Jumat, 09 Desember 2011

PERSEKUTUAN INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM KARYA SASTRA

(Catatan Pengantar “Tunggu Aku di Pantai Losari” karya Hasbullah Said)

Oleh: dul abdul rahman

Sejarah pertautan yang mesra antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung sejak lama. Bahkan khusus pertautan antara suku Bugis-Makassar dan suku Melayu, kepustakaan Melayu mencatat bahwa beberapa Sultan di Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar, seperti Sultan Selangor, Johor, Pahang, dan Trenggano.

Namun pertautan yang mesra tersebut belakangan mengalami pasang surat. Berawal dari ucapan Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno, “Ganyang Malaysia!” Awal mula kemarahan Soekarno karena Malaysia ingkar janji. Semula Malaysia memang ingin bergabung dengan Indonesia untuk menghindari bergabung dengan Cina. Alasan Malaysia untuk bergabung dengan Indonesia dibandingkan dengan Cina karena Indonesia adalah saudara serumpun. Indonesia dan Malaysia sama-sama ras Melayu. Tapi tempo itu Jepan yang menjajah Indonesia menyerah kepada tentara sekutu. Lalu Malaysia berubah arah angin ingin merdeka sendiri, menentukan nasib sendiri. Lalu Malaysia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 31 Agustus 1957, lebih muda dua belas tahun daripada Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Hubungan Indonesia dan Malaysia selanjutnya mengalami pasang surut. Pada tahun 1980-an, Malaysia berusaha belajar dari Indonesia untuk meningkatkan SDM mereka. Bahkan kala itu pemerintah Malaysia mengimpor guru-guru dari Indonesia, khususnya guru-guru eksakta untuk mengajari murid-murid mereka. Di saat yang sama, Malaysia mengirim guru-gurunya belajar di luar negeri, khususnya Inggeris. Maka beberapa tahun kemudian Malaysia bergerak maju di bidang pendidikan dan SDM. Bukan hanya itu, Malaysia kian maju di segala bidang. Di saat yang sama, penduduk Indonesia kian bertambah banyak tanpa ditunjang oleh lapangan pekerjaan yang memadai. Maka berbondong-bondonglah warga Indonesia mengaiz rezeki di Malaysia sebagai bangsa kuli. Lalu, perlakuan yang semena-mena dari beberapa oknum majikan di Malaysia terhadap TKI dan TKW dari Indonesia membuat masyarakat Indonesia merasa dilecehkan. Seterusnya hubungan Indonesia dan Malaysia terkadang panas.

Bahkan salim klaim antara perbatasan dan pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia kian memanaskan suasana. Bahkan setelah lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia melalui sidang mahkamah internasional membuat hubungan Indonesia dan Malaysia merenggang. Meski demikian, laiknya saudara sendiri, saudara serumpun. Hubungan Indonesia dan Malaysia tetaplah tidak bisa dipisahkan. Saling membutuhkan. Atau mungkin saling merindukan.

Karena sejarah panjang itulah. Hubungan Indonesia-Malaysia serupa hubungan kekasih. Terkadang ada benci. Pun terkadang ada marah. Tapi disebalik rasa benci dan marah itu ada rasa kasih dan sayang. Bukankah marah sesungguhnya adalah rasa sayang yang berlebihan? Sedangkan benci adalah rasa rindu yang tak kesampaian?

Dalam kesusastraan, jalinan hubungan Indonesia dan Malaysia tetaplah mesra. Bahkan seorang Sastrawan Negara Malaysia bernama Arena Wati adalah asli suku Bugis-Makassar. Arena Wati dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1925 di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Sastrawan Negara yang sangat dihormati di Malaysia yang berpulang ke rahmatullah pada tahun 2009 tersebut bernama asli Muhammad Dahlan bin Abdul Biang. Dalam kepengarangannya, Arena Wati selalu berusaha untuk mempertautkan nasionalisme Melayu.

Sastrawan Negara Malaysia lainnya yang memang asli orang Melayu bernama Usman Awang berusaha mempertautkan antara rumpun Melayu. Tengoklah penggalan puisi Usman Awang berikut ini:

Melayu di Tanah Semenanjung luas maknanya
Jawa itu Melayu,
Bugis itu Melayu
Banjar juga disebut Melayu,
Minangkabau memang Melayu,
Keturunan Acheh adalah Melayu,
Jakun dan Sakai asli Melayu
Mamak dan Malbari serak ke Melayu.

Dua puluh tahun setelah Arena Wati lahir di Jeneponto, di tempat yang sama lahirlah pula seorang penulis bernama Hasbullah Said. Walaupun beliau tidak sepenuh waktu berkecimpung di dalam dunia sastra dan dunia kepenulisan laiknya Arena Wati, tetapi sosok Hasbullah Said tetaplah patut dicatat sebagai seorang penulis yang berusaha mempertautkan hubungan Indonesia dan Malaysia.

Hasbullah Said lewat cerpen-cerpennya dalam buku ini melukiskan akan kerinduan itu. Kerinduan antara Indonesia dan Malaysia. Kerinduan antara Makassar dan Selangor, atau Makassar dengan Pulau Penang. Benci tapi rindu, mungkin kalimat itulah yang mewakili rasa antara Indonesia dan Malaysia. Cerita-cerita Hasbullah Said mengalir alami serupa mata air dari pegunungan Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang dari Sulawesi Selatan serta Gunung Tahan dan Gunung Kinabalu dari Malaysia. Percikan mata air tersebut akan membawa Anda menikmati tetesan-tetesan kerinduan itu.


Dan cerpen “Tunggu Aku di Pantai Losari” yang juga menjadi judul buku kumpulan cerpen ini kian membawa Anda akan merindukan Makassar, khususnya Pantai Losari. Tapi sayang sekali kerinduan akan Pantai Losari dengan ikon “restoran panjang”nya sudah berubah. Pantai Losari seolah menggeliat khianat. Selamat membaca!

Yogyakarta, Desember 2010
Dul Abdul Rahman
(Sastrawan dan peneliti budaya, sejauh ini mengarang 7 buah novel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar