Senin, 24 Januari 2011

Cerpen: PARAKANG


PARAKANG1
Cerpen: Dul Abdul Rahman

Kampung Sumpang Ale’ benar-benar mencekam belakangan ini. Bila malam tiba, warga hanya mendekam di rumah masing-masing. Mereka takut kalau peristiwa meninggalnya beberapa warga secara aneh menimpa dirinya. Seminggu ini, dua warga yang meninggal secara aneh. Koneng, dukun beranak, meninggal tiga hari lalu padahal sebelumnya Koneng tidak sakit. Koneng pulang pada malam hari dari membantu persalinan di RT sebelah, ia ditemani Bapak Kepala Kampung. Setibanya di rumah, Koneng langsung demam, lalu mendadak tubuhnya lebam, tapi setelah diperiksa ia tidak keracunan.
“Koneng mungkin dimakan parakang.” Kepala kampung berpendapat setelah pegawai puskesmas tidak bisa memberikan keterangan penyebab kematian Koneng. Keluarga Koneng juga tidak mengizinkan Koneng diotopsi.
“Parakang?”
Seluruh warga yang menghuni kampung itu mendadak ketakutan. Wajar memang, karena kampung yang mereka huni tidak begitu banyak penduduknya, jarak antara rumah yang satu dengan lainnya paling dekat lima puluh meter. Di sebelah selatan kampung itu memang masih kawasan hutan belantara. Maka disebutlah kampung itu  Sumpang Ale’ yang berarti pintu hutan. Maka tetntu saja kampung itu tempat lalu lalangnya para makhluk halus. Konon, makhluk halus lebih senang tinggal di tempat-tempat yang rimbun seperti pepohonan besar. Dan yang paling ditakuti oleh warga di kampung itu adalah parakang. Konon, parakang adalah makhlus halus jelmaan manusia. Ia bisa berwujud manusia, pun binatang. Manusia yang menjadi parakan biasanya karena ilmu sesat karena ingin kaya secepatnya. Ilmu parakang bisa didapat secara turun temurun, pun bisa dengan berguru.
Konon, untuk mengenal orang yang menjadi parakan itu tidaklah susah. Biasanya parakang mempunyai mata memerah dan tajam. Seseorang yang menjadi parakang, bisa sekonyong-konyong tubuhnya mewujud jadi binatang, atau matanya memerah dengan pandangan menusuk-nusuk bila ingin mengambil mangsa. Menurut cerita tetua di kampung itu, biasanya kalau parakang mau memakan orang, ia melihat orang serupa ia melihat nangka. Disaat orang lagi sakit, parakang melihatnya dan merasakannya serupa nangka yang sudah masak dan lezat.
“Pak Kepala Kampung, kita harus menjaga kampung ini dari gangguan parakang.”
“Tak boleh lagi ada korban seperti Koneng.”
“Kita harus mengaktifkan ronda malam agar parakang takut berkeliaran.”
Belum sempat kepala kampung menanggapi usulan seorang tetua kampung, yang lain pada nyerocos. Mereka memang sangat antusias mengikuti rapat konsolidasi kampung untuk mencegah parakang bereaksi.
“Ini persoalan besar Pak Kepala Kampung, kalau perlu kita harus hati-hati jangan sampai para parakang yang telah membunuh warga kita adalah warga kita sendiri.”
“Haaa!!!”
Hadirin kaget mendengar pendapat seorang warga. Kalau ternyata parakang adalah warga sekampung sendiri, bagaimana bisa mengatasinya? Para warga membatin tak karuan.
“Kalau begitu kita harus memeriksa siapa penduduk kampung Sumpang Ale’ ini yang parakang.”
“Kalau perlu kita bunuh parakang itu.”
“Tangkap!”
“Bunuh!”
Para keluarga korban yang meninggal karena dimakan parakang berteriak-teriak.
“Diam! Diam!”
Tiba-tiba emosi kepala kampung meninggi karena sejak tadi warga terus nyerocos tanpa mempedulikan dirinya sebagai pemimpin rapat, sekaligus sebagai kepala kampung dan orang terhormat di kampung itu. Biasanya kalau kepala kampung bicara, tidak ada warga yang berani menyela atau memotong pembicaraannya karena kepala kampung terkenal sangar dan ringan tangan. Tapi soal parakan, rupanya warga tidak gentar menentang kepala kampung, karena bila warga mendesak untuk mencari siapa parakang di kampung Sumpang Ale’, kepala kampung selalu menolak.
Parakang itu makhlus halus, tidak bisa dimusnahkan.” Kepala kampung mencoba meredakan nyerocos warganya.
Parakang itu adalah manusia yang memiliki ilmu hitam yang bisa mencelakakan orang lain.” Rupanya ada warga yang tidak sependapat dengan kepala kampung.
Parakang itu bisa dimusnahkan yang penting kita kompak satu kampung.”
“Kalau perlu kita minta bantuan orang pintar atau orang alim.”
“Tenang! Tenang! Urusan ini kita bisa selesaikan bersama tanpa campur tangan orang luar.” Kepala kampung mencoba bijak dan kembali menenankan warganya.
“Apakah Pak Kepala Kampung yakin bisa menangkap warga yang telah menjadi parakang?”
“Tenang! Kami bisa melakukannya. Percayalah kepada kami.” Kepala kampung terlihat berdiskusi dengan dua orang tetua kampung lainnya. Lalu ketiganya manggut-manggut. Tak ada yang menyahut. Mungkin takut. Karena jenggot orang-orang terhormat itu tak tertata, kelihatan seram dan menakutkan.
Seminggu setelah kepala kampung berjanji untuk mengusut tuntas siapa yang sebenarnya parakang di kampung ini, akhirnya kepala kampung mencurigai dua orang. Keduanya terdapat tanda-tanda parakan. Yang pertama adalah Sakka, suami Koneng sendiri yang telah jadi korban keganasan parakang, akhir-akhir ini mata Sakka selalu memerah dan selalu menatap tajam pada kepala kampung setiap kali orang terhormat itu lewat di depan rumahnya.
Orang kedua yang dicurigai oleh kepala kampung sebagai parakang adalah Attu. Attu sebenarnya termasuk orang kaya di kampung itu, bahkan memiliki kebun yang luas, lebih luas dari kebun kepala kampung. Di kebun Attu terdapat banyak buah-buahan, termasuk nangka. Tapi yang membuat kepala kampung curiga, karena setiap ia lewat di kebun Attu, ia selalu melihat Attu memukul-mukul nangka.
Seluruh warga gempar setelah kapala kampung mengumumkan dua orang yang dicurigai sebagai parakang. Ada warga yang senang, karena identitas parakang sudah ditemukan, ada yang biasa-biasa saja, mereka tidak begitu yakin dengan kepala kampung. Bahkan ada desas-desus bahwa kepala kampung sengaja mencap Sakka dan Attu sebagai parakan hanya untuk menyingkirkan keduanya, kepala kampung rupanya masih dendam kepada mereka berdua.
“Kita harus berhati-hati, tidak boleh begitu saja mempercayai omongan kepala kampung.”
“Tapi kepala kampung tidak asal menuduh, ia melihat kedua orang itu punya kelakuan seperti parakang.”
“Tapi hati-hati, ada juga yang bilang bahwa parakan itu biasanya sering menuduh orang lain parakang dengan alasan yang dibuat-buat.”
“Jadi menurut kamu, apa yang dibilang kepala kampung itu salah?”
“Belum tentu juga, cuma kita harus berhati-hati.”
Ramai orang bersilat lidah pertanda pro-kontra atas pendapat kepala kampung. Tapi mereka berhati-hati karena kepala kampung bisa saja benar, pun bisa saja hanya menuduh.
“Memang bisa dipercaya kalau kepala kampung menuduh Sakka adalah parakang, matanya selalu memerah.”
“Tetapi bukankah matanya merah, karena ia masih berduka cita dengan kematian isterinya.”
“Ataukah?”
“Ataukah apa?”
“Sst! Ini sedikit rahasia, dulu kepala kampung jatuh cinta sama Koneng, tapi rupanya Koneng menampik cinta kepala kampung lalu menerima cinta Sakka.”
“Mungkinkah ini balas dendam?”
“Sst, jangan bahas itu.”
“Kalau Attu?”
“Attu juga memiliki sifat parakang kata kepala kampung, ia selalu memukul-mukul nangka.”
“Tapi Attu memang pedagang buah, pasti ia selalu mengecek nangkanya.”
“Jadi menurutmu, bisa saja ini hanyalah kecemburuan kepala kampung karena Attu lebih kaya darinya.”
“Husy! Belum tentu juga. Kita harus rapat lagi dengan kepala kampung serta warga lainnya di kampung ini.”
Karena banyak warga yang tidak puas atas penemuan kepala kampung tentang siapa parakang, maka diadakanlah kembali rapat akbar, bahkan menghadirkan seluruh warga karena penduduk kian ketakutan. Kemarin seorang anak meninggal dunia dengan tubuh lebam, padahal waktu itu baru saja kepala kampung pulang dari rumah itu.
“Tapi saudara-saudara, bukankah saya sudah mengemukakan bahwa kedua orang itu adalah parakang?”
“Kami belum begitu yakin.”
“Mengapa tidak yakin? Kemarin saja seorang anak meninggal dunia setelah Attu membawakannya buah-buahan.”
“Kita harus buktikan lagi, Pak.” Serempak warga berteriak, karena mereka tidak percayaa kalau Attu yang ‘makan’ anak itu. Attu memang dikenal dermawan dan suka membagi-bagikan buah kepada para tetangganya.
“Saya telah membuktikannya.” Kepala kampung berteriak lantang.
“Kita harus buktikan bersama-sama Pak.” Koor warga terus menantang.
Akhirnya kepala kampung tak bisa berkutik. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti kemauan warganya. Maka dibuatlah keputusan bersama. Akan dicari siapa sebenarnya parakan di kampung itu. Caranya adalah semua warga akan dicambuk satu kali, tetapi yang dicambuk hanyalah bayangannya. Orang yang mencambuknya harus berasal dari luar kampung.
Konon, bila seseorang jadi parakang, ia tidak sakit kalau tubuhnya yang dipukul tetapi harus bayangannya. Makanya parakan hanya mau bereaksi di tempat gelap atau kalau berada di tempat terang, ia berusaha berada tepat dibawah sumber cahaya sehingga ia tak punya bayangan. Waktu yang paling disukai parakan untuk bereaksi tepat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala.
Tapi kita juga harus berhati-hati memukul bayangan parakang, karena ia hanya mempan dipukul satu kali, pukulan kedua dan seterusnya membuat pukulan pertama tidak mempan lagi.
Kini tibalah saatnya warga Sumpang Ale’ menjalani tes parakang. Semuanya sudah berkumpul di sebuah lapangan tepat matahari naik sepenggalah. Wajah-wajah tegang memucat di wajah warga setiap kali tukang pukul memukul bayangan warga yang dipanggil secara bergantian. Dan warga terlihat saling memandang setelah semuanya sudah menjalani  tes tetapi belum ditemukan parakang. Tinggallah seorang saja yang belum dipukul bayangannya yaitu kepala kampung.
Dengan langkah yang sedikit galau sambil bersitatap dengan tukang pukul bayangan, kepala kampung maju ke depan. Lalu. Buk! Lidah kepala kampung menjulur. Tukang pukul bayangan terlihat melayangkan tongkat untuk kedua kalinya, tetapi belum juga tongkatnya menyentuh bayangan kepala kampung ia ditarik oleh Sakka dan Atto. Kepala kampung lalu berharap kepada orang lain untuk memukul bayangannya. Tapi orang-orang sudah menjauh.

Sinjai Tellulimpoe, 2007     
1. Cerpen “PARAKANG” dimuat Harian Fajar, Ahad 26 Juli 2009        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar