Selasa, 15 November 2011

cerpen pilihan: Guy de Maupasant dan dul abdul rahman

SEUNTAI KALUNG
Oleh: Guy de Maupasant

Dia adalah salah satu di antara sekian gadis cantik dan menarik yang terkadang karena kesalahan takdir, terlahir di tengah keluarga juru tulis. Dia tidak memiliki mas kawin, harapan-harapan, sarana untuk terkenal, dipahami, dicintai, atau dinikahi oleh pria kaya dan terhormat. Dan akhirnya dia pasrah hanya dinikahi oleh seorang juru tulis biasa yang bekerja di Kementerian Penerangan.

Dandanannya sederhana saja karena dia memang tidak bisa berdandan lebih bagus lagi. Tapi dia bersedih seakan-akan dirinya memang sungguh-sungguh terjatuh dari statusnya yang semestinya, karena dia menjadi seperti wanita kebanyakan pada umumnya.

Dia tak pernah berhenti merasa menderita, dia merasa dirinya dilahirkan untuk tidak menikmati segala keempukan dan kemewahan. Dia menderita karena rumahnya yang sangat sederhana, dindingnya yang buruk, kursi-kursi yang sudah usang, dan tirai-tirai yang sudah jelek. Segala hal itu, yang bagi wanita lain yang sederajat dengannya dianggap biasa saja, telah membuatnya sangat kesal.

Dia melamunkan ruang depan yang tenang, di mana dinding-dindingnya dipasangi permadani oriental, serta diterangi dengan kandil perunggu yang panjang. Dan juga adanya dua orang pelayan bertubuh kekar bercelana pendek yang tertidur di kursi-kursi belakang. Mereka terkantuk oleh kehangatan udara perapian.
Dia pun melamunkan ruang tamu panjang yang dihiasi sutera kuno, mebel-mebel yang antik, dan kamar rias yang semerbak dengan aroma wewangian yang menggoda untuk tempat bercengkerama setiap pukul lima sore dengan pria-pria terkenal yang digandrungi, di mana wanita-wanita yang lain akan merasa cemburu karena ingin mendapat perhatian seperti itu juga.

Tiga hari yang lalu ketika sedang duduk makan malam di depan meja bundar yang berlapis taplak, di depan suaminya yang membuka mangkuk sup dan berkata penuh kekaguman, “Ah, daging sup yang lezat! Tak ada yang lebih enak daripada ini”. Wanita itu justru sedang melamunkan makan malam yang mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani yang memenuhi dinding dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka dari masa lalu dan burung-burung aneh yang beterbangan di antara rerimbunan hutan yang ada di negeri dongeng. Dia pun melamunkan hidangan-hidangan lezat yang disajikan di piring yang elok, dan mendengarkan bisikan-bisikan menggoda sambil mengulum senyum ketika sedang menyantap daging ikan trout yang berwarna pink atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun-gaun, perhiasan-perhiasan, tidak memiliki apa-apa. Dan tak ada yang disukainya kecuali itu, dia merasa dirinya adalah untuk itu. Sebuah kemewahan. Dia begitu ingin dirinya bahagia, dicemburui, menarik, dan membuat orang lain tergila-gila.

Dulu. Ketika masih bersekolah di biara, dia memiliki seorang teman yang kaya. Tapi dia tak mau lagi mengunjunginya, karena dia begitu merasa menderita setelah pulang dari rumah temannya itu.

Namun suatu sore suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan dan membawa sebuah amplop besar di tangannya.

“Ini,” katanya. “Ada sesuatu untukmu.”

Wanita itu segera merobeknya dan menarik selembar kartu bertuliskan:
Menteri Penerangan dan Nyonya Georges Ramponneau dengan hormat mengundang Tuan dan Nyonya Loisel di Gedung Kementerian pada hari Senin sore tanggal delapan belas Januari.

Bukannya gembira seperti yang diharapkan oles suaminya, tapi justru dilemparkannya undangan itu begitu saja di atas meja. Dengan suara lirih dia berkata:

“Apa yang kau inginkan dariku dengan undangan itu?”

“Tetapi, Sayang, kupikir kau akan senang. Kau kan tidak pernah pergi-pergi, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku telah bersusah payah mendapatkannya. Setiap orang ingin datang, ini sangat diseleksi, dan mereka tidak memberikan banyak undangan untuk para juru tulis. Semua pejabat akan hadir di sana.”

Dia memandang suaminya dengan tatapan pedih dan berkata dengan gusar:

“Dan menurutmu aku harus memakai apa?”

Suaminya tidak berpikir ke situ, ia berkata dengan gagap:
“Kenapa, gaun yang dulu kau pakai ke teater, bagiku gaun itu cukup bagus.”
Suaminya terdiam, bingung, melihat isterinya menangis. Air matanya jatuh dari kedua ujung matanya dan mengalir perlahan-lahan sampai ke ujung mulutnya. Suaminya berkata gagap:

“Ada apa? Ada apa?”

Tapi dengan usaha keras wanita itu segera dapat mengatasi kepedihannya, dan dia menjawab dengan suara yang tenang sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah:
“Tak apa-apa. Hanya aku tidak punya gaun dan oleh sebab itu aku tidak bisa berangkat ke pesta. Berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang isterinya lebih baik dan dananya lebih banyak daripada aku.”
Suaminya putus asa. Ia melanjutkan:

“Ayo kita bahas, Mathilde. Berapa harganya sebuah gaun pantas, yang nanti bisa kau pakai lagi untuk kesempatan lainnya, gampang kan?”

Isterinya berpikir beberapa detik, membuat kalkulasi harga sambil memperkirakan jumlah yang dapat diajukannya. Jumlah yang dapat diterima serta tidak mengejutkan untuk perekonomian seorang juru tulis.

Akhirnya dia berkata dengan ragu-ragu:

“Aku tak tahu pasti, tapi kurasa aku bisa mengatasinya dengan empat ratus franc.”
Suaminya agak pucat, karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk membeli sebuah bedil yang akan digunakan berburu di musim panas nanti di Dataran Nanterre dengan beberapa orang teman yang pada hari Ahad lalu menembak burung-burung lark di sana bersamanya.

Tapi ia berkata:
“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus franc. Dan usahakan untuk mendapat sebuah gaun yang cantik.”
Hari penyelenggaraan pesta itu sudah semakin dekat, tapi Nyonya Loisel nampak murung dan gelisah. Padahal gaunnya sudah siap. Suatu sore suaminya berkata kpadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau kelihatan begitu ganjil tiga hari terakhir ini.”
Isterinya menjawab:

“Aku bingung karena tidak memiliki sebuah perhiasan pun, tidak ada sebutir perhiasan pun, tidak ada sebutir permata, tidak ada yang bisa dipakai. Aku akan kelihatan payah sekali. Lebih baik tidak usah pergi saja.”
Suaminya berkata:

“Kau bisa memakai perhiasan dari bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang jadi mode. Dengan sepuluh franc kau bisa memperoleh dua atau tiga bunga mawar yang indah.”

Tapi isterinya tidak bisa diyakinkan.

“Tidak, tak ada yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara wanita-wanita lain yang kaya.”

Tapi suaminya berseru:

“Bodohnya kamu! Pergilah ke rumah temanmu, Nyonya Forestier, dan mintalah kepadanya untuk meminjamimu beberapa perhiasan. Kau cukup akrab dengannya untuk melakukan itu.”

Wanita itu berseru gembira:

“Betul! Aku tak pernah memikirkannya.”
Hari berikutnya dia pergi mengunjungi temannya dan menceritakan kesulitannya.
Nyonya Forestier berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berpintu kaca, mengambil sebuah kotak besar berisi perhiasan, membawanya kembali, membukanya dan berkata kepada nyonya Loisel:

“Pilihlah, sayangku.”
Pertama kali dipandangi semua gelang, kemudian seuntai kalung mutiara, lalu salib Veneia, emas, dan batu-batu perhiasan hasil karya seniman yang luar biasa. Dia mencoba perhiasan-perhiasan itu di depan cermin sambil terkagum-kagum. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi, mengembalikannya lagi. Dia selalu bertanya:

“Apakah kau masih punya yang lain?”
“Kenapa, tentu saja. Lihatlah. Aku tak tahu mana yang kau sukai.”
Tiba-tiba dia menemukan, di dalam sebuah kotak satin berwarna hitam, seuntai kalung permata yang luar biasa indah, dan jantungnya pun mulai berdebar kencang. Kedua tangannya gemetar saat mengambilnya.

Dipasangnya kalung itu di lehernya, di luar gaunnya yang sampai ke leher. Dan perasaannya terombang-ambing di awang-awang ketika dia menatap dirinya di depan cermin.

Kemudian dia meminta dengan ragu dan memelas:

“Dapatkah kau meminjamkan yang ini, hanya yang ini saja?”
“Kenapa? Ya, tentu saja.”

Dia melompat meraih leher temannya, menciuminya, lalu berlari dengan perhiasannya.
Hari pesta itu pun tiba. Nyonya Loisel meraih kemenangan besar.
Dia adalah satu-satunya wanita tercantik di antara mereka semua.
Anggun, sangat ramah, selalu tersenyum, dan sangat gembira. Semua pria meliriknya, menanyakan namanya, dan berusaha berkenalan. Semua atase kabinet ingin berdansa dengannya. Bahkan menteri sendiri juga mengajaknya berdansa.

Dia baru selesai sekitar pukul empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam tadi di sebuah ruang depan yang sepi bersama tiga orang pria lainnya yang isteri-isteri mereka juga bersenang-senang. Pria itu lalu melampirkan selembar selendang yang telah dibawanya sejak tadi ke bahu isterinya, selendang biasa saja, yang mana saking sederhananya sangat kontras dengan gaun pesta yang dipakainya. Wanita itu merasakannya, dan ingin menghindar sehingga dirinya tidak menjadi bahan pembicaraan wanita-wanita lain yang membungkus tubuh-tubuh mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Loisel menahan punggung isterinya.
“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan pergi memanggil sebuah taksi.”
Tapi tak dihiraukannya suaminya, dan dengan cepat ia menuruni tangga. Ketika sudah berada di jalan mereka tidak menemukan kendaraan, dan mereka mulai mencarinya. Mereka berteriak ke arah sopir-sopir taksi yang kendaraannya melaju di kejauhan.
Mereka berjalan turun menuju Seine, dalam keputusasaan dan menggigil kedinginan. Akhirnya di sebuah dermaga mereka mendapatkan sebuah mobil kuno yang tertutup dan berpintu dua, yang hanya muncul di Paris ketika malam telah turun.
Kendaraan itu mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, dengan sedih, mereka berjalan pulang ke rumah. Segalanya telah berakhir bagi wanita itu. Dan bagi sang suami, ia berpikir bahwa ia sudah harus berada di kementerian pada pukul sepuluh.

Wanita itu melepas selendang yang membungkus bahunya di depan cermin, sehingga sekali lagi ingin melihat dirinya dalam segala kejayaannya. Tapi tiba-tiba dia menjerit. Kalungnya tidak lagi berada di lehernya.
Suaminya yang sedang melepas pakaian bertanya:

“Ada apa denganmu?”
Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya.
“Aku… aku… aku telah menghilangkan kalungnya Nyonya Forestier.”
Suaminya bangkit, kalut.
“Apa? Bagaimana? Mustahil!”
Dan mereka berdua mencari di antara lipatan-lipatan gaunnya, dalam lipatan-lipatan mantelnya, dalam dompet-dompetnya, di mana saja. Tapi mereka tidak menemukannya.
Suaminya bertanya:

“Kau yakin tadi masih memakainya ketika meninggalkan pesta?”
“Ya, aku masih merasakannya di ruang depan gedung.”
“Tapi jika kau menghilangkannya di jalan, kita mestinya mendengar bunyinya ketika jatuh. Jangan-jangan di dalam mobil.”
“Ya, mungkin saja. Apakah kau mencatat nomornya?”
“Tidak. Dan kau, apakah kau memperhatikannya?”
“Tidak.”
Bagai disambar petir, mereka saling memandang. Akhirnya Loisel mengenakan kembali pakaiannya.

“Aku akan kembali menelusuri jalan tadi dengan berjalan kaki,” katanya, “ke seluruh rute yang telah kita lalui untuk memeriksa kalau-kalau dapat menemukannya.”
Lalu ia pun pergi ke luar. Sedangkan isterinya menunggu di kursi dengan gaun pestanya, tanpa ada tenaga untuk pergi ke tempat tidur, tak berdaya, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali lagi sekitar pukul tujuh pagi. Ia tidak menemukan apa-apa.
Kemudian laki-laki itu pergi lagi ke kantor-kantor polisi, kantor-kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke perusahaan-perusahaan taksi, ke mana saja, sesungguhnya, ke mana dirinya terdorong oleh seberkas harapan.

Isterinya menunggu sepanjang hari, dalam kecemasan yang sama seperti sebelum petaka itu terjadi.

Malamnya Loisel pulang dengan lemah dan pucat. Ia kembali tak menemukan apa-apa.
“Kau harus menulis surat pada temanmu,” katanya, “bahwa kau telah merusak jepitan kalung itu sehingga kau harus membetulkannya.

Dengan demikian kita masih punya kesempatan untuk mengembalikannya.”

Dia menulis mengikuti dikte dari suaminya.
Pada akhir dari pesan itu mereka kehilangan semua harapan.
Dan Loisel, yang tampak semakin cepat bertambah tua lima tahun, memutuskan:
“Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengganti perhiasan itu.”
Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung itu menuju ke toko perhiasan yang namanya tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya.

“Bukan saya yang menjual kalung itu, Nyonya.”

Kemudian mereka pergi dari satu toko perhiasan yang lain untuk mencari kalung seperti itu. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita.

Akhirnya di sebuah toko di Palais Royal mereka menemukan seuntai kalung permata yang benar-benar mirip dengan yang mereka cari.
Kalung itu berharga empat puluh ribu franc. mereka bisa menawarnya sampai tiga puluh enam ribu.

Mereka meminta kepada penjual kalung itu untuk tidak menjualnya kepada orang lain selama tiga hari ini. Dan mereka menawarkan bahwa si penjual tadi bisa membeli kembali kalungnya seharga tiga puluh empat ribu franc seandainya mereka berdua bisa menemukan kalung yang hilang sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan belas ribu franc dari peninggalan ayahnya. Ia harus meminjam sisanya.

Ia pun mencari pinjaman. Meminta seribu franc dari sesorang, lima ratus franc dari yang lainnya, lima louis di sini, tiga louis di sana. Ia memberi surat utang, mengambil utang-utang yang berbunga tinggi, membuat persetujuan dengan para rentenir dan semua orang yang bisa meminjamkan uang. Ia mempertaruhkan sisa hidupnya, mempertaruhkan tanda tangannya tanpa mengetahui apakah ia nanti mampu memenuhi janjinya atau tidak. Tanpa menyadari halangan dan musibah yang akan menimpanya, dan kemungkinan tekanan-tekanan batin yang harus ditanggungnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung yang baru, membayar dulu kepada penjualnya tiga puluh enam ribu franc.

Ketika Nyonya Loisel mengembalikan kalung itu, Nyonya Forestier berkata dingin kepadanya:

“Seharusnya kau kembalikan lebih cepat, mungkin aku akan memakainya.”
Dia tidak membuka kotaknya, karena temannya tampak begitu ketakutan. Seandainya ia mengetahui penggantian itu, apa yang akan dipikirnya, apa yang akan dikatakannya? Apakah dia tidak akan menuduh Nyonya Loisel sebagai pencuri?

Kini Nyonya Loisel mengerti betapa mengerikannya kemiskinan.
Dia terjun ambil bagian, dengan tiba-tiba, secara heroik. Utang-utang yang mengerikan itu harus dibayar. Dan dia akan membayarnya. Mereka memulangkan pembantu, mengubah tata ruang tempat tinggal mereka dan menyewakan ruangan di loteng.

Kini dia merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan periuk yang berminyak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan lap-lap, yang kemudian dijemur pada seutas tali. Dia membuang air limbah setiap pagi ke jalanan, lalu mengambil air bersih, kemudian berhenti untuk menarik nafas setiap kali sampai. Dan, berdandan seperti wanita kebanyakan pada umumnya. Dia pergi berbelanja ke tukang buah, grosir, tukang daging, membawa keranjang, melakukan tawar-menawar, menahan hinaan, mempertahankan uangnya yang sedikit sou demi sou.

Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain lagi, mengulur waktu.
Suaminya pada petang hari bekerja membuat salinan untuk beberapa catatan dari pedagang, dan pada larut malam ia sering menyalin berkas-berkas dengan upah lima sou per lembar.

Dan kehidupan seperti ini berakhir setelah sepuluh tahun. Dan sesudah sepuluh tahun berlalu, mereka telah membayar semuanya, semua utang dan bunga-bunganya.
Nyonya Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan biasa. Kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut tak teratur rapi, rok miring, dan tangan yang merah. Dia berbicara dengan lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya bunyi air. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping jendela, dan mengenang malam yang indah yang telah berlalu dulu. Tentang pesta itu, di mana dirinya begitu cantik dan begitu memesona.

Apa yang terjadi seandainya dia tidak menghilangkan kalung itu?
Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa kehidupan ini begitu aneh dan mudah berubah-ubah! Betapa mudahnya kita kehilangan sesuatu atau tetap memilikinya!
Namun, pada suatu hari Ahad, ketika sedang berjalan-jalan di Champs Elysees untuk menyegarkan pikirannya dari pekerjaan rutin selama sepekan, dia tiba-tiba mengenali seorang wanita yang sedang membimbing anak kecil. Wanita itu adalah Nyonya Forestier. Dia terlihat masih muda, cantik, dan tetap memikat.

Nyonya Loisel merasakan kepiluan di hatinya. Akankah dia mengajaknya berbicara? Ya, pasti. Dan sekarang karena dirinya telah melunasi semuanya, dia akan menceritakan kepada wanita itu tentang segala yang telah terjadi. Kenapa tidak?
“Selamat sore, Jeanne.”

Wanita itu disapa terperanjat atas keramahan dari seorang ibu rumah tangga yang sederhana itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap:

“Tapi, Nyonya, saya tidak kenal. Anda pasti keliru?”

“Tidak. Aku adalah Mathilde Loisel.”
Kawannya itu memekik kecil.
“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kenapa kau bisa berubah sampai seperti ini?”

“Ya, aku telah melewati hari-hari yang berat, sejak aku mengunjungimu dulu, hari-hari yang sangat buruk. Dan semua itu karena engkau.”

“Karena aku?!” bagaimana mungkin?”

“Apakah kau masih ingat tentang kalung permata yang telah kau pinjamkan kepadaku dulu untuk pergi ke pesta di kementerian?”

“Ya. Lalu?”

“Yeah, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Bukankah kau telah mengembalikannya?”

“Yang kukembalikan padamu dulu itu adalah gantinya yang benar-benar persis dengan itu. Dan untuk itu kami harus membayarnya selama sepuluh tahun. Engkau tentu tahu bahwa hal itu tidaklah mudah bagi kami, kami yang tidak punya apa-apa ini. Akhirnya berlalulah sudah, dan aku sangat senang.”

Nyonya Forestier menghentikan langkahnya.

“Kau mengatakan bahwa kalian telah membeli kalung permata untuk mengganti milikkku itu?”

“Ya, dan kau tidak pernah memperhatikannya! Kedua kalung itu memang benar-benar serupa.”

Dia pun tersenyum gembira dengan perasaan bangga dan naïf sekaligus.
Nyonya Forstier merasa sangat iba, dipegangnya kedua belah tangan temannya itu.
“Oh, Mathilde-ku yang malang! Mengapa? Kalungku itu hanyalah imitasi. Harganya paling mahal cuma lima ratus franc saja!”




SEORANG PENULIS DAN KOMPUTER TUANYA
Cerpen: dul abdul rahman

Larut malam. Lam bergegas memulai tulisannya. Ia harus menyelesaikannya ini malam. Besok ia harus kirim ke redaktur budaya di sebuah koran harian yang memesan tulisannya.
Tadi sore Lam harus menemani isterinya berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue buat jualan esok hari. Isteri Lam memang berusaha meringankan beban suaminya dengan berjualan penganan di depan rumah mereka. Apalagi rumah mereka berhadapan dengan sekolah dasar sehingga anak-anak sekolah selalu menyerbu jualannya saban pulang sekolah atau istirahat.

Tadi petang, Lam harus mengawasi dan menemani putranya belajar matematika. Ia berharap kelak anaknya bisa kuliah di fakultas kedokteran, bukan di fakultas sastra seperti dirinya. Ia tidak tertarik mengarahkan anaknya jadi penulis. Sebenarnya Lam sangat mencintai profesinya, tetapi ia tak bisa menutup mata pendapat masyarakat tentang profesinya tersebut. Bahkan mertuanya dulu pernah mencapnya pengangguran. Lam ingat, ia geragapan menjawab pertanyaan dari calon mertuanya dulu tentang kantornya.

“S…saya tak punya kantor, Pak.”

“Lha, katanya sudah bekerja.”

“I…iya Pak, tapi…”

“Maksudnya kantornya digusur?”

“Memang sejak dulu tak punya kantor Pak.”

“Aneh!”

“Saya seorang penulis Pak.” Lam cepat menyebut jenis profesinya. Takut kalau calon mertuanya menyebutnya orang aneh. Padahal ia sangat mencintai anak gadisnya.

“Penulis?”

“Ya, saya seorang penulis Pak.”

Lam terus meyakinkan. Sementara calon mertuanya mengernyitkan alis seolah penulis bukan bagian dari profesi yang ia pahami. Ia memang seorang kepala desa yang selalu mengurusi KTP buat warganya. Selama ia menangani KTP, belum pernah ia melihat profesi seseorang tertulis penulis. Biasanya adalah dokter, pilot, polisi, guru, PNS, wiraswasta, petani, atau yang lainnya.

“Nak! Kalau profesi penulis itu tertulis apa di KTP, soalnya pada draft biodata KTP tidak ada penulis.”

Lam kian geragapan. Ia membatin tidak karuan. Ia ragu, calon mertuanya memang tidak tahu menahu soal penulis. Atau calon mertuanya sengaja mau menjebaknya bahwa ia benar-benar pengangguran. Lalu menolaknya jadi mantu. Dalam hati Lam menggerutu.
Lam tersenyum-senyum mengingat pengalamannya waktu melamar dulu. Untungnya, tempo itu ia bisa meyakinkan calon mertuanya bahwa meskipun ia cuma seorang penulis tapi ia yakin mampu menafkahi isteri dan anak-anaknya kelak.

Lam bergegas menyalakan komputernya. Tapi ia harus menunggu bermenit-menit. Mungkin komputer miliknya sudah mulai kelelahan. Ia sepertinya tak sanggup lagi mengikuti jejak-jejak pikiran Lam yang tidak dibatasi oleh makhluk yang bernama pentium.

“Yah! Apakah Lapundarek* jadi menikah dengan putri raja?”

Lam terperanjat. Kaget. Ternyata putranya belum jua tidur. Padahal tadi ia berhenti bercerita karena menyangka putranya sudah tidur. Sudah menjadi kebiasaan Lam mendongeng sebagai pengantar tidur anak-anaknya.

“Lapundarek menikah dengan siapa, Yah? Yang bungsu, yang tua, atau yang tengah.”

“Yang bungsu, Sayang.”

Lam segera melayani pertanyaan putranya. Ia memang selalu ingin tahu setiap cerita yang diutarakan ayahnya. Lam bahagia. Lam senang. Dengan bercerita, ia mencoba meningkatkan keingintahuan serta cara merespons anak-anaknya. Biasanya Lam membuat cerita bersambung laiknya sinetron di teve.

“Horeee! Lapundarek menikah dengan yang paling cantik.”

“Bukan hanya itu, tapi baik pula budinya.”

“Beruntung sekali Lapundarek ya, Yah?”

“Lapundarek kan orang tabah dan sabar.”

“Tapi Yah, masa putri raja yang cantik mau sama Lapundarek. Lapundarek kan jelek dan bau.”

“Hush! Tak boleh menghina.”

“Maaf, saya lupa. Lanjutkan ceritanya Yah!”

“Tidurlah sayang, besok malam ayah lanjutkan ya.”

“Tapi ayah harus janji.”

“Ayah berjanji, Sayang.”

Lam kembali menatap komputernya. Malam ini ia akan menulis tentang seorang penulis yang hidupnya pas-pasan. Meskipun demikian, sang penulis tersebut tetap setia pada profesinya. Mungkin Lam mencoba melukis dirinya lewat tulisan itu. Entah.
Lam terus memilih dan memilah kata yang tepat. Lalu merangkainya menjadi kalimat yang mendayu-dayu. Salah satu kelebihan Lam memang adalah penggunaan diksi yang benar-benar bisa mengharubirukan perasaan pembaca. Bahkan tidak sah rasanya membaca tulisan Lam tanpa ditemani sapu tangan penyeka airmata. Begitulah pengakuan salah seorang fans Lam.

“Istirahat dululah Bang!”

Kali ini suara isterinya yang lembut membuyarkan pikiran Lam. Tapi tidak masalah. Lam sangat mencintai isterinya. Bahkan sebentuk perhatian, pun pengabdian dari isterinya adalah sebuah inspirasi Lam untuk terus menulis.

Lam memang sangat beruntung. Ia bisa mempersunting anak kepala desa di kampungnya yang baik budi bahasanya, cantik pula. Mata bening isterinya, serta wajah yang ayu, senyum yang menawan selaksa sketsa Siti Nurhaliza, penyanyi dari negeri seberang yang memang menjadi idola Lam

“Tidak capeklah abang, Sayang.”

“Abang harus jaga kesehatan.”

“Abang sehat-sehat selalu, Sayang.”

“Tapi jangan terlalu memforsir diri Bang.”

Lam bangkit. Ia mengecup kening isterinya sebagai tanda sayang. Pun ia tak lupa mencium anak-anaknya yang sudah pulas terbawa cerita Lapundarek yang sangat mereka suka. Lam berharap, semoga orang-orang yang sangat ia cintai dan kasihi bisa istirahat dengan tenang. Pun ia tidak mendapat gangguan lagi supaya tulisannya bisa selesai ini malam. Honor tulisannya kali ini buat beli replika cincin pernikahan buat isterinya menjelang ulang tahun pernikahan yang kesepuluh.

Isteri Lam memang terpaksa menjual cincin pernikahan sebagai modal usaha jual-jualan. Sebenarnya isteri Lam tak pernah menuntut suaminya menggantinya, cuma Lam selalu ingin membuat isterinya bahagia.

Lam duduk kembali. Ia melanjutkan tulisannya. Di luar, angin malam berhembus pelan menyanyikan lagu alam. Malam merilis lirik buat Lam seirama dengan ayunan pulpennya.
Lam tersenyum-senyum. Tokoh utama dalam cerpennya ia beri nama Lampe. Lampe sebenarnya adalah nama bapaknya. Lampe dalam bahasa Bugis berarti panjang. Kakek Lam dulu memberi nama Lampe pada anaknya supaya panjang umur, panjang angan-angan(tinggi cita-cita), atau panjang rezeki(banyak rezeki). Selanjutnya ayah Lam memberi nama anaknya Lampugu. Meski nama Lampugu terkesan Bugis, tapi sesungguhnya meng-Indonesia, Lampugu berarti lampu penerang di gelap gulita. Itulah nama lengkap Lam. Dan begitulah orang-orang tua dulu memberi nama. Selalu terselip doa dibalik nama.

Sebenarnya yang membuat Lam tersenyum-senyum, karena yang ia maksudkan Lampe adalah diri Lam sendiri. Lam penulis. Begitulah nama Lampe versi Lam. Lam memang selalu mengangkat tema-tema berkenaan dengan dirinya sehingga banyak pembaca mencap dirinya sebagai penulis soliloquist.

Lam berhenti sejenak. Ada virus bergambar tengkorak mendadak mengangkangi tulisannya. Ia cepat memprogram program anti virus yang ia beli tadi. Klik. Gambar tengkorak menghilang seketika. Namun perasaan deg-degan Lam belum hilang. Ia takut datanya hilang.

Lam kembali melanjutkan tulisannya. Kali ini ia agak berhati-hati, tapi sedikit tergesa-gesa. Ia ingin secepatnya menyudahi tulisannya. Ia memang mengantuk dan lelah karena seharian menemani isteri dan anak-anaknya. Lam menutup cerita dengan kejutan-kejutan sekaligus menyedihkan.

Larut malam. Akhirnya, setelah dua jam lamanya Lam mengutak-atik kalimat menjadi paragraf-paragraf, tulisannya selesai jua. Meski Lam belum memberi judul, tapi ia yakin tulisannya kali ini benar-benar membuat pembaca terharu atas kegigihan dan ketabahan seorang penulis yang sangat mencintai profesinya, seluruh honor tulisannya buat isteri dan ank-anaknya yang ia sangat cintai. Dari cinta untuk cinta. Begitulah Lam mengangkat tema cerita kali ini.

Tapi mendadak Lam cemas. Virus tengkorak kembali mengangkangi tulisannya. Lalu. Klik. komputer Lam mati seketika. Lam mendadak lemas. Karena ia tahu datanya ini kali tidak terselamatkan. Komputer tua miliknya tidak bisa lagi mengamankan data-data bila mati seketika.

Lam beranjak. Ia masuk kamar. Mengecup kening isteri dan anak-anaknya. Lalu tidur di sampingnya. Besok ia akan mengetik ulang lagi cerpennya. Ada senyum mengembang di wajahnya. Karena ia sudah menemukan judul yang cocok buat cerpennya. Seorang penulis dan komputer tuanya.

Makassar-Jakarta, Juli 2007
Catatan: Lapundarek adalah cerita rakyat Sulawesi Selatan. Tokoh utamanya bernama Lapundarek yang bertampan buruk. Setelah ia berhasil mempersunting putri raja, ia terlepas dari kutukan. Lapundarek sebenarnya adalah pangeran yang dikutuk menyerupai monyet.
Sumber:
Harian Fajar 9 Desember 2007
www.sriti.com
www.fajar.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar