Kamis, 09 Juni 2011

KRITIKUS LUMUS
Oleh: dul abdul rahman

Aku heran dengan sikap isteriku belakangan ini. Saban pulang dari acara-acara bedah buku, ia mendedah dengan mimik resah. “Cinderamata melulu.” Akh! Apa yang salah dengan cinderamata? Ataukah isteriku sudah berubah? Aku membatin galau. Bukankah selama ini ia tahu bahwa profesiku memang sebagai kritikus, setiap pekan atau dua kali dalam satu pekan selalu saja ada acara bedah buku, dan biasanya akulah yang yang menjadi salah satu pembicara.

Ataukah isteriku sudah lupa bahwa awal perkenalan kami adalah saat pertama dari yang pertama? Tulisan kritik sastra yang pertama kali aku buat dan pertama kali dimuat di media cetak adalah telaah atas cerpen yang berjudul Isteri Pertama yang ditulis oleh Andi Cammaleng, isteriku sendiri. Kata isteriku, cerpen itu juga adalah cerpen yang pertama ia tulis sekaligus cerpen pertamanya yang dimuat oleh media cetak. Dan klopnya lagi, ia mengaku bahwa akulah cinta pertamanya. Untuk mengimbangi kemagisan cintanya, aku juga mengaku bahwa ia adalah cinta pertamaku. Sebenarnya lebih tepatnya ia perempuan yang pertama menerima cintaku. Aku tak mau mengatakan padanya bahwa sebenarnya aku sudah berkali-kali ditolak oleh perempuan. Aku khawatir poin laki-lakiku akan jatuh di matanya. Karena aku mengamati sekarang, yang bagus dan menarik itu tergantung image dan pencitraan saja. Pastilah isteriku merasa minder bila kelak bertemu dengan perempuan yang pernah menolakku lalu perempuan itu berkata, “Aha! Suami kamu itu sesungguhnya laki-laki yang sangat menyukaiku tapi aku menolaknya mentah-mentah.” Lalu mungkin isteriku berpikir “Ternyata suamiku tidak membanggakan.”

Sebenarnya, itu cuma keresahanku saja. Tapi begitulah. Sebagai kritikus aku mencoba jujur membahas sebuah karya menurut konsep yang aku pelajari dari ratusan buku-buku kritik sastra yang menghuni perpustakaan pribadiku. Terkadang ada karya sastra yang lagi best seller tapi aku menganggapnya karya yang biasa-biasa saja, pun terkadang sebaliknya, ada karya sastra hanya sekali cetak tapi aku menganggapnya bagus. Sangat berbeda dengan pendapat isteriku.

“Wah payah Papa, kok kritikus selera sastranya rendah?” Isteriku protes ketika ia baca tulisanku di sebuah koran harian tadi pagi yang memuji-muji sebuah novel yang memang dianggap novel jadah oleh sebahagian orang karena bahasanya terlalu berani menyebut alat kelamin.

“Mama! Jangan terlalu apriori dulu, novel itu sama sekali tidak membahas kelamin.”

“Papa! Novel itu ratusan kali menyebut alat kelamin kok dikatakan tidak membahas kelamin?” Protes isteriku kian menjadi-jadi. Kalimatnya kian meninggi.

“Mama! Tepatnya novel itu membela kelamin. Jadi kalau ratusan kali menyebut kelamin artinya ratusan kali membela kelamin.”

Isteriku terdiam. Mungkin ia sudah paham. Perlahan-lahan aku beranjak dari tempat tidur. Aku tafakur di meja kerjaku untuk meresensi sebuah novel yang dikirim oleh seorang penulis kemarin pagi. Isteriku masih mendengkur di kasur. Mungkin ia tertidur. Meski tadi ada sedikit perdebatan selepas bercinta di siang hari, ia tetap nampak sangat puas. Sebagai kritikus aku bukan hanya menguasai teori sastra tetapi juga teori bercinta. Bahkan teks-teks Lontara Akkalaibineang sudah aku hafal. Intinya aku ingin menjaga kebahagiaan kelaminku dan kelamin isteriku. Aku tak mau kelamin isteriku mengkhianati kelaminku hanya karena kelaminku kampungan dan tak profesional. Aku juga berjanji tak akan membiarkan kelaminku mengkhianati kelamin isteriku hanya karena sok pahlawan membela kelamin perempuan lain.

“Luar biasa novel ini. Ia menggunakan simbol kelamin untuk melawan tirani kelamin, sungguh jujur, polos, dan menggugah. Misi novel itu agar tak ada lagi pelecehan dan pengingkaran atas kelamin, tujuan yang mulia sesungguhnya, sayangnya pembaca kita banyak yang munafik dan menafikan hakikat dirinya sendiri.” Begitulah kalimat pembuka yang aku buat. Namun, belum juga novel itu selesai aku resensi, isteriku tiba-tiba berada disampingku dan sungguh teganya merampas buku itu dari tanganku.

“Papa! Buku ini juga jadah, sama seperti buku yang papa resensi kemarin.”

“Tidak sama Ma!”

“Sama, Papa. Kalau buku yang kemarin itu banyak menyebut kelamin perempuan, buku ini banyak menyebut kelamin laki-laki.” Ujarnya membolik-balik buku itu tanpa membukanya.

“Pengarangnya juga sama, Papa.”

“Berarti pengarang itu adil dong, Mama. Ia bukan hanya membela kelamin perempuan tapi juga membela kelamin laki-laki.” Kataku enteng.

“Tapi Papa tidak boleh selalu baca buku beginian”

“Mama! Karya yang bagus itu tergantung pada apa yang ingin dikatakannya, bukan perkataannya saja.”

“Maksud Papa?”

“Karya yang bagus itu punya misi yang kuat, tidak ada sekat antar golongan, tidak mencerca dan mencaci, membela kaum tertindas, memperjuangkan keadilan. Sedangkan menyebut kelamin itu hanya bahasa kejujuran saja, karena memang kelamin ya kelamin. Kelamin tak boleh dibahasakan lain, nanti perjuangannya juga lain-lain dan macam-macam. Menulis harus fokus. Tak usah neko-neko segala. Ya, tak usah munafiklah!” Jawabku seperti menjawab pertanyaan peserta acara bedah buku tadi malam.

Isteriku sebenarnya bukan tipe isteri yang suka berdebat. Ia tipe isteri yang siap menerima suami apa adanya, bukan ada apanya. Apa yang ada padaku lebih dari cukup untuk membahagiakan isteriku. Soal materi sudah lumayan cukup, meski sebagai kritikus tidak begitu menghasilkan tetapi aku laku sebagai dosen mata kuliah kesusastraan di berbagai perguruan tinggi. Soal nafkah batin. Jangan ditanya. Setiap selesai aku mainkan lakon-lakon asmaradana, isteriku selalu mengangkat dua jempol pertanda puas. “Papa memang striker haus gol.” Aku sangat bangga dengan pengakuan isteriku. Aku memang penganut total-football ala timnas Belanda, sekaligus mengadopsi permainan cantik jogo bonito ala timnas Brazil dengan gol-gol indahnya. Sekali-sekali juga aku memperagakan gaya kick and rush ala timnas Inggeris.

Yang membuat isteriku belakangan ini mulai mendebatku, karena ia ikut kelompok kajian yang notabene punya teori dan persepsi sendiri tentang bacaan yang baik. Aku memang selalu memberi kebebasan isteriku untuk beraktifitas sesuai dengan keinginannya. Yang penting buatku, ia tak melupakan kodratnya sebagai seorang isteri dan seorang ibu. Aku juga berusaha tak melupakan kodratku sebagai seorang suami dan seorang ayah. Begitulah. Hubungan kami bukan hubungan vertikal, tapi hubungan horizontal yang saling melengkapi.

Di kelompok kajian isteriku lah, aku dicap sebagai kritikus yang edan karena selalu membahas dan memuji karya-karya yang mereka anggap tidak baik. Kelompok mereka tak mau mendebatku secara terbuka, mungkin saja pengetahuan teori sastra mereka pas-pasan, maka mereka memanfaatkan jasa isteriku untuk ‘menyadarkan’ aku. Begitulah taktiknya. Mereka tak tahu bahwa sesungguhnya aku bukan tipe yang tunduk pada person, tapi tunduk pada teori dan undang-undang.

Saking ngototnya isteriku ingin supaya aku berubah ‘teori sastra’. Ia pernah keceplosan minta cerai segala. Tempo itu aku hanya tersenyum teramat indah padanya dan langsung membopongnya ke tempat tidur. Selepas bercinta, aku hanya memintanya untuk menunjukkan apa kesalahanku, kapan aku menyakitinya. Aku bahkan menciumnya berkali-kali sambil memohon maaf kalau aku pernah menyakitinya, pun kalau aku suami yang egois selama ini.

Ia hanya menangis terisak-isak dipelukanku.

“Papa tak pernah menyakitiku?”

“Hmm.”

“Papa juga bukan suami yang egois.”

“Termasuk mengizinkamu masuk anggota kelompok yang menghujat Papa?”

“Papa!” Isteriku kian membenamkan wajahnya dipelukanku. Siang itu kami melanjutkan lakon-lakon asmaradana kami. Aku terus membuktikan bahwa kesetiaan kelamin adalah kunci segalanya untuk membina keluarga bahagia mawaddah warahmah, sebagaimana isi novel yang dianggap jadah oleh kelompok isteriku.


Masih di hari Minggu siang berikutnya. Selepas bercinta ala Lontara Akkalaibineng, aku mencoba meresensi sebuah novel yang sebelumnya dianggap isteriku bagus. Meski aku berat melakukannya karena memang aku pikir novel itu terkesan dibagus-baguskan saja, tapi sebagai suami yang baik, sesekali aku harus menyenangkan pendapat dan hati isteri. Tips ini juga aku dapatkan dari novel yang dianggap jadah, suami harus berkorban demi menyenangkan perasaan isteri.

“Aku sangat suka baca novel ini, novel ini bertema cinta segitiga. Seorang perempuan rela dimadu. Konon, dengan mengizinkan suami menikah berarti sang isteri meniti jalan ke surga. Sebaliknya dengan berpoligami, suami berlatih berlaku adil.” Begitulah kalimat pembuka yang aku buat pada resensi itu. Dan asal tahu saja, baru kali ini aku membuat resensi yang susahnya minta ampun. Aku tak mampu menyelesaikannya sekali duduk. Akhirnya, aku terpaksa istirahat. Baru kali ini aku tidur siang.

Ketika bangun, aku bergegas menyelesaikan tulisan itu. Aku ingin sekali membuat isteriku teramat bahagia hari ini. Aku membaca hati-hati. Aku mengucek mataku. Mungkin aku masih dalam suasana mengantuk hingga salah baca atau salah lihat. Tapi aku benar-benar tak salah baca. Di kalimat pembuka tadi aku mendapatkan tambahan kalimat, tapi kalimat tersebut bukan pernyataan tapi kalimat pertanyaan yang sungguh menggugat, aku yakin isteriku yang menambahkannya. Kalimat tambahan itu berbunyi. “Apakah berpoligami hanyalah satu-satunya jalan buat laki-laki untuk berlaku adil? Pun, apakah dengan mengizinkan suami berpoligami adalah satu-satunya jalan bagi perempuan mendekatkan diri pada surga?”

Makassar-Jogya, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar