Selasa, 14 Juni 2011

LELAKI TAK PERNAH MANDUL
Oleh: dul abdul rahman

“Lelaki tidak pernah mandul.”
Selalu begitu ucapan Basir setiap kali ia ketemu denganku. Nadanya begitu provokatif seolah memecahkan gendang kelaki-lakianku. Entah, ia bermaksud menyemangati atau menyudutkan aku. Tetapi tetap saja wajahku bersemu merah.

“Jangan tersinggung dulu Bur, kalimat itu hanya kukutip dari kakekku.”

“Lalu?”

“Ya, aku setuju saja. Lihat sendiri kan, aku berumah tangga dengan Dinny selama tujuh tahun tapi tak punya anak. Dinny selalu menuduhku mandul. Tapi setelah aku menikah lagi dengan Hesty akhirnya aku bisa punya anak.”

“Maksudmu, kau menyuruhku menceraikan isteriku lalu menikah lagi?”

“Tak perlu Bur, bisa kok poligami.” Nada Basir semakin provokatif seakan ingin memproklamirkan bahwa dirinya benar-benar pejantan tangguh.

Meski pernyataan-pernyataan Basir hanya kuanggap angin lalu. Tetapi tetap saja berarak di langit-langit akalku. Lalu menjelma hujan, membasahi hatiku, membasahi hati isteriku, membasahi kerinduan kami akan hadirnya buah hati perekat tali kasih.

“Bagaimana Bur? Lelaki boleh kok punya lebih dari satu isteri.” Basir meruntuhkan lamunanku.

“Kata siapa?”

“Kata laki-laki.”

“Kalau kata perempuan?” Sergahku.

Basir hanya tergeragap. Walau kami sesama lelaki dan bersahabat sejak masih kuliah dulu, tetapi banyak pendapatnya tentang perempuan yang aku kurang setuju. Ia memang begitu mudah meluluhkan hati perempuan. Perempuan manasih yang tidak tertarik pada Basir. Selain wajah cakep, pun harta warisannya tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.

Aku memang tidak pernah setuju dengan omongan Basir. Buaya darat yang selalu lupa daratan. Yang menganggap perempuan hanyalah tempat persinggahan yang bisa didatangi kalau rindu menggoda, dan ditinggalkan pergi begitu saja kalau rasa bosan datang menyergap. Tidak. Aku tidak akan pergi meninggalkan isteriku walau sementara, apalagi harus menceraikannya. “Bedebah Basir, buaya darat.” Umpatku dalam hati.
Tak mungkin aku menyakiti isteriku. Aku mencintainya. Teramat mencintainya. Tak sia-sia rasanya aku mengejar-ngejarnya selama dua tahun demi mendapatkan sekerat cintanya yang menurutku tidak akan basi dihembus waktu yang beraroma perselingkuhan yang saat ini makin trend.

Safitri. Isteriku tercinta. Memang cantik luar dalam. Blasteran Arab-Ambon. Meski sedikit berkulit gelap tapi manisnya melebihi madu Arab. Soal kesetiaan jangan ditanya lagi. Selama sepuluh tahun kami berumah tangga, tak pernah aku melihat mendung di wajahnya. Tak pernah aku menatap bola api di matanya. Tak pernah ada resah, apalagi keluh kesah yang menghiasi bibirnya yang selalu basah. Isteriku memang bukan sembarang perempuan. Senyumnya kembang segala bunga. Ia tetesan dari taman surga, taman dari segala harum bunga.

“Bang! Kita harus selalu bersabar ya, boleh jadi Allah belum menitipkan buah hati kepada kita berdua karena Dia masih ingin menguji kesabaran dan kesetiaan kita.” Isteriku selalu meredakan kegelisahanku dengan nadanya serupa cericit burung di pagi hari.

“Terima kasih sayang, betapa kau begitu berarti buatku.” Aku terus membelai-belai rambutnya yang semerbak. Sesekali aku menutup bibirnya dengan bibirku. Protes cecak di dinding yang ber-ck..ck..ck tak aku hiraukan. Peduli amat. Kami sudah menikah kok. Sejak menikah, memang aku tak pernah membiarkan malam berlalu tanpa bait-bait kemesraan. Aku tak pernah membiarkan pagi menyapa tanpa lakon-lakon asmaradana. Tetapi tetap saja cecak bertingkah di dinding seolah-olah bersekutu dengan Basir menertawaiku. “Payah Bur, menanam terus tiap hari, tapi tak pernah ada yang tumbuh. Dasar petani mandul.”

Yang aku kurang sependapat dengan Basir hanyalah soal perempuan saja. Meski aku sering mengutuknya karena komentar-komentarnya tentang perempuan yang terlalu menyudutkan, apalagi aku yang sangat mencintai dan menghormati sosok ibuku dan isteriku. Terkadang aku melihat komentar-komentar tersebut ada pula sisi realnya, cuma aku tetap mengedepankan sisi kesetiaan. Aku memang alumni Fakultas Sastra, sedangkan Basir alumni Fakultas Ekonomi. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Fakultas Sastra itu lebih “setia” daripada Fakultas Ekonomi.

Sebenarnya aku cukup mengagumi sosok Basir. Meski masih muda, tetapi jiwa entrepreneur-nya sungguh luar biasa. Usaha yang dikelolanya berkembang pesat. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Ia pun sosok yang sangat merakyat di mata karyawan. Dan karyawannya yang teristimewa tentu saja adalah aku. Aku adalah tangan kanan di perusahaannya. Pertemanan kami sejak kuliah tak pernah berubah. Kami tetap saja menyapa dengan nama masing-masing tanpa embel-embel kata pak, kecuali dalam pertemuan-pertemuan formal. Dan gelarnya sebagai buaya darat cap kampus yang pernah kusematkan padanya sewaktu kuliah dulu sepertinya tetap lestari. Tetapi yang kukagumi ia tak pernah macam-macam pada karyawannya. Padahal aku tahu, ia punya sekertaris yang masih muda dan cantik sekaligus primadona di kantor tersebut, namanya Indri. Aku juga mengaguminya, hanya sebatas itu.

“Begitulah aku Bur. Sejak dulu memang prinsipku begitu, ya lelaki tak pernah mandul,” Basir mulai lagi memprovokasi. Aku hanya terdiam.

“Begini Bur, supaya kau tak berpikiran macam-macam tentang kakekku, akan kujelaskan makna kalimat tersebut. Kakekku selalu mengucapkan kalimat ‘lelaki tidak pernah mandul’ hanya untuk menyemangatiku. Maksudnya kita sebagai lelaki harus terus dan terus berusaha, pantang menyerah. Laki-laki adalah tumpuan keluarga. Dan aku pikir berkat semangat dari kakekku itu pulalah aku bisa seperti sekarang ini.” Kali ini kata-kata Basir begitu bijak dan menyemangati.

“Tetapi kau selalu mengaitkan filosofi itu kepada perempuan,” ujarku seperti tidak percaya seratus persen omongan Basir.

“Apa salahnya Bur? Bukankah salah satu alasan utama menikah untuk mendapatkan keturunan? Coba bayangkan Bur, kalau nanti kau jadi kakek-kakek, siapa yang akan mengurusimu. Ponakan? Saudara? Paling-paling mereka hanya menginginkan hartamu.”

Basir beranjak pergi setelah menghunjamkan kata-katanya di dadaku. Dalam kesendirian aku hanya termangu. Terpekur. Sejurus kemudian pandanganku gelap, tetapi sekilas ada seberkas cahaya yang diam-diam memantul di dinding-dinding kalbuku. Adapula desiran angin perlahan-lahan menyejukkan batinku lalu menjelma jadi tangisan bayi yang teramat aku rindukan.

Karena aku tak mau lagi Basir terus mengaduk-aduk perasaanku dan menggerogoti kesetiaanku pada isteriku. Akhirnya aku bermufakat dengan isteriku untuk mengadopsi anak.

“Aku terserah Abang saja, aku sangat percaya dan sayang sama Abang,” ujarnya sambil memamerkan senyum simpulnya yang selalu membuat perasaanku berdesir-desir.

“Demi kau yang teramat kucinta, apapun bisa kulakukan yang penting halal.” Aku menarik dan memeluk tubuh isteriku. Cecak yang selalu bertingkah setiap aku bermesraan dengan isteriku entah kemana. Mungkin ia telah bersepakat dengan Basir untuk tidak menertawaiku lagi. Atau mungkin ia mengira aku sudah masuk dalam perangkapnya. Bah!

“Tapi Bang, aku ingin kita punya anak sepasang ya, laki dan perempuan.” Isteriku nampak bahagia sekali, seolah bayi sudah ada dalam gendongannya. Akh!
Basir begitu bersemangat ketika kuceritakan bahwa aku dan isteriku bersepakat untuk mengadopsi anak. Setiap ada permasalahan memang selalu aku terbuka padanya. Ia pun selalu terbuka padaku.

“Ok Bur, aku mengagumi kesetiaanmu pada isteri, sungguh beruntung isterimu bersuamikan denganmu.” Basir mengangguk-angguk seolah-olah apa yang kuungkapkan padanya adalah sebuah proyek besar.

“Aku sangat mencintai Safitri, Basir. Aku tak akan pernah meninggalkannya.”
Basir terus mengangguk-angguk seolah-olah ia pemenang tender dalam sebuah proyek.

“Baik…baik…Bur. Tapi ingat, tak boleh asal mengadopsi anak. Anak yang diadopsi harus ada pertalian darah denganmu.”

“Tolong aku ya Basir, yang penting aku dan isteriku bisa punya anak, walau hanya anak adopsi.”

“Baik! Jangan khawatir Bur, serahkan padaku. Aku akan mencarikan jalan terbaik.” Basir melipat map-nya seperti dana proyek sudah cair. Selanjutnya kami berdua hanya bersitatap. Lalu tersenyum. Hanya kami berdua yang bisa memaknai senyuman itu.

Bayi perempuan itu berhidung mancung. Berkulit putih. Bermata tajam. Berambut lurus. Dalam tangisnya ia tersenyum teramat ikhlas padaku.

“Bang! Anak kita cantik ya, pintar sekali abang mencari anak adopsi ya, akh aku tak akan pernah bilang lagi anak adopsi, anak kandung ya.” Isteriku terus menggendong bayi mungil itu. Laiknya seorang ibu, ia terus berkicau dan berkicau. Tak pernah kulihat sebelumnya isteriku sebahagia ini.

“Mmm…lihat Bang! Hidung dan matanya mirip sekali hidung dan mata Abang.” Isteriku mengecup kening bayi itu sambil melirikku mesra sekali.

Aku tergeragap. Namun cepat aku menguasai keadaan. Aku tersenyum. Lalu mendekat dan mencium kening isteriku. Mataku basah. Mata isteriku juga basah.
Isteriku tidak mengetahui asal-usul bayi tersebut. Menurut Basir, sebaiknya seorang ibu tidak usah mengetahui asal-usul bayi yang diadopsi, karena bisa saja rasa sayang ibu berkurang apabila mengetahui siapa sebenarnya bayi tersebut.
Anak yang ada dalam gendongan isteriku sebenarnya adalah anak dari teman sekantorku. Indri memang sudah menikah dengan seorang pria beristeri. Ia rela dijadikan isteri kedua. Sayang, takdir berkata lain. Sesaat setelah melahirkan anaknya, ia meninggal dunia. Seluruh teman-teman sekantor Indri sangat berduka cita. Dan entah, akulah yang merasa paling bersedih atas kepergiannya.

Bayi itu tumbuh sehat dan lucu. Isteriku sangat mencintainya. Terang saja aku teramat bahagia. “Abang! Sejak dulu kan aku pingin sekali punya sepasang anak.”

“Isteriku sayang, kalau aku sejak dulu ingin punya sebelas anak, satu kesebelasanlah.” Ujarku setengah menggodanya.

“Kalau begitu Abang boleh menikah lagi.” Ujar isteriku cemberut sambil membelakangiku.

“Sayangku! Aku hanya menginginkan anak dari rahimmu.”

Isteriku berbalik kearahku. Matanya berkaca-kaca. Rupanya ia terluka dengan kata-kataku yang seolah-olah menagih anak dari rahimnya. “Aku ikhlas Abang berpoligami.” Hujan semakin membadai di matanya.

Aku memeluk isteriku. “Sayangku, untuk apa aku berpoligami? Aku sudah punya isteri yang cantik dan setia, pun punya seorang anak perempuan yang cantik nan jelita.”
“Tapi bukan darah daging sendiri?”

“Sayangku, yang namanya anak tetap anak, tak perduli anak apa namanya. Hakekatnya sama, pertanggungjawaban dihadapan Allah tetap sama.”

Isteriku terus terisak di pangkuanku.”Abang adalah sosok yang sempurna buatku, aku sebenarnya tak pernah rela kalau Abang berpoligami, aku cuma ingin mengetes kesetiaan Abang.”

Sekali lagi aku tergeragap. Cepat aku menguasai keadaan. Aku terus memeluk isteriku. Aku teramat bahagia. Aku mengecup keningnya berkali-kali. Mataku basah. Lalu mataku semakin basah saja ketika aku mengecup kening putriku, aku terkenang akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, isteriku sendiri.

Kendari-Makassar, 2006

Kamis, 09 Juni 2011

KRITIKUS LUMUS
Oleh: dul abdul rahman

Aku heran dengan sikap isteriku belakangan ini. Saban pulang dari acara-acara bedah buku, ia mendedah dengan mimik resah. “Cinderamata melulu.” Akh! Apa yang salah dengan cinderamata? Ataukah isteriku sudah berubah? Aku membatin galau. Bukankah selama ini ia tahu bahwa profesiku memang sebagai kritikus, setiap pekan atau dua kali dalam satu pekan selalu saja ada acara bedah buku, dan biasanya akulah yang yang menjadi salah satu pembicara.

Ataukah isteriku sudah lupa bahwa awal perkenalan kami adalah saat pertama dari yang pertama? Tulisan kritik sastra yang pertama kali aku buat dan pertama kali dimuat di media cetak adalah telaah atas cerpen yang berjudul Isteri Pertama yang ditulis oleh Andi Cammaleng, isteriku sendiri. Kata isteriku, cerpen itu juga adalah cerpen yang pertama ia tulis sekaligus cerpen pertamanya yang dimuat oleh media cetak. Dan klopnya lagi, ia mengaku bahwa akulah cinta pertamanya. Untuk mengimbangi kemagisan cintanya, aku juga mengaku bahwa ia adalah cinta pertamaku. Sebenarnya lebih tepatnya ia perempuan yang pertama menerima cintaku. Aku tak mau mengatakan padanya bahwa sebenarnya aku sudah berkali-kali ditolak oleh perempuan. Aku khawatir poin laki-lakiku akan jatuh di matanya. Karena aku mengamati sekarang, yang bagus dan menarik itu tergantung image dan pencitraan saja. Pastilah isteriku merasa minder bila kelak bertemu dengan perempuan yang pernah menolakku lalu perempuan itu berkata, “Aha! Suami kamu itu sesungguhnya laki-laki yang sangat menyukaiku tapi aku menolaknya mentah-mentah.” Lalu mungkin isteriku berpikir “Ternyata suamiku tidak membanggakan.”

Sebenarnya, itu cuma keresahanku saja. Tapi begitulah. Sebagai kritikus aku mencoba jujur membahas sebuah karya menurut konsep yang aku pelajari dari ratusan buku-buku kritik sastra yang menghuni perpustakaan pribadiku. Terkadang ada karya sastra yang lagi best seller tapi aku menganggapnya karya yang biasa-biasa saja, pun terkadang sebaliknya, ada karya sastra hanya sekali cetak tapi aku menganggapnya bagus. Sangat berbeda dengan pendapat isteriku.

“Wah payah Papa, kok kritikus selera sastranya rendah?” Isteriku protes ketika ia baca tulisanku di sebuah koran harian tadi pagi yang memuji-muji sebuah novel yang memang dianggap novel jadah oleh sebahagian orang karena bahasanya terlalu berani menyebut alat kelamin.

“Mama! Jangan terlalu apriori dulu, novel itu sama sekali tidak membahas kelamin.”

“Papa! Novel itu ratusan kali menyebut alat kelamin kok dikatakan tidak membahas kelamin?” Protes isteriku kian menjadi-jadi. Kalimatnya kian meninggi.

“Mama! Tepatnya novel itu membela kelamin. Jadi kalau ratusan kali menyebut kelamin artinya ratusan kali membela kelamin.”

Isteriku terdiam. Mungkin ia sudah paham. Perlahan-lahan aku beranjak dari tempat tidur. Aku tafakur di meja kerjaku untuk meresensi sebuah novel yang dikirim oleh seorang penulis kemarin pagi. Isteriku masih mendengkur di kasur. Mungkin ia tertidur. Meski tadi ada sedikit perdebatan selepas bercinta di siang hari, ia tetap nampak sangat puas. Sebagai kritikus aku bukan hanya menguasai teori sastra tetapi juga teori bercinta. Bahkan teks-teks Lontara Akkalaibineang sudah aku hafal. Intinya aku ingin menjaga kebahagiaan kelaminku dan kelamin isteriku. Aku tak mau kelamin isteriku mengkhianati kelaminku hanya karena kelaminku kampungan dan tak profesional. Aku juga berjanji tak akan membiarkan kelaminku mengkhianati kelamin isteriku hanya karena sok pahlawan membela kelamin perempuan lain.

“Luar biasa novel ini. Ia menggunakan simbol kelamin untuk melawan tirani kelamin, sungguh jujur, polos, dan menggugah. Misi novel itu agar tak ada lagi pelecehan dan pengingkaran atas kelamin, tujuan yang mulia sesungguhnya, sayangnya pembaca kita banyak yang munafik dan menafikan hakikat dirinya sendiri.” Begitulah kalimat pembuka yang aku buat. Namun, belum juga novel itu selesai aku resensi, isteriku tiba-tiba berada disampingku dan sungguh teganya merampas buku itu dari tanganku.

“Papa! Buku ini juga jadah, sama seperti buku yang papa resensi kemarin.”

“Tidak sama Ma!”

“Sama, Papa. Kalau buku yang kemarin itu banyak menyebut kelamin perempuan, buku ini banyak menyebut kelamin laki-laki.” Ujarnya membolik-balik buku itu tanpa membukanya.

“Pengarangnya juga sama, Papa.”

“Berarti pengarang itu adil dong, Mama. Ia bukan hanya membela kelamin perempuan tapi juga membela kelamin laki-laki.” Kataku enteng.

“Tapi Papa tidak boleh selalu baca buku beginian”

“Mama! Karya yang bagus itu tergantung pada apa yang ingin dikatakannya, bukan perkataannya saja.”

“Maksud Papa?”

“Karya yang bagus itu punya misi yang kuat, tidak ada sekat antar golongan, tidak mencerca dan mencaci, membela kaum tertindas, memperjuangkan keadilan. Sedangkan menyebut kelamin itu hanya bahasa kejujuran saja, karena memang kelamin ya kelamin. Kelamin tak boleh dibahasakan lain, nanti perjuangannya juga lain-lain dan macam-macam. Menulis harus fokus. Tak usah neko-neko segala. Ya, tak usah munafiklah!” Jawabku seperti menjawab pertanyaan peserta acara bedah buku tadi malam.

Isteriku sebenarnya bukan tipe isteri yang suka berdebat. Ia tipe isteri yang siap menerima suami apa adanya, bukan ada apanya. Apa yang ada padaku lebih dari cukup untuk membahagiakan isteriku. Soal materi sudah lumayan cukup, meski sebagai kritikus tidak begitu menghasilkan tetapi aku laku sebagai dosen mata kuliah kesusastraan di berbagai perguruan tinggi. Soal nafkah batin. Jangan ditanya. Setiap selesai aku mainkan lakon-lakon asmaradana, isteriku selalu mengangkat dua jempol pertanda puas. “Papa memang striker haus gol.” Aku sangat bangga dengan pengakuan isteriku. Aku memang penganut total-football ala timnas Belanda, sekaligus mengadopsi permainan cantik jogo bonito ala timnas Brazil dengan gol-gol indahnya. Sekali-sekali juga aku memperagakan gaya kick and rush ala timnas Inggeris.

Yang membuat isteriku belakangan ini mulai mendebatku, karena ia ikut kelompok kajian yang notabene punya teori dan persepsi sendiri tentang bacaan yang baik. Aku memang selalu memberi kebebasan isteriku untuk beraktifitas sesuai dengan keinginannya. Yang penting buatku, ia tak melupakan kodratnya sebagai seorang isteri dan seorang ibu. Aku juga berusaha tak melupakan kodratku sebagai seorang suami dan seorang ayah. Begitulah. Hubungan kami bukan hubungan vertikal, tapi hubungan horizontal yang saling melengkapi.

Di kelompok kajian isteriku lah, aku dicap sebagai kritikus yang edan karena selalu membahas dan memuji karya-karya yang mereka anggap tidak baik. Kelompok mereka tak mau mendebatku secara terbuka, mungkin saja pengetahuan teori sastra mereka pas-pasan, maka mereka memanfaatkan jasa isteriku untuk ‘menyadarkan’ aku. Begitulah taktiknya. Mereka tak tahu bahwa sesungguhnya aku bukan tipe yang tunduk pada person, tapi tunduk pada teori dan undang-undang.

Saking ngototnya isteriku ingin supaya aku berubah ‘teori sastra’. Ia pernah keceplosan minta cerai segala. Tempo itu aku hanya tersenyum teramat indah padanya dan langsung membopongnya ke tempat tidur. Selepas bercinta, aku hanya memintanya untuk menunjukkan apa kesalahanku, kapan aku menyakitinya. Aku bahkan menciumnya berkali-kali sambil memohon maaf kalau aku pernah menyakitinya, pun kalau aku suami yang egois selama ini.

Ia hanya menangis terisak-isak dipelukanku.

“Papa tak pernah menyakitiku?”

“Hmm.”

“Papa juga bukan suami yang egois.”

“Termasuk mengizinkamu masuk anggota kelompok yang menghujat Papa?”

“Papa!” Isteriku kian membenamkan wajahnya dipelukanku. Siang itu kami melanjutkan lakon-lakon asmaradana kami. Aku terus membuktikan bahwa kesetiaan kelamin adalah kunci segalanya untuk membina keluarga bahagia mawaddah warahmah, sebagaimana isi novel yang dianggap jadah oleh kelompok isteriku.


Masih di hari Minggu siang berikutnya. Selepas bercinta ala Lontara Akkalaibineng, aku mencoba meresensi sebuah novel yang sebelumnya dianggap isteriku bagus. Meski aku berat melakukannya karena memang aku pikir novel itu terkesan dibagus-baguskan saja, tapi sebagai suami yang baik, sesekali aku harus menyenangkan pendapat dan hati isteri. Tips ini juga aku dapatkan dari novel yang dianggap jadah, suami harus berkorban demi menyenangkan perasaan isteri.

“Aku sangat suka baca novel ini, novel ini bertema cinta segitiga. Seorang perempuan rela dimadu. Konon, dengan mengizinkan suami menikah berarti sang isteri meniti jalan ke surga. Sebaliknya dengan berpoligami, suami berlatih berlaku adil.” Begitulah kalimat pembuka yang aku buat pada resensi itu. Dan asal tahu saja, baru kali ini aku membuat resensi yang susahnya minta ampun. Aku tak mampu menyelesaikannya sekali duduk. Akhirnya, aku terpaksa istirahat. Baru kali ini aku tidur siang.

Ketika bangun, aku bergegas menyelesaikan tulisan itu. Aku ingin sekali membuat isteriku teramat bahagia hari ini. Aku membaca hati-hati. Aku mengucek mataku. Mungkin aku masih dalam suasana mengantuk hingga salah baca atau salah lihat. Tapi aku benar-benar tak salah baca. Di kalimat pembuka tadi aku mendapatkan tambahan kalimat, tapi kalimat tersebut bukan pernyataan tapi kalimat pertanyaan yang sungguh menggugat, aku yakin isteriku yang menambahkannya. Kalimat tambahan itu berbunyi. “Apakah berpoligami hanyalah satu-satunya jalan buat laki-laki untuk berlaku adil? Pun, apakah dengan mengizinkan suami berpoligami adalah satu-satunya jalan bagi perempuan mendekatkan diri pada surga?”

Makassar-Jogya, 2011

Sabtu, 04 Juni 2011

DILARANG MURUNG DI BANTIMURUNG
Oleh: dul abdul rahman


“Macaca Maura dan kupu-kupu Bantimurung!”
Pekikku tertahan ketika tiba di pintu gerbang permandian alam Bantimurung. Ketika aku meninggalkan Bantimurung tujuh tahun silam di pintu gerbang tersebut hanyalah terdapat patung monyet jenis Macaca Maura. Tapi kedatanganku kali itu sebagai wartawan terasa berbeda, karena patung monyet tersebut sudah ditemani oleh kupu-kupu Bantimurung. Kupu-kupu Bantimurung itu diangkat dengan mesra oleh sang Macaca Maura.

“Semoga saja Macaca Maura dan kupu-kupu Bantimurung berjodoh.”

Aku membatin sambil melangkah memasuki kawasan Bantimurung. Setiap ayunan langkahku serupa alur cerita yang menyeretku kembali ke masa silam. Bermula ketika aku terlibat perkelahian dengan preman di Tanjung Priok di Jakarta, lalu orang tuaku yang memang asli Bugis-Makassar memindahkan aku bersekolah di SMA Negeri Bantimurung, padahal kala itu aku sedang duduk di kelas tiga. Lalu ketika bersekolah di Bantimurung, aku dimusuhi oleh dua siswa yang paling ditakuti di sekolah bernama Hendra dan Rusdi. Keduanya memusuhiku karena aku bersahabat akrab dengan seorang siswi yang tercantik di sekolah itu bernama Rani. Hendra dan Rusdi memang bersaing untuk mendapatkan Rani, namun rupanya Rani menampik cinta mereka.
Kala itu aku memang jatuh cinta pada Rani. Tapi aku tak pernah menyampaikan isi hatiku. Hingga akhirnya aku berteman baik dengan Hendra dan Rusdi. Awalnya Hendra dan Rusdi memanggil aku baik-baik sepulang sekolah. Keduanya ingin menghajarku, tetapi mereka tidak tahu bahwa aku pernah melumpuhkan preman di Jakarta. Maka dengan pencak silat baruga ala Bugis plus silat Betawi, aku berhasil melumpuhkan Hendra dan Rusdi. Sejak saat itu, aku bersahabat dengan Hendra dan Rusdi. Persahabatan kami sangatlah akrab. Aku pun mengikhlaskan keduanya bersaing secara sehat untuk menundukkan hati Rani. Saat itu aku membujuk Rani untuk menerima cinta salah satu sahabatku tersebut.

“Aku sudah punya kekasih, Patiroi,” jawab Rani saat aku menyampaikan isi hati Hendra. Aku terdiam. Tapi aku merasa beruntung karena yang kusampaikan bukanlah isi hatiku. Karena aku orang baru di Bantimurung, maka pastilah aku akan malu bila cintaku ditolak oleh Rani. Untungnya Rani tidak pernah menolak cintaku karena aku memang tidak pernah menyampaikan rasa cintaku padanya.

“Siapa nama kekasihmu, Rani?” Tanyaku.

“Pokoknya rahasia dong, tapi aku sangat menyayanginya,” jawab Rani sambil melirikku. Aku hanya terdiam sambil melempar batu ke Sungai Bantimurung.

“Apakah kamu juga sudah punya kekasih, Roi?” Tanya Rani ketika melihatku hanya terdiam.

“Iya, aku juga punya kekasih,” jawabku.

“Siapa namanya?”

“Pokoknya rahasia dong, tapi sama seperti dirimu aku juga sangat menyayanginya,” jawabku sambil menatap wajah Rani karena yang kumaksud kekasihku adalah Rani sendiri.

“Curang kamu Roi,” Rani memukul bahuku manja…

“Rani!” Batinku sambil melangkah memasuki wilayah permandian alam Bantimurung. Aku berdecak kagum. Keindahan Bantimurung masih seperti tujuh tahun silam. Aku menikmati kembali indahnya puncak-puncak batu karst yang nampak serupa raksasa yang tersenyum. Senyum pepohonan yang menghijau yang tumbuh menggelantung ataupun menempel pada dinding-dinding batu karst.

Lalu pandanganku tertuju ke arah dinding batu karst di bagian sebelah kiri. Tiga atau empat pepohonan tumbuh dengan batang menyembul keluar. Batang-batang yang menyembul itu serupa pinggul barisan perempuan-perempuan seksi Bugis-Makassar yang sedang menari pakkarena.

Aku terus memandangi gunung-gunung batu karst yang indah. Aku merasakan sebuah kedamaian yang menyeruak dalam kalbuku. Inilah lukisan alam, lukisan Sang Maha Pencipta yang teramat indah. Di Jakarta tak akan ada tempat seindah dan sealami seperti ini. Gumamku. Di Jakarta aku hanya bisa memandangi gedung-gedung pencakar langit yang terkadang pongah dan serakah. Bahkan di musim penghujan dan di saat Kota Jakarta terkepung banjir, gedung-gedung tinggi tersebut seolah mencibir dan menertawai kawasan kumuh yang banjir di sekitarnya.

Aku terus berjalan sambil menatap pohon-pohon yang tumbuh menempel pada dinding-dinding batu karst. Halimun tipis masih setia bergelantungan pada dinding-dinding gunung batu karst yang mengapit kawasan permandian alam Bantimurung.

“Seksinya!” Ucapku tertahan melihat titik-titik air yang menetes dari stalaktit yang menjulur dari langit-langit gua di sisi kiri jalan masuk permandian alam Bantimurung. Jejeran stalaktit yang meneteskan air tersebut serupa pula jejeran pangeran-pangeran Bantimurung yang sedang berlomba membuang air kecil. Aku singgah sejenak untuk merasakan sejuknya air yang menetes dari stalaktit-stalaktit yang indah. Aku semakin kagum tatkala melihat jejeran stalagmit yang menggigil kedinginan di lantai gua karena dikencingi dengan semena-mena oleh pangeran-pangeran stalaktit yang nakal.

Lalu aku keluar dari jejeran stalaktit dan stalagmit. Aku menuju sebuah rumah mungil. Di gerbang itu tertera papan nama: Penangkaran Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Di tempat itulah tujuh tahun silam aku selalu bertemu dengan Rani.

“Kupu-kupu yang indah!”

Aku bergumam sambil mengingat-ingat jasa baik seorang ilmuwan Inggeris Alfred Russel Wallacae yang membuat Bantimurung dikenal di seluruh dunia. Wallace bahkan menyebut Bantimurung sebagai The Kingdom of Butterfly atau Kerajaan Kupu-kupu. Di kala penelitiannya lebih seratus tahun yang lalu, Wallace menemukan 270 jenis kupu-kupu di wilayah Bantimurung.

Setelah mengamati rumah penangkaran, aku lalu duduk pada sebongkah batu menghadap Sungai Bantimurung di samping rumah penangkaran. Seperti tujuh tahun silam sebelumnya, aku selalu bersama Rani, tetapi sayang sekali saat itu Rani sudah punya kekasih seperti pengakuannya.

Hari itu memang adalah hari terakhirku di Bantimurung. Aku sengaja menghabiskan waktu di kawasan wisata itu sebelum kembali ke Jakarta. Aku sudah mewawancarai sahabat terbaikku di SMA dulu, Hendra. Hendra adalah penyelamat jenis monyet tanpa ekor Macaca Maura bersama dengan ayahnya, Pak Haro. Pun aku sudah mewawancarai sahabatku lainnya, Rusdi. Rusdi juga mendapat penghargaan sebagai penyelamat kupu-kupu Bantimurung. Rusdi terus mengajak warga untuk tidak melakukan penangkapan kupu-kupu secara liar, Rusdi bahkan mengajari warga bagaimana cara menangkar kupu-kupu. Aku bangga dengan kedua sahabatku tersebut yang menjadi penyelamat Macaca Maura dan kupu-kupu, dua species khas Bantimurung

Sambil menikmati riak-riak Sungai Bantimurung, aku mengingat Rani. Sayang sekali Hendra dan Rusdi tak tahu lagi kemana jejak Rani. Aku pun setamat SMA kehilangan kontak dengan gadis cantik yang selalu kami panggil sebagai kupu-kupu Bantimurung tersebut. Aku sendiri karena kulitku gelap pernah dipanggil sebagai Macaca Maura oleh Hendra dan Rusdi pada saat aku masih dimusuhi oleh keduanya. Tetapi setelah kami bersahabat akrab, kami bertiga selalu mengaku sebagai Macaca Maura. Alasannya karena menurut dongeng di Bantimurung, konon Macaca Maura adalah pasangan kupu-kupu Bantimurung.

“Dilarang murung di Bantimurung!”

Di saat aku merenung, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara perempuan.

“Rani?” Aku cepat berdiri.

“Kamu benar-benar Rani kan?” Tanyaku kembali karena Rani hanya terus tersenyum.
“Roi! Masakan kamu tak mengenalku lagi.”

“Mungkin karena kamu semakin cantik saja, Rani,” jawabku dengan bahasa umum seorang laki-laki.

Lalu aku dan Rani pun bercerita tentang keadaan kami masing-masing. Aku duluan bercerita bahwa aku adalah seorang wartawan sekaligus pengarang. Aku sangat gembira karena Rani mengaku sudah mengoleksi semua novel-novelku. Lalu Rani pun bercerita bahwa ia sudah menjadi seorang perawat.

“Perawat?” Tanyaku.

“Mengapa kalau perawat?” Rani menyelidik.

Sejenak aku terdiam. Jawaban yang tertahan di hatiku hanyalah, “Kamu sepertinya semakin sulit untuk kugapai Rani, bukankah umumnya seorang perawat yang cantik jelita akan bersuamikan seorang dokter?”

“Mengapa tidak datang bersama kekasihmu, Rani?” Aku mencoba memancing.
Rani tersenyum. Ia balik bertanya, “Kamu juga mengapa tidak datang bersama kekasihmu?”

“Aku sudah berpisah dengan kekasihku sejak tamat SMA dulu, tapi aku masih sangat menyayanginya, makanya aku menunggunya di sini,” ujarku.

Sesaat Rani terdiam. Ia menunduk. Aku lalu bertanya padanya, “Mengapa kamu nampak sedih Rani?”

“Roi! Mungkin kamu lebih beruntung daripada aku. Aku sendiri setiap bulan sekali datang ke sini untuk menunggu seseorang yang sangat kucintai.”

“Apakah ia tak pernah datang?” Pancingku.

Rani hanya menunduk. Aku lalu mengangguk-angguk. Aku tersenyum, hatiku seolah sejuk. Tiba-tiba aku seperti bisa memahami perasaan Rani..

“Aku yakin ia akan datang, dan semoga saja kedatangannya kali ini memberi arti bagiku,” jawab Rani kemudian.

“Rani!” Aku segera berjongkok di hadapannya. Aku pikir tibalah saatnya untuk mengungkapkan rahasia hatiku. “Rani! Sejak awal pertemuan kita delapan tahun silam di tempat ini, aku sudah jatuh cinta padamu, hanya saja rasa itu terpaksa kupendam karena aku menjaga hubungan dengan Hendra dan Rusdi. Hingga aku pun berbohong padamu bahwa aku punya kekasih.”

Rani mengangkat wajah dengan mata sembab, ia berujar perlahan, “Alhamdulillah! Tuhan masih mendengar doa-doa dan harapanku. Tahukah kamu Roi? Yang kumaksud dengan kekasihku adalah kamu sendiri.”

Aku lalu mencium tangan Rani. Lalu kami pun meresmikan hubungan cinta kami sebagai sepasang kekasih secara sederhana. Kami saling mencium tangan. Lalu kami pun saling berjanji.

“Kekasihku Rani! Demi cintaku padamu, aku akan terus menjaga habitat kupu-kupu Bantimurung.”

“Kekasihku Patiroi! Demi cintaku jua padamu, aku pun akan menjaga Macaca Maura.”

Setelah saling berjanji untuk menjaga Bantimurung. Menjaga spesies Bantimurung. Aku dan Rani menuju air terjun Bantimurung untuk merayakan cinta kami. Kami akan membanting rasa murung kami berdua disana. “Paradiso! Aku tak mau lagi murung di Bantimurung!” Rani hanya tersenyum simpul lalu kembali berujar. “Memang dilarang murung di Bantimurung!”

Bantimurung-Bulusaraung, 2011