Kamis, 03 Februari 2011

Diskusi Novel "Sabda Laut" Membedah Nuansa Lokal Laut Hemingway Sarat Filosofi, Laut Rahman Kaya Petuah





BEDAH NOVEL. Penulis novel Dul Abdul Rahman (kanan), Supa Atha’na, Burhanuddin Arafah (kedua dari kiri), serta Basri (moderator; kiri) pada bedah novel di Studio Mini Redaksi FAJAR, Sabtu 4 Desember.

DALAM tempo dua tahun, dul abdul rahman (Rahman) melahirkan empat novel. Pria kelahiran Sinjai ini bahkan siap-siap lagi meluncurkan dua novel terbarunya. Untuk mengapresiasi prestasi novelis ini, Simpul Sastra FAJAR bekerja sama Fakultas Ilmu Budaya Unhas membedah salah satu novel Rahman berjudul, "Sabda Laut".

NUANSA lokal (local wisdom) dalam novel "Sabda Laut" menarik perhatian Prof Dr Burhanuddin Arafah untuk membicarakannya lebih lanjut dalam bedah novel di Studio Mini Redaksi FAJAR, Sabtu, 4 November. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini didampingi pembicara lainnya, Direktur Iranian Corner Unhas, Supa Atha'na.

Dalam kaitannya dengan nuansa lokal, terutama tradisi melaut, Burhanuddin membandingkan "Sabda Laut" dengan "The Old Man and the Sea" (Lelaki Tua dan Laut) karya Ernest Hemingway. "The Old Man and the Sea" adalah sebuah novella (novel pendek) yang ditulis jurnalis Amerika Serikat.

Novel yang ditulis pada 1951 dan diterbitkan di Kuba pada 1952 itu bercerita tentang Santiago. Karakter utama terdapat pada tokoh nelayan lelaki tua yang bersusah-payah berjuang untuk menangkap seekor ikan marlin raksasa jauh di tengah arus Teluk Meksiko.

Lelaki Tua dan Laut mengisahkan ulang tentang perjuangan kepahlawanan antara seorang lelaki nelayan tua yang berpengalaman dengan seekor ikan marlin raksasa yang disebut sebagai tangkapan terbesar dalam hidupnya.

Alur diawali dengan cerita bahwa nelayan yang bernama Santiago tersebut telah melewati 84 hari tanpa menangkap seekor ikan pun (kemudian disebutkan dalam cerita ternyata 87 hari). Dia tampaknya selalu tidak beruntung dalam menangkap ikan sehingga murid mudanya, Manolin dilarang oleh orang tuanya untuk berlayar dengan si lelaki tua dan diperintahkan untuk pergi dengan nelayan yang lebih berhasil.

Masih berbakti kepada si lelaki tua tersebut, Manolin mengunjungi gubuk Santiago setiap malam, mengangkat peralatan nelayannya, memberinya makan dan membicarakan olah raga bisbol Amerika dengan si lelaki tua. Santiago berkata pada Manolin bahwa di hari berikutnya dia akan berlayar sangat jauh ke tengah teluk untuk menangkap ikan, dan dia yakin bahwa gelombang nasibnya yang kurang beruntung akan segera berakhir.

Penggalan cerita yang dikemukakan Burhanuddin itu sesungguhnya ingin menampilkan kaitan latar kehidupan laut novel "Sabda Laut" dan "The Old Man and the Sea". Jarak pembuatan dan asal wilayah kedua novel ini memang sangat jauh. "Sabda Laut" ditulis pada 2010, sedangkan "The Old Man and the Sea" pada 1951. Penulisnya pun berada di antara dua benua yang berbeda. Rahman di Sinjai (pedalaman Sulsel), sedangkan Ernest Hemingway di Amerika.

Lantas bagaimana keterkaitan latar dan tokoh kedua novel tersebut? "Kendati keduanya mengeksplorasi kehidupan laut, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda," kata Burhanuddin.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini menekankan bahwa nasihat-nasihat lokal mestinya dikaji lebih dalam lagi agar menjadi kekuatan tersendiri dalam "Sabda Laut". Pada gilirannya, ia akan menjadi bagian utuh secara simbolik dalam karya sastra itu. Pada tataran pengkajiannya pun, simbol-simbol itu bisa dimaknai secara utuh pula.

"Inilah yang tak kalah pentingnya untuk kita kaji bersama, bagaimana mendapatkan nilai-nilai kehidupan dari sebuah karya sastra yang kaya dengan kearifan-kearifan lokal," kata guru besar Unhas yang menyelesaikan S-2 di Amerika Serikat dan S-3-nya di Australia itu.

Burhanuddin kemudian menyarankan agar Rahman tidak ragu-ragu apalagi malu-malu menggunakan idom-idiom lokal dalam karya-karyanya. Ia mencontohkan beberapa diksi etnik dalam "The Old Man and the Sea" yang bahkan tidak dijelaskan pengertiannya oleh Hamingway.

Berbeda dengan Rahman yang menjelaskan hampir semua istilah/idiom lokal yang digunakan. "Penjelasan itu tidak perlu," kata Burhanuddin sambil menjelaskan kedudukan dan peran pembaca dalam memaknai idiom-idiom lokal tersebut, sekaligus menjawab pertanyaan peserta diskusi, dra Siti Nursaadah M Hum tentang perbedaan karakteristik "Sabda Laut" dan "The Old Man and the Sea".

Rahman pada kesempatan mengemukakan proses kreatifnya, menjawab, bahwa penjelasan idiom-idiom lokal itu dilakukan karena terkait dengan "pesan sponsor". Hal itu berkaitan erat dengan kemauan penerbit yang notabene berada di luar Sulsel. "Apalagi karya-karya saya ini lebih banyak berdedar di Jawa," kata novelis yang pernah menjadi anggota Dewan Pembaca Fajar tersebut.

Supa Atha'na juga menggarisbawahi nilai-nilai lokal dalam "Sabda Laut". Kehadiraan novel Rahman ini menginspirasi sebuah fenomena menarik tentang eksplorasi laut. Laut sebagaimana umumnya objek kajian yang ada pada realitas kita, tidak membatasi orang-orang dan latar belakang tertentu untuk bisa akrab dengannya, karena kedalaman semua objek termasuk laut sangat kaya untuk hanya disentuh oleh seseorang, segolongan, dan keahlian tertentu.

"Jangan pernah ada perasaan dan cetusan pikiran bahwa laut akan habis bila banyak orang yang memanfaatkannya. Alquran menyebutkan banyak variabel yang bisa didapatkan dari laut. Ketika Tuhan sudah membahasakan sesuatu yang banyak maka dalam ukuran manusia tidak ada lagi habisnya. Tuhan telah menjamin ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari laut," kata dosen yang pernah mendalami Sastra Persia empat tahun di Iran itu.

Supa kemudian memaparkan bahwa kehadiran beberapa novel Rahman telah menambah khasanah karya sastra yang turut memperkuat dan menumbuhkan kebudayaan Sulsel di tengah semakin kurangnya perhatian terhadap kebudayaan lokal. Itu pula sebabnya, Supa melontarkan gagasan ironik mengenai semakin menurunnya perhatian terhadap kebudayaan tersebut. "Kalau mau kebudayaan Sulsel maju, maka pindahkan pusat dokumentasi sejarah dan kebudayaan Sulsel yang ada di Leiden, Belanda itu ke Sulsel," katanya disambut aplaus oleh hadirin.

Akhirnya, pilihan sikap Rahman untuk bertahan pada wilayah kearifan lokal dalam novel-novelnya harus diapresiasi dengan layak. Setidaknya berupa dukungan moral dengan harapan, agar Rahman tetap selalu bisa bertahan menuliskan karya-karyanya.

Bedah buku yang dimoderatori Redaktur Budaya FAJAR, Basri itu menambah nuansa lokal jalannya diskusi ketika kelompok Jaya Musik menyelingi dengan lantunan lagu-lagu daerah. Drummer cilik (kelas VI SD), Jaya, sempat menarik perhatian peserta diskusi pada sesi penutup ketika bersama tiga pemain lainnya, memainkan instrumentalia jaz. (*) LAPORAN BASRI, REDAKTUR BUDAYA HARIAN FAJAR

1 komentar:

  1. boleh juga tuh novel, kl ada promo tolong kirimin dong...!!! http://megaremeng.multiply.com

    BalasHapus