Kamis, 12 Mei 2011

MENYELISIK JEJAK CINTA SUFISTIK
Oleh: dul abdul rahman

Ada satu catatan khusus yang perlu diingat bila membaca ataupun mambahas novel-novel “Timur Tengah”. Pada umumnya sastrawan(boleh dibaca penyair) dari kawasan Timur Tengah tak bisa melepaskan diri dari pengaruh sastra sufistik dari Rumi, Attar, Nizhami, Hafizh, Syabistari, ataupun Sa’di. Para sufi tersebut mengajarkan cinta kepada Tuhan lewat karya-karyanya dengan mencoba menghadirkan sosok Tuhan sebagai seorang Kekasih. Saya mencoba mengemukakan lima jejak benang merah yang tak pernah “kusut” dari karya para sufi tersebut.

Jejak pertama

Cinta kepada Tuhan dilukishadirkan dalam sosok Aku dan Engkau. Aku adalah pecinta, Engkau adalah yang dicinta. Hakekatnya, Aku adalah hamba, Engkau adalah Tuhan. Namun supaya Aku bisa memiliki Engkau (Tuhan), maka Engkau dihadirkan dalam bentuk rupa seperti Aku. Dan karena Aku adalah sosok laki-laki, maka Engkau dihadirkan dalam sosok perempuan. Begitulah, maka dalam novel Layla Majnun karya Nizhami, hubungan cinta antara Qais dan Layla sesungguhnya bukan hubungan cinta antara manusia dengan manusia, tetapi hubungan cinta antara manusia dengan Tuhan.

Jejak kedua

Meski sosok Tuhan “dilukishadirkan” pada sosok manusia(baca perempuan), bukan berarti sosok Tuhan “wujud” dalam sosok manusia itu sendiri. Namun manusia hanya bisa mengenal Tuhan bila manusia itu mengenal dirinya sendiri. Untuk itulah, agar manusia bisa mencintai Tuhan, maka Tuhan dihadirkan(baca disatukan) dengan manusia itu sendiri. Begitulah, buat kaum sufi cinta adalah sebuah penyatuan diri. Bila seorang hamba mencintai Tuhan maka ia harus menyatu dengan Tuhan. Makna sesungguhnya adalah menyatu dengan sifat Tuhan. Karena Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka seorang hamba bisa disebut mencintai Tuhan bilamana ia menyatukan sifat Tuhan itu dalam dirinya. Dari pemahaman inilah, maka kaum sufi sangat peduli(baca menyayangi) masyarakat, khususnya masyarakat kecil(kaum mustadh’afin). Bahkan ada sufi yang menjadi syahid ditangan penguasa Bani Umayyah, seperti yang dialami oleh Al-Hallaj. Al-Hallaj berprinsip bahwa mana mungkin seorang hamba bisa mencintai Tuhan bila hamba itu tidak mencintai dirinya sendiri. Diri seorang hamba itu adalah manusia itu sendiri. Saya “menebak asumtif”(maaf ini cuma istilah saya), sesungguhnya Al-Hallaj ingin berkata bahwa tidak sah hajinya seseorang bila ia pergi ke tanah suci tetapi “tetangganya” masih ada yang kelaparan. Untuk itulah, kaum sufi cenderung menolak formalistik-legalistik. Dalam kaitan ini buku Kang Jalal(Jalaluddin Rakhmat) Dahulukan Akhlak Daripada Ibadah adalah sebuah buku yang “sufistik” dan menarik untuk dibaca.

Jejak ketiga

Manusia bisa menyatu dengan Tuhan dalam sifatnya, bukan zatnya. Manusia adalah manusia, Tuhan adalah Tuhan. Tuhan bukan manusia, manusia bukan Tuhan, pun manusia bukan malaikat. Untuk itulah, kiranya manusia hanya bisa “nyaman” bersama dengan manusia itu sendiri, bukan bersama dengan Malaikat, apalagi bersama dengan Tuhan. Inilah alasannya mengapa nabi-nabi yang diutus oleh Tuhan untuk membimbing manusia adalah dari kaum manusia itu sendiri. Rumi pun menggambarkan konsep ini lewat suatu karyanya berjudul “Bayi Di Atas Atap”. Suatu ketika seorang bayi memanjat tangga dan berada di atap rumah, tentu saja sang ibu sangat panik karena anaknya bisa saja terjatuh. Sang ibu pun berusaha naik ke atap untuk mengambil anaknya turun, tapi ketika ibu itu mendekat, si bayi mengira ibunya mengajaknya bermain, sehingga merangkak cepat makin ke pinggir. Sang ibu pun panik dan berteriak memanggil bayinya, diteriaki malah bayi itu menangis, sang ibupun kian panik. Dalam keadaan penuh bahaya ini datanglah Imam Ali, sang ibu pun meminta tolong pada Imam Ali. Imam Ali pun berkata, “Jangan buang-buang waktu, kalau kau mau menyelamatkan nyawa putramu, maka naikkan lagi putramu yang lainnya.” Ibu itupun kian kalut dengan nasehat Imam Ali, menaikkan lagi putranya sama dengan mencarikan kematian lagi putranya. Tapi ibu itu tak sanggup menolak usul Imam Ali karena Sang Imam adalah orang termasyhur dan sangat bijaksana. Dan Tak lama kemudian, si bayi yang asyik bermain di pinggiran atap merangkak mendekat ketika ia melihat abangnya. Begitulah, Rumi menjelaskan bahwa karena cintan-Nya pada manusia, Tuhan mengirim seorang utusan(nabi) dari kaum manusia itu sendiri, dimana manusia sering bemain-main dipinggir atap yang bahaya(baca dekat jurang dosa).

Jejak keempat

Dalam karya-karya sufistik, tak pernah terjadi pengkhianatan(boleh dibaca perselingkuhan) dalam cinta. Karena buat para sufi, cinta adalah sebuah totalitas dari sebuah penghambaan seorang pecinta pada yang dicintainya. Cinta tidak pernah terbagi, sebab ia bukan sesuatu yang immaterial. Dan kalau pun “terbagi”, maka cinta tak akan pernah berkurang. Ia akan tetap menjadi sebuah cinta yang utuh, meski harus “terbagi” hingga titik kepuasan tertinggi membaginya. Begitulah, hubungan cinta antara Qais dan Laila, atau Yusuf dan Sulaikha tak pernah “berkurang” padahal dalam novel itu hubungan cinta mereka tetap diterpa badai Tsunami yang dahsyat.

Jejak kelima

Karena para sufi adalah orang yang sangat mengedepankan cinta dan kasih sayang, maka wajar bila lambang yang mereka gunakan dalam karya-karyanya umumnya adalah pengalaman erotic love(cinta-asmara) yang meluap-luap dan meletup-letup. Pengalaman antara dua manusia berlainan jenis diperguankan untuk “melukishadirkan” Tuhan. Tengoklah, cinta Qais pada Layla tidak akan pernah terjadi pada diri manusia. Menurut sastrawan Abdul Hadi WM dalam pengantar buku terjemahan Taman Para Sufistik, lambang-lambang lain yang perlu diperhatikan adalah lambang-lambang kebudayaan, karena kebanyakan para sufi berlatar belakang budaya Persia, maka pembaca pun tak pula “semena-mena” menerima kata-kata secara harfiah. Contohnya kata anggur dan kemabukan. Kata-kata ini hanyalah sekedar symbol. Seperti juga orang yang jatuh cinta akan mabuk kepayang, maka “anggur” cinta kasih pada Tuhan pun bisa sangat memabukkan.

Begitulah, dalam novel Mustafa Chamran yang ditulis oleh Habibah Ja’farian yang notabene juga adalah penulis Persia(Iran) mengandung muatan makna yang tak bisa lepas dari “jejak-jejak cinta” dari para sastra klasik-sufistik yang kharismatik dan puitik.

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam kisah tersebut, diantaranya adalah:

Pertama. Yang membuat novel itu sangat menarik karena settingnya adalah peperangan(Libanon Selatan dan Iran). Peperangan yang notabene adalah sebuah setting yang menyakitkan(bisa dibaca kematian) tetapi dihadirkan menjadi sebuah keindahan. Mustafa Chamran dan Ghadeh yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut adalah dua sosok yang saling mencintai dengan sepenuh ikhlas dan ridho. Simaklah pesan terakhir Mustafa Chamran pada isterinya, Ghadeh, sebelum ia syahid, “Engkau memerlukan cinta yang lebih besar dariku, yaitu cinta Allah. Engkau harus mencapai kesempurnaan yang menjadikanmu tak merasa puas, kecuali Allah dan cinta-Nya. Sekarang aku akan pergi dengan tenang.”(Mustafa Chamran, hal 89).

Kedua. Meski Mustafa dan Ghadeh saling mencintai, dan keduanya bisa saja menikah, tetapi Mustafa lebih memaknai bahwa cinta bukanlah sebuah ego yang hanya dimakanai bahwa cinta harus memiliki lalu membuat orang lain terluka. Simaklah pernyataan Mustafa kepada Ghadeh ketika cinta mereka awalnya tak direstui oleh orang tua Ghadeh, “Berusahalah dengan cinta dan kasih sayang membuat mereka ridha! Aku tak suka, sementara aku menikah denganmu, hati ayah dan ibumu terluka.”(Mustafa Chamran, hal 22).

Ketiga. Kisah percintaan antara Mustafa dan Ghadeh disamping digambarkan secara sufistik, pun secara romantik dan puitik. Simaklah surat terakhir Mustafa pada Ghadeh sebelum ia syahid, “Aku berada di Iran, tapi hatiku bersamamu di Selatan, di yayasan, dan di kota Shur. Bersamamu aku merasakan berteriak, bahkan terbakar. Bersamamu aku berlari di bawah hujan bom dan mesiu. Bersamamu aku merasa sedang pergi menuju kematian, kesyahidan, menuju perjumpaan dengan Ilahi, membawa kemuliaan.”

Begitulah sekelumit makna yang harum semerbak yang bisa saya tangkap dari novel tersebut. Mungkin saja pembaca yang lain akan menangkap makna yang berbeda. Karena memang karya sastra senantiasa hadir dengan wujud yang berlapis-lapis dan beraneka ragam tafsir. Karya sastra adalah polyinterpretable. (dulabdul@gmail.com)

FAJAR, 14 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar