Selasa, 25 Januari 2011

Cerpen: BILAKKADDARO


BILAKKADDARO1
Cerpen: dul abdul rahman

            “Jangan Nak! Hari itu bilakkaddaro.”
            Selalu begitu jawaban bunda bila aku ingin melakukan sesuatu pekerjaan. Bunda memang tak pernah berubah. Ia masih percaya kepada kepercayaan moyang. Orang tetua Bugis selalu melarang melakukan sesuatu dengan alasan bilakkaddaro, hari sial.
            “Lha, Bunda! Sekarang kan sudah zaman modern.”
            “Tetapi hati bunda tak pernah berubah.”
            “Maksud Bunda?”
            “Bilakkaddaro.”
            Bunda memang selalu tak mau kalah bila aku mendebatnya soal kepercayaan orang-orang tua dulu. Bahkan ia terkesan meremehkan aku.
            “Ingat! Kau lahir karena bunda.”
            “Bunda!”
            Terang saja aku mengalah kalau bunda menyinggung soal lahir-melahirkan. Aku tak pernah mengingkari kalau aku memang ada karena bunda. Cuma mestinya bunda sadar aku diberi akal yang boleh bebas berpikir kreatif, kritis, yang penting positif. Tapi aku tetap sayang bunda.
            Bunda ya bunda. Tak ada duanya bagiku. Ia benar-benar pahlawan. Ayah telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya sewaktu aku masih dalam gendongan bunda. Pesan terakhir ayah pada bunda, agar aku di jaga baik-baik, disekolahkan tinggi-tinggi, biar menjadi insan yang berguna, sekaligus pelanjut marga ayah dan bunda.
            Bunda adalah perempuan yang amanah. Ia tetap memegang teguh wasiat almarhum ayah. Sampai-sampai bunda tak mau menikah lagi, dengan alasan ia hanya ingin fokus membesarkan dan menyekolahkan aku. Padahal menurut cerita para tetangga, ketika bunda telah menjanda banyak laki-laki yang datang melamar bunda. Bunda memang terkenal sebagai primadona desa waktu masih muda. Mereka mengiming-imingi bunda dengan harta yang melimpah. Rumah mewah. Kendaraan pribadi. Bunda bergeming. Kata bunda. Ia tak bisa menerima semua itu. Bunda tak tega. Wajah ayah masih ada di pelupuk bunda. Wajah ayah dan wajahku memang bagaikan pinang dibelah dua.
            Sebenarnya aku sedikit menyayangkan sikap bunda. Mengapa harus menolak menikah hanya gara-gara mau fokus menyekolahkan aku. Bukankah dengan menikah dengan tuan tanah misalnya, ia akan hidup tenang dan tetap menyekolahkan aku.
            “Bunda sudah bahagia.”
            “Tapi bunda kesepian.”
            “Kan ada titisan ayahmu.”
            “Ayah?”
            Bunda memeluk dan mencium keningku. Airmata bunda bagai embun pagi membasahi pipiku. Sejuk. Bagaikan tetesan mata air surga. Kudekap bunda penuh hormat dan sayang.
            Akhirnya tekad bunda menjadi nyata. Aku bisa sekolah tanpa bunda harus ngutang sana-sini. Lalu. Aku bisa kuliah. Bunda ngotot aku kuliah. Bunda rela melakukan apa saja. Menjual kue atau pisang goreng di kantin sekolah dekat rumah. Macam-macam usaha bunda. “Yang penting halal.” Begitu tekad bunda selalu.
            Karena kesibukanku, tak pernah lagi aku menjenguk bunda di kampung halaman enam bulan terakhir ini. Sebagai manajer perusahaan, aku memang supersibuk. Meeting ini, meeting itu. Jakarta-Bali-Singapura adalah trayek rutin sebulan. Bahkan terkadang dua atau tiga kali sebulan.
            Tapi sebagai anak yang berbakti, aku tetap mengirim uang setiap bulan untuk keperluan bunda di kampung. Sejak kuliah sampai aku bekerja, aku memang tinggal di kota. Bunda tetap di kampung. Pernah aku mengajaknya tinggal di kota saja. “Bunda tak mau meninggalkan makam ayahmu.” Selalu begitu kelit bunda.
            Aku sangat sayang bunda. Cuma belakangan ini aku malas bicara sama bunda. Dulu sewaktu aku masih di kampung, aku masih bisa mengikuti jalan pikiran bunda yang selalu bertabur bilakkaddaro dan pamali. Sekarang semua pemikiran bunda kuanggap hanya takhyul belaka.
            “Pamali, Nak.”
            “Hari itu bilakkaddaro, Nak.”
            “Oh hari itu pas ahad awal bulan Muharram.”
            Bunda terus berceloteh. Aku hanya mengiyakan bunda. Tapi jauh dalam hatiku memvonis semua ucapan bunda takhyul semata.
            “Semua hari itu baik bunda.”
            “Tidak semua.”
            “Bilakkaddaro.”
            Aku hanya diam. Kalau bunda menyebut bilakkaddaro, tak bisa lagi aku bantah. Bunda sangat percaya itu. Sejak dulu.
            Aku jengah. Aku tak mau berkonsultasi lagi dengan bunda bila aku ingin mengerjakan sesuatu, atau ingin bepergian jauh. Aku takut bunda mempersempit waktu dan gerak langkahku. Bila aku menelpon bunda, bukan lagi tentang aku yang kubicarakan, tetapi tentang bunda, bagaimana kabar bunda, kabar tetangga. Biar bunda tetap senang.
            “Bunda sangat bahagia. Hati-hati! jangan bepergian jauh di saat hari bilakkadaro.”
            “Ingat itu Nak!”
            “Pamali.”
            Hanya bunda yang berceloteh menutup pembicaraan kami di telpon. Aku hanya diam saja.
            “Aku baik-baik saja Bunda.”
            “Tapi suaramu agak serak Nak.”
            “Biasalah bunda, masuk angin biasa saja, besok juga sudah sembuh.”
            “Hati-hati Nak ya, jangan dulu bepergian jauh.”
            “Tak kemana-manalah, Bunda.”
            Bunda terus merisaukan aku disana. Aku terpaksa berbohong kepada bunda bahwa aku tak kemana-mana. Padahal, sekarang aku berada di bandara menuju Singapura via Jakarta. Kalau kuberitahu, bunda pasti resah dan melarangku.
            “Oke Nak ya, jaga diri baik-baik.”
            “Iya bunda.” Klik.
            Aku lega bisa komunikasi dengan bunda. Tapi mendadak aku resah telah membohongi bunda. Mengapa tadi aku tidak terus terang sama bunda? Kalau bunda melarangku, cukup aku bilang terpaksa berangkat karena sudah berada di bandara. Bunda pasti bisa mengerti, mendoakan malah. Kenapa aku tak minta restu dan doa bunda? Pertanyaan-pertanyaan bernada penyesalan menyeruak di benakku seketika.
            “Hati-hati Nak ya, jangan dulu bepergiaan jauh.”
            Suara pemandu keberangkatan pesawat seperti suara bunda yang melarangku bepergian jauh. Aku segera berbenah. Pesawat segara mengudara.
            Kulihat para penumpang bersegera naik pesawat. Tergesa-gesa seperti takut ketinggalan. Entah kali ini aku tidak bersemangat. Kalimat-kalaimat tak berujung pangkal kontraksi di benakku, kalimat bunda, ulasan koran minggu lalu mengenai transportasi udara kita.
            “Bilakkaddaro Nak.”
            “Komisi Uni Eropa melarang maskapai penerbangan Indonesia terbang ke Negara-negara Eropa.”
            “Maskapai penerbangan Indonesia menggunakan pesawat-pesawat yang pantasnya sudah jadi gerobak. Orang Indonesia benar-benar pemberani.”
            Di atas pesawat, aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Mendadak kepalaku pening. Bunyi pesawat seperti auman setan. Sangat bising. Aku benar-benar pusing. Selanjutnya semua tak begitu jelas. Pandanganku masih berkunang-kunang ketika mendadak terdengar pengumuman. “Pesawat akan segera kembali ke bandara. Pasang seat belt.”
            Berita terhempasnya pesawat di Bandara Hasanuddin setelah mengudara selama tiga belas menit dimuat oleh beberapa Koran harian di daerah ini. Tidak ada korban yang meninggal pada kejadian tersebut, hanya lima orang dilarikan ke rumah sakit karena cedera. Seorang penumpang yang bernama Sulaeman masih tak sadarkan diri di Rumah Sakit Dokter Wahidin.
            “Apakah Pak Sulaeman bisa mendengar suara saya?”
            “I…ini siapa?”
            “A…aku dimana?”
            “Pak Sulaeman sedang di rumah sakit.” Seorang perempuan berpakaian putih-putih tersenyum kepadaku. Lalu. Aku benar-benar siuman. Matataku terbelalak.
            “Bunda…!”
            “Anakku!”
            Bunda memelukku erat. Agak lama. Kurasakan mata bening bunda mengembun. Lalu menetes membasahi pipiku.
            “Maafkan aku, Bunda.”
            “Kau tak bersalah Nak.”
            “Aku berbohong sama bunda.”
            Bunda menyeka airmatanya. Lalu. Telapak tangan bunda yang mengeras mengusap pipiku. Tapi kurasakan tangan bunda seperti tangan bidadari.
            “Sebenarnya bunda tidak memaksamu percaya yang namanya bilakkaddaro. Bunda hanya ingin kau percaya sama bunda. Apa susahnya berkonsultasi dulu sama bunda sebelum berangkat. Bunda juga percaya semua hari itu baik. Hanya Tuhanlah yang tahu segalanya. Tapi mungkin yang kau lupa bahwa sesungguhnya ridho Tuhan itu terletak pada ridho bunda.
            “Bunda.”
            Aku memeluk erat bunda. Kasih sayang bunda padaku tak pernah berubah. Akulah yang berubah sama bunda. Sekarang aku baru tahu. Sesungguhnya bunda juga tidak begitu percaya bilakkadaro lagi seperti dulu. Tapi aku berjanji suatu ketika bila bunda mengatakan padaku bahwa hari itu bilakkaddaro, aku akan percaya sama bunda. Hanya sama bunda.

Makassar, 2007

1. Cerpen “BILAKKADDARO” dimuat Harian Fajar, Ahad 12 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar