Minggu, 27 April 2014

Catatan tentang Rindu dan Hujan



Catatan tentang Rindu dan Hujan
(sebuah catatan kenangan)
Oleh: dul abdul rahman[1]

            Suatu ketika di penghujung tahun 2003, saat musim hujan, saya berangkat ke Malaysia. Saya masih sangat ingat, penerbangan dari Makassar ke Jakarta kala itu dengan pesawat Garuda GA 631. Pesawat itu mengudara dari Bandara Hasanuddin sekitar pukul 07.15 WITA, dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekira pukul 08.15 WIB (atau 09.15 WITA). Kemudian pada jam 11.00 WIB, saya meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, saya menumpang pesawat Garuda GA 820 menuju KLIA (Kuala Lumpur Internasional Airport). Saya mendarat di Sepang, Selangor, sekira tepat pukul 13.30 waktu Malaysia.

            Sedetail itukah saya mengingat perjalanan saya 10 tahun silam? Ada sebuah peribahasa Inggeris berbunyi: “We don’t remember days. We remember moments. So, make moments worth remembering.” (Kita tidak mengingat waktu. Kita hanya mengingat peristiwa. Maka, buatlah peristiwa itu berharga).

            Begitulah, sesungguhnya waktu perjalanan di atas tidak penting buat saya. Dan, saya pasti tidak akan mengingatnya sedetail mungkin bila tidak ada ‘worth remembering’ yang berkelindan dengan waktu perjalanan tersebut. Ada dua ‘worth remembering’ yang membuat waktu perjalanan di atas terus teringat, apalagi ketika membaca kembali buku Tirai Rindu karya Hasbullah Said ini.

            Saya tiba di Bandara Hasanuddin pagi-pagi sekali. Saat itu hujan turun sangat deras. Kala itu, Bandara Hasanuddin masih berlokasi di Mandai, tidak sebagus dan secanggih sekarang yang berlokasi di Sudiang. Setelah membayar sewa taksi, saya berlari menuju pelataran bandara, pakaian saya sedikit basah. Saya masih menepuk-nepuk baju saya yang terpercik oleh hujan ketika melihat seorang perempuan turun dari taksi. “Wah dia juga pasti akan kehujanan, mana bisa berlari cepat dengan pakaian kerudung seperti itu, bawa tas cukup besar pula,” batinku.

            Saya cepat berlari ke arah perempuan itu, saya mengambil tasnya lalu berlari kembali ke tempat semula. Dengan langkah tertatih-tatih ditingkahi hujan, perempuan itu mengekor di belakang saya. Meski agak kebasahan dan sedikit ngos-ngosan, perempuan itu tetap nampak sumringah, lalu ia berucap dengan logat Melayu, “Terima kasih, Bang.”

            Saya mengangguk senang. Lalu, dengan disaksikan oleh hujan, kami pun berkenalan singkat. Perempuan Malaysia yang berbaju kurung tersebut adalah seorang mahasiswa kedokteran di Universitas Hasanuddin. Ia pun tahu, bahwa saya berangkat ke Malaysia sebagai seorang terdidik, ya educated-man. Ehm! Perempuan berbaju kurung tersebut akhirnya menjadi teman akrab dalam perjalanan Makassar-Jakarta-Kuala Lumpur, dan mungkin sudah takdir, kami terus bersama hingga ke Kedah Darul Aman. Hingga…

            “Lalu apa hubungan antara cerita di atas dengan buku Tirai Rindu ini?”

            Aha! Baiklah saya akan ceritakan, ‘worth remembering’ kedua yang sesungguhnya masih berkelindan dengan kisah di atas.

            Ternyata, meski perempuan Malaysia tersebut kuliah di fakultas kedokteran, ia sangat menyukai sastra. Manalah ada orang Melayu yang tak suka sastra.

            Saat transit selama tiga jam di Bandara Soekarno-Hatta, di sela perbincangan kami yang kian akrab, perempuan Melayu tersebut membaca koran yang dibawanya dari Makassar. Koran Harian Pedoman Rakyat, sayang koran tertua di Makassar tersebut kini sudah tidak terbit lagi.

            “Saye nak suke cerita ni,” ujarnya dengan logat Melayu yang sangat kental.

            Saya menengok ke arahnya, sekedar untuk menunjukkan minat.

“Cuba bacalah, Bang!”

Saya mendekat. Saya mengambil koran dari tangannya, hingga tangan kami tak sengaja bersentuhan, perasaan saya sedikit dumba-dumba (sedikit bergetar). Lalu, saya pun membaca tulisan cerpen yang berjudul “Tirai Rindu” karya Hasbullah Said. Saya membacanya hingga tamat.

“Saye suke perkisahannya.”

“Memang bagus! I like it,” jawabku.

            Kami harus berhenti membahas cerpen Hasbullah Said tersebut, karena pesawat Garuda GA 820 segera mengudara menuju Malaysia. Di atas pesawat, perempuan Melayu tersebut sempat berujar, “Budi dan Yuli, bisa keh menyatu?” Ternyata perempuan Melayu tersebut terus teringat dengan cerita Tirai Rindu. Pasti hingga kini.

            Sebagai lelaki, tentu saja saya harus memberikan jawaban. Ya, tentu jawaban yang mengandung pengharapan. “Kalau sudah jodoh, pastilah Budi dan Yuli akan menyatu. Siapalah yang sanggup menolak takdir Tuhan.”

            Senyum perempuan Malaysia itu merekah. Amat merakah. Hingga mampu mencipta sejarah. Ya, sejarah kami berdua.
            Setelah membaca semua cerpen dalam buku Tirai Rindu ini, saya sungguh percaya dengan ucapan perempuan berbaju kurung 10 tahun silam. ‘Perkisahan’ Hasbullah Said memang menarik. Hasbullah said begitu piawai mendedah madah yang meluah hibah. Dan, saya merasakan begitu kuat, semua cerpen dalam buku ini, membekas dalam benak saya. Hingga membuat saya tergamak.

            Saya bahkan terus mengulang, dan mengulang beberapa judul, “Desember Kenangan,” “Rindu Biru,” “Misteri Cinta,” “Cintaku Jauh di Pulau.” Saya seolah berdiri di tirai rindu. Lalu, saya pun menutup tulisan ini, di saat hujan masih terus turun. Hanya satu yang tak mungkin saya tutup: kenangan. Dan cerita-cerita Hasbullah Said terus merawat kenangan itu. Kenangan yang menjelma sejarah.
                                                                        Tamannyeleng, 24 Februari 2014

Tulisan adalah catatan pengantar buku TIRAI RINDU karya Hasbullah Said, 
diterbitkan oleh Pustaka Puitika Yogyakarta 2014


[1] Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra, diantaranya: Lebaran Kali ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta, 2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo (Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta, 2011), La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Yogyakarta, 2012), dan La Galigo, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut (Yogyakarta, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar