Sabtu, 05 Maret 2011

cerpen dul abdul rahman: BANGSAL 076

BANGSAL 076
OLEH: dul abdul rahman

“Triiiiit…Triiiiit…Triiiiit…”
Aku terperanjat. Bunyi itu lagi. Aku hafal betul. Aku sengaja memberi ring tone khusus pada nomor tersebut di HP-ku. Entah siapa. Ia hanya mengaku Bangsal 076. Awalnya aku menganggapnya iseng. Tapi nomor itu hampir tiap malam mengunjungiku. Oleh-olehnya pun selalu menyudutkanku. Seperti malam ini SMS-nya berbunyi: “Beddu. Berhentilah mendendangkan lagu cinta buatku. Cinta bukan khayalan. Cinta adalah realita. Cinta adalah pemenuhan nafkah lahir batin. Ingat! Hidup tak seindah puisi.”
Harga diriku seolah-olah ditelanjangi. Perasaan jengkel berkecamuk di benakku. Sejauh ini aku berusaha memenuhi kebutuhan isteriku. Tiba-tiba ada orang iseng. “Akh, mungkin ada lelaki yang iri melihat kecantikan isteriku,” aku mencoba menenankan batinku.
Isteriku memang amat memesona. Ia blasteran Arab-Ambon. Meski sedikit hitam tapi manisnya melebihi madu Arab. Senyum simpulnya membuat perasaan lelaki berdesir-desir bagai tertiup angin malam yang beraroma birahi.
Meski tiga bulan terakhir, roda ekonomiku carut-marut karena aku di-PHK, perusahaan tempatku mengais rezeki bangkrut sebagai imbas dari krisis ekonomi yang tiada henti. Isteriku tak pernah mengeluh. Soal nafkah batin. Jangan tanya. Setiap selesai aku mainkan lakon-lakon asmaradana, ia selalu mengangkat dua jempol pertanda puas.
“Abang memang striker haus gol.” Selalu demikian bisiknya. Ia tak pernah tahu bahwa aku selalu memesan serbuk Dhab masri pada tetanggaku yang kebetulan naik Tanah Suci. Dhab masri adalah kadal Mesir, berkhasiat untuk obat kuat, yang khasiatnya lebih dahsyat dari sanrego. Telah digunakan oleh para bangsawan Mesir Kuno.
Menurut pengakuan isteriku, aku adalah lelaki pencinta sejati. Romantis. Simpatik. Ia tak pernah tahu bahwa aku telah hafal luar kepala berjilid-jilid mantra kakekku, yang telah menikah empat puluh kali. Sayang, Jaya Suprana dan Muri-nya belum ada waktu itu.

Sejak di-PHK, aku bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan multilevel yang ternama di Makassar. Apa boleh buat. Pekerjaan ini harus kulakoni untuk menopang denyut kehidupanku. Meski pamorku turun, yang penting halal.
Di mata masyarakat, profesiku dianggap kelas gurem. Aku membayangkan mertuaku pasti menolakku mentah-mentah andai ketika kulamar anak gadisnya dulu aku berprofesi sebagai satpam. Untung waktu itu, aku bekerja di sebuah perusahaan. Isteriku apalagi. Pasti ia sangat malu dilamar seorang satpam.
Aku ingat ketika masih kuliah dulu bersama isteriku. Ia pernah bilang, “tampang sih oke, tapi amit-amit deh cuma satpam, gengsi dong.”
Selalu demikian jawabnya ketika kujodoh-jodohkan dengan seorang satpam muda di kampusku. Padahal wajah Satpam itu lumayan. Sekarang suasananya sudah lain. Aku. Suaminya. Seorang Satpam. Apakah ucapannya dulu masih terekam di file-nya?
Sebenarnya aku telah berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih bergengsi. Tapi semua perusahaan yang kukunjungi selalu “No V”(Tidak ada lowongan). Bukan hanya aku yang bernasib demikian. Ribuan pelamar pun gigit jari. Aku sedikit lebih beruntung bisa jadi satpam. Itupun atas rekomendasi isteriku. Ia memang kukenal supel dalam bergaul. Ia kenal baik dengan bos-ku. Itulah sedikit pereda kegelisahanku, karena ia merestuiku jadi satpam. Namun aku tetap berharap dan berusaha suatu saat akan mendapatkan pekerjaan yang lebih bergengsi di mata isteriku.
Sebagai satpam, tentu saja roda ekonomiku tidak semulus dahulu. Itulah sebabnya ketika isteriku merengek untuk ikut bekerja terpaksa kukabulkan. Padahal sejak dulu aku berprinsip, isteri sebaiknya di rumah saja. Cukup aku sebagai suami yang bekerja. Ataupun kalau isteri mau bekerja, cukup di rumah saja, semacam home-industri-lah.
Pak Bora. Bos perusahaan tempatku bekerja sangat senang isteriku bekerja di kantornya.
“Pak Beddu, aku senang isteri Bapak bekerja disini. Ia sangat teliti dan ulet.”
Seingatku, isteriku memang menguasai seluk beluk akuntansi. Bahkan dulu pernah menjadi bendahara di kampus.
Sejak isteriku bekerja, aku terpaksa tugas malam. Isteriku mengusulkan demikian, agar ada yang mengurus anak Berarti ketika isteriku bekerja aku di rumah. Ketika aku bekerja ia di rumah. Ketika kukonsultasikan pada Pak Bora. Ia bahkan teramat menyetujuinya.
Kini isteriku lebih ceria. Ia sudah bekerja. Aku sangat mendukungnya. Namun, sejak itu badai kegelisahan melanda batinku. Karena sama-sama kerja, kami hanya bisa menikmati malam bersama hanya pada malam minggu saja. Itupun tidak seperti dulu lagi. Isteriku begitu dingin setiap kali aku membuka layar untuk mendayung bersama.
Tapi. Sekali lagi. Badai kegelisahanku laksana Tsunami ketika SMS gelap yang mengaku Bangsal 076 nongol di HP-ku. “Apa yang diharapkan dari lelaki Satpam sepertimu Beddu? Amit-amit deh.”
Rona merah terlukis di wajahku membacanya. ”Penghinaan ini sudah sangat keterlaluan,” pikirku. Tapi siapa? Aku selalu berusaha menghubungi-nya, tapi tak pernah diangkat. Pernah aku menghubunginya, tapi tak pernah diangkat.
Pernah aku menghubunginya lewat wartel, tapi tetap tidak diangkat. Kejadian ini tak pernah kuberitahu isteriku. Aku takut ia salah sangka. Aku takut ia curiga bahwa aku jatuh cinta pada wanita lain. Meski wanita itu menolakku, tapi setidaknya di mata isteriku, aku sudah mencoba menduakannya. Aku tak mau hal itu terjadi.
Aku mencoba melacak sendiri nomor misterius yang mengaku Bangsal 076, tapi aku tak menemukan titik terang. Aku mencoba meraba-raba beberapa kemungkinan. Akhirnya aku membuat kemungkinan yang menurutku paling mungkin. Ia menggunakan angka 076, bila dijumlah menjadi angka 13. Ia berusaha menakuti-nakuti aku. Mungkin ia salah satu cowok yang ditolak oleh isteriku dulu. Aku mencoba membesarkan hatiku.

Malam itu tidak seperti biasanya. Aku terlalu lelah. Rasa bosan menggerogoti-ku. Menghabiskan malam dengan melawan rasa ngantuk, telah mengikis tanggul-tanggul tenaga-ku. Aku merasa tak seperti dulu lagi. Kalau dulu aku merasa seperti kadal Mesir yang mampu jungkir-balik memorak-porandakan targetku. Sekarang aku merasa seperti cecak hitam yang hanya mampu menatap iba ekor buntung akibat dipreteli oleh musuh.
Bahkan isteriku yang hobi nonton bola, pernah menyindirku. “Ingat Bang! Biar main cantik tapi kalau tak ada gol, mainnya sia-sia dong. Tandukan Abang tidak sedahsyat dulu lagi.” Isteriku memang ceplas-ceplos. Selalu berterus terang.
Aku memutuskan untuk free malam ini. Aku pikir masih ada temanku satu orang yang jaga. Aku pesan padanya agar Pak Bora tak sampai tahu. “Aku ingin mencoba lagi Dhab masri-ku,” aku tersenyum pada diri sendiri.
“Kok Abang pulang? Biasanya kan pulang pagi.”
Isteriku menyambut kedatanganku begitu dingin, sedingin malam yang menyapa embun-embun yang mulai bertitik-titik.
“Aku ingin bersamamu, Sayang.”
“Malam ini?”
“Ya, malam ini, Sayang.”
“Ta… tapi, malam ini aku ada undangan, Bang.”
“Undangan???”
“Ya, sebagai staf, aku ditunjuk menemani Pak Bora menemui rekan bisnisnya dari Singapura. Pertemuan tersebut tak boleh ditunda-tunda. Katanya ini peluang emas, tidak boleh disia-siakan.”
Hening sesaat. Aku terdiam. Pikiran-ku berkecamuk. Aku merasa tak berharga lagi. Isteriku lebih mengutamakan pekerjaannya daripada aku. Apalagi malam ini ia bersama dengan Pak Bora. Bos-ku sendiri yang selalu tampil parlente. Sedangkan aku? Aku cuma seorang satpam yang tak bisa berpenampilan parlente. Mungkinkah isteriku sudah bosan dengan kehidupanku?
“Kata Pak Bora, cuma tiga jam, Bang.”
“Tiga jam???”
Isteriku segera berangkat. Ia nampak anggun nan memesona. Ada rasa cemburu membuncah-buncah di kelopak hatiku. Tak lupa ia memamerkan senyum simpulnya. Namun aku merasakan tak setulus dulu lagi. Sorot matanya yang dulu polos, tak ada api pencipta segala derita. Kini titik-titik bara menghiasi bola matanya, sepertinya siap menghanguskan sendi-sendi kehidupan-ku.
“Akh, kenapa aku terlalu berburuk sangka pada isteriku? Mengapa aku harus cemburu buta padanya? Bukankah ia isteri yang baik?,” aku membatin.
“Triiiiit…Triiiiit…Triiiiit…”.
Aku terperanjat. Bunyi itu lagi. Aku mengecek HP-ku. Tidak aktif. Aku menoleh ke dalam. Aku terkejut melihat HP Nokia 8800. “Mungkin HP isteriku yang ketinggalan, tapi kapan ia beli HP semahal itu?” Pikirku.
Dengan hati tak karuan, aku mencoba mengangkatnya.
“Bangsal 076 sayangku, aku menunggumu penuh kerinduan, aku sudah tak tahan lagi ingin menikmati malam bersamamu,” suara baritone Pak Bora nyerocos tanpa ba-bi-bu disana.
Tubuhku mendadak lemas. Seluruh persendian-ku kaku. Tulang-tulangku remuk redam. Darahku terasa membeku seolah-olah aku berada di puncak Bawakaraeng di bulan September. Perasaanku yang memang belakangan ini tak karuan, kini semakin tercabik-cabik serupa anak ayam malang yang dicincang oleh sekawanan burung gagak. Di luar, embun yang bertitik-titik yang ikhlas menghias malam menghilang begitu saja, diganti dengan rintihan air hujan. Gulita menyergap malam.

Sinjai-Makassar, Agustus 2005
1. Cerpen “BANGSAL 076” dimuat Harian Fajar, Ahad 18 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar