Kamis, 24 Februari 2011

CERPEN dul abdul rahman: W A R I S A N

WARISAN1
CERPEN: dul abdul rahman

Meski malam baru saja menghalau cahaya siang, namun kali ini terasa sunyi sekali. Mendung yang sedari sore datang menyapa sepertinya enggan menyentuh kulit bumi. Hanya sesekali terdengar titik hujan gemercik malu-malu di atap seng yang mulai berlubang. Sayup-sayup terdengar gemerusuk daun-daun tertiup angin. Affif Hopping terjaga. Matanya awas memandang sekelilingnya. Beribu macam gelisah bercampur sesak bergemuruh di dadanya.
Affif Hopping memandangi adiknya Sitti Delicia. Adik satu-satunya yang menjadi pengharapannya. Andai bukan karena adiknya, mungkin ia telah mengakhiri kembara hidupnya. Ia teramat lelah.
Gemuruh hati Affif Hopping seirama dengan gemuruh angin barubu dari arah Gunung Bawakaraeng. Matanya tertuju pada sebilah keris tua peninggalan ayahnya yang terselip di dinding. Lalu ia pandangi wajah adiknya yang sangat mirip almarhumah ibunya, Radevi. Ibu yang selalu mendekapnya sambil mendendangkan irama lagu khas tanah Ambon. “Aku tak mungkin melukai ibu,” gumamnya.
Affif Hopping kembali menatap keris berhulu tanduk kerbau itu. Ia menengadah sambil menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya, wajah yang mirip almarhum ayahnya, La Beddu. Ayah yang selalu bercerita setiap menjelang tidur. Cerita tentang kakeknya yang mempunyai empat puluh isteri. Cerita yang unik karena kakeknya menikahi seekor kerbau sebagai isteri terakhir kemudian menyembelihnya sebagai ungkapan nazar. Kemudian cerita kasmaran Sawerigading yang mencintai I We Tenriabeng. Cerita cinta Romeo dan Juliet yang melegenda. Dan yang tak kalah mengharukannya kisah percintaan antara ayah dan ibunya. “Tidaaak, aku tak mungkin melukai ayah, aku sangat mencintai ayah,” gumamnya sekali lagi.
Gemuruh dalam dada Affif Hopping belum juga reda, namun kali ini ia mulai ragu menancapkan matanya pada keris tua itu. Ia melekatkan matanya pada bingkai foto kedua orang tuanya. Bingkai yang juga penggambaran dirinya dan adiknya.
Affif Hopping mencoba menarik nafas panjang. “Akh pantas saja ayah tergila-gila pada ibu, ibu sangat memesona. Sorot matanya polos, tak ada api pencipta segala benci. Senyumnya ikhlas, tak ada dusta pencipta segala derita. Wajahnya yang keibuan laksana danau jingga, tempat berlabuh segala hati yang resah.”
Gemuruh dalam dada Affif Hopping sedikit mereda seirama dengan angin barubu yang tak mampu menerobos Gunung Lompobattang. Puas memelototi potret ibunya, ia merasa tak adil kalau tak singgah ke potret ayahnya, namun ia merasa sangat malu ketika melihat sosok ayahnya tersenyum meski goresan-goresan kesedihan bias di wajahnya.
“Akh pantas saja ayah didaulat sebagai pelanjut marga kakek meski saudara-saudara ayah banyak yang cemburu. Ayah sangat mencintai dan mengasihi istri dan anak-anaknya. Ayah sangat bertanggung jawab. Sebagai anak sulung, ayah sosok yang mandiri dan tak bergantung pada kakek. Kadangkala memang ayah nampak egois tapi alasan ayah demi kebaikan kami. Ayah juga adalah sosok pencinta sejati, cinta ayah pada ibu tak pernah pudar meski gelombang-gelombang kehidupan yang menerpanya laksana Tsunami. Menurut cerita ibu, ia menerima cinta ayah setelah dua tahun ayah terus mengejarnya, sungguh sebuah perjuangan.”
Affif Hopping tak sekalipun berpaling dari bingkai foto kedua orang tuanya. Keris yang sedari tadi mengacaukan pikirannya tak digubrisnya, sementara wajah adiknya dan wajahnya sendiri telah menyatu dengan potret kedua orang tuanya.
“Ayah juga sosok yang sangat matang dalam perencanaan, sebelum menikah dengan ibu, ia sudah punya persiapan nama untuk anak-anaknya. Affif Hopping kata ayah bermakna harapan untuk berubah, Sitti Delicia, mungkin nama itu sangat berkesan di hati ayah ketika kuliah dan jatuh cinta pada ibu dulu. Ketika kutanya mengapa nama kami ke-Inggrisan, ayah menjawab bahwa itulah awal perubahan. Akh! Ayah.”
Tiba-tiba gemuruh di dada Affif Hopping berkecamuk lagi ketika ia mencoba menelusuri bait-bait kehidupan kedua orang tuanya. Dan inilah segala pangkal gelisah yang kadangkala membuat mata hatinya tak mampu menangkap cahaya.
“Ayah menikah dengan ibu tanpa persetujuan keluarga ayah. Keluarga ayah terlalu mendewakan marga. Namun cinta ayah pada ibu sekokoh Gunung Bawakaraeng yang tak pernah berpisah dari Gunung Lompobattang. Ayah memilih menikah tanpa taburan beras warna warni. Ayah dan ibu memilih hidup terkucil dari segala simbol kehidupan dengan beribu macam sabda tabu dan pamali. Ayah tak pernah menyesal.”
Affif Hopping mencoba memejamkan mata. Ia mencoba menghapus segala bayang-bayang duka yang melintas di benaknya ketika orang tuanya dibantai oleh warga atas perintah keluarganya. Ayah dianggap telah mencemarkan nama baik marga. Namun ada tanda tanya menggelayut di benak Affif Hopping. Mengapa warga membiarkan adik dan dirinya hidup? Beribu macam pertanyaan bercampur gelisah mulai berkecamuk di benaknya.
Affif Hopping mencoba membuka matanya sambil berharap ada bayangan cerah hinggap di benaknya, “Andai saja Haji Bandu adalah orang tuaku.” Pikirannya hinggap pada tokoh anutan di kampungnya, seorang guru barzanji yang mempunyai ratusan ekor ternak. Lalu ingatannya kembali hinggap pada sosok Petta Bodde, kepala adat pengganti kakeknya yang tak pernah bijak dalam bertitah.
Angin barubu yang sedari tadi meliuk-liuk mencari celah menembus Gunung Lompobattang mulai mengamuk. Ia merobohkan segala pohon-pohonan yang dijumpainya seirama dengan gemuruh dalam dada Affif Hopping yang tak mampu menyingkirkan berkilo-kilo batu gunung yang menggelinding di benaknya.
Ada kengerian yang menyeruak ke dalam benak Affif Hopping, matanya terbelalak memandangi potret kedua orang tuanya yang tiba-tiba memegang keris dan siap menghunjam ke dada mereka sendiri.
Affif Hopping melompat dengan sejuta harapan. “Aku harus menyelamatkan marga ayah. Aku harus menjunjung marga ibu,” pekiknya tertahan.
Namun keris telah terhunjam pada potret kedua orang tuanya. Wajah garang penuh kebencian Haji Bandu dan Petta Bodde yang notabene adalah pamannya sendiri dibantu oleh warga desa telah menyatukan potret kedua orang tuanya, adiknya dan dirinya. Sambil mengikhlaskan darah muncrat dari dadanya, ia komat-kamit, ada senyum mengambang di bibirnya, ada rona bahagia menghiasi wajahnya karena kembara kepedihannya telah berakhir tanpa melukai kedua orang tuanya. Senyumnya telah menyatu dengan senyum kedua orang tuanya yang sangat ia rindukan. Inilah malam yang terakhir sekaligus malam terindah buatnya.

Sinjai, Juni 2005

1. Cerpen ”WARISAN” dimuat Harian Fajar, Ahad 17 Juli 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar