Sabtu, 30 April 2011

cerpen dul abdul rahman: S A B D A L A U T

SABDA LAUT
Oleh: dul abdul rahman

Subuh itu. Setelah perahu kecil kami merapat kembali di bibir Sungai Jeneberang. Aku bergegas naik ke daratan sambil membawa ikan tangkapan kami. Meski malam itu hasil tangkapan kami tidak seberapa banyak, tetapi aku menenteng ikan bak seorang nelayan ulung yang tiada takut dengan ombak yang bergulung-gulung. Ataukah aku serupa lanun yang berhasil membajak kapal laut atau perahu nelayan tanpa ampun.
Setiba di daratan, aku tak perduli ketika angin pagi memiuh-miuh dan menantangku. Bahkan menampar-nampar wajahku. Pun aku tak khawatir masuk angin. Hembusan angin pagi itu begitu nakal mempreteli sebagian kancing bajuku. Aku tak peduli. Kubiarkan saja bajuku melambai-lambai berterima kasih kepada Pantai Barombong. Lambaian bajuku pun serupa sambutan kemenangan. Sambutan daratan buat lautan. Bagi kami anak-anak nelayan, angin dan hujan, atau bahkan sengatan mentari adalah sahabat-sahabat sejati kami. Kami tumbuh dan bersahabat dengan laut. Laut Barombong yang tak sombong.

Segera setelah ayahku menambatkan perahunya, ia pun bergegas naik ke daratan. Angin daratan langsung menyambutnya. Ia pun tak perduli. Wajah kisutnya pastilah setiap subuh dibelai oleh angin pagi yang kadang diam-diam menusuk pori-pori. Lalu kami berdua pun berjalan beriringan menuju Jembatan Barombong. Di pinggir jembatan yang terpanjang di Kota Makassar itulah kami selalu menjual ikan-ikan hasil tangkapan kami.

Setibanya di Jembatan yang megah itu, aku serupa penjual ikan profesional meletakkan ikan tangkapan kami di sebuah bangku panjang yang mulai lapuk. Selain aku berdua dengan ayahku, ada juga nelayan kecil lainnya menjajakan ikan hasil tangkapan mereka. Sebenarnya bisa saja kami cepat pulang ke rumah dengan menjual langsung semua hasil tangkapan kami kepada para pagandeng1, tetapi kami ingin mendapatkan sedikit uang lebih. Atau mungkin uang letih. Pagandeng hanya mau menghargai ikan kami terlalu murah. Padahal kami menangkapnya dengan lelah. Bahkan kami harus berkelahi dengan angin dan ombak yang terkadang pongah.

Tetapi subuh itu rupanya dewi fortuna tidak bersahabat dengan kami. Sudah sejam kami menjajakan ikan kami tapi tak ada seorang pun yang singgah membelinya. Hanyalah penjual ikan di samping kami yang kedatangan pembeli, itupun sekira dua orang saja.

“Juku sambalo!”2 Aku dan ayahku menyapa bergantian setiap orang yang lewat tetapi tetap saja tak ada peduli dengan ikan-ikan kami. Ya, tak ada yang peduli dengan nasib-nasib kami.

Setelah matahari keluar dari persembunyiannya, dan nampak tersenyum di kaki langit. Lalu cahayanya membentuk siluet dan mengirimkan pesan pada kami lewat permukaan air Sungai Jeneberang. Seolah ia ingin berkata kepada kami, hari baru bersama harapan baru telah datang. Tetapi tetap saja belum ada pembeli yang menghampiri lapak ikan kami.

Seteluh berpeluh karena berteriak-teriak mempromosikan ikan-ikan kami. Akhirnya seseorang pembeli mendekat. “Wah! Ikannya mahal sekali Daeng, padahal ikannya tidak segar lagi!” Pembeli itu menawar ikan kami dengan kalimat yang meneror. Masakan ia menyebut ikan kami tidak segar lagi padahal baru saja kami menangkapnya di laut. Apakah ia menganggap ayahku sangat bodoh soal ikan? Padahal ayahku puluhan tahun kerjanya hanyalah sebagai nelayan. Meski hanya nelayan kecil, tapi aku yakin tetek-bengek soal ikan pastilah ayahku sudah mengetahuinya.

Setelah pembeli itu menawar berkali-kali. Kulihat ayahku merasa kasihan. Dalam hati aku membatin, mungkin saja orang itu kehabisan uang. Ayahku lalu memberi harga terendah. “Bapak tidak bisa lagi mendapatkan ikan begini di bawah harga yang saya berikan.” Pembeli itu mengambil ikan yang disodorkan oleh ayahku dan membayarnya dengan senyum kemenangan. Ia pun bergegas menuju mobilnya yang terparkir di ujung jalan. Aku dan ayahku hanya geleng-geleng kepala melihat pembeli itu yang ternyata mengendarai mobil pribadi merek CR-V. Tetapi kami tetap kagum pada orang kaya itu, ia mau berbelanja pada kami. Lalu kami cepat melupakan pembeli yang naik mobil mewah tersebut ketika seorang pembeli lainnya datang.

“Nak Samad tidak pergi ke sekolah?” Ujar pembeli itu yang ternyata guru matematikaku di SD Negeri Barombong.

“Sebentar lagi ia akan berangkat ke sekolah Pak Guru.” Ayahku cepat menjawab pertanyaan guruku. Ayahku juga sibuk memilihkan ikan buat guruku tersebut. Setelah ia menyodorkan uang sesuai dengan kesepakatan harga. Bahkan aku hanya mendengarkan ayah dan guruku sekali saja saling menawar lalu saling deal dan tersenyum. Guruku dengan motor vespa bututnya pun meraung-raung meninggalkan kami. Raungan vespa butut guruku mungkin sebagai raungan nasibnya yang konon katanya bertahun-tahun jadi guru honorer. Tetapi kami tetap mengantarnya dengan tatapan berbinar-binar hingga vespa butut itu menghilang ditelan mobil-mobil pribadi milik orang-orang berduit.

“Benar kata orang, hanyalah orang-orang kecil yang sangat tahu nasib orang kecil.”

Ayah menggumam setelah vespa butut guruku benar-benar menghilang. Aku tidak begitu mengerti dengan pernyataan ayahku. Tetapi tatapan mata ayahku seolah mengirimkan doa semoga guru matematikaku selamat sampai tujuan.

Matahari sudah merangkak naik. Air sungai Jeneberang pun kian berkilau-kilau dan tersenyum manis serupa perempuan belia yang kasmaran karena terus ditatap oleh sang pangeran matahari. Kami para penjual pun menatap setiap orang yang lalu lalang dan berharap mereka singgah membeli ikan-ikan kami. Aku sibuk memercik ikan-ikan kami dengan air tawar agar nampak semakin segar dan tidak mengantuk.

“Nak! Cukuplah ayah saja yang menjajakan ikan di sini. Engkau bergegaslah pulang ke rumah mengganti pakaianmu lalu berangkat ke sekolah.” Ujar ayah kepadaku ketika ia melihat iring-iringan murid sekolah dasar menuju sekolah.

Aku mencoba tak menghiraukan kalimat ayahku. Hari itu memang aku berniat untuk tidak pergi bersekolah. Aku ingin menemani ayahku melaut dan menjual ikan. Aku tak bercita-cita muluk-muluk. Cukuplah kelak aku bisa seperti ayahku, melaut.

“Lihatlah teman-teman sekolahmu, Nak! Mereka sudah berangkat ke sekolah.” Ayahku mengulangi lagi kalimatnya setelah melihatku hanya terpaku pada ikan-ikan kami.
Melihat aku tidak begitu bersemangat, ayahku langsung menasehatiku. “Manna majai tedongnu, mattambung barang-barangnu, susajakontu punna tena sikolamu.”3 Meski secara formal ayahku hanya tamat sekolah dasar tapi aku kagum sama ayahku yang banyak tahu dan selalu menasehatiku dengan filosofi-filosofi Bugis-Makassar.
Kulihat mata ayahku berkaca-kaca mengucapkan kalimat itu. Di matanya seperti tersimpan berjuta-juta penyesalan. Aku memang pernah mendengar cerita bahwa sesungguhnya dulu kakekku adalah orang berada di daerah Barombong. Daerah yang berada dipinggiran Kota Makassar. Tempo itu ayah tidak berkehendak sekolah karena ia merasa tanpa bersekolah pun mereka bisa hidup layak. Bahkan ia hidup berfoya-foya karena merasa sangat bergelimang harta. Untuk ukuran kampung Barombong, kekayaan kakek tempo itu sangatlah diperhitungkan. Tetapi setelah usaha bisnis kakek bangkrut karena terbelit masalah utang sehingga kekayaan kakek melewati titik nol dan berada di titik minus dengan utang yang bertumpuk, barulah ayah menyadari betapa pentingnnya sekolah untuk mengadu nasib di kota. Nasib telah menjadi bubur, masa depan ayah menjadi kabur.

Tapi ayah tetap bersemangat, ia tak mau nasibnya menghablur dan menular pada anak-anaknya. Itulah sebabnya, meski hanyalah nelayan kecil, tetapi ayah selalu bertekad untuk menyekolahkan aku. Semangat ayah seperti semangat Laut Barombong. Laut yang tidak pernah berhenti menawarkan gelombang kehidupan. Gelombang harapan.
Mengingat semua keterpurukan kakekku tempo dulu yang berimbas pada ayahku yang semasa kecilnya menganggap sekolah tidak penting. Pun aku bisa menangkap makna dari pesan ayahku bahwa manusia hendaknya mengutamakan pendidikan agar tidak kesulitan dalam hidup, harta yang bertumpuk tidak akan menyelesaikan persoalan dunia. Maka aku pun bergegas.

“Aku harus pergi ke sekolah.” Ujarku sambil berlari menuju rumah kami di pinggiran Sungai Jeneberang. Aku masih sempat menengok sesaat pada ayahku. Ia tersenyum melihat kesungguhanku. Senyumnya masih seperti dulu. Senyum setulus Sungai Jeneberang. Tetapi tetap ada bias penyesalan. Sebagaimana Sungai Jeneberang yang menyesali nasibnya karena pohon-pohon di hulunya sering ditebang secara kasar oleh penebang-penebang liar. Mungkin ayahku juga menyesal mengapa ia tidak bersekolah sewaktu muda dulu dan sewaktu kakek belum bangkrut.

Dan yang paling membuatku bangga pada ayahku. Karena aku masih sempat mendengar seorang penjual ikan berujar pada ayahku, “Daeng Rewa! Anak-anakku juga harus bersekolah seperti Samad.” Ayahku hanya tersenyum kepada penjual ikan itu. Lalu ayahku pun masih sempat berujar kepadaku, “Cepat ke sekolah anakku. Pendidikan adalah nomor satu buatmu. Ayah berjanji akan mewariskan pendidikan kepadamu.” Ketika kulihat mata ayahku berkaca-kaca, aku terus berlari menuju rumahku yang reot. Airmata ayahku adalah airmata penyesalan karena dulu tidak bersungguh-sungguh sekolah. Pun airmata ayahku adalah airmata doa dan harapan buatku untuk menggapai pendidikan.

Aku kian berlari sekencang-kencangnya di bibir Sungai Jeneberang. Tetapi celakanya kakiku terpeleset dan aku jatuh terguling-guling hingga masuk Sungai Jeneberang. Untungnya pinggir Sungai tersebut tidaklah dalam dan aku biasa bermain-main di pinggir sungai itu bersama teman-temanku.

Melihat aku terjatuh, ayahku dan para penjual ikan hanya bertepuk tangan. Ayahku bahkan mengacungkan tangannya. Aku tahu mereka memberiku semangat. Bahkan kebiasaan ayahku mengacungkan tangan kuat-kuat buatku selalu kuartikan “Anakku Samad! Engkau harus kuat, engkau anak hebat, engkau anak laut, engkau sabda laut.”

Sebenarnya aku sedikit meringis karena jari-jari kakiku tertusuk kulit kerang. Tetapi ketika aku melihat murid-murid sekolah dasar yang lewat yang umumnya perempuan menutup mulutnya dengan sapu tangan, mungkin mereka menahan ketawanya karena melihatku terjatuh berguling-guling di sungai, maka aku pun bergegas merangkak naik ke bibir Sungai Jeneberang. Lalu kembali aku berlari sekencang-kencangnya menuju rumahku. Air Sungai Jeneberang yang mengalir menuju Laut Barombong juga seolah mengejarku, bahkan aku seperti mendengar bisikan Sungai Jeneberang, “Duhai lelaki penguasa hilir Sungai Jeneberang! Duhai lelaki Pantai Barombong! Berlarilah terus meraih impian dan cita-citamu! Jatuh bangun adalah hal biasa. Engkau harus bisa!”

Akhirnya aku tiba di rumahku dengan nafas yang tak sempurna. Seluruh kancing bajuku lepas satu-satu. Tapi aku tak peduli. Dan yang paling membuatku kian bersemangat, pagi itu seolah aku mendengar lagi bisikan, tapi kali itu bisikan dari Laut Barombong, “Hari ini dan hari-hari selanjutnya, engkau harus pergi ke sekolah walaupun badanmu bau ikan. Engkau memang anak nelayan!”
Pantai Barombong, Makassar, 2010

Catatan:
1. Penjual ikan keliling dengan sepeda motor
2. “Ikan, Langgananku!”
3. “Walau banyak kerbaumu, bertumpuk hartamu, engkau tetap susah jika tak ada sekolahmu.”
FAJAR, 21 Nopember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar