Selasa, 05 April 2011

CERPEN dul abdul rahman: SAM PARA DAN SAMARA

SAMPARA DAN SAMARA1
Cerpen: dul abdul rahman

Mujur benar nasib Sampara dan Samara. Sepasang suami isteri tersebut tidak jadi berangkat ke Malaysia sebagai TKI dan TKW. Keluarga Pak Fatih dan Ibu Fatimah mengangkat keduanya jadi pembantu sekaligus. Jadilah Sampara dan Samara tetap satu rumah dan berumah tangga. Berarti program untuk mendapatkan momongan secepatnya tetap terlaksana dengan baik. Sampara dan Samara adalah pasangan muda yang telah menikah selama lima tahun tetapi belum dikaruniai anak. Keduanya bertetangga di kampungnya, kedua orang tua mereka berprofesi sebagai petani. Sampara dan Samara hanya bersekolah sampai sekolah dasar. Mereka belum sempat mengikuti program pendidikan sembilan tahun, bukan berarti mereka tidak mau, tetapi kedua orang tua mereka memang tak sanggup menyekolahkan mereka. Sedangkan pendidikan gratis masih sebatas janji manis penghias kampanye pilkada. Boro-boro bersekolah, makan saja susah.

Meski hanya tamatan sekolah dasar, rupanya Sampara dan Samara punya visi yang baik. Mereka berdua berniat jadi TKI dan TKW bersama-sama. Mereka akan menabung gajinya sebagai modal usaha kelak. Cita-citanya yang paling mulia adalah menyekolahkan anak-anaknya kelak. Mereka sangat ingin anak-anaknya menjadi guru. Dulu, Sampara sangat mengidolakan sosok Pak Fatih, guru Bahasa Indonesianya di sekolah dasar. Pak Fatih begitu gagah perkasa dengan pakaian safari sambil mendongeng atau membaca puisi. Pun Samara sangat mengidolakan Ibu Fatimah, guru kesenian yang pintar menyanyi, tidak seperti Ibu Ros yang guru kesenian tapi tak bisa menyanyi. Ibu Fatimah juga cantik sehingga Samara selalu membayangkan dirinya sebagai Ibu Fatimah.

Kini. Pak Fatih dan Ibu Fatimah telah pindah ke ibukota propinsi, posisinya pun kian bagus. Setempo jadi guru di kampung, mereka hanya tinggal di kampus sekolah. Karena prestasi mereka yang bagus, sepasang suami isteri itu mendapat promosi, posisi yang lebih tinggi plus fasilitas yang memadai.

Laiknya orang-orang yang sudah punya jabatan, keluarga Pak Fatih dan Ibu Fatimah tergolong orang kaya. Mereka sudah punya rumah yang besar dan mewah, berlokasi di perumahan elit, kendaraan pribadi, pun fasilitas lainnya.

Sampara dan Samara bisa jadi pembantu di rumah Pak Fatih dan Ibu Fatimah, karena keluarga guru tersebut sudah mengenal Sampara dan Samara sejak di sekolah dasar. Mereka menilai Sampara dan Samara adalah murid yang jujur dan pintar dulu yang kebetulan berjodoh.

Sampara dan Samara sangat senang karena kedua majikannya adalah gurunya. Mereka tetap memanggil keduanya Pak Guru dan Ibu Guru. Tidak ada memang mantan guru. Buat Sampara dan Samara, semua guru yang mengajarnya di sekolah dasar dulu dianggapnya sebagai gurunya, mereka tak pernah bilang, “Ia mantan guruku.” Mereka selalu bilang “Ia guruku di sekolah dasar.”

Sampara bekerja sebagai sopir pribadi. Pak Fatih dan Ibu Fatimah berbeda kantor. Pak Fatih bisa berkendara sendiri dan tidak bisa selalu mengantar isterinya, apalagi kantor Pak Fatih terletak di timur kota, sedangkan Ibu Fatimah di barat kota. Ibu Fatimah takut mengendarai mobil, ia trauma sewaktu tabrakan setahun silam. Sampara mengantar-jemput Ibu Fatimah. Di sela-sela waktu, Sampara mengurusi kebersihan pekarangan rumah. Samara mengurusi urusan rumah tangga. Dari mencuci hingga urusan masak-memasak.

Di sela-sela pekerjaan mereka, Sampara dan Samara juga bercinta. Mereka sangat bahagia bisa bercinta dengan buas di kasur empuk serta kamar yang luas. Sampara dan Samara benar-benar puas. Bila kedua majikannya berangkat ke kantor, tinggallah mereka berdua di rumah. Kedua putra-putri Pak Fatih dan Ibu Fatimah tinggal di pesantren putra dan pesantren putri. Biasanya mereka pulang ke rumah sebulan sekali. Mungkin karena bersekolah di pesantren, kedua anak majikannya berlaku sopan kepada pembantu.


“Asyik ya Mama, bekerja disini seperti di rumah sendiri.”

“Betul Papa, Pak Guru dan Ibu Guru baik sekali.” Samara mengamini suaminya. Laiknya suami isteri lainnya, Sampara dan Samara selalu berpapa-mama.

“Pak Guru dan Ibu Guru benar-benar baik Mama, mereka memberi kita kasur empuk agar kometku semangat menerjang rembulan Mama.”

“Papa!” Samara mencubit suaminya. Sampara memang suka menggunakan metafora sebagaimana yang diajarkan oleh Pak Fatih dulu di sekolah.

“Mama! itu bukan bahasa papa, tetapi bahasa Pak Guru Fatih dulu.”

Sampara dan Samara bila menyebut nama Pak fatih dan Ibu Fatimah selalu diikuti oleh nama “guru”. Padahal para tetangga selalu tercengang kalau menyebut nama guru. Mungkin para tetangga berpikir bahwa guru tak bisa memiliki rumah seperti itu. Guru biasanya hanya mampu membeli rumah sederhana dengan sistem kredit. Para tetangganya mungkin tidak tahu bahwa Pak Fatih dan Ibu Fatimah tidak lagi sebagai guru, tetapi mereka hanya mengurusi para guru.

“Papa…!”

“Mama…!”

Sampara dan Samara berandai-andai. Kelak anak-anaknya cakep, cantik, pintar seperti anak-anak majikannya, karena mereka juga bercinta di kasur empuk dan di rumah mewah seperti Pak Fatih dan Ibu Fatimah.

Rupanya, Sampara dan Samara semakin punya visi bervariasi. Dulu, yang penting anak-anaknya bisa bersekolah. Sekarang macam-macam dan terkadang seperti punguk merindukan bulan. Padahal peribahasa itu sering diungkapkan dulu oleh Pak Fatih pada Sampara di sekolah.

Sampara dan Samara ingin mempunyai anak laki-laki yang berbadan tinggi, berhidung mancung dan rambut lurus seperti putra Pak Fatih dan Ibu Fatimah. Atau seperti artis mandarin yang sering mereka tonton di teve, padahal Sampara berhidung penyok seperti sudah diseruduk mobil, pun rambut keriting serupa indomie. Lalu mereka menginginkan anak perempuan berparas cantik, kulit putih bersih, serti bibir tipis seperti putri Pak Fatih dan Ibu Fatimah, padahal Sampara dan Samara berkulit gelap dan berdower.

Sejak tinggal di rumah Pak Fatih dan Ibu Fatimah, mereka tak ketinggalan informasi. Bahkan Sampara dan Samara menghafal semua jadwal acara teve. Pun keduanya sudah menghafal gosip seputar selebriti, keduanya pun sudah paham makna berselingkuh. Sampara sangat mengidolakan artis Beby Silvia yang mirip Ibu Fatimah. Samara mengidolakan aktor Hengky Tornando yang mirip Pak Fatih. Kalau Hengky Tornando dan Beby Silvia selalu akur karena memang pasangan suami isteri, atau tentu saja Pak Fatih dan Ibu Fatimah, Sampara dan Samara terkadang sudah berani mengejek pasangan masing-masing.

“Andaikan hidung papa mancung seperti hidung Pak Fatih.”

“Andaikan bibir mama seperti bibir Ibu Fatimah.”

“Ih papa! Tidak berkaca.”

“Mama yang tidak berkaca.”

“Papa yang mulai.”

“Mama yang mulai.”

“Sudahlah, Pa! Iklannya sudah selesai.”

Mungkin ada juga manfaatnya keduanya selalu bertengkar di setiap jeda iklan. Karena jika iklan pun dilahapnya, entah bagaimana lagi mimpi-mimpi Sampara dan Samara. Mungkin keduanya berlomba-lomba mau di rebounding, atau Samara selalu ingin memakai sabun Giv biar kulitnya seputih Santi atau Sinta. Atau Sampara ingin pakai rexona, agar ada cewek secantik Cut Tari mendekatinya.

“Pak Fatih!” Samara setengah menjerit. Sampara melompat segera membuka pintu garasi. Samara cekikikan. Sampara pun gusar dibuatnya karena Pak Fatih belum datang, ternyata artis Hengky Tornando yang mirip Pak Fatih muncul di teve.

“Hati-hati menyebut nama Pak Fatih!”

“Papa juga hati-hati menyebut nama Ibu Fatimah!”

Akhirnya, karena mengidolakan Hengky Tornando, Samara senang melihat Pak Fatih. Sampara yang mengidolakan Beby Silvia, sangat deg-degan bila dekat dengan Ibu Fatimah.

“Oh Fatimah, Sayang!”

“Oh Fatih, Sayang!”

“Sudah lama aku merindukanmu Fatimah.”

“Sudah lama aku mengimpikanmu Fatih.”

Keduanya berpelukan erat. Lekat. Keduanya benar-benar bernafsu. Mereka tak menghiraukan sekitarnya. Kasur empuk seolah menjelma dunia yang hanya milik mereka berdua. Malam itu memang gelap. Terjadi pemadaman listrik secara bergiliran oleh pihak PLN.

Tiba-tiba lampu di kamar yang hanya terdengar nama Fatih dan Fatimah menyala. Kedua pasangan pembantu rumah tangga itu bersitatap malu.

“Mengapa mama menyebut nama Pak Fatih?”

“Nuduh, papa yang selalu menyebut nama Ibu Fatimah.”

“Mama tidak mencintaiku lagi.”

“Papa yang tidak mencintaiku.”

“Ssst! Nanti kedengaran oleh Pak Fatih dan Ibu Fatimah.” Sampara meletakkan jari telunjuk di hidungnya karena mendengar ada gerak langkah mendekati kamarnya. Sampara dan Samara semakin deg-degan, langkah itu kian dekat. Mereka berdua bersegera berkemas sesopan mungkin. Dan…

“Tok! Tok! Tok!”

Sampara membuka pintu. Wajah Sampara dan Samara memucat karena majikannya sudah berdiri di depannya. Sampara dan Samara tak berani melihat majikannya. Keduanya hanya menunduk seolah sudah tahu apa kesalahannya.

“Sampara!”

“Samara!”

“Cintailah diri sendiri! Cintailah isterimu! Cintailah suamimu! Jangan mimpi macam-macam! Besok tidak boleh lagi nonton teve.”

“Awas kalau kamu mengganggu suamiku.”

“Awas kalau kamu mengganggu isteriku.”

Sampara dan Samara semakin ketakutan dan tak berani mengangkat kepala. Tapi hati keduanya berangsur tenang karena kedua majikannya bergegas meninggalkan mereka setelah mengancamnya. Pak Fatih dan Ibu Fatimah hanya bisa menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ternyata diam-diam, para pembantunya mengidolakan mereka berdua.

“Papa memang cakep, mirip Hengky Tornando.”

“Ah mama! Mama yang mirip Beby Silvia.”


Pak Fatih dan Ibu Fatimah bersitatap mesra. Tapi kemiringan tatapannya seperti pura-pura. Lalu keduanya bergegas masuk kamar. Pak Fatih sudah tak tahan ingin membayangkan wajah sekretarisnya di kantor yang selalu sok sibuk keluar masuk ruang kerjanya. Ibu Fatimah bahkan sudah merinding membayangkan pelukan teman sekantornya yang selalu menemaninya makan siang di luar kantor walau masih jam sepuluh pagi.

1. Cerpen “SAMPARA DAN SAMARA” dimuat Harian Fajar, Ahad 18 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar