Selasa, 14 Juni 2011

LELAKI TAK PERNAH MANDUL
Oleh: dul abdul rahman

“Lelaki tidak pernah mandul.”
Selalu begitu ucapan Basir setiap kali ia ketemu denganku. Nadanya begitu provokatif seolah memecahkan gendang kelaki-lakianku. Entah, ia bermaksud menyemangati atau menyudutkan aku. Tetapi tetap saja wajahku bersemu merah.

“Jangan tersinggung dulu Bur, kalimat itu hanya kukutip dari kakekku.”

“Lalu?”

“Ya, aku setuju saja. Lihat sendiri kan, aku berumah tangga dengan Dinny selama tujuh tahun tapi tak punya anak. Dinny selalu menuduhku mandul. Tapi setelah aku menikah lagi dengan Hesty akhirnya aku bisa punya anak.”

“Maksudmu, kau menyuruhku menceraikan isteriku lalu menikah lagi?”

“Tak perlu Bur, bisa kok poligami.” Nada Basir semakin provokatif seakan ingin memproklamirkan bahwa dirinya benar-benar pejantan tangguh.

Meski pernyataan-pernyataan Basir hanya kuanggap angin lalu. Tetapi tetap saja berarak di langit-langit akalku. Lalu menjelma hujan, membasahi hatiku, membasahi hati isteriku, membasahi kerinduan kami akan hadirnya buah hati perekat tali kasih.

“Bagaimana Bur? Lelaki boleh kok punya lebih dari satu isteri.” Basir meruntuhkan lamunanku.

“Kata siapa?”

“Kata laki-laki.”

“Kalau kata perempuan?” Sergahku.

Basir hanya tergeragap. Walau kami sesama lelaki dan bersahabat sejak masih kuliah dulu, tetapi banyak pendapatnya tentang perempuan yang aku kurang setuju. Ia memang begitu mudah meluluhkan hati perempuan. Perempuan manasih yang tidak tertarik pada Basir. Selain wajah cakep, pun harta warisannya tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.

Aku memang tidak pernah setuju dengan omongan Basir. Buaya darat yang selalu lupa daratan. Yang menganggap perempuan hanyalah tempat persinggahan yang bisa didatangi kalau rindu menggoda, dan ditinggalkan pergi begitu saja kalau rasa bosan datang menyergap. Tidak. Aku tidak akan pergi meninggalkan isteriku walau sementara, apalagi harus menceraikannya. “Bedebah Basir, buaya darat.” Umpatku dalam hati.
Tak mungkin aku menyakiti isteriku. Aku mencintainya. Teramat mencintainya. Tak sia-sia rasanya aku mengejar-ngejarnya selama dua tahun demi mendapatkan sekerat cintanya yang menurutku tidak akan basi dihembus waktu yang beraroma perselingkuhan yang saat ini makin trend.

Safitri. Isteriku tercinta. Memang cantik luar dalam. Blasteran Arab-Ambon. Meski sedikit berkulit gelap tapi manisnya melebihi madu Arab. Soal kesetiaan jangan ditanya lagi. Selama sepuluh tahun kami berumah tangga, tak pernah aku melihat mendung di wajahnya. Tak pernah aku menatap bola api di matanya. Tak pernah ada resah, apalagi keluh kesah yang menghiasi bibirnya yang selalu basah. Isteriku memang bukan sembarang perempuan. Senyumnya kembang segala bunga. Ia tetesan dari taman surga, taman dari segala harum bunga.

“Bang! Kita harus selalu bersabar ya, boleh jadi Allah belum menitipkan buah hati kepada kita berdua karena Dia masih ingin menguji kesabaran dan kesetiaan kita.” Isteriku selalu meredakan kegelisahanku dengan nadanya serupa cericit burung di pagi hari.

“Terima kasih sayang, betapa kau begitu berarti buatku.” Aku terus membelai-belai rambutnya yang semerbak. Sesekali aku menutup bibirnya dengan bibirku. Protes cecak di dinding yang ber-ck..ck..ck tak aku hiraukan. Peduli amat. Kami sudah menikah kok. Sejak menikah, memang aku tak pernah membiarkan malam berlalu tanpa bait-bait kemesraan. Aku tak pernah membiarkan pagi menyapa tanpa lakon-lakon asmaradana. Tetapi tetap saja cecak bertingkah di dinding seolah-olah bersekutu dengan Basir menertawaiku. “Payah Bur, menanam terus tiap hari, tapi tak pernah ada yang tumbuh. Dasar petani mandul.”

Yang aku kurang sependapat dengan Basir hanyalah soal perempuan saja. Meski aku sering mengutuknya karena komentar-komentarnya tentang perempuan yang terlalu menyudutkan, apalagi aku yang sangat mencintai dan menghormati sosok ibuku dan isteriku. Terkadang aku melihat komentar-komentar tersebut ada pula sisi realnya, cuma aku tetap mengedepankan sisi kesetiaan. Aku memang alumni Fakultas Sastra, sedangkan Basir alumni Fakultas Ekonomi. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Fakultas Sastra itu lebih “setia” daripada Fakultas Ekonomi.

Sebenarnya aku cukup mengagumi sosok Basir. Meski masih muda, tetapi jiwa entrepreneur-nya sungguh luar biasa. Usaha yang dikelolanya berkembang pesat. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Ia pun sosok yang sangat merakyat di mata karyawan. Dan karyawannya yang teristimewa tentu saja adalah aku. Aku adalah tangan kanan di perusahaannya. Pertemanan kami sejak kuliah tak pernah berubah. Kami tetap saja menyapa dengan nama masing-masing tanpa embel-embel kata pak, kecuali dalam pertemuan-pertemuan formal. Dan gelarnya sebagai buaya darat cap kampus yang pernah kusematkan padanya sewaktu kuliah dulu sepertinya tetap lestari. Tetapi yang kukagumi ia tak pernah macam-macam pada karyawannya. Padahal aku tahu, ia punya sekertaris yang masih muda dan cantik sekaligus primadona di kantor tersebut, namanya Indri. Aku juga mengaguminya, hanya sebatas itu.

“Begitulah aku Bur. Sejak dulu memang prinsipku begitu, ya lelaki tak pernah mandul,” Basir mulai lagi memprovokasi. Aku hanya terdiam.

“Begini Bur, supaya kau tak berpikiran macam-macam tentang kakekku, akan kujelaskan makna kalimat tersebut. Kakekku selalu mengucapkan kalimat ‘lelaki tidak pernah mandul’ hanya untuk menyemangatiku. Maksudnya kita sebagai lelaki harus terus dan terus berusaha, pantang menyerah. Laki-laki adalah tumpuan keluarga. Dan aku pikir berkat semangat dari kakekku itu pulalah aku bisa seperti sekarang ini.” Kali ini kata-kata Basir begitu bijak dan menyemangati.

“Tetapi kau selalu mengaitkan filosofi itu kepada perempuan,” ujarku seperti tidak percaya seratus persen omongan Basir.

“Apa salahnya Bur? Bukankah salah satu alasan utama menikah untuk mendapatkan keturunan? Coba bayangkan Bur, kalau nanti kau jadi kakek-kakek, siapa yang akan mengurusimu. Ponakan? Saudara? Paling-paling mereka hanya menginginkan hartamu.”

Basir beranjak pergi setelah menghunjamkan kata-katanya di dadaku. Dalam kesendirian aku hanya termangu. Terpekur. Sejurus kemudian pandanganku gelap, tetapi sekilas ada seberkas cahaya yang diam-diam memantul di dinding-dinding kalbuku. Adapula desiran angin perlahan-lahan menyejukkan batinku lalu menjelma jadi tangisan bayi yang teramat aku rindukan.

Karena aku tak mau lagi Basir terus mengaduk-aduk perasaanku dan menggerogoti kesetiaanku pada isteriku. Akhirnya aku bermufakat dengan isteriku untuk mengadopsi anak.

“Aku terserah Abang saja, aku sangat percaya dan sayang sama Abang,” ujarnya sambil memamerkan senyum simpulnya yang selalu membuat perasaanku berdesir-desir.

“Demi kau yang teramat kucinta, apapun bisa kulakukan yang penting halal.” Aku menarik dan memeluk tubuh isteriku. Cecak yang selalu bertingkah setiap aku bermesraan dengan isteriku entah kemana. Mungkin ia telah bersepakat dengan Basir untuk tidak menertawaiku lagi. Atau mungkin ia mengira aku sudah masuk dalam perangkapnya. Bah!

“Tapi Bang, aku ingin kita punya anak sepasang ya, laki dan perempuan.” Isteriku nampak bahagia sekali, seolah bayi sudah ada dalam gendongannya. Akh!
Basir begitu bersemangat ketika kuceritakan bahwa aku dan isteriku bersepakat untuk mengadopsi anak. Setiap ada permasalahan memang selalu aku terbuka padanya. Ia pun selalu terbuka padaku.

“Ok Bur, aku mengagumi kesetiaanmu pada isteri, sungguh beruntung isterimu bersuamikan denganmu.” Basir mengangguk-angguk seolah-olah apa yang kuungkapkan padanya adalah sebuah proyek besar.

“Aku sangat mencintai Safitri, Basir. Aku tak akan pernah meninggalkannya.”
Basir terus mengangguk-angguk seolah-olah ia pemenang tender dalam sebuah proyek.

“Baik…baik…Bur. Tapi ingat, tak boleh asal mengadopsi anak. Anak yang diadopsi harus ada pertalian darah denganmu.”

“Tolong aku ya Basir, yang penting aku dan isteriku bisa punya anak, walau hanya anak adopsi.”

“Baik! Jangan khawatir Bur, serahkan padaku. Aku akan mencarikan jalan terbaik.” Basir melipat map-nya seperti dana proyek sudah cair. Selanjutnya kami berdua hanya bersitatap. Lalu tersenyum. Hanya kami berdua yang bisa memaknai senyuman itu.

Bayi perempuan itu berhidung mancung. Berkulit putih. Bermata tajam. Berambut lurus. Dalam tangisnya ia tersenyum teramat ikhlas padaku.

“Bang! Anak kita cantik ya, pintar sekali abang mencari anak adopsi ya, akh aku tak akan pernah bilang lagi anak adopsi, anak kandung ya.” Isteriku terus menggendong bayi mungil itu. Laiknya seorang ibu, ia terus berkicau dan berkicau. Tak pernah kulihat sebelumnya isteriku sebahagia ini.

“Mmm…lihat Bang! Hidung dan matanya mirip sekali hidung dan mata Abang.” Isteriku mengecup kening bayi itu sambil melirikku mesra sekali.

Aku tergeragap. Namun cepat aku menguasai keadaan. Aku tersenyum. Lalu mendekat dan mencium kening isteriku. Mataku basah. Mata isteriku juga basah.
Isteriku tidak mengetahui asal-usul bayi tersebut. Menurut Basir, sebaiknya seorang ibu tidak usah mengetahui asal-usul bayi yang diadopsi, karena bisa saja rasa sayang ibu berkurang apabila mengetahui siapa sebenarnya bayi tersebut.
Anak yang ada dalam gendongan isteriku sebenarnya adalah anak dari teman sekantorku. Indri memang sudah menikah dengan seorang pria beristeri. Ia rela dijadikan isteri kedua. Sayang, takdir berkata lain. Sesaat setelah melahirkan anaknya, ia meninggal dunia. Seluruh teman-teman sekantor Indri sangat berduka cita. Dan entah, akulah yang merasa paling bersedih atas kepergiannya.

Bayi itu tumbuh sehat dan lucu. Isteriku sangat mencintainya. Terang saja aku teramat bahagia. “Abang! Sejak dulu kan aku pingin sekali punya sepasang anak.”

“Isteriku sayang, kalau aku sejak dulu ingin punya sebelas anak, satu kesebelasanlah.” Ujarku setengah menggodanya.

“Kalau begitu Abang boleh menikah lagi.” Ujar isteriku cemberut sambil membelakangiku.

“Sayangku! Aku hanya menginginkan anak dari rahimmu.”

Isteriku berbalik kearahku. Matanya berkaca-kaca. Rupanya ia terluka dengan kata-kataku yang seolah-olah menagih anak dari rahimnya. “Aku ikhlas Abang berpoligami.” Hujan semakin membadai di matanya.

Aku memeluk isteriku. “Sayangku, untuk apa aku berpoligami? Aku sudah punya isteri yang cantik dan setia, pun punya seorang anak perempuan yang cantik nan jelita.”
“Tapi bukan darah daging sendiri?”

“Sayangku, yang namanya anak tetap anak, tak perduli anak apa namanya. Hakekatnya sama, pertanggungjawaban dihadapan Allah tetap sama.”

Isteriku terus terisak di pangkuanku.”Abang adalah sosok yang sempurna buatku, aku sebenarnya tak pernah rela kalau Abang berpoligami, aku cuma ingin mengetes kesetiaan Abang.”

Sekali lagi aku tergeragap. Cepat aku menguasai keadaan. Aku terus memeluk isteriku. Aku teramat bahagia. Aku mengecup keningnya berkali-kali. Mataku basah. Lalu mataku semakin basah saja ketika aku mengecup kening putriku, aku terkenang akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, isteriku sendiri.

Kendari-Makassar, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar