Minggu, 15 Mei 2011

“MEMBONGKAR” EPISTEMOLOGI SASTRA
Oleh: dul abdul rahman

“Garis demarkasi antara sastra dan bukan sastra tidak begitu tetap dan pasti”
(Jan Van Luxemburg)

Saya terpaksa meminjam pendapat Jan Van Luxemburg sebagai “tameng” untuk memulai tulisan ini. Alasannya karena saya sadar tulisan ini pasti mendapat tanggapan pro-kontra. Pun saya takut “bongkaran” yang saya lakukan hanya kian merusak bangunan sastra itu sendiri. Tapi saya percaya setiap “bangunan”(boleh dibaca: karya sastra) akan selalu mengundang pro-kontra. Pro-kontra ini(boleh dibaca: polemik) dari sejak dulu sampai sekarang masih terjadi, maka polemik itu sendiri akhirnya mendapat legitimasi sebagai sebuah khasanah sastra. Bahkan saya yakin suatu karya yang mendapat tanggapan pro-kontra akan menjadi nilai tersendiri bagi karya sastra itu sendiri.

Sebuah “Pembongkaran” Sastra?

Entah, sesuatu yang pro-kontra selalu menarik untuk dibaca. Simaklah! Buku History of the Decline and Fall of the Roman Empire karya sejarawan ternama Inggeris, Thomas Gibbons yang awalnya tidak dianggap sebagai sebuah karya sastra akhirnya kini digolongkan sebagai sebuah karya sastra. Alasan digolongkannya buku sejarah itu ke dalam sebuah karya sastra karena bahasa yang digunakan begitu metaforis dan diksitif. Dari sini bisa muncul pertanyaan, apakah suatu berita atau sejarah yang ditulis secara sastrawi bisa digolongkan menjadi sebuah karya sastra?
Memang saat ini banyak tulisan-tulisan yang sebenarnya hanyalah sebuah laporan atau berita tetapi penulisannya dengan gaya sastrawi, Linda Christanty misalnya, dia adalah seorang cerpenis sekaligus wartawan, sehingga kadang tulisannya “ngecerpen”. Bahkan saya pernah membaca cerpen M Aan Mansyur yang berjudul Kerbau-kerbau dalam Buku John yang sebenarnya hanyalah cerita tentang kerbau yang mana cerita itu sudah diketahui oleh masyarakat umum, tetapi sebagai seorang penyair, Aan sangat piawai mengolahnya dengan kata-katanya yang khas sehingga membentuk sebuah dunia baru tapi sebenarnya dunia itu tidak sepenuhnya baru. Jadi pertanyaan selanjutnya yang muncul, apakah bahasa menjadi patokan utama sebuah karya atau tulisan bisa disebut sebuah karya sastra?

Sekarang ini pun perdebatan-perdebatan tentang layak-tidaknya sebuah karya disebut sebagai sebuah karya sastra terdengar kian santer. Laskar Pelangi misalnya, banyak pembaca(entah mereka paham atau tidah begitu paham dengan sastra) mengatakan bahwa Laskar Pelangi bukan sebuah novel(baca karya sastra). Tentang Laskar Pelangi ini bisa dibaca pada tulisan saya berjudul Benarkah Laskar Pelangi Bukan Sebuah Novel?(Fajar, 12 April 2009). Selanjutnya Ayat-Ayat Cinta juga mendapat tanggapan pro-kontra dari para pembaca(boleh juga dibaca: pengamat). Alasannya karena dalam Ayat-Ayat Cinta, pembaca hanya disuguhi nasehat-nasehat (baca: dakwah) sehingga pembaca tidak punya ruang gerak untuk berimajinatif. Bahkan novel ini pun disertai dengan buku-buku reference yang kian mengesankan bahwa memang Ayat-Ayat Cinta hanyalah sebuah buku dakwah. Pembaca yang lain yang agak “bersahabat” tetapi tetap nampak tidak “ikhlas” dengan menyebut bahwa sesungguhnya Ayat-Ayat Cinta adalah karya sastra tetapi sastra islami.

Penamaan sastra islami (yang sebenarnya lahir berdampingan dengan istilah sastra sekuler) sebenarnya kian membingunkan. Bukankah pengkotak-kotakan semacam itu hanya kian memperkeruh bangunan sastra itu sendiri? Lalu. Kalau ada istilah sastra islami yang sudah pasti “rohnya” adalah Islam, lalu sastra sekuler itu rohnya apa? Bukankah istilah “kebarat-baratan” sangat naif bila diidentikkan dengan “kekristenan?” Kalau begitu ada jugakah yang disebut sastra kristiani, sastra hindu, sastra Buddha?

Sebenarnya, bila ada “pengkotak-kotakan” istilah, apakah itu sastra islami atau sastra lainnya yang dimaksudkan sebagai sebuah identitas maka sesungguhnya bisa menjadi khazanah sastra. Namun bila pengkotakan yang dimaksudkan sebagai “pemisahan” bukan “pengklasifikasian” karena alasan-alasan tertentu misalnya urusan kualitas, maka rasa-rasanya harus ada pemikiran dan perenungan ulang.

Sebuah “Pembangunan”

Istilah “pembangunan” yang saya pakai disini tidak identik dengan kata building atau development tapi lebih identik dengan reparation atau re-building. Jadi bisa saja “bangunan” saya ini disinggahi ataupun tidak disinggahi oleh pembaca. Tapi saya berharap pembaca singgah di bangunan saya, berdiskusi dengan saya, pro-kontra itu urusan belakangan. Intinya mari membangun khazanah sastra, diskusi, polemik. Lupakan dulu politik yang penuh intrik dan munafik.

Bangunan pertama. Fiksionalitas.
Sastra bukan kenyataan, tapi sastra adalah sebuah cermin dari sebuah kenyataan. Sastra menciptakan sebuah dunia tersendiri. Itulah sebabnya Laskar Pelangi bagi sebagian orang dianggap bukan sebuah novel melainkan hanya pengalaman hidup seorang Andrea Hirata. Saya kira pembaca yang menganggap Laskar Pelangi bukan sebuah novel “terkecoh” dalam dua hal. Pertama, sesungguhnya dalam novel Laskar Pelangi meski dianggap sebagai perjalanan Andrea Hirata, tapi buku itu sudah “dimanipulasi” dengan “licik” dan menarik sehingga menjadi sebuah cerita yang utuh laiknya sebuah fiksi. Walau alur novel itu konon benar adanya tetapi sebagai sebuah fiksi maka tak bisa dihindari pembohongan data. Pembohongan disini bukan berarti memutarbalikkan fakta, tetapi mengimajiner sebuah fakta menjadi lebih menarik dan unik. Kedua, andai memang Laskar Pelangi bukan sebuah novel, tetapi dengan bahasanya yang sastrawi serta membawa muatan makna perubahan khususnya di bidang pendidikan, bukankah tetap ada peluang untuk disebut karya sastra?

Bangunan Kedua. Gaya bahasa.
Karya sastra bersifat multi-interpretif. Karena karya sastra senantiasa hadir dalam wujud yang berlapis-lapis serta beraneka ragam di dalamnya, maka tentu saja karya sastra harus memiliki kemampuan untuk menimbulkan ambiguitas lewat metafora-metafora atau gaya bahasa yang membangunnya. Inilah yang membuat buku History of the Decline and Fall of the Roman Empire dikategorikan sebagai sebuah karya sastra meski sebagian yang lain mencibirnya, khususnya dari kelompok berhaluan Amerikanis(ini hanyalah istilah saya pada sebagian orang yang begitu “setia” pada kajian Amerika)

Bangunan Ketiga. Makna.
Sebuah karya meski sudah terbangun dari bangunan pertama dan kedua di atas tapi tidak memuat muatan makna, maka karya itu akan hambar rasanya. Bahkan bisa saja disebut bukan sebuah karya sastra, atau kadar “kesastraannya” berkurang. Atau mungkin sebagian orang menyebutnya bukan sastra serius melainkan hanyalah sastra pop. Dan bukankah sastra pop juga adalah sebuah karya sastra? Ataukah hanyalah sastra picisan? Terserah pembaca yang menilai.


Dari “bahan-bahan bangunan” karya sastra diatas, maka silakan pembaca menilai mana yang layak disebut karya sastra yang baik? Saman oleh Ayu Utami yang sebagian kritikus sudah “bersekutu” mengatakannya bagus, bahkan “Fiksi Alat Kelamin” itu sudah mendapatkan penghargaan dari Mastera(Majelis Sastra Asia Tenggara) atas “jasa-jasa” Gunawan Mohamad sebagai seorang yang berpengaruh di Mastera. Ataukah novel Ayat-Ayat Cinta oleh Habuburrahman El Shirazy yang dianggap oleh sebagian orang sebagai novel dakwah, yang juga sudah mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa atas “jasa-jasa” Taufik Ismail. Ataukah Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata yang sudah membius sebagian pembaca sastra di Indonesia.

Pintu Penutup
Dari berbagai polemik yang terjadi baik dalam konteks sejarah sastra dunia, apalagi dalam konteks sejarah Indonesia, sepertinya epistemologi sastra bisa dibongkar-pasang sesuai dengan “kebutuhan”. Tapi saya kira tiga bangunan sastra yang saya kemukakan di atas tetaplah menjadi acuan. Semoga saja. (dulabdul@gmail.com)

FAJAR, 24 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar