Sabtu, 12 Februari 2011

Cerpen dul abdul rahman: S A R I F A H

SARIFAH
Cerpen: dul abdul rahman

“Tapi, aku tak bersalah Pak Hakim.”
“Bagaimanapun, saudara sudah menghilangkan nyawa orang. Anda terjerat pasal pembunuhan berencana. Hukuman pancung mungkin terlalu ringan bagi saudara, apalagi saudara berasal dari negeri seberang.” Hakim menyudahi persidangan ini hari. Amar putusan hakim akan dibacakan pada persidangan terakhir minggu depan, sambil menunggu penasehat hukum terdakwa dari Indonesia.
Ia hanya bisa terpekur. Ia dikepung beribu kecemasan. Awalnya ia mengira gurun pasir adalah ladang emas, ternyata cuma ladang cemas baginya. Tubuhnya mendadak lemas, membayangkan seminggu lagi detik-detik menentukan. Apakah ia akan mengakhiri nasib sialnya di tiang gantungan, atau beroleh ampunan. Padahal berkali-kali ia memelas pada konsuler KBRI supaya nasibnya diperjuangkan. Tapi jawaban yang ia terima sungguh memiriskan.
”Tak ada jalan untuk membebaskan anda, hakim sudah punya alat bukti serta saksi-saksi bahwa anda memang benar-benar menghilangkan nyawa orang, apalagi ini majikan anda. Di negara manapun, ini digolongkan pembunuhan. Karena melakukan pembunuhan disini, maka anda harus diadili disini, tidak mungkin di tanah air.”
Jawaban staf konsuler KBRI serasa hanya menyodorkan aroma maut baginya. Padahal andaikan konsuler KBRI mau ngotot memperjuangkan nasibnya atau pemerintah memperjuangkan lewat jalur diplomatis mungkin hukuman yang akan ia terima lebih ringan.
Berkali-kali ia mengirim surat kepada pemerintah pusat di tanah air agar nasibnya diperjuangkan, tapi yang ia terima hanyalah janji plus doa agar pemerintah disini bisa mengampuninya. Janji dan doa yang mungkin beraroma kematian baginya. Namun ada secercah harapan menggantung di wajahnya ketika ia dengar kabar bahwa ada sebuah LSM di tanah air yang peduli akan nasibnya dengan mengirimkan penasehat hukum. Semoga bisa membantu. Ia amat mengharap.
...
Sarifah. Ia memang bukan siapa-siapa. Ia hanyalah perempuan desa. Pun pendidikannya hanya tamat SLTP. Sebenarnya ia cukup cerdas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi ia harus mengalah pada kakak laki-lakinya. Meski ia menangis sejadi-jadinya. Merengek-rengek untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang SLTA.
”Ayah tak bisa membiayai sekolahmu Nak. Lihatlah biaya pendidikan makin mahal. Padahal dulu ayah sangat antusias memilih presiden karena katanya bila beliau terpilih pendidikan akan digratiskan.”
”Tapi aku tak mau jadi pengangguran Yah.” Ia terus merajuk
”Nak! Ayah hanya sanggup membiayai sekolah kakakmu, itupun ayah sudah menjual sebidang tanah. Kalau ayah menjual tanah lagi untuk biaya sekolahmu, lalu apa yang harus kita makan nanti?”
Ia hanya bisa terdiam. Tak mungkin ia memaksakan ayahnya dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini. Ia tahu ayahnya hanyalah petani kecil yang harus menanggung hidup keluarganya. Sebagai anak perempuan, cukuplah ia pintar membaca dan menulis saja. Selalu begitu pendapat yang ia selalu dengar di kampungnya. Ia tak kuasa menolak, karena memang alasan ekonomi juga sangat tidak mendukung untuk sekolah tinggi-tinggi.
Meski tak bisa sekolah, ia punya tekad. Kelak ia berjanji untuk menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Ia tak akan membeda-bedakan laki-laki atau perempuan. Tapi ia resah, tinggal di kampungnya berarti cuma satu yang ia tunggu. Jodoh. Kalau ada yang melamarnya dan orang tuanya setuju, ia pasti tak kuasa menolak. Sesungguhnya ia tak menampik jodoh, tetapi kalau yang melamarnya hanyalah anak tetangga sebelah, mungkin hidupnya tak jauh beda dengan orang tuanya yang tak mampu menyekolahkan anak.
”Akh jadi TKW, mungkin ini adalah pilihan terbaik bagiku.” Ia membatin. Dan akhirnya memang ia harus memilih. TKW. Kelak bila ia sudah punya modal, ia akan kembali ke kampung halamannya untuk berbisnis. Pun mungkin yang datang melamarnya bukan lagi anak tetangga sebelah yang kere, tetapi anak juragan dari kampung sebelah. Benak Sarifah pun penuh sesak impian mata uang ringgit Malaysia, atau dollar Hongkong, dan yang paling menyilaukan matanya adalah riyal Saudi. Apalagi yang ia dengar majikan Arab itu paling gampang melayaninya, tapi paling menjanjikan bayarannya.
”Begitulah Sarifah, laki-laki Arab itu paling suka dipijitin. Mereka tak macam-macam. Karena asal dielus-elus sedikit langsung tertidur. Tapi kamu harus jaga diri.” Begitulah nasehat tetangganya yang pernah jadi TKW di luar negeri melepas keberangkatan Sarifah.
...
Ini hari adalah persidangan terakhir. Mungkin saat-saat menjelang kematiannya. Lembaran-lembaran hidupnya sejak kecil sampai ia dipenjara di negeri gurun pasir itu terekam dalam benaknya. Dalam kepengapan ruang sidang, nafasnya seperti tertahan bersama sesosok lelaki tinggi besar berewok yang mencoba melucuti pakaiannya secara paksa.
Malam itu memang tidak seperti biasanya. Majikan laki-lakinya minta dipijit di kamarnya sendiri. Majikan perempuannya memang lagi keluar kota bersama dua orang anaknya menghadiri acara keluarga.
”Awas! Kubunuh kau bila macam-macam.” Lelaki berewok itu kian beringas.
Sarifah, perempuan desa yang sangat menjaga kesuciannya mencoba mempertahankan diri dengan meronta-ronta. Namun cengkereman lelaki berewok yang bertenaga unta itu teramat kuat baginya.
Di tengah ketidakberdayaannya, serta tekad untuk mempertahankan kesuciannya, ia pun kalap. Ia meraih pisau yang tadi ia gunakan mengelupas buah untuk majikannya. Cresss...!
”Pembunuh! Pembunuh!”
”Gantung! Pancung!
”Perempuan laknat. Jahanam. Tak tahu diri.”
Teriakan dan hujatan dari orang-orang yang menghadiri sidang membuyarkan lamunan Sarifah. Mereka adalah para keluarga almarhum majikannya, termasuk isteri dan anak-anaknya.
”Bagaimana saudara terdakwa? Apakah saudara memang benar-benar sengaja membunuh majikan saudara?” Hakim mempersilakan terdakwa.
”Sungguh aku tak bermaksud membunuhnya Pak Hakim, aku hanya mempertahankan kehormatan diri dan harga diri.”
”Kehormatan diri? Harga diri?”
”Ya Pak Hakim, ia mencoba....”
”Cukup!” Hakim langsung memotong penjelasan terdakwa.
”Rupanya saudaralah yang tak tahu diri. Padahal saudara sangat beruntung ada majikan disini yang siap mempekerjakan saudara. Pun pemerintah disini menerima saudara dengan tangan terbuka.” Jaksa penuntut umum memberikan pendapatnya.
Sarifah tak bisa berkata apa-apa. Detak jantungnya kini ibarat derap langkah malaikat maut yang menjemputnya.
Kini ia baru sadar akan kebenaran cerita rekan-rekannya bahwa jarang sekali ada TKI yang berperkara dengan majikan disini terbebas dari hukuman. Apalagi kalau soal pembunuhan. Hukum kisas berlaku. Apalagi memang diplomasi Indonesia sangat lemah. Sehingga majikan disini merasa aman-aman saja bila memperkosa perempuan dari Indonesia.
”Baiklah! Sebelum memutuskan perkara, terlebih dahulu hakim mempersilahkan terdakwa berkonsultasi dengan penasehat hukum dari negaranya.” Suara hakim memberi sejumput asa buat Sarifah.
”Cuma satu cara untuk menyelamatkan jiwa anda. Dulu, pernah ada perempuan berdarah Amerika yang membunuh seorang lelaki Arab yang hendak memperkosanya. Ia terbebas dari hukuman kisas, karena ternyata disini memperkosa adalah perbuatan laknat yang harus dihukum.”
”Maksud bapak?”
”Begini, anda harus mengaku bukan orang Indonesia.” Penasehat hukum bantuan dari LSM di Indonesia cukup jeli menemukan ide. Apalagi memang wajah Sarifah agak Indo dengan hidung mancungnya, plus kulit putih bersih. Belanda memang bukan hanya menjajah Indonesia dulu, tapi juga menjamah perempuan Indonesia.
” Tapi aku orang Indonesia asli, Pak.”
”Anda hanya berpura. Nama Indonesia buat mereka para hakim tak menakutkan sama sekali.”
”Bagaimana pun aku sangat mencintai tanah air, Pak.” Sarifah bak srikandi.
”Makanya, kalau anda masih ingin kembali ke tanah air dengan selamat, lakukan apa yang kusarankan.” Penasehat hukum dari Indonesia bergegas meninggalkan jejak kengerian yang akan menginjak-injak tubuh Sarifah bila ia tak mau menuruti nasehatnya.
”Aku bukan orang Indonesia?” Sarifah terus membatin.
“Mungkin memang aku bukan orang Indonesia saat ini, tetapi suatu saat aku bisa benar-benar jadi orang Indonesia. Sekaligus menjadikan nama Indonesia tidak dilecehkan di luar negeri.”
Kali ini Sarifah mengikuti seluruh saran penasehat hukumnya. Ia seolah diliputi sejuta mimpi dan harapan. Ia teringat bahwa banyak pemimpin-pemimpin negara saat ini dipegang oleh kaum buruh. Tapi ia tidak muluk-muluk. Ia hanya teringat masa kecilnya yang bercita-cita memperjuangkan nasib perempuan Indonesia. Mungkin ia tidak tahu, bahwa sesungguhnya di Indonesia ada yang namanya Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Makassar, 22 Desember 2007

1. Cerpen ”SARIFAH” dimuat Harian Fajar, Ahad 17 Juni 2007

1 komentar: