Sabtu, 04 Juni 2011

DILARANG MURUNG DI BANTIMURUNG
Oleh: dul abdul rahman


“Macaca Maura dan kupu-kupu Bantimurung!”
Pekikku tertahan ketika tiba di pintu gerbang permandian alam Bantimurung. Ketika aku meninggalkan Bantimurung tujuh tahun silam di pintu gerbang tersebut hanyalah terdapat patung monyet jenis Macaca Maura. Tapi kedatanganku kali itu sebagai wartawan terasa berbeda, karena patung monyet tersebut sudah ditemani oleh kupu-kupu Bantimurung. Kupu-kupu Bantimurung itu diangkat dengan mesra oleh sang Macaca Maura.

“Semoga saja Macaca Maura dan kupu-kupu Bantimurung berjodoh.”

Aku membatin sambil melangkah memasuki kawasan Bantimurung. Setiap ayunan langkahku serupa alur cerita yang menyeretku kembali ke masa silam. Bermula ketika aku terlibat perkelahian dengan preman di Tanjung Priok di Jakarta, lalu orang tuaku yang memang asli Bugis-Makassar memindahkan aku bersekolah di SMA Negeri Bantimurung, padahal kala itu aku sedang duduk di kelas tiga. Lalu ketika bersekolah di Bantimurung, aku dimusuhi oleh dua siswa yang paling ditakuti di sekolah bernama Hendra dan Rusdi. Keduanya memusuhiku karena aku bersahabat akrab dengan seorang siswi yang tercantik di sekolah itu bernama Rani. Hendra dan Rusdi memang bersaing untuk mendapatkan Rani, namun rupanya Rani menampik cinta mereka.
Kala itu aku memang jatuh cinta pada Rani. Tapi aku tak pernah menyampaikan isi hatiku. Hingga akhirnya aku berteman baik dengan Hendra dan Rusdi. Awalnya Hendra dan Rusdi memanggil aku baik-baik sepulang sekolah. Keduanya ingin menghajarku, tetapi mereka tidak tahu bahwa aku pernah melumpuhkan preman di Jakarta. Maka dengan pencak silat baruga ala Bugis plus silat Betawi, aku berhasil melumpuhkan Hendra dan Rusdi. Sejak saat itu, aku bersahabat dengan Hendra dan Rusdi. Persahabatan kami sangatlah akrab. Aku pun mengikhlaskan keduanya bersaing secara sehat untuk menundukkan hati Rani. Saat itu aku membujuk Rani untuk menerima cinta salah satu sahabatku tersebut.

“Aku sudah punya kekasih, Patiroi,” jawab Rani saat aku menyampaikan isi hati Hendra. Aku terdiam. Tapi aku merasa beruntung karena yang kusampaikan bukanlah isi hatiku. Karena aku orang baru di Bantimurung, maka pastilah aku akan malu bila cintaku ditolak oleh Rani. Untungnya Rani tidak pernah menolak cintaku karena aku memang tidak pernah menyampaikan rasa cintaku padanya.

“Siapa nama kekasihmu, Rani?” Tanyaku.

“Pokoknya rahasia dong, tapi aku sangat menyayanginya,” jawab Rani sambil melirikku. Aku hanya terdiam sambil melempar batu ke Sungai Bantimurung.

“Apakah kamu juga sudah punya kekasih, Roi?” Tanya Rani ketika melihatku hanya terdiam.

“Iya, aku juga punya kekasih,” jawabku.

“Siapa namanya?”

“Pokoknya rahasia dong, tapi sama seperti dirimu aku juga sangat menyayanginya,” jawabku sambil menatap wajah Rani karena yang kumaksud kekasihku adalah Rani sendiri.

“Curang kamu Roi,” Rani memukul bahuku manja…

“Rani!” Batinku sambil melangkah memasuki wilayah permandian alam Bantimurung. Aku berdecak kagum. Keindahan Bantimurung masih seperti tujuh tahun silam. Aku menikmati kembali indahnya puncak-puncak batu karst yang nampak serupa raksasa yang tersenyum. Senyum pepohonan yang menghijau yang tumbuh menggelantung ataupun menempel pada dinding-dinding batu karst.

Lalu pandanganku tertuju ke arah dinding batu karst di bagian sebelah kiri. Tiga atau empat pepohonan tumbuh dengan batang menyembul keluar. Batang-batang yang menyembul itu serupa pinggul barisan perempuan-perempuan seksi Bugis-Makassar yang sedang menari pakkarena.

Aku terus memandangi gunung-gunung batu karst yang indah. Aku merasakan sebuah kedamaian yang menyeruak dalam kalbuku. Inilah lukisan alam, lukisan Sang Maha Pencipta yang teramat indah. Di Jakarta tak akan ada tempat seindah dan sealami seperti ini. Gumamku. Di Jakarta aku hanya bisa memandangi gedung-gedung pencakar langit yang terkadang pongah dan serakah. Bahkan di musim penghujan dan di saat Kota Jakarta terkepung banjir, gedung-gedung tinggi tersebut seolah mencibir dan menertawai kawasan kumuh yang banjir di sekitarnya.

Aku terus berjalan sambil menatap pohon-pohon yang tumbuh menempel pada dinding-dinding batu karst. Halimun tipis masih setia bergelantungan pada dinding-dinding gunung batu karst yang mengapit kawasan permandian alam Bantimurung.

“Seksinya!” Ucapku tertahan melihat titik-titik air yang menetes dari stalaktit yang menjulur dari langit-langit gua di sisi kiri jalan masuk permandian alam Bantimurung. Jejeran stalaktit yang meneteskan air tersebut serupa pula jejeran pangeran-pangeran Bantimurung yang sedang berlomba membuang air kecil. Aku singgah sejenak untuk merasakan sejuknya air yang menetes dari stalaktit-stalaktit yang indah. Aku semakin kagum tatkala melihat jejeran stalagmit yang menggigil kedinginan di lantai gua karena dikencingi dengan semena-mena oleh pangeran-pangeran stalaktit yang nakal.

Lalu aku keluar dari jejeran stalaktit dan stalagmit. Aku menuju sebuah rumah mungil. Di gerbang itu tertera papan nama: Penangkaran Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Di tempat itulah tujuh tahun silam aku selalu bertemu dengan Rani.

“Kupu-kupu yang indah!”

Aku bergumam sambil mengingat-ingat jasa baik seorang ilmuwan Inggeris Alfred Russel Wallacae yang membuat Bantimurung dikenal di seluruh dunia. Wallace bahkan menyebut Bantimurung sebagai The Kingdom of Butterfly atau Kerajaan Kupu-kupu. Di kala penelitiannya lebih seratus tahun yang lalu, Wallace menemukan 270 jenis kupu-kupu di wilayah Bantimurung.

Setelah mengamati rumah penangkaran, aku lalu duduk pada sebongkah batu menghadap Sungai Bantimurung di samping rumah penangkaran. Seperti tujuh tahun silam sebelumnya, aku selalu bersama Rani, tetapi sayang sekali saat itu Rani sudah punya kekasih seperti pengakuannya.

Hari itu memang adalah hari terakhirku di Bantimurung. Aku sengaja menghabiskan waktu di kawasan wisata itu sebelum kembali ke Jakarta. Aku sudah mewawancarai sahabat terbaikku di SMA dulu, Hendra. Hendra adalah penyelamat jenis monyet tanpa ekor Macaca Maura bersama dengan ayahnya, Pak Haro. Pun aku sudah mewawancarai sahabatku lainnya, Rusdi. Rusdi juga mendapat penghargaan sebagai penyelamat kupu-kupu Bantimurung. Rusdi terus mengajak warga untuk tidak melakukan penangkapan kupu-kupu secara liar, Rusdi bahkan mengajari warga bagaimana cara menangkar kupu-kupu. Aku bangga dengan kedua sahabatku tersebut yang menjadi penyelamat Macaca Maura dan kupu-kupu, dua species khas Bantimurung

Sambil menikmati riak-riak Sungai Bantimurung, aku mengingat Rani. Sayang sekali Hendra dan Rusdi tak tahu lagi kemana jejak Rani. Aku pun setamat SMA kehilangan kontak dengan gadis cantik yang selalu kami panggil sebagai kupu-kupu Bantimurung tersebut. Aku sendiri karena kulitku gelap pernah dipanggil sebagai Macaca Maura oleh Hendra dan Rusdi pada saat aku masih dimusuhi oleh keduanya. Tetapi setelah kami bersahabat akrab, kami bertiga selalu mengaku sebagai Macaca Maura. Alasannya karena menurut dongeng di Bantimurung, konon Macaca Maura adalah pasangan kupu-kupu Bantimurung.

“Dilarang murung di Bantimurung!”

Di saat aku merenung, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara perempuan.

“Rani?” Aku cepat berdiri.

“Kamu benar-benar Rani kan?” Tanyaku kembali karena Rani hanya terus tersenyum.
“Roi! Masakan kamu tak mengenalku lagi.”

“Mungkin karena kamu semakin cantik saja, Rani,” jawabku dengan bahasa umum seorang laki-laki.

Lalu aku dan Rani pun bercerita tentang keadaan kami masing-masing. Aku duluan bercerita bahwa aku adalah seorang wartawan sekaligus pengarang. Aku sangat gembira karena Rani mengaku sudah mengoleksi semua novel-novelku. Lalu Rani pun bercerita bahwa ia sudah menjadi seorang perawat.

“Perawat?” Tanyaku.

“Mengapa kalau perawat?” Rani menyelidik.

Sejenak aku terdiam. Jawaban yang tertahan di hatiku hanyalah, “Kamu sepertinya semakin sulit untuk kugapai Rani, bukankah umumnya seorang perawat yang cantik jelita akan bersuamikan seorang dokter?”

“Mengapa tidak datang bersama kekasihmu, Rani?” Aku mencoba memancing.
Rani tersenyum. Ia balik bertanya, “Kamu juga mengapa tidak datang bersama kekasihmu?”

“Aku sudah berpisah dengan kekasihku sejak tamat SMA dulu, tapi aku masih sangat menyayanginya, makanya aku menunggunya di sini,” ujarku.

Sesaat Rani terdiam. Ia menunduk. Aku lalu bertanya padanya, “Mengapa kamu nampak sedih Rani?”

“Roi! Mungkin kamu lebih beruntung daripada aku. Aku sendiri setiap bulan sekali datang ke sini untuk menunggu seseorang yang sangat kucintai.”

“Apakah ia tak pernah datang?” Pancingku.

Rani hanya menunduk. Aku lalu mengangguk-angguk. Aku tersenyum, hatiku seolah sejuk. Tiba-tiba aku seperti bisa memahami perasaan Rani..

“Aku yakin ia akan datang, dan semoga saja kedatangannya kali ini memberi arti bagiku,” jawab Rani kemudian.

“Rani!” Aku segera berjongkok di hadapannya. Aku pikir tibalah saatnya untuk mengungkapkan rahasia hatiku. “Rani! Sejak awal pertemuan kita delapan tahun silam di tempat ini, aku sudah jatuh cinta padamu, hanya saja rasa itu terpaksa kupendam karena aku menjaga hubungan dengan Hendra dan Rusdi. Hingga aku pun berbohong padamu bahwa aku punya kekasih.”

Rani mengangkat wajah dengan mata sembab, ia berujar perlahan, “Alhamdulillah! Tuhan masih mendengar doa-doa dan harapanku. Tahukah kamu Roi? Yang kumaksud dengan kekasihku adalah kamu sendiri.”

Aku lalu mencium tangan Rani. Lalu kami pun meresmikan hubungan cinta kami sebagai sepasang kekasih secara sederhana. Kami saling mencium tangan. Lalu kami pun saling berjanji.

“Kekasihku Rani! Demi cintaku padamu, aku akan terus menjaga habitat kupu-kupu Bantimurung.”

“Kekasihku Patiroi! Demi cintaku jua padamu, aku pun akan menjaga Macaca Maura.”

Setelah saling berjanji untuk menjaga Bantimurung. Menjaga spesies Bantimurung. Aku dan Rani menuju air terjun Bantimurung untuk merayakan cinta kami. Kami akan membanting rasa murung kami berdua disana. “Paradiso! Aku tak mau lagi murung di Bantimurung!” Rani hanya tersenyum simpul lalu kembali berujar. “Memang dilarang murung di Bantimurung!”

Bantimurung-Bulusaraung, 2011

3 komentar: