Senin, 09 Mei 2011

SASTRA TIDAK PERNAH BERBOHONG!
Oleh: dul abdul rahman

Sepertinya sudah menjadi kesepakatan umum bahwa ada dua jenis karya tulis, yaitu karya fiksi dan karya non-fiksi. Kedua kosa kata ini masih bisa dimodifikasi dengan memindahkan kata non, sehingga fiksi dibaca non-ilmiah, non-fiksi dibaca ilmiah. Selanjutnya muncul penafsiran-penafsiran ‘ala kadarnya’. Fiksi atau non-ilmiah adalah tulisan yang berdasarkan hayalan, misalnya novel atau cerpen. Non-fiksi atau ilmiah adalah tulisan yang berdasarkan kenyataan, misalnya laporan penelitian, penulisan sejarah, dan lain sebagainya.

Selanjutnya muncul lagi penafsiran ‘asal-asalan’, fiksi atau non-ilmiah atau hayalan adalah kebohongan. Mungkin karena terhasut dari penafsiran ala kadarnya dan penafsiran asal-asalan itulah, maka banyak penulis sastra(baca novel) yang juga mungkin mempunyai penafsiran ala kadarnya tentang fiksi yang terjung menulis novel(baca sastra?) terpaksa berteriak-teriak: “Novel ini terinspirasi dari kisah nyata”. Teriakan-teriakan tersebut didengar oleh umumnya pembaca di Indonesia yang sebenarnya tidak peduli apakah membaca fiksi atau non-fiksi, yang penting buat mereka karya itu bisa menginspirasi. Maka larislah Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara. Dan tentu saja lahirlah karya-karya sejenis walau nasibnya tidak sebaik kedua novel laris tersebut. Sekali lagi persoalan nasib.

Sastra dan Kenyataan
Istilah fiksi atau hayalan dalam dunia sastra bukan sekedar hayalan belaka. Kata hayalan sesungguhnya mengacu pada daya kreatifitas dari seorang pengarang untuk mencipta dunia baru dalam bentuk karya sastra. Dunia baru sesungguhnya adalah dunia yang bersumber dari fakta yang sudah diramu sedimikian rupa menjadi dunia tersendiri. Karena sudah tercipta menjadi dunia tersendiri atau dunia baru dalam hayalan pengarang maka muncullah banyak interpretasi dari tiap-tiap pembaca. Pembaca punya interprestasi masing-masing yang juga berlandaskan daya kreatifitas membaca.

Jadi, seyogyanya memang penulis novel(baca fiksi) tidak perlu berkoar-koar bahwa novel yang ditulisnya adalah kisa nyata. Sefiksi-fiksinya suatu karya sastra tetaplah sebuah lukisan kenyataan. Bahkan penafsiran mimetik memang menuntut agar sastra mencerminkan kenyataan. Dan sefakta-faktanya suatu karya sastra tetaplah sebuah lukisan imaginasi (kebohongan?) sang pengarang. Contoh sederhana saja, apakah semua isi novel Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara adalah seratus persen kisah nyata? Tidak bukan? Apakah semua cerita tentang pendaratan orang di planet Mars adalah kebohongan belaka? Tidak juga bukan? Cara melukiskan pendaratan di planet mars misalnya bukan dengan omong kosong belaka tetapi berdasarkan teori pengetahuan. Bukankah sebelum Neil Amstrong dan Edwin Aldrin mendarat di bulan bersama pesawat Apollo 11, sudah ada pendaratan di bulan lewat karya sastra. Jadi Science-fiction sesungguhnya adalah hayalan atau penggambaran atas serpihan-serpihan teknologi yang merupakan kenyataan, bukan? Jadi sastra bolehlah juga dikatakan serpihan-serpihan kenyataan dan bolehlah juga disebut serpihan-serpihan kebohongan. Tetapi masalah kebohongan, mari menyimak pendapat Mark Twain, “Pengalaman masing-masing individu adalah sebuah fakta bahwa kebenaran tidak sulit untuk ditiadakan dan kebohongan yang diucapkan dengan baik adalah sebuah keabadian.”

Karya Sastra, karya Tuhan?
Meski dianggap karya fiksi atau karya rekaan, tetapi mata sastra bahkan lebih tajam dari mata karya non-fiksi. Tengoklah! Yang banyak menginspirasi dan melakukan perlawanan adalah teks-teks sastra. Untuk mengetahui ketajaman teks sastra, kita bisa membaca novel karya Gabriel Garcia Marquez, Cien Anos de Soledad (1967). Novel karya peraih Nobel Sastra tahun 1982 ini bercerita tentang kepahlawanan keluarga Kolombia. Novel ini seperti menghipnotis dan menumbuhkan jiwa patriotisme bagi semua warga negara Kolombia. Novel ini benar-benar menyadarkan warga Kolombia untuk bangkit melakukan perubahan dan perjuangan. Mereka sangat yakin bahwa hanya mereka sendiri yang bisa melakukan perubahan.

Tak kalah tajamnya dengan karya Gabriel Garcia Marquez, Luis Sepulveda dalam novelnya Un viejo que leia historias de amor (1989) --telah diindonesiakan menjadi ‘Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta’-- berhasil menyadarkan masyarakat akan terjadinya penggundulan hutan tropis di belantara Amazon. Sepulveda dengan sangat cekatan membangun teks tentang desa kecil di tengah hutan Ekuador. Seorang kakek tua menyepi untuk mencari kedamaian dengan ditemani novel-novel cinta picisan. Tapi akhirnya ketenangannya terusik ketika terjadi penebangan hutan, terjadi perburuan, pengeboran minyak, ladang emas. Lalu alam pun membalas dendam lewat seekor macan kumbang. Penduduk desa terancam dan kakek tua itu tahu bahwa hanya dirinyalah yang mampu menghadapi hewan itu karena selama ini hanya dirinyalah yang mengerti keadaan hewan tersebut.

Tak kalah lebih tajamnya, bacalah teks-teks sastra Chairil Anwar dalam bentuk puisi ketika ia berteriak “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Meski kala itu Chairil sudah sakit-sakitan yang memang meninggal di usia yang masih sangat muda. Tapi Chairil sudah mengajarkan semangat hidup dalam teks sastra yang sangat luar biasa.
Sebagai contoh terakhir, mari melihat Laskar Pelangi. Sebelum novel ini muncul, nama Belitong tidak familiar bahkan terlupakan dibenak masyarakat Indonesia. Tapi setelah mengklaim diri sebagai tanah Laskar Pelangi maka orang ramai-ramai membaca, mengenal, bahkan mengunjungi daerah tersebut. Meski memang daerah itu terkenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia tapi nanti teks sastralah yang membuatnya kian terkenal.

Dengan kekuatan dan kedahsyatan teks-teks sastra tersebut, maka kalau ada istilah Suara Rakyat Suara Tuhan, maka saya pun akan mengatakan Karya Sastra, Karya Tuhan. Apakah saya terlalu berhayal atau berbohong? Hm, bukankah karya sastra juga sebagai alat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan seperti karya Gabriel Garcia Marquez yang saya contohkan di atas. Suara kebenaran, suara keadilan adalah suara Tuhan, bukan?


Tetapi sebagai catatan, ketika saya berteriak Karya Sastra Karya Tuhan, saya sama sekali tidak bermaksud berteriak bahwa bawalah ayat-ayat Tuhan dalam karya sastra. Kalau terpaksa membawa ayat-ayat Tuhan dalam karya sastra mungkin ada motif lain. Dan tentu saja butuh penjelasan lain yang panjang.

Sastra Tidak Pernah Berbohong!
Jadi sangat jelas bahwa sastra bukanlah kebohongan. Sastra juga tidak pernah berbohong. Kalau saja ada yang terlanjur mencap bahwa sastra adalah kebohongan, pendapat itu juga sah-sah saja. Mungkin saja pendapat itu adalah sebuah interpretasi dari hasil pembacaannya terhadap karya sastra. Sastra adalah polyinterpretable yang memungkinkan banyak penafsiran. Mungkin memang sastra tidak bisa terlepas dari ‘kebohongan-kebohongan’ tertentu, tapi yakinlah bahwa kebohongan-kebohongan tersebut adalah jalan untuk mengungkap kebenaran-kebenaran tertentu. Sebagaimana pesan seniman Spanyol, Pablo Picasso(1881-1973) “Seni (boleh dibaca sastra) adalah sebuah kebohongan yang menyadarkan kita akan kebenaran.” Begitulah! (dulabdul@gmail.com)

FAJAR, 15 Agustus 2010

1 komentar: