Rabu, 26 Januari 2011

Cerpen: LELAKI PEMATANG


LELAKI PEMATANG1
Cerpen: dul abdul rahman

            Bersama matahari pagi seorang lelaki berada di pematang memandangi bulir-bulir padi. Matanya menyapu hamparan persawahan yang membentang luas diantara lereng pegunungan. Tanah yang landai membuat pemandangan sawah seperti anak tangga yang menjulur ke bawah. Lelaki itu berdiri tepat di pematang paling atas. Matanya tak pernah berkedik. Sepertinya ia takut kehilangan panorama hamparan sawah yang indah walau sedetikpun.
            Ia berdiri tegak. Seperti memberi hormat kepada Dewi Sri agar bulir-bulir padi padat berisi. Ia mematung. Mutung. Angin pagi yang hanya sepoi-sepoi mengibarkan helai rambutnya yang tak pernah tersentuh sisir. Wajahnya tirus. Tak terurus. Kelihatan pakaiannya agak basah. Embun pagi telah memandikannya.
            Aku mengawasinya dari jauh. Aku tak berani mendekatinya seorang diri.
            “Apakah orang itu waras?” Tanyaku pada seorang petani yang kujumpai.
            “Yang mana?”
            “Lelaki yang di ujung sana.”
            “Lelaki yang menghadap ke timur itu?”
            “Benar.”
            “Oo…orang disini mengenalnya sebagai lelaki pematang.” Petani itu menjawab geragapan. Seperti ada rahasia.
            “Ada apa Pak?”
            “Ta…tak apa-apa Nak. Tapi jangan tanya saya, tanya pada orang itu.” Katanya menjauh sambil menunjuk seseorang tetua yang datang ke tempat kami berada.
            Rupanya yang datang adalah seorang tetua yang cukup disegani di kampung itu. Dari raut wajahnya, jenggot yang sudah memutih dan memanjang, aku bisa meraba-raba seperti apa orang tua itu. Ia memang dikenal pintar dan menguasai ilmu gaib. Syukurlah. Ada tempatku bertanya mengenai lelaki yang misterius itu.
            “Sudah sepuluh hari aku melihatnya mematung di situ Pak.”
            “Berarti baru sepuluh hari disini Nak.”
            “Maksud Bapak?”
            “Lelaki itu sudah bertahun-tahun disitu.”
            “Bertahun-tahun?”
            “Sudah sepuluh tahun.”
            “Setiap hari?”
            “Setiap hari disaat padi berbuah. Lelaki itu hanya datang bersamaan munculnya bulir-bulir padi. Ia datang menjelang matahari terbit. Lalu menghilang ketika matahari naik sepenggalah. Esoknya datang lagi lalu menghilang. Terus menerus. Hingga menjelang panen, ia benar-benar menghilang. Tapi musim berikutnya, ia akan muncul bersamaan munculnya bulir-bulir padi.”
            “Apakah orang-orang disini tidak takut Pak?”
            “Ada yang takut, ada juga tidak.”
            “Jadi?”
            “Jadi begitulah. Biasanya petani yang takut akan turun melihat sawahnya selesai sholat dhuha disaat lelaki itu sudah menghilang. Bagi yang tidak takut tetap seperti biasa. Mereka menganggap biasa lelaki itu.”
            “Tapi mengapa orang disini tidak berusaha mengusir lelaki itu Pak?”
            Diam. Orang tua itu hanya mengangkat jari telunjuk ke mulutnya. Aku tahu maksudnya. Orang tuaku berlaku serupa bila aku menanyakan hal-hal yang berbau pamali. Aku juga diam. Beberapa jenak kemudian, orang tua itu melanjutkan ceritanya dengan suara yang melemah.
            “Nak! Kami sudah menganggap lelaki itu adalah utusan Dewi Sri.”
            “Dewi Sri?”
            “Ya, bahkan seandainya ia adalah perempuan, kami pasti sudah menganggapnya jelmaan Dwi Sri.”
            “Mungkin Dewa Sri, Pak.”
            Aku tak bisa menahan keceplas-ceplosanku. Tapi kulihat orang tua itu tak terpengaruh dengan omonganku. Ia melanjutkan ceritanya. Aku semakin tertarik mendengarnya. Amat tertarik. Gaya bertutur orang tua itu mengingatkan aku pada almarhum kakek yang bijaksana. Tidak seperti ayah, yang setiap ucapannya bagaikan titah dan sabda bercampur pamali. Bahkan suara orang tua yang lembut itu bagaikan angin sepoi-sepoi yang menyingkap tirai hidupku.
            “Kami benar-benar menganggapnya utusan Dewi Sri, Nak.”
            “Pernah dulu kami bermufakat untuk mengusir lelaki itu. Tapi kami baru berencana, lelaki itu sudah menghilang. Semusim lelaki itu menghilang. Tapi kami semua beroleh celaka. Selama musim itu panen kami gagal total. Padi diserang hama yang mengganas. Burung pipit, wereng, pun tikus memorak-morandakan padi kami. Kami tak bisa mengatasinya meski kami melakukan penjagaan ketat. Lalu…” Orang tua itu kelihatan sedih mengingat masa-masa gagal panen.
            “Lanjutkan Pak!”
            “Musim selanjutnya kami berkumpul memohon kepada Yang Maha Kuasa agar panen kami tidak gagal lagi. Agar kami tidak kelaparan lagi. Kami berjanji akan menjadi warga yang baik, tidak mengusir siapa saja yang datang ke kampung kami, akan menjaga kelestarian alam kami. Akhirnya kami semua bersyukur, panen padi kami semakin melimpah seiring dengan munculnya juga lelaki itu. Kami benar-benar berterima kasih pada lelaki itu.”
            Orang tua itu melirik kepada lelaki yang berdiri mematung di sana. Aku juga melirik. Kami sama-sama kaget.
            “Matahari memang sudah naik sepenggalah.”
            Aku mengerti maksud orang tua itu. Tapi aku masih sedikit penasaran dengan lelaki itu. Seberapa hebatkah ia, lalu bisa menentukan baik-buruknya panen. Mungkinkah aku bisa mengenalnya? Mengapa penduduk disini tidak berusaha mendekati dan mengenalnya. Aku memang sudah membaca dongeng Dewi Sri sebagai dewi padi, dewi kesuburan. Tapi bukankah itu hanya dongeng?
            “Nak! Saat-saat seperti ini, ketika matahari naik sepenggalah, pendududk akan turun memeriksa sawahnya, membersihkan rumput yang tumbuh di pematang, termasuk saya Nak.”
            “Tapi mohon waktunya sebentar lagi Pak.”
            “Apa belum jelas tadi Nak?”
            “Begini Pak, apakah aku boleh mengenalnya secara dekat. Kalau boleh biarlah besok aku langsung menemuinya.”
            “Hush!”
            Sekali lagi orang tua itu meletakkan telunjuk di mulutnya. Orang-orang memang sudah mulai berdatangan ke sawah.
            “Nak! Lelaki itu tak mungkin didekati. Ia akan menghilang kalau kita dekat. Ia hanya nampak dari kejauhan.”
            “Seperti pelangi Pak?”
            “Mungkin Nak. Tapi jangan coba-coba berniat mendekatinya, nanti kau beroleh celaka.”
            Orang tua itu menjawab sambil bergegas meninggalkan aku. “Ih!” Aku juga bergidik mendengar cerita orang tua itu.
            Matahari telah merangkak lewat sepenggalah. Ramai orang bekerja di hamparan sawah itu. Ada yang mencabuti rumput. Ada yang mengecek lubang, takut kalau ada tikus yang bersarang. “Akh!” Pantas saja desa ini surplus beras karena penduduknya tiap hari mendekam di sawah.” Aku membatin memuji sambil meninggalkan area persawahan yang luas itu.
            Meski aku seorang perempuan, aku tetap menikmati profesiku sebagai penyuluh pertanian di desa ini. Senang rasanya aku bisa mengenal lingkungan pedesaan.
            Sepuluh tahun berjalan aku tinggal di desa ini. Aku begitu bahagia. Lahan-lahan pertanian menghijau, menghampar. Benarlah kata orang-orang Eropa sana bahwa apapun yang ditanam di negeriku akan tumbuh subur. Ya benar.
            Hanya satu hal yang belum berubah di kampung ini. Kuasa orang tua terhadap anak gadisnya begitu mengcengkeram. Geram aku bila mengingatnya.
            “Ia tidak sepadam denganmu Halimah, kau anak ayah, pemangku adat di kampung ini.” Nada ayah begitu meninggi ketika kuberitahu tentang kekasihku yang ingin melamarku.”
            Tempo itu aku diam saja. Tak berani menentang ayah.
            “Tapi kalau memang ia mau melamarmu, beritahu ia supaya menyiapkan uang panai lima puluh juta serta satu hektar sawah. Kalau ia tidak bisa memenuhi persyaratan itu, jangan coba-coba ia datang kemari.” Titah ayah kala itu.
            Terpaksa kuberitahu kekasihku, biar ia menyiapkan segalanya. Keperluan menikah. Aku menunggunya datang melamarku. Terus menunggu. Sebulan kemudian aku mendengar berita. Seorang pemuda bunuh diri di pematang sawah. Pemuda itu berencana menikah dengan gadis pujaannya, namun ia tidak bisa memenuhi persyaratan yang diajukan ayah dari perempuan yang dicintainya.
            Akh! Semuanya telah berlalu. Dan terus berlalu. Membawaku. Menjemputku. Kembali di desa ini untuk mengabdi. Sampai nanti. Mungkin sampai mati.
            Sekarang aku sudah tua, bukan seperti dua puluh tahun yang lalu, ketika aku menjadi rebutan para mahasiswa di kampusku. Mungkin memang orang menganggapku sangat kesepian hidup sendiri. Mereka salah. Memang ketika aku masih dinas di kota, aku kesepian. Makanya aku pindah berdinas di desa ini. Membangun desa ini. Pun, untuk menemani almarhum kekasihku. Aku yakin ia tidak bunuh diri. Ia cuma menjelma jadi Dewa Sri. Kelak aku ingin menjelma jadi Dewi Sri. Biar kami menyatu seperti dulu. Bersatu memakmurkan desa ini.

Sinjai, Desember  2007  
 
1. Cerpen “LELAKI PEMATANG” dimuat Harian Fajar, Ahad 30 Maret 2008
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar