belanda? Padahal, ada juga orang Arab, Portugis, Inggeris dan lainlain yang mulai kunjungi Sulawesi pada zaman itu. Saya kira karena orang Belanda sebagai penjajah dan penguasa perannya cukup penting. Daripada dikuasai oleh orang laon dari jauh, lebih baik mengartikan posisi orang Belanda sebagai saudara yang wibawanya berasal dari sumber yang sama dengan penguasa sendiri. Ini juga sebuah contoh dari fleksibilitas tradisi La Galigo: selalu disesuaikan dengan situasi baru. Masuknya agama Islam dan intergrasinya dalam tradisi La Galigo dapat dilihat pada episode Doa-­doa I Attaweq yang ada beberapa doa dalam bahasa Arab. Episode Taggilinna Sinapatie mengandung arti cerita bagaimana zaman La Galigo berakhir dan Sawerigading ke Mekkah, lalu bawa agama Islam ke Sulawesi.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa La Galigo bukan satu tradisi yang statis dan abadi. Justru sebaliknya. Setiap generasi atau zaman dapat menyesuaikan tradisi dengan situasi yang baru, dengan zaman yang berubah. Jelas, banyak hal yang tetap sama dan tidak atau hampir tidak berubah: silsilah tokoh, masalah mencari jodoh, persaingan antara tokoh-tokoh dan sebagainya. Mungkin justru karena fleksibilitas itu La Galigo bertahan dan tumbuh begitu besar selama ratusan tahun. Apakah tradisi La Galigo juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman modern? Budaya modern bukan hanya membawa perubahan budaya dalam arti yang luas, namun juga perubahan media. Tradisi naskah tidak ada lgi, malah seringkali tulisan tangan ditinggalkan. Kebanyakan orang tidak menulis lagi, tapi langsung mengetik ceritanya di dalam computer. Untuk hiburan tidak lagi perlu ada passureq yang membacakan atau menceritakan. Sekarang bisa nonton TV, dengar radio, membaca novel, atau nonton YouTube di internet. Cerita fiksi yang begitu menarik dan penting buat manusia dan jaingan sosialnya terdapat di mana-mana. Malah setiap orang bisa ikut di dalam pengarangan fiksi melalui akun Facebook atau Twitternya.     
Tahun-tahun terakhir juga muncul sejumlah blog di internet yang topiknya La Galigo. Siapa tahu tradisi La Galigo bisa mengadaptasi juga dengan media baru, dan dilanjutkan melalui blog, Twitter, film dan/atau sinetron.

Sabtu, 03 November 2012

Epilog Buku: Jejak Dunia Yang Retak

Dul Abdul Rahman[1]

“Manusia mencela zaman
Padahal tak ada cela pada zaman selain pada diri kita
Kita kecam zaman padahal kecaman itu ada pada kita
Sekiranya zaman dapat berkata
Ia akan menggugat kita”
(Ali Ridha)

            Saya sengaja mengutip pendapat Ali Ridha, salah seorang cucu Ali bin Abi Thalib, untuk memulai tulisan epilog ini. Itu karena, selepas membaca semua tulisan dalam buku ini saya juga ikut-ikutan berteriak:
Dunia memang sudah retak,
Para penguasa galak-galak,
Mereka tak memakai otak,
Mereka begitu lihai melompat serupa katak,
Memangsa apa saja dengan congkak,
Sumpah dan janji hanya disimpan di ketiak,
Lalu mereka berteriak-teriak:
“Atas nama rakyat kami bertindak!”
Lalu rakyat pun ikut berteriak:
“Sekak!”

Kalaulah saya berteriak demikian, itu berarti saya sudah “terprovokasi” oleh tulisan-tulisan dalam buku ini. Kata “terprovokasi” bisa mencipta banyak act word, seperti demonstrasi atau inspirasi. Tentu saja buat saya sebagai penulis akan menjadi sebuah inspirasi. Contoh kecil adalah puisi atau teriakan sederhana yang saya buat di atas. Dan itulah kesuksesan awal dari kumpulan tulisan dalam buku ini: Memprovokasi.
            Tetapi tentu saja, tulisan yang baik bukan hanya sekedar menyemprotkan kata-kata emosi serupa sang suami menyemprot nyamuk dengan baygon di sebuah gang kumuh di pinggir kota metropolitan karena ingin nyaman bercinta dengan istrinya yang masih meneteki seorang bayi. Seorang penulis memang berhak menggunakan bahasa emotif. Bahasa yang bisa membuat pembaca bersimpati, berantipati, ikut marah-marah, kecewa, bahagia, dan lain-lain. Tetapi bukan berarti seorang penulis harus ‘emosi’ dalam menuliskan ide-idenya. Tujuan utama bahasa emotif yaitu untuk menyentuh kesadaran pembaca, bukan sekedar membuat pembaca marah-marah, resah, gelisah, gundah, dan gulana.
            Aristoteles menyebut tiga cara untuk memengaruhi pembaca atau pendengar, yaitu: ethos, logos, dan pathos. Dengan ethos, seorang penulis atau pembicara bisa dipercaya, mengungkapkan fakta yang sebenarnya, memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia bisa memengaruhi pembaca atau pendengar. Dengan logos, seorang penulis atau pembicara bisa meyakinkan orang lain akan kebenaran argumentasinya. Mengajak pembaca berpikir, menggunakan akal sehat dan berpikir kritis. Dengan pathos, penulis atau pembicara membujuk para pembaca atau pendengar mengikuti pendapatnya. Ali Syariati menyimpulkan teknik komunikasi ala Aristoteles dengan sebuah kalimat, “Seorang penulis atau pembicara harus mengerti bahasa kaumnya.” Tetapi Ali Syariati menambahkan, “Mengerti saja tidak cukup, tetapi harus memberi solusi.”
            Saya yang mengagumi tokoh Ali Syariati seolah-olah merasakan bisikan dari beliau, “Menulis tidak cukup dengan memprovikasi tetapi harus memberi solusi.”
Kritikus Mensonge
            Komunikasi ala Aristoteles yang disederhanakan oleh Ali Syariati rupanya sudah bisa dimengerti oleh keempat penulis dalam buku ini, walau mungkin masih terbatas pada kata memprovokasi. Dan memang saya kira keempat penulis dalam buku ini adalah “provokator” kampus. Tetapi mereka bukanlah provokator kotor. Dengan membaca tulisan-tulisan mereka, saya bisa merasakan bahwa kelima penulis muda ini jiwa-jiwa yang ingin mengikuti jejak Al-Farabi yang ingin menghidupkan ajaran Aristoteles yang rasional. Atau mereka ingin mengikuti jejak Syihabuddin Suhrawardi yang ingin menghidupkan ajaran Plato yang ideal.
Dan saya berharap kelima penulis dalam buku ini terus membuktikan “tuduhan” saya dalam tulisan-tulisan mereka selanjutnya. Karena sungguh banyak pengeritik yang akhirnya jadi itik, ikut arus dan membeo. Para pengeritik akhirnya takluk oleh sebuah adagium: Primum vivere deinde philosopari, hiduplah dahulu baru berfilsafat.
            Maka tak heran, zaman sekarang bermunculanlah kritikus-kritikus dan akademikus mensonge. Kata Mensonge berasal dari bahasa Perancis yang berarti berbohong. Kebohongan memang adalah sebuah alat yang lihai untuk mendapatkan sesuatu. Maka tak heran di kalangan masyarakat Bugis, ada istilah belle-belle fatuo, kebohongan untuk hidup. Maka ramai-ramailah orang berbohong untuk memuluskan niatnya. Dan rasa-rasanya kalau para politikus yang berbohong maka tidaklah terlalu menggelisahkan, karena mereka memang adalah pinokio-pinokio yang mabuk kekuasaan. Hidung mereka serupa karet yang bisa lentur sana sini mencium kue kekuasaan dan kekayaan.
Tetapi bagaimana kalau kaum akademisi yang menjadi kritikus mensonge? Adakah kaum akademisi yang ikut mensonge-mensongean? Entahlah! Tetapi rupanya juga para akademisi sudah terbiasa main akal-akalan untuk mencari dana penelitian, membikin-bikin proyek, bahkan dengan hidung yang semakin memanjang serupa hidung pinokio, membuat argumentasi canggih agar apa yang dikatakannya benar-benar ilmiah.
Seorang akademisi sekaligus novelis Perancis, Malcolm Bradbury, mencoba mengeritik para kaum pengeritik yang merasa sok hebat, sok suci, padahal mereka mengeritik untuk mendapatkan sesuatu. Malcolm Bradbury menulis novel berjudul Mensonge. Tokoh utama dalam novel tersebut bernama Henri Mensonge alias Henri Sang Pembohong. Novel satire tersebut menceritakan kehidupan Henri Mensonge yang seorang akademisi terkemuka. Ketika berbicara, ia lebih banyak membelakangi publik daripada berhadapan dengan publik. Ia pun sering mengutip teori-teori yang menurut seleranya sendiri untuk mendukung pendapatnya. Bahkan dengan semena-mena, ia memutarbalikkan fakta dan data untuk memuluskan niat dan idenya.
Begitulah, satire Malcolm Bradbury memang sudah menjalar dimana-mana. Dari kaum akademisi hingga politisi. Kaum pengacara apalagi. Mereka terus bernyanyi dengan irama koplo: Membela yang bayar.

Benarkah Dunia sudah Retak?
            Konon menurut Kitab Sastra La Galigo, dunia yang mula-mula tercipta adalah Dunia Atas (Dunia Langit) dan Dunia Peretiwi (Dunia Bawah). Sedangkan Dunia Tengah (Bumi) tercipta kemudian. Lalu penguasa Dunia Atas, Sang Patotoqe bermaksud mengirimkan salah seorang putranya menjadi manusia di Dunia Tengah. Setelah diadakan musyawarah dengan melibatkan para penghuni Dunia Peretiwi, maka terpilihlah putra sulung Sang Patotoqe bernama La Togeq Langiq untuk menghuni Bumi.
            La Togeq Langiq pun menjadi manusia pertama di Bumi lalu berganti nama menjadi Batara Guru. Laiknya seorang manusia, Batara Guru pun berusaha keras mengolah Bumi. Lalu Batara Guru pun beranak-pinak. Putra Batara Guru bernama Batara Lattuq memiliki putra bernama Sawerigading. Sawerigading pun memiliki putra pewaris tahta bernama I La Galigo.
            I La Galigo sebagai turunan keempat dari Batara Guru di Bumi mulai melakukan tindakan sewenang-wenang. Ia dengan semena-mena mengubah peraturan yang sudah dibuat oleh Batara Guru yang juga sudah disetujui oleh Sang Patotoqe. Tersebutlah seorang perempuan We Tenriolleq yang sudah menjadi bissu, perantara dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah. Seorang bissu haram hukumnya menikah dengan manusia. Tetapi karena I La Galigo jatuh cinta kepada kecantikan We Tenriolleq, maka I La Galigo sebagai penguasa Bumi menentang peraturan langit tersebut. I La Galigo mengemukakan banyak alasan untuk menikahi We Tenriolleq, salah satunya adalah ia merasa keturunan Sang Patotoqe yang berarti dirinya adalah manusia setengah dewa yang bisa menikah dengan siapa saja, termasuk dengan dewa sekalipun.
            I La Galigo yang maggali-gali, banyak tingkah, membuat penghuni langit meminta kepada Sang Patotoqe agar pintu Langit ditutup rapat sehingga para keturunan Sang Patotoqe di Bumi tidak seenaknya meminta bantuan kepada Langit. Saat itu memang I La Galigo dan Sawerigading begitu gampang meminta bantuan ke Langit kalau menemui kesulitan di Bumi. Saudara kembar emas Sawerigading bernama We Tenriabeng memang tinggal di Langit yang selalu membantu manusia di Bumi.
            Lalu Sang Patotoqe pun meminta kepada kedua dewata penjaga palang pintu Langit bernama I La Becociq dan I La Sualang agar menutup rapat pintu Langit hingga kiamat. Maka saat itu antara Bumi dan Langit benar-benar terpisah. Penghuni Bumi pun termasuk I La Galigo dan Sawerigading tidak bisa lagi seenaknya meminta bantuan ke Langit.
            Kini I La Galigo sudah tiada tetapi jejak-jejak I La Galigo yang semena-mena diwarisi oleh banyak penguasa di Bumi. Salah satu yang mewarisinya adalah Henri Mensonge. Tetapi dizaman edan sekarang, tidaklah sulit untuk menemukan sosok manusia I La Galigo. Wah! Susah rasanya saya melanjutkan tulisan ini karena bisa saja saya ikut-ikutan jadi kritikus mensonge-mensongean. Lebih baik saya menutup tulisan ini dengan mengutip pesan Ali bin Abi Thalib.
            Siapa yang merasa aman menghadapi zaman,
            Zaman akan menipunya.
            Siapa yang tinggi hati menghadapi zaman,
            Zaman akan merendahkannya.
            Siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman,
            Zaman akan menyelamatkannya.
           
            Wallaahu a’lamu bi al-shawaab! Kurru Sumange! Dan selamat kepada kelima penulis muda yang berusaha memaknai zaman lewat-lewat tulisan-tulisan mereka yang: Provokatif.
                                                                                    Makassar, April 2012


[1]               Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra: Lebaran Kali ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta, 2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo (Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta, 2011), La Galigo (Yogyakarta, 2012), dan Dewi Padi dan Kucing Kesayangannya (Yogyakarta, 2012)

Catatan Monda Siregar tentang LA GALIGO

       Blogwalking ke tempat sahabat, Ne, dapat kabar bahwa tanggal 17 Mei adalah Hari Buku Nasional. Maka, bertepatan juga dengan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, ingin kuceritakan sekilas buku yang baru saja kutamatkan berjudul La Galigo, 374 halaman, novel yang ditulis oleh Dul Abdul Rahman, penerbit Divapress, Januari 2012. 

      Kurasa epik La Galigo ini dapat membangkitkan percaya diri bangsa kita dengan prestasinya yang sudah mendunia. Sejatinya, La Galigo adalah kisah yang diceritakan secara lisan turun temurun di masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan sudah ada sejak abad 14, ketika masih jaman pra Islam. Barulah pada abad 19 atas permintaan B.F Matthes (1818-1908) La Galigo ditulis oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa, terdiri dari 300.000 baris, lebih panjang daripada epos Mahabharata (160.000-200.000 baris) sumber : Kata Pengantar La Galigo. Salinan ini terdiri dari 12 volume dan kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini berbentuk puisi dan ditulis dalam aksara dan bahasa Bugis kuno. UNESCO pada 2011 menganugerahkan La Galigo gelar sastra klasik warisan dunia, Memory of the World (MOW). 

      Meskipun La Galigo kurang bergema di negaranya sendiri, tetapi di dunia internasional memang sudah sangat dikenal. Banyak ilmuwan yang meriset naskah ini untuk tesisnya. Hikayat La Galigo semakin dikenal dunia internasional setelah dibuat pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson sutradara asal Amerika Serikat, pada 2004 (dari pemberitaan tentang teater inilah dulu pertama kali kudengar tentang La Galigo), tentu saja banyak dukungan seniman Indonesia, termasuk pemerannya yang berasal dari Bugis. Isi novel La Galigo bukanlah terjemahan dari manuskrip di Leiden itu, tetapi berdasarkan apa yang ditangkap oleh penulis dari dongeng turun temurun, tetapi nama tokoh masih mengikuti manuskrip kuno. Nama ini penting, karena di banyak tempat di Sulawesi atau di Malaysia tokoh di La Galigo ini punya nama berbeda. 

      Dikisahkan bumi (Sulawesi) saat itu masih tak berpenghuni. Hanya ada para dewa di Dunia Atas (Boting Langiq) dipimpin oleh Sang Patotoqe dan Dunia Bawah (Peretiwi). Untuk mengisi kekosongan di bumi diutuslah putra tertua sang Raja Dewa Dunia Atas, Batara Guru, seorang diri di bumi hingga dia bisa membuktikan diri sebagai manusia biasa. Setelah itu barulah diturunkan istana dari kahyangan beserta perlengkapannya termasuk para pengikut dan selir, menjadi kerajaan bernama Ale Luwuq. Kemudian dia menikah dengan sepupunya dari Dunia Bawah, bernama We Nyiliq Timoq. Mereka berputra mahkota Batara Lattuq yang kemudian menikah dengan sepupunya , We Datu Sengngeng dari kerajaan manurung Tompoq Tikkaq (kerajaan diturunkan dari langit). 

      Tokoh yang paling banyak dibicarakan dan diangkat ceritanya adalah putra Batara Lattuq, bernama Sawerigading. Ia jatuh cinta kepada saudara kembar yang telah dipisahkan dari bayi, seorang putri bernama We Tenriabeng. Karena patah hati, Sawerigading bersumpah meninggalkan negrinya dan tak akan kembali lagi, hanya keturunannya yang boleh kembali ke Ale Luwuq. Atas saran We Tenriabeng ia pergi mencari jodoh ke negeri Ale Cina. 

     Dalam perjalanan menembus lautan berbulan-bulan banyak dikisahkan keberaniannya menghadapi peperangan dengan rombongan kapal dari negeri lain, sampai akhirnya ia tiba di Ale Cina dan menikah dengan I We Cudaiq. Putra mereka bernama I La Galigo. Sampai di sini berakhirlah cerita novel ini. Sedangkan di versi aslinya cerita masih bersambung sampai dengan putra I La Galigo. Selain tentang mitos dewa-dewa dan seni budaya Bugis kuno, di cerita ini ada juga kisah yang mirip dengan kisah yang banyak dikenal di Jawa, yaitu tentang dewi padi, Dewi Sri. Di kisah ini sang dewi bernama Sangiang Serri, yaitu padi yang menjelma dari makam bayi putri Batara Guru. Meskipun awalnya agak susah menghafal begitu banyak nama yang asing, tetapi sangat menyenangkan bisa tahu seni budaya kuno milik bangsa kita. Semoga semakin dikenal, semakin berkibar kisah I La Galigo di negara sendiri. Sumber: mondasiregar.wordpress.com