Senin, 07 Maret 2011

CERPEN dul abdul rahman: PERCAKAPAN BURUNG-BURUNG

PERCAKAPAN BURUNG-BURUNG
Cerpen: Dul Abdul Rahman

Suatu ketika, berkumpullah segala jenis burung dari seantero mayapada. Mereka ingin membicarakan habitatnya yang mulai terancam. Konon, pertemuan berskala internasional tersebut diadakan di puncak gunung Bawakaraeng. Ada beberapa alasan mengapa mereka mengadakan pertemuan disana. Mereka memperkirakan jika pembabatan hutan di kawasan gunung itu terus berlangsung, diperkirakan seratus tahun kemudian gunung Bawakaraeng akan menjadi daratan. Erosi dan banjir bandang meluluhlantakkan daerah-daerah sekitarnya. Sementara lempeng Australia yang terus bermesraan dengan pulau Nusa Tenggara akan dikutuk oleh gempa bumi berkekuatan di atas 10 skala richter.
Prediksi tersebut cukup meresahkan bangsa burung. Karena gempa yang hanya berkekuatan 8,9 skala richter mampu memorak-morandakan sebagian negara di kawasan Asia dan Afrika Timur lewat senjata tsunaminya. Apalagi bila berkekuatan di atas 10 skala richter, maka bangsa burung memperkirakan pulau Sulawesi akan tenggelam tanpa senjata perisai yang bernama gunung dan hutan.
Hipotesis bangsa burung mulai menemukan titik-titik kebenaran ketika beberapa sungai yang berhulu di gunung Bawakaraeng ngambek dan mengencingi kawasan sekitarnya. Yang paling emosi adalah sungai Mangottong di Sinjai, karena selain pasirnya dikeruk tanpa permisi lalu diangkut dengan kendaraan plat merah. Pun wajahnya selalu ditampar dengan sampah yang dibawa oleh kendaraan plat merah. Merah berarti darah. Darah harus dibalas dengan darah. Begitulah kemasygulan sungai Mangottong.
Dan. Alasan utama pertemuan diadakan di puncak Bawakaraeng, karena para bangsa burung merasa tempat itulah paling aman saat ini. Apalagi disana sudah bermukim burung Hud-hud yang bermigrasi dari tanah Libanon karena tak kuat menahan kekejaman serdadu Israel yang membumihanguskan kawasan hutan yang subur di kota Tyre. Burung Hud-hud kecintaan Nabi Sulaeman, memang telah diangkat menjadi sekjen Perserikatan Bangsa Burung secara aklamasi. Ia dianggap cakap dan mampu memperjuangkan hak-hak asasai bangsa burung yang selalu terdzalimi.
Laiknya pimpinan sidang, burung Hud-hud mulai membuka sidang dengan mengepakkan sayapnya tiga kali. Semua yang hadir memberikan aplaus panjang dengan berbunyi nyaring. Saking banyaknya burung yang datang, maka sebagian menginap di kawasan gunung Lompobattang. Bagi beberapa burung, menginap di kedua puncak gunung tersebut laiknya menginap di hotel berbintang lima.
”Hadirin para bangsa burung yang berbahagia. Sebelum kita mengambil kebijakan-kebijakan akan masa depan kita, terlebih dahulu saya memberikan kesempatan kepada kalian untuk menumpahkan segala uneg-uneg. Ingat, ini pertemuan internasional, harap menyebutkan nama asli.” Ujar burung Hud-hud yang bermahkota itu.
Serempak seluruh burung berbunyi gegap gempita pertanda ingin menumpahkan segala keresahannya. Namun burung Hud-hud yang bijak memberi kesempatan pertama kepada burung Penguin. Karena ia adalah burung yang paling jauh kampung halamannya di kutub selatan. Ia juga burung yang paling patah hati karena tidak bisa memeluk angkasa. Maksud hati memeluk angkasa apa daya sayap tak sampai. Selalu bagitulah keluh kesah burung Penguin.
”Saudaraku sekalian, nama saya sphenisciformes,” Penguin memperkenalkan diri. ”Saya sangat senang berada disini, apalagi ini pengalaman pertama saya berada di gunung. Saya kemari dengan berenang melintasi lautan Atlantik yang ganas. Sebelumnya saya singgah di suatu tempat yang bernama New York.”
”Wow, sungguh menarik.” Burung yang lain menyela.
”Nah inilah yang saya mau ceritakan. Di kota New York itu ada tempat perkantoran yang menyontek nama perkumpulan kita. Kalau tak salah, namanya Perserikatan Bangsa Bangsa, mirip dengan nama perkumpulan kita PBB. Yang menjadi persoalan sekarang karena penggunaan nama itu merusak citra nama perkumpulan kita.” Burung Penguin rupanya kelelahan. Wajar memang karena ia melakukan perjalanan yang maha jauh.
”Teruskan!” Ketua sidang memberi semangat.
”Begini, ternyata lembaga itu hanya kaki tangan Amerika untuk menggenggam dunia dengan tangan kotornya. Lihatlah lembaga itu impoten tatkala Amerika mengalirkan darah orang-orang Iraq yang tak berdosa. Lihatlah sekarang! Betapa lembaga yang menamakan diri PBB itu sengaja memberi waktu kepada Israel yang notabene teman main Amerika untuk menghancurkan Palestina dan Libanon. Lihatlah! Airmata darah anak-anak Palestina yang tak berdosa dijadikan obat awet muda oleh serdadu Israel.”
”Buset...! Buset...!” Gemuruh para burung mengutuk kekejaman Israel. Pun pepohonan tak kalah geramnya. Seluruh dahan-dahannya bergoyang kesana kemari seperti menampar serdadu Israel.
”Hadirin dimohon tenang. Kita sebaiknya berpikir dengan kepala dingin. Kekejaman Israel memang sudah tak bisa lagi ditolerir, tapi....”
”Huuu....” Belum juga selesai penjelasan burung Hud-hud, burung yang lain memprotes.
”Baiklah hadirin, sebaiknya masalah ini tak usah kita permasalahkan panjang lebar. Ini masalah politik. Kita harus waspada, jangan sampai kita ikut terjerumus. Baiklah kita persilahkan lagi burung yang lain menceritakan pengalamannya. Burung Hud-hud memang terkenal jago bersilat lidah tapi agak pengecut.
”Nama saya Leptoptilos Javanicus.” Burung Bangau memperkenalkan diri. ”Saat ini saya menetap di Pulau Jawa, tapi akhir-akhir ini kami sekeluarga resah karena habitat kami tergenang oleh lumpur beracun. Manusia sangat rakus membangun industri tanpa memperhatikan amdal.” Burung Bangau memaparkan penuh haru karena sebagian keluarga mereka menjadi korban lumpur panas nan ganas.
Hadirin terdiam. Pertanda keprihatinan mendalam atas segala musibah yang menimpa. Airmata pepohonan mulai bertitik-titik, tapi ia masih menahan airmatanya sampai mewujud jadi embun esok hari. Dalam diam, angin nan sejuk mencoba menghibur para burung. Ia merayu pepohonan agar dahannya sudi meniup biola walau tanpa dawai.
”Nama saya Geopelia Striata.” Burung perkutut membelah kesunyian. ”Saya tinggal di pedalaman hutan Kalimantan, tapi hutan Kalimantan sekarang kurang nyaman. Pembalakan liar terjadi dimana-mana.”
”Krghhh... Dimana-mana manusia memang serakah.” Burung Kondor dari pegunungan Andes terlihat emosi dengan mengerkau ranting pepohonan. Ia terlihat kedinginan karena dari sononya memang leher dan kepalanya tidak berbulu.
Angin barubu dari arah selatan gunung Bawakaraeng terus berkesiur memberi hiburan gratis kepada peserta rapat. Sementara titik-titik embun merintih lirih di dedaunan menunggu pagi. Mereka meratapi kemalangan nasib bangsa burung.
”Apa kareba? Nama saya Graculla Religiosa.” Burung Beo kelihatan malu-malu memperkenalkan diri. Suaranya serak-serak basah.
Semua tercengang mendengar penuturan burung Beo. Logat bicaranya terdengar asing. ”Ada apa denganmu burung Beo? Logat bicaramu aneh.” Burung Enggang yang sering disapa Mr. Bucerass Rhinoceros bersuara parau. Ia memang termasuk burung yang disegani karena tubuhnya yang besar.
”Saya korban perdagangan gelap yang dilakukan manusia. Saya terdampar di sebuah rumah mewah di Makassar. Urat leher saya pecah karena dipaksa bersuara seperti manusia. Manusia sangat egois, hanya memperjuangkan dirinya sendiri dengan embel-embel perikemanusiaan, mereka tidak mengenal arti perikeburunan. Meskipun kata perikemanusiaan dan perikeburunan memang beda tapi maknanya sama, saling menyayangi.” Airmata burung Beo menganak sungai menuju sungai Mangottong, pertanda ia menahan penderitaan yang amat mendalam.
Diam. Tak ada suara. Pun angin, pepohonan terpaku. Hanya bulan sesekali mengintip lewat celah pepohonan. Bintang mengantuk. Langit pucat, seperti tak sanggup lagi menerima bisikan kabut yang menggendong asap hasil pembakaran hutan pulau Sumatra dan Kalimantan.
”Ceritakanlah kepada kami bagaimana burung Beo bisa lepas dari cengkeraman manusia.” Burung Camar yang biasa dipanggil Thalasseus Bengalensia rupanya sangat tertarik dengan cerita burung Beo.
”Untungnya, senjata avian influenza yang pernah kita uji cobakan di Inggris dan Cina nyasar ke Indonesia. Karena tuan saya takut terjangkiti firus flu burung, maka ia melepaskan saya.”
”Bagus! Bagus! Sebelum kita menciptakan senjata yang lebih dahsyat dari flu burung untuk melawan keserakahan manusia, kita dengar dulu cerita burung parkit.” Burung Hud-hud memberi arahan.
”Nama saya Psitacula Passerina.” Burung parkit memperkenalkan diri. Burung ini memang yang paling kecil di antara burung-burung yang hadir, tapi semangatnya sebesar gunung Bawakaraeng. Cericitnya saja seolah membelah gunung Lompobattang, bahkan menggetarkan gunung Latimojong yang jauh.
”Keluarga kami tersebar dimana-mana, dari puncak Himalaya sampai lembah sungai Nil. Tapi keluarga kami lebih suka tinggal di pegunungan Jayawijaya Papua. Sayang, hutan disana mulai rusak, bahkan polusi udara tak kalah kejamnya, muntahan mulut Freeport.” Kelompok burung parkit tersedu dalam tangis.
”Hadirin yang berbahagia, setelah mendengarkan penuturan beberapa teman, tibalah saatnya kita menciptakan senjata ampuh peredam ketamakan manusia.” Burung Hud-hud mengepakkan sayap dua kali.
”Interupsi ketua sidang.” Teriak buruk Elang.
”Silakan Mr. Microhierax Caeralescens.”
”Saya tidak setuju kalau kita menciptakan lagi senjata yang menakutkan manusia. Senjata flu burung sudah membuat mereka ketar-ketir.” Burung Elang nampaknya tak punya rasa dendam.
”Huuu... ” Koor burung-burung lainnya pertanda tidak setuju dengan burung Elang.
”Ingat kawan-kawan! Bukankah dengan penyakit flu burung korbannya yang paling banyak adalah kita sendiri,” burung elang tak mau kalah. Pro-kontra pun terjadi. Akhirnya voting pun tak terelakkan. Hasilnya, akan diciptakan senjata ampuh untuk melaknat manusia-manusia yang berlumuran dosa.
”Baiklah saya persilakan burung Kakatua mengumumkan jenis senjata yang mematikan itu.” Ketua sidang mengarahkan kembali.
Burung Kakatua yang bernama asli Cacatua menjelaskan, ”Baiklah saya akan mengemukakan jenis senjata ampuh itu yang lebih dahsyat dibandingkan dengan flu burung. Tapi jenis senjata itu diperuntukkan untuk kaum pria yang tidak setia kepada istrinya, yang selalu berhubungan dengan perempuan yang bukan istrinya. Gejalanya begini, setiap selesai berhubungan maka alat kelaminnya melepuh dan tak bisa berfungsi lagi.”
”Lalu apa hubungannya dengan kita?” Burung Punai menyela.
”Ada hubungannya Mr. Treron Curvirostra, karena ternyata manusia itu melecehkan nama kita, nama burung selalu dipelesetkan.” Burung Kakatua mengakhiri penjelasannya.
”Tapi mengapa kita begitu kejam, bukankah rasa perikeburunan itu intinya adalah kasih sayang sesama makhluk hidup.” Rupanya burung Elang masih kasihan pada manusia.
”Kita sebenarnya tidak kejam, kita cuma memberi pelajaran kepada manusia. Penyakit flu burung tidak akan mengjangkiti manusia bila mereka selalu menjaga lingkungannya yang notabene habitat kita juga. Manusia juga jangan asal mengkomsumsi daging burung, bukankah agama mereka mengajarkan konsep halalan tayyiban? Selanjutnya senjata ampuh yang kita akan kirimkan tidak akan mengjangkiti mereka asal selalu menjaga kehormatannya, tidak bergaul bebas.” Burung Hud-hud berusaha meyakinkan rekan-rekannya.
”Lalu apa nama senjata pamungkas yang baru itu?” Burung Punai penasaran.
”Kalau flu burung nama aslinya avian influenza karena kita mengadakan uji coba pertama kali di negara Inggris. Sementara penyakit ini kita akan uji cobakan pertama kali di Makassar. Jadi nama aslinya adalah Flu Burung Daeng.
Aplaus panjang. Pertanda setuju dengan nama penyakit yang akan diujicobakan di Makassar. Sementara burung Beo hanya terkekeh-kekeh. Ia mengingat mantan tuannya yang tinggal di Makassar yang pernah membawanya bertamasya ke jalan Nusantara. Tempat para pasangan selingkuh menghempas birahi.
Akhirnya rapat ditutup dengan seruling angin barubu yang bernada Angin Mammiri ditingkahi goyangan pepohonan berirama Pakkarena.

Sinjai-Makassar, 2006
1. Cerpen ”PERCAKAPAN BURUNG-BURUNG” dimuat Harian Fajar, Ahad 18 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar