Jumat, 09 Desember 2011

JEJAK PEREMPUAN MAKASSAR DALAM FOLKLOR

JEJAK PEREMPUAN MAKASSAR DALAM FOLKLOR

oleh: dul abdul rahman

Foklor atau dongeng(folktale) merupakan bagian dari cerita rakyat, disamping mite(myth), dan legenda(legend). Cerita rakyat sebagai kekayaan budaya dalam suatu masyarakat tentunya merupakan ruh dari masyarakat tersebut. Cerita rakyat merupakan media yang cukup ampuh untuk menanamkan sebuah nilai luhur. Nilai luhur berupa pesan-pesan, ajaran-ajaran hidup, pengalaman batin, berbagai informasi hasil kebudayaan dan pengetahuan dari orang-orang terdahulu tersebut merupakan nilai yang diwariskan secara turun temurun.

Adalah Ery Iswary, seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin yang juga seorang “Perempuan Makassar” yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa dongeng berbahasa Makassar. Dongeng yang menjadi obyek penelitiannya adalah dongeng “Perempuan Makassar” masing-masing: “I Saribulang Dg. Macora”, “I Basse Panawa-nawa ri Galesong”, “St. Naharirah”, dan “I Marabintang”.

Dari dongeng-dongeng yang ditunjukkan oleh Ery Iswary sudah pasti memberi pembelajaran kepada pembaca atau pendengar dongeng-dongeng tersebut. Bahkan sebagaimana fungsinya menurut William Bascon sebagai media pembelajaran dan alat untuk memprotes ketidakadilan, maka dongeng-dongeng tersebut akan memberi motivasi kepada kaum perempuan untuk berkiprah di berbagai aspek kehidupan seperti halnya kaum pria.

Sosok I Basse memberi pelajaran bagaimana seorang perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama. Bukan hanya ilmu agama, I Basse juga sudah menimba ilmu kekebalan. Pelajaran berikutnya adalah kemandirian St Naharirah yang hidup sebatang kara yang mengurus dirinya sendiri dan mandiri secara ekonomi. Tak kalah heroiknya adalah I Marabintang yang ikut berperang melawan Karaeng Somba Jawa dan anak buahnya yang telah membunuh suaminya.

Ery Iswary menunjukkan secara detail bagaimana posisi dan peran perempuan Makassar dalam dongeng-dongeng tersebut. Nilai pembelajaran utama dari dongeng-dongeng tersebut adalah kemandirian. Dari sosok St. Naharirah membuktikan bahwa perempuan bisa bersaing dengan pria di bidang ekonomi. Gelar saudagar kaya bukan hanya gelaran buat kaum pria tetapi juga buat perempuan. Ya, saudagar kaya St. Naharirah.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejak dahulu peran perempuan dalam sejarah Makassar sudah nampak. Bahkan peran perempuan Makassar terekam jelas dalam sejarah tulis dan lisan Kerajaan Gowa. Tomanurung Bainea(1320-1345) bahkan muncul sebagai tokoh perempuan pemersatu wilayah Kerajaan Gowa.

Berdasarkan penelitiannya atas keempat dongeng “perempuan” tersebut, Ery Iswary membantah konsep Holzner tentang penyosialisasian nilai-nilai dalam masyarakat terhadap perempuan yang berlaku di Asia, yaitu nilai pemingitan dan nilai pengucilan. Perempuan hanya ditempatkan pada bagian-bagian tertentu. Ery Iswary memandang pandangan Holzner bias gender dan merugikan kaum perempuan.

Inilah saya kira yang menjadi “pertanyaan” saya atas buku ini. Dan pertanyaan itu bisa saja menjadi sebuah titik kelemahan. Tapi tentu saja sebuah titik kelemahan dari gumpalan ribuan titik yang menjadi kelebihan dan kekaguman saya. Adalah tidak ‘gentlewomen’ (yang laki-laki boleh baca: gentleman) bila menolak pendapat Holzner dengan hanya menunjukkan segelentir dongeng yang memang berjudul “perempuan” di wilayah Sulawesi Selatan. Bukankah masih banyak dongeng atau cerita lainnya yang membenarkan pendapat Holzner tersebut.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mempertahankan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Tapi tulisan ini ingin membenarkan bahwa secara kuantitas pada zaman dahulu, perempuan Asia memang mengalami perlakuan tidak adil sebagaimana klaim Holzner. Dan saya kira pendapat Holzner tidak perlu membuat kuping perempuan memerah. Yang seharusnya kita lawan sekarang adalah jangan lagi adalah labelisasi yang bias gender yang dapat merugikan perempuan. Tapi bukankah terkadang perempuan sendiri yang meminta dirinya untuk dilabelisasi. Bukankah permintaan kuota 30 persen sebagai keterwakilan perempuan pada dewan perwakilan rakyat misalnya bisa mengerdilkan perempuan. Bukankah sebutan “kuota 30 persen” akan menasbihkan bahwa kaum pria berada di “kuota 70 persen” dari perempuan. Padahal perempuan tak perlu “dilabeli” 30 persen agar kaum perempuan bisa mendapatkan lebih dari itu dengan belajar dari tokoh-tokoh perempuan dalam dongeng yang telah ditunjukkan Ery Iswary


Saya kira saat ini, sosok Ery Iswary sudah berada di garis terdepan untuk melawan jangan lagi ada labelisasi yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang kadang-kadang terdiskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Dan buku “Perempuan Makassar” ini akan menjadi pencerahan bahkan wejangan bagi siapa saja, khususnya perempuan, dan lebih khusus lagi perempuan Makassar. Ya! Perempuan Makassar harus baca “Perempuan Makassar” yang ditulis oleh “Perempuan Makassar”. dulabdul@gmail.com

Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya, sejauh ini mengarang 7 buah novel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar