Rabu, 02 Februari 2011

cerpen dul abdul rahman: PERNIKAHAN MALAM

PERNIKAHAN MALAM
Cerpen: Dul Abdul Rahman

“Seperti Rama dan Sinta.”
“Benar-benar pasangan serasi.”
Silih berganti ucapan bernada pujian menari-nari di telinga Beddu. Berulas-ulas senyuman terus tersungging di bibirnya sebagai jawaban dari seribu pujian dari para tetamu yang hadir. Kilatan blits dari segala penjuru ruangan terus menyorot kearahnya. Benar-benar sebuah peristiwa yang luar biasa bagi Beddu. Sebuah pesta pernikahan di hotel berbintang, dulu hanyalah mimpi buatnya, tapi sekarang benar-benar terjadi. Biasanya kalau ada keluarganya yang menikah, paling-paling memasang tenda di depan rumah, lalu menutup jalan untuk sementara, lalu mengundang elektone, lalu undangan boleh berdangdut ria.
Beddu sangat bahagia. Impiannya untuk mempersunting gadis pujaannya bukan angan-angan semata. Padahal awalnya ia disemat keraguan, ketika orang tua Jamilah menolaknya jadi mantu. Namun karena kecintaannya pada Jamilah, dan Jamilah juga memang mencintainya, ia nekad melakukan apa saja. Dan buat Beddu, selalu ada peluang di setiap bahaya. Ia memang sering membaca biografi orang-orang terkenal yang selalu memahat harapan di setiap peluang. Ia hafal biografi tokoh dunia macam Winston Churchill.
“Apa? Kau mau melamar anak saya?” Orang tua Jamilah menatapnya lekat-lekat.
“Saya mencintai anak bapak.” Beddu begitu tegar, tetapi tetap saja tak bisa menatap wajah garang ayah Jamilah.
“Lalu, apakah kau sanggup memberi makan anak saya?”
Pertanyaan ayah Jamilah benar-benar menusuk hati Beddu. Seakan ayah Jamilah mengatakan padanya “Kau miskin Beddu.” Padahal salah satu alasan Beddu ingin menikah dengan Jamilah karena orang tua Jamilah kaya raya. Dengan menikahi Jamilah, Beddu berharap ketularan kaya. “Tapi ayah Jamilah menuntut saya memberi makan anaknya, bukankah mereka bisa makan apa saja? Beddu membatin.
“Bagaimana anak muda? Kalau kau tak sanggup memberi sesuatu kepada anak saya, saya tak akan menerima lamaranmu.”
“Tapi Pak, kami saling mencintai.”
“Aha! Cinta bukan sekedar perasaan, cinta adalah pemenuhan nafkah lahir batin.” Ayah jamilah lalu meninggalkan Beddu seorang diri. Beddu menangis. Jamilah, gadis cantik, teman kuliahnya yang begitu ia cintai tak bisa ia miliki.”
“Eh pengantin meneteskan air mata.”
“Ia pasti bahagia sekali bisa mempersunting anak pengusaha besar.”
“Pasti ia akan mewarisi kekayaan mertuanya karena Jamilah adalah anak tunggal.”
Celotehan para tetamu menyadarkan lamunan Beddu. Ia memang tak bisa melupakan saat ayah Jamilah menolaknya mentah-mentah jadi mantu. Beddu bergegas mengembalikan perasaannya, tak mau ia larut pada kesedihan, bukankah sekarang ia teramat bahagia karena ayah Jamilah akhirnya menerimanya, tetapi selalu ada keraguan di hati Beddu. Entah, ia merasa ayah Jamilah belum benar-benar ikhlas menerimanya.
Beddu terus menyambut kedatangan para tamu yang ingin mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Laiknya ia menyambut hamparan-hamparan kebahagiaan yang terpampang lebar di hadapannya. Buat Beddu, pernikahannya dengan Jamilah adalah sebuah rangkuman kebahagiaan yang teramat indah. Meski ia hanyalah anak seorang pedagang kaki lima, tapi berhasil menggaet gadis sekelas Jamilah. Gadis ayu nan memesona. Turunan keluarga ningrat yang kaya raya.
Awalnya, ibu Beddu juga tak merestui anaknya menjalin hubungan dengan Jamilah. Ibu Beddu merasa orang tua Jamilah akan menolak anaknya, karena orang tua Jamilah yang kaya raya pastilah tak mau berbesanan dengannya yang hanya pedagang kaki lima.
“Mengapa ibu menolak saya dekat dengan Jamilah. Jamilah itu anak orang kaya.”
“Justru itulah Nak. Ibu tak mau melihatmu kecewa kelak.”
“Kecewa?”
“Ya, kamu akan kecewa Nak.”
“Tapi saya dan Jamilah saling mencintai Bu.” Beddu terus meyakinkan ibunya.
“Tapi menikah bukan urusan kamu saja berdua, urusan saya juga, pun urusan orang tua Jamilah.”
“Makanya ibu harus merestui kalau saya mau menikah dengan Jamilah.”
“Beddu! Beddu! Ibu sebenarnya sangat merestui, tapi orang tua Jamilah? Mereka tidak akan merestui anaknya bersuamikan orang miskin.”
“Kita tidak boleh minder Bu, saya akan meyakinkan orang tua Jamilah.” Beddu segera meninggalkan ibunya seorang diri di kamar.
Ibu Beddu hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat kenekatan anak laki-lakinya. Meski begitu, ia tetap bangga punya anak laki-laki yang punya kemauan keras. Beddu adalah tetesan darah almarhum suaminya yang selalu tegar menghadapi hidup. Beddu juga adalah anak satu-satunya. Meski hanya pedagang kecil-kecilan, tapi ibu Beddu sangat bahagia karena bisa menyekolahkan anaknya, bahkan Beddu bisa kuliah.

Pesta pernikahan Beddu dan Jamilah benar-benar ramai. Karena Jamilah adalah anak satu-satunya, maka keluarga pihak Jamilah mengadakan pesta yang benar-benar meriah. Tentu saja keluarga Jamilah yang lebih berperan mengurusi pesta karena keluarga Beddu adalah keluarga pas-pasan. Keluarga Jamilah tetap bersemangat dan berbahagia atas pernikahan Jamilah, hanyalah ayah Jamilah yang kelihatan kurang merestui.
Beddu dan Jamilah menyambut tamu seramah mungkin. Namun terkadang ada gelisah di hati mereka.
“Tidak Jamilah, kau anak ayah satu-satunya. Harapan ayah satu-satunya.”
“Tapi ayah…”
“Tidak ada tapi-tapian Jamilah, pokoknya ayah tidak akan merestui kau menikah dengan Beddu.” Ayah Jamilah segera memotong kalimat anaknya.
“Ayah! Beddu adalah anak yang baik dan bertanggung jawab.”
“Memang baik, karena ingin memiliki harta ayah.”
“Apa salahnya ayah, kalau Beddu memilikinya kan saya juga yang ikut memilikinya.” Jamilah mencoba meyakinkan ayahnya.
“Ooo…, jadi kamu kuliah hanya untuk mendapatkan laki-laki itu.” Ayah Jamilah segera meninggalkan anaknya. Tak mau ia mendengar lagi Jamilah memelas restu darinya hanya untuk menikah dengan lelaki miskin. Ayah Jamilah memang sudah memilihkan jodoh anaknya dengan seorang putra pengusaha, rekan bisnisnya. Ayah Jamilah berpikir dengan menikahkan putrinya dengan anak seorang pengusaha, berarti ia menyatukan dua kekayaan. Tetapi kalau menikah dengan Beddu ia merasa usahanya akan tergerogoti.

Pesta sudah usai. Beddu dan Jamilah nampak kelelahan. Namun keduanya tetap nampak bahagia. Mereka sudah resmi jadi pasangan suami isteri. Artinya tak ada lagi sekat. Maka bila keduanya berpelukan erat, tak ada lagi jerat buat mereka.
Di kamar pengantin. Beddu memeluk isterinya. Tapi tidak laiknya seperti pengantin baru, Beddu dan Jamilah tidak begitu mengsakralkan malam ini, malam pertama ini. Beddu hanya membelai-belai perut isterinya.
“Coba jawab sayang, siapa laki-laki yang paling jantan di dunia ini?”
“Pasti abang Beddu.”
“Alasannya?”
“Gaya bercinta abang sangat dahsyat, baru beberapa jam menikah, saya sudah hamil tiga bulan.”
Beddu segera memeluk isterinya. Lalu keduanya terkekeh-kekeh mengingat pengalaman malam pertama mereka tiga bulan yang lalu. Tentu saja para keluarga yang menginap di rumah Jamilah tidak mendengar mereka. Karena kekehan keduanya menjelma desahan, karena mulut Jamilah tertutup oleh mulut Beddu.
“Malam pertama tiga bulan lalu benar-benar membawa berkah ya Bang.”
“Happy ending sayang, gara-gara malam pertama yang dahsyat itu, akhirnya ayahmu mau menerimaku jadi mantu.”
“Tapi abang berdosa.”
“Berdosa, tapi niatnya baik, cuma itu jalan satu-satunya.”
Beddu sebenarnya tak mau melakukan hubungan suami isteri di luar nikah, tapi Beddu melakukannya hanya untuk mendapatkan Jamilah yang sangat dicintainya. Ia sengaja menghamili Jamilah agar ayah Jamilah tak bisa lagi menolaknya. Dan benar saja, ayah Jamilah terpaksa menikahkan anaknya dengan Beddu, karena ia sangat malu bila anaknya hamil dan melahirkan tapi belum bersuami. Tapi ayah Jamilah sungguh punya perhitungan, dan ia juga punya taktik seperti taktik Beddu untuk mendapatkan anaknya.
“Jamilah sayang, mungkinkah kita bisa bersama selamanya?” Beddu menggumam ragu.
“Tentu saja Bang, kita sudah resmi jadi pasangan suami isteri.”
“Tapi saya masih ragu, tatapan ayahmu kepadaku sepertinya masih tersimpan rasa benci.”
“Sabarlah Bang! Lambat laun ayah pasti berubah.”
“Kau yakin sayang?”
“Saya yakin. Ayah…”
“Tok! Tok! Tok!”
Belum juga Jamilah menyelesaikan kalimatnya, pintu mendadak diketuk. Lalu terdengar suara memanggil Jamilah dan Beddu untuk bertemu dengan ayah Jamilah.
Beddu dan Jamilah segera menemui ayahnya di ruang tamu. Jamilah tak tahu apa maksud ayahnya. Beddu nampak was-was. Di ruang tamu sudah duduk empat orang, ayah Jamilah, rekan bisnis ayah Jamilah, serta dua orang berpakaian rapi memakai dasi.
Beddu terlihat canggung meski sebenarnya ia tidak akan ketemu dengan orang lain, tetapi dengan mertuanya sendiri. Jamilah mendadak deg-degan, karena ia tahu ayahnya sangat tegas pendirian.
“Duduklah!”
“Dan kau Beddu, silakan tanda tangani surat ini, kalau kau tidak mau tanda tangan, kau pun keluargamu akan beroleh celaka.”
Mendadak Beddu lemas. Karena surat yang disodorkan oleh ayah Jamilah adalah surat cerai antara Beddu dan Jamilah. Buat ayah Jamilah, tidak ada yang susah di dunia ini. Dengan uang, semua urusan bisa beres. Termasuk membereskan orang-orang yang berani menantangnya. Ayah Jamilah tersenyum, ia tak malu lagi anaknya hamil dan melahirkan kelak karena memang anaknya telah bersuami. Predikat janda untuk sementara tak masalah.
Setelah menandatangani surat perceraian, Beddu kian pusing, dibius mimpi-mimpi yang jalang. Ia menatap langit-langit tak berbintang. Ada ratapan dalam tatapan matanya yang kosong.

Konawe Selatan, 2007

1. Cerpen “PERNIKAHAN MALAM” dimuat Harian Fajar, Ahad 19 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar