Jumat, 18 Februari 2011

cerpen dul abdul rahman: SPANDUK KERTAS

SPANDUK KERTAS
Cerpen: dul abdul rahman

Sebentar lagi pemilihan kepala desa diadakan. Geliat spanduk berkejaran dengan iklan rokok benar-benar telah menyesaki jalanan di pusat desa. Gambar-gambar para kandidat berukuran raksasa mengumbar senyum, seolah menyapa siapa saja yang lewat.
“Bersama kami pendidikan gratis.”
“Pemimpin yang jujur dan amanah.”
“Saatnya kita berubah.”
Begitulah teriakan-teriakan spanduk tanpa lelah mewakili para kandidat kepala desa. Ada juga spanduk berlarian bersama mobil-mobil pribadi, angkutan umum, pun truk-truk yang lalu lalang mengangkut bahan bangunan. Di desa itu benar-benar dilanda demam pilkades, laiknya demam piala dunia, pembicaraan tentang siapa yang paling pantas jadi kepala desa terdengar dimana-mana. Di pasar-pasar, pemandian umum, pun di rumah-rumah penduduk.
“Sudahlah Ma, kita pilih saja Pak Tore.”
“Kita pilih saja Pak Tahir, Pak. Beliau kan sudah turun temurun memimpin desa ini.”
“Lebih bagus Pak Tore.”
“Lebih bagus Pak Tahir.”
Sepasang suami isteri pun tak kalah ramainya memperbincangkan pilihan mereka. Masing-masing berargumen pilihan merekalah yang lebih patut dan bagus.
“Tidak Ma. Pak Tore kan sudah sarjana, lagipula ia sangat peramah. Kalau Pak Tahir kan orangnya pemarah.”
“Tidak Pak, justru Pak Tore lah yang pemarah. Sekarang ia memang peramah demi menarik simpati masyarakat.”
“Tapi….”
“Sudahlah Pak! Pak Tahir kan sudah berpengalaman memimpin desa ini.”
“Tapi, Pak Tahir kan sudah lama jadi kepala desa Ma, katanya kekuasaan yang terlalu lama cenderung korupsi.”
“Papa! Jangan terhasut. Itu cuma teori Pak Tore untuk menggembosi Pak Tahir.”
“Mama!”
“Begitulah Pak.”
“Mama curang.”
“Papa yang curang.”

Ramai orang berkumpul di kediaman Pak Tore. Pak Tore memang lagi mengkonsolidasikan tim kampanye. Ia sangat berharap bisa jadi kepala desa di kampungnya. Pak Tore selalu memanfaatkan setiap peluang yang ada. Namun sampai saat ini, ia belum memperoleh satu pun jabatan yang ia inginkan. Setelah gagal jadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah, ia mencoba lagi peruntungan selanjutnya, kepala desa.
“Baiklah! Hadirin yang kami muliakan, sebagai ketua tim pemenangan pilkades, saya menunjuk Pak Sam. Saya pikir Pak Sam mampu mewujudkan keinginan kita semua.” Pak Tore mengumumkan tim suksesnya.
“Setuju! Setuju!”
Koor peserta rapat memberi aplaus. Sementara Pak Sam hanya tersenyum-senyum. Keyakinan terpancar di wajahnya. Ia memang punya massa yang banyak. Hanya satu kendala baginya. Ia harus meluluhkan hati isterinya yang punya massa yang banyak pula yang sudah terlanjur jadi pendukung utama Pak Tahir. Pak Sam dan isterinya memang berbeda partai.
“Bagaimana kalau kita meminta kesediaan Pak Sam dulu.” Seorang peserta rapat mengusul.
“Baik! Kita persilakan Pak Sam.” Pak Tore merespons peserta rapat.
“Saya selalu siap memenangkan Pak Tore.” Pak Sam berapi-api.
“Hidup Pak Tore!”
“Hidup Pak Sam!”

“Hidup Pak Tahir!”
“Semoga Pak Tahir terpilih lagi!”
Riuh rendah pendukung menyambut kedatangan Pak Tahir pada apel akbar di alun-alun desa. Apel akbar ini sekaligus membentuk tim pemenangan Pak Tahir. Pak Tahir sangat yakin terpilih lagi untuk kesekian kalinya. Disamping karena memang keluarganya yang turun temurun memimpin desa ini, ia memiliki pendukung yang banyak, pun ia memiliki harta yang lumayan banyak untuk mendukung segala keperluan kampanye.
Berbeda dengan Pak Tore yang menunjuk langsung ketua tim suksesnya, Pak Tahir mencoba melibatkan massa pendukungnya. Kali ini ia ingin dicap sebagai demokratis. Yang terpenting baginya bagaimana caranya bisa mempengaruhi rakyat.
“Hadirin yang kami cintai. Siapa kira-kira yang paling tepat menjadi ketua tim kampanye?” Jelas terdengar suara Pak Tahir lumayan lembut dan bijak.
“Bagaimana kalau Ibu Nursiah?” Seorang tokoh masyarakat desa mengusul.
“Kami setuju dengan Ibu Nursiah.” Koor peserta apel akbar di sebelah kiri.
“Bagus! Bagus!” Pak Tahir kelihatan puas. Sebenarnya sejak awal ia menginginkan Ibu Nursiah jadi ketua tim sukses. Ibu Nursiah memang masih ponakan Pak Tahir. Dan alasan yang paling tepat karena suami Ibu Nursiah, Pak Sam sudah diangkat menjadi ketua tim sukses pesaingnya. Tentu saja Pak Tahir bermaksud menggembosi Pak Tore.
“Bagaimana dengan yang lain? Pak Tahir menoleh ke sebelah kanan.
“Sebaiknya kita minta kesediaan Ibu Nursiah dulu.”
“Benar Pak, kita harus mendengar kesediaan Ibu Nursiah dulu, karena kami mendengar kabar suami Ibu Nursiah mendukung calon yang lain.”
“Baiklah, kita meminta tanggapan Ibu Nursiah.” Pak Tahir melirik ke arah Ibu Nursiah. Tapi ia tidak was-was, karena sebelumnya memang sudah ada pembicaraan.
“Saya sangat senang dan bangga menerima amanah ini. Saya berjanji semaksimal mungkin untuk memenangkan Pak Tahir. Soal suami saya yang menjadi pendukung calon lain, saya bisa mengatasinya dengan cara saya sendiri.” Ibu Nursiah bak srikandi.
“Hidup Pak Tahir!”
“Hidup Ibu Nursiah!”
Aplaus panjang menutup apel akbar pemenangan Pak Tahir.

Kesibukan Pak Sam dan Ibu Nursiah menjelang pemilihan kepala desa benar-benar kian meningkat. Sebagai pasangan suami isteri yang masing-masing menjadi ketua tim pemenangan kandidat yang bersaing benar-benar menciptakan dilema. Pak Sam berusaha menarik isterinya dan menggembosi Pak Tahir. Sebaliknya Ibu Nursiah mencoba meyakinkan suaminya dengan pilihannya, lalu menggembosi Pak Tore. Tentu saja yang menjadi korban adalah anak-anak mereka.
“Mengapa ya kak, ayah dan mama selalu berdebat saja akhir-akhir ini.” Si kembar Hayati dan Hayani yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar mencoba mengadu kepada kakaknya.
“Ayah dan mama itu berpolitik, jadi mereka harus saling mendebat.”
“Apa itu berpolitik kak?”
“Seperti di teve, saling berdebat, saling mengibarkan spanduk.” Hamid yang duduk di kelas dua SMP kelihatannya cerdas memberi penjelasan kepada adik-adiknya. Ia memang ranking satu di kelasnya.
“Tapi kak, seperti di teve itu, biasanya membawa spanduk lalu berkeliling, berteriak-teriak, kadang-kadang berkelahi.” Hayati menelisik.
“Jadi ayah dan mama nanti juga berkelahi?” Hayani tak mau kalah.
“Ih! Jangan!” Hayati tak menginginkan kedua orang tuanya bermusuhan.
Hamid, anak sulung Pak Sam dan Ibu Nursiah yang terkenal cerdas di sekolah terdiam. Seperti terbawa arus pikiran adik-adiknya yang mengalir begitu saja setelah mendengar penjelasan kakaknya soal politik.
Mendadak Hamid memeluk kedua adik kembarnya. Kelihatan mereka bertiga berbisik-bisik. Entah apa yang dibicarakan. Tapi sepertinya rapat kecil, karena Hamid membisiki kedua adiknya bergantian. Lalu ada juga tos bersama. Mereka bertiga kelihatan cerah. Mungkin begitulah cara anak-anak berpolitik.

Berita politik benar-benar mendominasi berita malam stasiun teve ini malam. Para kandidat saling tuduh, saling tuding, masing-masing merasa yang paling amanah, paling jujur, paling pintar, paling dekat dengan rakyat miskin. Berita teve seirama dengan perdebatan antara sepasang suami isteri yang berbeda pendapat.
“Pak Tore yang paling amanah, Ma.”
“Pak Tahir yang paling amanah,Yah.” Ibu Nursiah tak mau kalah.
“Mama! Pak Tore sudah punya program untuk memajukan desa kita.”
“Pak! Pak Tahir juga sudah punya program sejak dulu. Periode kali ini Pak Tahir berjanji melaksanakan programnya dengan sungguh-sungguh.
Perdebatan Pak Sam dan isterinya semakin meninggi mengikuti irama debat calon kepala daerah di teve.
“Saya yakin Pak Tore yang akan terpilih.”
“Tidak. Pak Tahir yang bakal terpilih.
“Tidak Ma….”
“Ayah!”
“Mama!”
Tiba-tiba dari dalam kamar terdengar ketiga anaknya memanggil. Sejurus kemudian ketiganya muncul bersamaan. Pak Sam dan Ibu Nursiah hanya bisa melongo bercampur malu. Ketiga anaknya membawa spanduk-spanduk kecil yang terbuat dari kertas.
“Ayah dan Mama tidak boleh berpolitik.” Hayati mengangkat spanduknya.
“Ayah dan Mama tidak boleh berkelahi.” Hayani juga mengangkat spanduknya.
“Ayah dan Mama! We are a big family.” Hamid yang juara pidato Bahasa Inggris tingkat kabupaten membentangkan spanduknya.
Pak Sam dan Ibu Nursiah tak bisa berkata apa-apa. Diam. Diam-diam keduanya membatin, “Bunyi spanduk anak-anak kami benar-benar tulus. Bukan kampanye, bukan janji-janji seperti spanduk-spanduk yang kami buat, spanduk yang selalu menawarkan janji, yang selalu saja pemenang kelak punya alibi untuk tak memenuhi janji.” Lalu keduanya bertatapan. Ramah.

Sinjai-Makassar, 2008

1. Cerpen “SPANDUK KERTAS” dimuat Harian Fajar, Ahad 10 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar