Sabtu, 30 April 2011

cerpen dul abdul rahman: S A B D A L A U T

SABDA LAUT
Oleh: dul abdul rahman

Subuh itu. Setelah perahu kecil kami merapat kembali di bibir Sungai Jeneberang. Aku bergegas naik ke daratan sambil membawa ikan tangkapan kami. Meski malam itu hasil tangkapan kami tidak seberapa banyak, tetapi aku menenteng ikan bak seorang nelayan ulung yang tiada takut dengan ombak yang bergulung-gulung. Ataukah aku serupa lanun yang berhasil membajak kapal laut atau perahu nelayan tanpa ampun.
Setiba di daratan, aku tak perduli ketika angin pagi memiuh-miuh dan menantangku. Bahkan menampar-nampar wajahku. Pun aku tak khawatir masuk angin. Hembusan angin pagi itu begitu nakal mempreteli sebagian kancing bajuku. Aku tak peduli. Kubiarkan saja bajuku melambai-lambai berterima kasih kepada Pantai Barombong. Lambaian bajuku pun serupa sambutan kemenangan. Sambutan daratan buat lautan. Bagi kami anak-anak nelayan, angin dan hujan, atau bahkan sengatan mentari adalah sahabat-sahabat sejati kami. Kami tumbuh dan bersahabat dengan laut. Laut Barombong yang tak sombong.

Segera setelah ayahku menambatkan perahunya, ia pun bergegas naik ke daratan. Angin daratan langsung menyambutnya. Ia pun tak perduli. Wajah kisutnya pastilah setiap subuh dibelai oleh angin pagi yang kadang diam-diam menusuk pori-pori. Lalu kami berdua pun berjalan beriringan menuju Jembatan Barombong. Di pinggir jembatan yang terpanjang di Kota Makassar itulah kami selalu menjual ikan-ikan hasil tangkapan kami.

Setibanya di Jembatan yang megah itu, aku serupa penjual ikan profesional meletakkan ikan tangkapan kami di sebuah bangku panjang yang mulai lapuk. Selain aku berdua dengan ayahku, ada juga nelayan kecil lainnya menjajakan ikan hasil tangkapan mereka. Sebenarnya bisa saja kami cepat pulang ke rumah dengan menjual langsung semua hasil tangkapan kami kepada para pagandeng1, tetapi kami ingin mendapatkan sedikit uang lebih. Atau mungkin uang letih. Pagandeng hanya mau menghargai ikan kami terlalu murah. Padahal kami menangkapnya dengan lelah. Bahkan kami harus berkelahi dengan angin dan ombak yang terkadang pongah.

Tetapi subuh itu rupanya dewi fortuna tidak bersahabat dengan kami. Sudah sejam kami menjajakan ikan kami tapi tak ada seorang pun yang singgah membelinya. Hanyalah penjual ikan di samping kami yang kedatangan pembeli, itupun sekira dua orang saja.

“Juku sambalo!”2 Aku dan ayahku menyapa bergantian setiap orang yang lewat tetapi tetap saja tak ada peduli dengan ikan-ikan kami. Ya, tak ada yang peduli dengan nasib-nasib kami.

Setelah matahari keluar dari persembunyiannya, dan nampak tersenyum di kaki langit. Lalu cahayanya membentuk siluet dan mengirimkan pesan pada kami lewat permukaan air Sungai Jeneberang. Seolah ia ingin berkata kepada kami, hari baru bersama harapan baru telah datang. Tetapi tetap saja belum ada pembeli yang menghampiri lapak ikan kami.

Seteluh berpeluh karena berteriak-teriak mempromosikan ikan-ikan kami. Akhirnya seseorang pembeli mendekat. “Wah! Ikannya mahal sekali Daeng, padahal ikannya tidak segar lagi!” Pembeli itu menawar ikan kami dengan kalimat yang meneror. Masakan ia menyebut ikan kami tidak segar lagi padahal baru saja kami menangkapnya di laut. Apakah ia menganggap ayahku sangat bodoh soal ikan? Padahal ayahku puluhan tahun kerjanya hanyalah sebagai nelayan. Meski hanya nelayan kecil, tapi aku yakin tetek-bengek soal ikan pastilah ayahku sudah mengetahuinya.

Setelah pembeli itu menawar berkali-kali. Kulihat ayahku merasa kasihan. Dalam hati aku membatin, mungkin saja orang itu kehabisan uang. Ayahku lalu memberi harga terendah. “Bapak tidak bisa lagi mendapatkan ikan begini di bawah harga yang saya berikan.” Pembeli itu mengambil ikan yang disodorkan oleh ayahku dan membayarnya dengan senyum kemenangan. Ia pun bergegas menuju mobilnya yang terparkir di ujung jalan. Aku dan ayahku hanya geleng-geleng kepala melihat pembeli itu yang ternyata mengendarai mobil pribadi merek CR-V. Tetapi kami tetap kagum pada orang kaya itu, ia mau berbelanja pada kami. Lalu kami cepat melupakan pembeli yang naik mobil mewah tersebut ketika seorang pembeli lainnya datang.

“Nak Samad tidak pergi ke sekolah?” Ujar pembeli itu yang ternyata guru matematikaku di SD Negeri Barombong.

“Sebentar lagi ia akan berangkat ke sekolah Pak Guru.” Ayahku cepat menjawab pertanyaan guruku. Ayahku juga sibuk memilihkan ikan buat guruku tersebut. Setelah ia menyodorkan uang sesuai dengan kesepakatan harga. Bahkan aku hanya mendengarkan ayah dan guruku sekali saja saling menawar lalu saling deal dan tersenyum. Guruku dengan motor vespa bututnya pun meraung-raung meninggalkan kami. Raungan vespa butut guruku mungkin sebagai raungan nasibnya yang konon katanya bertahun-tahun jadi guru honorer. Tetapi kami tetap mengantarnya dengan tatapan berbinar-binar hingga vespa butut itu menghilang ditelan mobil-mobil pribadi milik orang-orang berduit.

“Benar kata orang, hanyalah orang-orang kecil yang sangat tahu nasib orang kecil.”

Ayah menggumam setelah vespa butut guruku benar-benar menghilang. Aku tidak begitu mengerti dengan pernyataan ayahku. Tetapi tatapan mata ayahku seolah mengirimkan doa semoga guru matematikaku selamat sampai tujuan.

Matahari sudah merangkak naik. Air sungai Jeneberang pun kian berkilau-kilau dan tersenyum manis serupa perempuan belia yang kasmaran karena terus ditatap oleh sang pangeran matahari. Kami para penjual pun menatap setiap orang yang lalu lalang dan berharap mereka singgah membeli ikan-ikan kami. Aku sibuk memercik ikan-ikan kami dengan air tawar agar nampak semakin segar dan tidak mengantuk.

“Nak! Cukuplah ayah saja yang menjajakan ikan di sini. Engkau bergegaslah pulang ke rumah mengganti pakaianmu lalu berangkat ke sekolah.” Ujar ayah kepadaku ketika ia melihat iring-iringan murid sekolah dasar menuju sekolah.

Aku mencoba tak menghiraukan kalimat ayahku. Hari itu memang aku berniat untuk tidak pergi bersekolah. Aku ingin menemani ayahku melaut dan menjual ikan. Aku tak bercita-cita muluk-muluk. Cukuplah kelak aku bisa seperti ayahku, melaut.

“Lihatlah teman-teman sekolahmu, Nak! Mereka sudah berangkat ke sekolah.” Ayahku mengulangi lagi kalimatnya setelah melihatku hanya terpaku pada ikan-ikan kami.
Melihat aku tidak begitu bersemangat, ayahku langsung menasehatiku. “Manna majai tedongnu, mattambung barang-barangnu, susajakontu punna tena sikolamu.”3 Meski secara formal ayahku hanya tamat sekolah dasar tapi aku kagum sama ayahku yang banyak tahu dan selalu menasehatiku dengan filosofi-filosofi Bugis-Makassar.
Kulihat mata ayahku berkaca-kaca mengucapkan kalimat itu. Di matanya seperti tersimpan berjuta-juta penyesalan. Aku memang pernah mendengar cerita bahwa sesungguhnya dulu kakekku adalah orang berada di daerah Barombong. Daerah yang berada dipinggiran Kota Makassar. Tempo itu ayah tidak berkehendak sekolah karena ia merasa tanpa bersekolah pun mereka bisa hidup layak. Bahkan ia hidup berfoya-foya karena merasa sangat bergelimang harta. Untuk ukuran kampung Barombong, kekayaan kakek tempo itu sangatlah diperhitungkan. Tetapi setelah usaha bisnis kakek bangkrut karena terbelit masalah utang sehingga kekayaan kakek melewati titik nol dan berada di titik minus dengan utang yang bertumpuk, barulah ayah menyadari betapa pentingnnya sekolah untuk mengadu nasib di kota. Nasib telah menjadi bubur, masa depan ayah menjadi kabur.

Tapi ayah tetap bersemangat, ia tak mau nasibnya menghablur dan menular pada anak-anaknya. Itulah sebabnya, meski hanyalah nelayan kecil, tetapi ayah selalu bertekad untuk menyekolahkan aku. Semangat ayah seperti semangat Laut Barombong. Laut yang tidak pernah berhenti menawarkan gelombang kehidupan. Gelombang harapan.
Mengingat semua keterpurukan kakekku tempo dulu yang berimbas pada ayahku yang semasa kecilnya menganggap sekolah tidak penting. Pun aku bisa menangkap makna dari pesan ayahku bahwa manusia hendaknya mengutamakan pendidikan agar tidak kesulitan dalam hidup, harta yang bertumpuk tidak akan menyelesaikan persoalan dunia. Maka aku pun bergegas.

“Aku harus pergi ke sekolah.” Ujarku sambil berlari menuju rumah kami di pinggiran Sungai Jeneberang. Aku masih sempat menengok sesaat pada ayahku. Ia tersenyum melihat kesungguhanku. Senyumnya masih seperti dulu. Senyum setulus Sungai Jeneberang. Tetapi tetap ada bias penyesalan. Sebagaimana Sungai Jeneberang yang menyesali nasibnya karena pohon-pohon di hulunya sering ditebang secara kasar oleh penebang-penebang liar. Mungkin ayahku juga menyesal mengapa ia tidak bersekolah sewaktu muda dulu dan sewaktu kakek belum bangkrut.

Dan yang paling membuatku bangga pada ayahku. Karena aku masih sempat mendengar seorang penjual ikan berujar pada ayahku, “Daeng Rewa! Anak-anakku juga harus bersekolah seperti Samad.” Ayahku hanya tersenyum kepada penjual ikan itu. Lalu ayahku pun masih sempat berujar kepadaku, “Cepat ke sekolah anakku. Pendidikan adalah nomor satu buatmu. Ayah berjanji akan mewariskan pendidikan kepadamu.” Ketika kulihat mata ayahku berkaca-kaca, aku terus berlari menuju rumahku yang reot. Airmata ayahku adalah airmata penyesalan karena dulu tidak bersungguh-sungguh sekolah. Pun airmata ayahku adalah airmata doa dan harapan buatku untuk menggapai pendidikan.

Aku kian berlari sekencang-kencangnya di bibir Sungai Jeneberang. Tetapi celakanya kakiku terpeleset dan aku jatuh terguling-guling hingga masuk Sungai Jeneberang. Untungnya pinggir Sungai tersebut tidaklah dalam dan aku biasa bermain-main di pinggir sungai itu bersama teman-temanku.

Melihat aku terjatuh, ayahku dan para penjual ikan hanya bertepuk tangan. Ayahku bahkan mengacungkan tangannya. Aku tahu mereka memberiku semangat. Bahkan kebiasaan ayahku mengacungkan tangan kuat-kuat buatku selalu kuartikan “Anakku Samad! Engkau harus kuat, engkau anak hebat, engkau anak laut, engkau sabda laut.”

Sebenarnya aku sedikit meringis karena jari-jari kakiku tertusuk kulit kerang. Tetapi ketika aku melihat murid-murid sekolah dasar yang lewat yang umumnya perempuan menutup mulutnya dengan sapu tangan, mungkin mereka menahan ketawanya karena melihatku terjatuh berguling-guling di sungai, maka aku pun bergegas merangkak naik ke bibir Sungai Jeneberang. Lalu kembali aku berlari sekencang-kencangnya menuju rumahku. Air Sungai Jeneberang yang mengalir menuju Laut Barombong juga seolah mengejarku, bahkan aku seperti mendengar bisikan Sungai Jeneberang, “Duhai lelaki penguasa hilir Sungai Jeneberang! Duhai lelaki Pantai Barombong! Berlarilah terus meraih impian dan cita-citamu! Jatuh bangun adalah hal biasa. Engkau harus bisa!”

Akhirnya aku tiba di rumahku dengan nafas yang tak sempurna. Seluruh kancing bajuku lepas satu-satu. Tapi aku tak peduli. Dan yang paling membuatku kian bersemangat, pagi itu seolah aku mendengar lagi bisikan, tapi kali itu bisikan dari Laut Barombong, “Hari ini dan hari-hari selanjutnya, engkau harus pergi ke sekolah walaupun badanmu bau ikan. Engkau memang anak nelayan!”
Pantai Barombong, Makassar, 2010

Catatan:
1. Penjual ikan keliling dengan sepeda motor
2. “Ikan, Langgananku!”
3. “Walau banyak kerbaumu, bertumpuk hartamu, engkau tetap susah jika tak ada sekolahmu.”
FAJAR, 21 Nopember 2010

Selasa, 05 April 2011

CERPEN dul abdul rahman: SAM PARA DAN SAMARA

SAMPARA DAN SAMARA1
Cerpen: dul abdul rahman

Mujur benar nasib Sampara dan Samara. Sepasang suami isteri tersebut tidak jadi berangkat ke Malaysia sebagai TKI dan TKW. Keluarga Pak Fatih dan Ibu Fatimah mengangkat keduanya jadi pembantu sekaligus. Jadilah Sampara dan Samara tetap satu rumah dan berumah tangga. Berarti program untuk mendapatkan momongan secepatnya tetap terlaksana dengan baik. Sampara dan Samara adalah pasangan muda yang telah menikah selama lima tahun tetapi belum dikaruniai anak. Keduanya bertetangga di kampungnya, kedua orang tua mereka berprofesi sebagai petani. Sampara dan Samara hanya bersekolah sampai sekolah dasar. Mereka belum sempat mengikuti program pendidikan sembilan tahun, bukan berarti mereka tidak mau, tetapi kedua orang tua mereka memang tak sanggup menyekolahkan mereka. Sedangkan pendidikan gratis masih sebatas janji manis penghias kampanye pilkada. Boro-boro bersekolah, makan saja susah.

Meski hanya tamatan sekolah dasar, rupanya Sampara dan Samara punya visi yang baik. Mereka berdua berniat jadi TKI dan TKW bersama-sama. Mereka akan menabung gajinya sebagai modal usaha kelak. Cita-citanya yang paling mulia adalah menyekolahkan anak-anaknya kelak. Mereka sangat ingin anak-anaknya menjadi guru. Dulu, Sampara sangat mengidolakan sosok Pak Fatih, guru Bahasa Indonesianya di sekolah dasar. Pak Fatih begitu gagah perkasa dengan pakaian safari sambil mendongeng atau membaca puisi. Pun Samara sangat mengidolakan Ibu Fatimah, guru kesenian yang pintar menyanyi, tidak seperti Ibu Ros yang guru kesenian tapi tak bisa menyanyi. Ibu Fatimah juga cantik sehingga Samara selalu membayangkan dirinya sebagai Ibu Fatimah.

Kini. Pak Fatih dan Ibu Fatimah telah pindah ke ibukota propinsi, posisinya pun kian bagus. Setempo jadi guru di kampung, mereka hanya tinggal di kampus sekolah. Karena prestasi mereka yang bagus, sepasang suami isteri itu mendapat promosi, posisi yang lebih tinggi plus fasilitas yang memadai.

Laiknya orang-orang yang sudah punya jabatan, keluarga Pak Fatih dan Ibu Fatimah tergolong orang kaya. Mereka sudah punya rumah yang besar dan mewah, berlokasi di perumahan elit, kendaraan pribadi, pun fasilitas lainnya.

Sampara dan Samara bisa jadi pembantu di rumah Pak Fatih dan Ibu Fatimah, karena keluarga guru tersebut sudah mengenal Sampara dan Samara sejak di sekolah dasar. Mereka menilai Sampara dan Samara adalah murid yang jujur dan pintar dulu yang kebetulan berjodoh.

Sampara dan Samara sangat senang karena kedua majikannya adalah gurunya. Mereka tetap memanggil keduanya Pak Guru dan Ibu Guru. Tidak ada memang mantan guru. Buat Sampara dan Samara, semua guru yang mengajarnya di sekolah dasar dulu dianggapnya sebagai gurunya, mereka tak pernah bilang, “Ia mantan guruku.” Mereka selalu bilang “Ia guruku di sekolah dasar.”

Sampara bekerja sebagai sopir pribadi. Pak Fatih dan Ibu Fatimah berbeda kantor. Pak Fatih bisa berkendara sendiri dan tidak bisa selalu mengantar isterinya, apalagi kantor Pak Fatih terletak di timur kota, sedangkan Ibu Fatimah di barat kota. Ibu Fatimah takut mengendarai mobil, ia trauma sewaktu tabrakan setahun silam. Sampara mengantar-jemput Ibu Fatimah. Di sela-sela waktu, Sampara mengurusi kebersihan pekarangan rumah. Samara mengurusi urusan rumah tangga. Dari mencuci hingga urusan masak-memasak.

Di sela-sela pekerjaan mereka, Sampara dan Samara juga bercinta. Mereka sangat bahagia bisa bercinta dengan buas di kasur empuk serta kamar yang luas. Sampara dan Samara benar-benar puas. Bila kedua majikannya berangkat ke kantor, tinggallah mereka berdua di rumah. Kedua putra-putri Pak Fatih dan Ibu Fatimah tinggal di pesantren putra dan pesantren putri. Biasanya mereka pulang ke rumah sebulan sekali. Mungkin karena bersekolah di pesantren, kedua anak majikannya berlaku sopan kepada pembantu.


“Asyik ya Mama, bekerja disini seperti di rumah sendiri.”

“Betul Papa, Pak Guru dan Ibu Guru baik sekali.” Samara mengamini suaminya. Laiknya suami isteri lainnya, Sampara dan Samara selalu berpapa-mama.

“Pak Guru dan Ibu Guru benar-benar baik Mama, mereka memberi kita kasur empuk agar kometku semangat menerjang rembulan Mama.”

“Papa!” Samara mencubit suaminya. Sampara memang suka menggunakan metafora sebagaimana yang diajarkan oleh Pak Fatih dulu di sekolah.

“Mama! itu bukan bahasa papa, tetapi bahasa Pak Guru Fatih dulu.”

Sampara dan Samara bila menyebut nama Pak fatih dan Ibu Fatimah selalu diikuti oleh nama “guru”. Padahal para tetangga selalu tercengang kalau menyebut nama guru. Mungkin para tetangga berpikir bahwa guru tak bisa memiliki rumah seperti itu. Guru biasanya hanya mampu membeli rumah sederhana dengan sistem kredit. Para tetangganya mungkin tidak tahu bahwa Pak Fatih dan Ibu Fatimah tidak lagi sebagai guru, tetapi mereka hanya mengurusi para guru.

“Papa…!”

“Mama…!”

Sampara dan Samara berandai-andai. Kelak anak-anaknya cakep, cantik, pintar seperti anak-anak majikannya, karena mereka juga bercinta di kasur empuk dan di rumah mewah seperti Pak Fatih dan Ibu Fatimah.

Rupanya, Sampara dan Samara semakin punya visi bervariasi. Dulu, yang penting anak-anaknya bisa bersekolah. Sekarang macam-macam dan terkadang seperti punguk merindukan bulan. Padahal peribahasa itu sering diungkapkan dulu oleh Pak Fatih pada Sampara di sekolah.

Sampara dan Samara ingin mempunyai anak laki-laki yang berbadan tinggi, berhidung mancung dan rambut lurus seperti putra Pak Fatih dan Ibu Fatimah. Atau seperti artis mandarin yang sering mereka tonton di teve, padahal Sampara berhidung penyok seperti sudah diseruduk mobil, pun rambut keriting serupa indomie. Lalu mereka menginginkan anak perempuan berparas cantik, kulit putih bersih, serti bibir tipis seperti putri Pak Fatih dan Ibu Fatimah, padahal Sampara dan Samara berkulit gelap dan berdower.

Sejak tinggal di rumah Pak Fatih dan Ibu Fatimah, mereka tak ketinggalan informasi. Bahkan Sampara dan Samara menghafal semua jadwal acara teve. Pun keduanya sudah menghafal gosip seputar selebriti, keduanya pun sudah paham makna berselingkuh. Sampara sangat mengidolakan artis Beby Silvia yang mirip Ibu Fatimah. Samara mengidolakan aktor Hengky Tornando yang mirip Pak Fatih. Kalau Hengky Tornando dan Beby Silvia selalu akur karena memang pasangan suami isteri, atau tentu saja Pak Fatih dan Ibu Fatimah, Sampara dan Samara terkadang sudah berani mengejek pasangan masing-masing.

“Andaikan hidung papa mancung seperti hidung Pak Fatih.”

“Andaikan bibir mama seperti bibir Ibu Fatimah.”

“Ih papa! Tidak berkaca.”

“Mama yang tidak berkaca.”

“Papa yang mulai.”

“Mama yang mulai.”

“Sudahlah, Pa! Iklannya sudah selesai.”

Mungkin ada juga manfaatnya keduanya selalu bertengkar di setiap jeda iklan. Karena jika iklan pun dilahapnya, entah bagaimana lagi mimpi-mimpi Sampara dan Samara. Mungkin keduanya berlomba-lomba mau di rebounding, atau Samara selalu ingin memakai sabun Giv biar kulitnya seputih Santi atau Sinta. Atau Sampara ingin pakai rexona, agar ada cewek secantik Cut Tari mendekatinya.

“Pak Fatih!” Samara setengah menjerit. Sampara melompat segera membuka pintu garasi. Samara cekikikan. Sampara pun gusar dibuatnya karena Pak Fatih belum datang, ternyata artis Hengky Tornando yang mirip Pak Fatih muncul di teve.

“Hati-hati menyebut nama Pak Fatih!”

“Papa juga hati-hati menyebut nama Ibu Fatimah!”

Akhirnya, karena mengidolakan Hengky Tornando, Samara senang melihat Pak Fatih. Sampara yang mengidolakan Beby Silvia, sangat deg-degan bila dekat dengan Ibu Fatimah.

“Oh Fatimah, Sayang!”

“Oh Fatih, Sayang!”

“Sudah lama aku merindukanmu Fatimah.”

“Sudah lama aku mengimpikanmu Fatih.”

Keduanya berpelukan erat. Lekat. Keduanya benar-benar bernafsu. Mereka tak menghiraukan sekitarnya. Kasur empuk seolah menjelma dunia yang hanya milik mereka berdua. Malam itu memang gelap. Terjadi pemadaman listrik secara bergiliran oleh pihak PLN.

Tiba-tiba lampu di kamar yang hanya terdengar nama Fatih dan Fatimah menyala. Kedua pasangan pembantu rumah tangga itu bersitatap malu.

“Mengapa mama menyebut nama Pak Fatih?”

“Nuduh, papa yang selalu menyebut nama Ibu Fatimah.”

“Mama tidak mencintaiku lagi.”

“Papa yang tidak mencintaiku.”

“Ssst! Nanti kedengaran oleh Pak Fatih dan Ibu Fatimah.” Sampara meletakkan jari telunjuk di hidungnya karena mendengar ada gerak langkah mendekati kamarnya. Sampara dan Samara semakin deg-degan, langkah itu kian dekat. Mereka berdua bersegera berkemas sesopan mungkin. Dan…

“Tok! Tok! Tok!”

Sampara membuka pintu. Wajah Sampara dan Samara memucat karena majikannya sudah berdiri di depannya. Sampara dan Samara tak berani melihat majikannya. Keduanya hanya menunduk seolah sudah tahu apa kesalahannya.

“Sampara!”

“Samara!”

“Cintailah diri sendiri! Cintailah isterimu! Cintailah suamimu! Jangan mimpi macam-macam! Besok tidak boleh lagi nonton teve.”

“Awas kalau kamu mengganggu suamiku.”

“Awas kalau kamu mengganggu isteriku.”

Sampara dan Samara semakin ketakutan dan tak berani mengangkat kepala. Tapi hati keduanya berangsur tenang karena kedua majikannya bergegas meninggalkan mereka setelah mengancamnya. Pak Fatih dan Ibu Fatimah hanya bisa menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ternyata diam-diam, para pembantunya mengidolakan mereka berdua.

“Papa memang cakep, mirip Hengky Tornando.”

“Ah mama! Mama yang mirip Beby Silvia.”


Pak Fatih dan Ibu Fatimah bersitatap mesra. Tapi kemiringan tatapannya seperti pura-pura. Lalu keduanya bergegas masuk kamar. Pak Fatih sudah tak tahan ingin membayangkan wajah sekretarisnya di kantor yang selalu sok sibuk keluar masuk ruang kerjanya. Ibu Fatimah bahkan sudah merinding membayangkan pelukan teman sekantornya yang selalu menemaninya makan siang di luar kantor walau masih jam sepuluh pagi.

1. Cerpen “SAMPARA DAN SAMARA” dimuat Harian Fajar, Ahad 18 Juli 2010