STUDI TENTANG ALUR CERITA NOVEL POHON-POHON RINDU
KARYA DUL ABDUL RAHMAN DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL
(Skripsi Nairawati, 2011, Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yayasan Perguruan Islam
Maros, dibimbing oleh Prof DR H.Kaharuddin, M.Hum dan Drs.Mappa Zubair, S.Pd,
M.Pd.)
Ringkasan Hasil Penelitian:
Setelah melakukan penelitian terhadap novel Pohon-Pohon Rindu
karya Dul Abdul Rahman menunjukkan bahwa alur yang digunakan dalam cerita ini
ditinjau dari penggambaran peristiwa adalah alur maju. Dimana cerita berkembang
secara berurutan dari peristiwa ke peristiwa secara teratur, mulai dari
pembeberan awal, komplikasi, klimaks, dan penyelesaian cerita. Namun terlihat
bahwa alur tersebut sangatlah tinggi sehingga kelihatan ada alur untuk melihat
suatu pengenalan awal cerita, komplikasi, klimaks, dan penyelesaian. Cerita terus
berjalan secara rata. Namun demikian, dapat dilihat perkembangannya dari
konflik batin dan lingkungannya untuk menggambarkan suatu struktur alur dalam
cerita.
Hubungan antara alur dengan tema cerita ini, dapat dikatakan sangatlah
tepat dengan menggambarkan pengalaman pribadinya dengan dikelola oleh alur
cerita dari peristiwa ke peristiwa secara beraturan.
Hubungan alur dan perwatakan dalam cerita dikatakan bahwa penggambaran
hidup pelaku utama dalam cerita diwarnai dengan pemikiran yang tinggi dan begitupun
dengan tindakan-tindakan yang berpengaruh pada pola pemikiran yang mengarah
kepada perubahan nasib yang mengarahkan pola alur menjadi tinggi.
Dapat dikatakan bahwa ada benturan atau konflik yang nyata didalamnya
untuk membedakan suatu perkembangan alur dari loncatan perkembangan. Dari
perkembangan inilah dapat dilihat perkembangan alur dalam novel Pohon-Pohon
Rindu ini, akan tergambar melalui ringkasan pemaparan dan pembahasan
berikut:
1. Struktur alur dalam novel Pohon-Pohon
Rindu
Pada tahap pengenalan cerita dalam
novel Pohon-Pohon Rindu, pengarang menggambarkan seperlunya tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan cerita, dari lingkungan, tokoh-tokoh yang
terlihat di dalamnya, dan berbagai hal lain yang menggambarkan latar belakang
cerita untuk proses selanjutnya.
Dalam novel Pohon-Pohon Rindu,
pengarang terlebih dahulu memperkenalkan suasana sekolah para tokoh.
“Masih dalam
suasana orientasi penerimaan siswa baru di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan,
semua siswa baru tampak sungguh-sungguh mengikuti acara itu, sebab acara itu
memang benar-benar pengenalan sekolah terhadap siswa dari jenjang SMP ke SMA.”
(Pohon-Pohon Rindu, 2009: 5-6)
Dalam novel Pohon-Pohon Rindu,
pengarang memperkenalkan ceritanya dengan menggambarkan karakter pelaku utama ‘aku’
dan para pelaku lainnya, yaitu Anton, Dayat, Umar, dan Hutbah.
“Aku membuat striker di ranselku bertuliskan ‘No Time For Love’,
Anton anak kepala kampung menempelkan striker bertuliskan ‘No Problem’ sesuai
dengan kepribadiannya yang cuek bebek, lain lagi dengan Dayat yang bapaknya
imam kampung, ia merasa aman dan bangga dengan striker bertuliskan ‘100 %
Muslim’ yang merasa alim meskipun di masjid selalu bikin ulah. Meski perokok
berat, Umar biasanya merokok secara sembunyi-sembunyi di kantin sekolah,
strikernya bertuliskan ‘No Smoking’ maksudnya agar guru BP Pak Chaeruddin tidak
mencurigainya. Lain lagi dengan Hutbah,
tasnya ditempeli striker bertuliskan ‘Love is Blind’, kata-kata yang dia
dapatkan dariku.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 11)
Selanjutnya diceritakan tentang
pengalaman merayu perempuan oleh tokoh utama (aku, Beddu) melalui sepucuk surat
atas nama sahabatnya (Hutbah), walaupun sebenarnya dia juga menyukai perempuan
tersebut.
“Kala itu
pula, aku belajar menerima pil pahit kenyataan. Merayu perempuan yang ayu
dengan perasaan mendayu-dayu karena memang adalah ungkapan hati yang paling
dalam, lalu terkirim dengan nama laki-laki lain yang tak punya perasaan, tapi
apa boleh buat terkadang hatiku menjerit meratap. Inilah konsekuensi cowok yang
tak cakep dan tak punya nyali seperti diriku.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 28)
Selanjutnya digambarkan kejadian
yang membuat tokoh ‘aku’ (Beddu) merasa malu atas tindakannya yang salah
menulis nama pada sepucuk surat yang diberikan kepada Nia. Dan Nia
mengembalikan surat cinta tersebut dan menyebut Beddu sebagai kumbang jelek
yang merindukan sang rembulan, dan itu pula yang menjadi pengalaman pertama
Beddu dipermalukan di depan umum. Susah bagi Beddu untuk menggambarkan rasa
malu tingkat tinggi tersebut, karena semua yang ada di sekitarnya seolah-olah
menertawainya. Dari kutipan inilah muncul konflik.
“Ambil! Aku
tak sudi bungaku dihinggapi kumbang jelek. Nia melempar surat cinta yang
kutulis kemarin, tapi bukan ke arah Hutbah, melainkan ke arahku. Semua yang di
depan perpustakaan itu mendadak menoleh ke arahku dengan pandangan
bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi, aku tak bisa berkata apa-apa. Aku
seperti mati suri.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 35)
Sejak kejadian nama yang salah dalam
surat itu, Beddu benar-benar malu. Malu kepada teman-teman satu sekolah,
terutama pada Hutbah dan Nia. Setiap waktu istirahat tiba, tidak ada lagi acara
kantin-kantinan buatnya. Dan setelah kejadian itu pula, Beddu benar-benar jadi
penghuni kelas paling setia. Dia jarang meninggalkan kelas meskipun waktu
istirahat, dia hanya keluar bila ingin ke WC atau ke ruangan guru. Waktu demi
waktu terus berlalu, pada akhirnya Nia mengakui semua tindakannya itu salah dan
mencoba minta maaf kepada Beddu. Tetapi Beddu sudah terlanjur malu, dan ia
hanya fokus terhadap pelajarannya saja.
Ketika Beddu dan teman-temannya
duduk di bangku kelas tiga, dan menghadapi ujian akhir sekolah, mereka tidak
bisa lagi aktif pada acara-acara eksternal Kompita (Korps Pencinta Alam).
Akhirnya mereka mengadakan pemilihan ketua kompita yang baru untuk menggantikan
Umar. Pemilihan tersebut diadakan di Bukit Bulu Paccing, bukit yang ada di
belakang sekolah mereka. Mereka mendukung terpilihnya Nia sebagai ketua kompita
yang baru karena Nia mempunyai visi yang visioner.
Akhirnya Beddu dan kawan-kawannya
melewati ebtanas (saat ini: UN) dengan perasaan deg-degan. Ketika tiba saat
pengumuman kelulusan sekolah, mereka berlima berencana akan langsung menanam
pohon pinus dan pohon-pohon lainnya di Bukit Bulu Paccing sebagai ungkapan
nazar, bila lulus sekolah.
Selanjutnya digambarkan kejadian
yang dapat membuat Beddu putus asa dan hilanglah semua angan-angannya untuk
jadi mahasiswa dan kandaslah harapannya untuk bisa bersama orang yang dia
sayangi:
“Aku menangis,
sirnalah angan-anganku untuk jadi mahsiswa dan kandaslah cintaku pada Nia. Aku
benar-benar malu, malu kepada kedua orang tuaku, kepada Nia, dan kedua orang
tua Nia. Aku mengutuk dan meratapi diri sendiri, mengapa aku tak lulus padahal
soal-soal UMPTN bisa kujawab dengan mudah.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 250)
Beddu sedikit terhibur dengan
nasihat klise agen koran bahwa kegagalan itu adalah kesuksesan yang tertunda.
Ternyata Beddu salah melihat pengumuman, karena ternyata Beddu lulus UMPTN
masuk ke Universitas Hasanuddin. Akhirnya Beddu dan kawan-kawannya menjadi
mahasiswa.
Tak terasa Beddu sudah satu semester
kuliah di Jurusan Sastra Inggeris Universitas Hasanuddin. Beddu begitu rindu
dengan kampung halaman yang telah ia tinggalkan selama enam bulan. Ia rindu
kepada kedua orang tuanya yang sangat ia cinta dan junjung. Pun, perempuan yang
sangat ia rindukan adalah Nia. Perempuan yang pertama kali menyentuh kisi-kisi
cintanya dan menjajahnya. Nia adalah perempuan yang pertama kali membuatnya
patah hati karena menyebutnya sebagai kumbang jelek dan mengembalikan surat
cintanya dengan kasar. Tentang kegelisahan Beddu dapat terlihat pada petikan
berikut:
“Sejak ada
telepon dari Nia di Bikeru yang memintaku pulang kampung, apalagi katanya ada
acara kumpul-kumpul keluarga, perasaanku sungguh tidak tenang. Aku terus
mendesah resah, suasana itu membuatku tak nyaman yang akan menghadapi final
test. Kupikir, sebaiknya aku pulang saja dulu ke Sinjai barang satu atau
dua hari. Menunggu pagi untuk pulang ke Sinjai adalah sebuah keresahan panjang yang
membuat hatiku berdebar-debar, kadang bergetar, seolah-olah menghadapi badai
besar. Malam itu benar-benar penantian panjang bagiku, aku bolak-balik masuk
kamar kostku, meski teman-temanku terus berteriak memanggilku untuk menonton
bersama, aku tak menghiraukannya.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 304)
Petikan di atas, menggambarkan
adanya kegelisahan pada diri Beddu. Ia terus gelisah karena tiba-tiba mendapat
telepon dari orang yang dia sayangi. Lewat telepon, Nia memang terus merajuk
meminta Beddu pulang ke Sinjai. Lalu akhirnya Beddu memutuskan untuk pulang ke
Sinjai.
Dalam perjalan pulang ke Sinjai,
Beddu mengkhayalkan dirinya bersama Nia yang akan menikah muda. Beddu juga
mengingat pesan para tetua di kampungnya tentang seorang laki-laki yang ingin
menikah.
“Khayalanku
bersama Nia benar-benar bolak-balik, karena sesungguhnya aku tak mau menikah
kalau aku belum mampu menafkahi isteriku. Aku teringat pesan seorang tetua di
kampungku, bila seorang lelaki ingin menikah ia harus mampu mengelilingi dapur
tujuh kali terlebih dahulu. Makna dari pesan itu adalah laki-laki tak boleh
menikah sebelum merasa mampu menafkahi isterinya. Terus terang, aku belum mampu
menafkahi Nia.” (Pohon-Pohon Rindu: 2009: 308)
Dari gambaran di atas terlihat bahwa
pelaku utama memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Ia memiliki rasa tanggung
jawab bilamana sudah menikah kelak, meski ia harus menikah muda.
Dalam perjalanan pulang ke Sinjai,
khayalan Beddu setengah mimpi bersama dengan Nia. Mereka berdua seolah berada
di bibir Pantai Tanjung Bira dalam balutan busana pengantin. Tapi Beddu memakai
pakaian pengantin serba hitam seperti orang Kajang atau orang sedang berduka
cita. Pakaian Beddu sangat kontras dengan pakaian Nia yang berwarna putih bak
Puteri Cinderella. Mereka berdua terus bergandengan tangan. Nia terus merajuk
agar Beddu menggendongnya menuju ke laut lepas. Ketika berada di bibir pantai,
tiba-tiba mereka mendengar gemuruh ombak laksana tsunami yang tiba-tiba
menerjang mereka dengan kecepatan setan. Beddu berusaha menyelamatkan Nia,
namun Nia terseret ke tengah lautan. Begitulah mimpi Beddu.
Kepahitan yang dihadapi oleh sang
tokoh utama Beddu karena kehilangan perempuan yang pertama kali membuatnya
jatuh cinta. Seperti pada kutipan berikut:
“Beri minum
dulu, baru diberi tahu kabar kekasihnya. Seorang tetangga ikut prihatin, aku
kian deg-degan. Tiba-tiba kakak Nia yang koas di Rumah Sakit Regional
Wahidin Sudirohusodo sebagai dokter muda, Mila, datang meraung-raung memanggil
nama adiknya dan juga namaku. Ia langsung menubruk dan memelukku.
‘Innalillahi…’ Kudengar kalimat itu dari seseorang yang sejak aku berada di
rumah itu sudah meneteskan airmata. Aku tak mendengar semua isi kalimatnya,
karena tiba-tiba aku merasakan ada gelombang tsunami yang menerjang aku dan
Nia. Kulihat Nia terseret oleh ombak dan aku hanya bisa berteriak.
‘Niaaaa….!!!” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 327)
Petikan cerita di atas menunjukkan
betapa hancurnya hati Beddu dan keluarga Nia serta kerabatnya yang kehilangan
orang yang sangat mereka sayangi. Setelah Beddu sadar, para kerabat dan
tetangga almarhumah Nia memeluknya secara bergantian dan memintanya bersabar.
Ketika jasad Nia akan dikebumikan,
Beddu dipanggil dan dipapah untuk melihat jenazah orang yang dicintainya untuk
terakhir kalinya. Beddu membuka penutup wajah jenazah kekasihnya pelan-pelan.
Tanggul airmatanya tak bisa terbendung lagi. Bobol untuk kesekian kalinya. Dia
mengecup kening jasad Nia penuh haru, bahkan air matanya terus berlinang
membasahi wajah kekasihnya yang tak bernyawa. Akhirnya, tanah merah pemakaman
Nia menjadi tumpuan air mata Beddu yang kesekian kalinya, saat itu Beddu berjanji
untuk menerima takdir itu dengan ikhlas.
Setelah Nia meninggalkannya untuk
selama-lamanya karena kanker darah yang menggerogoti tubuhnya, Beddu merasa
seperti kehilangan separuh hidupnya. Dan dia tidak ingin keluarga Nia terus
menumpahkan kerinduannya kepada orang tercintanya yang telah tiada lewat
bayang-bayang dirinya. Dan Beddu takut bila terus seperti itu, ia menampakkan
dirinya sebagai Nia, lama-kelamaan dia akan menjadi halusinasi buat mereka,
ujung-ujungnya mereka terkena penyakit halusinasi yang akan membuat mereka
gila.
Akhirnya Beddu mengambil keputusan
untuk meninggalkan Sinjai, Makassar, bahkan Indonesia. Dan ini pula yang
menjadi penyelesaian dari cerita. Itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Aku sudah
membuat satu keputusan, aku akan meninggalkan Makassar dan Sinjai, bahkan
Indonesia. Aku tak mau membiarkan keluarga Nia terus-menerus menumpahkan
airmata. Terkadang, hatiku pun masih menjerit manakala teringat Nia, terhimpit
sakit yang menggigit. Teramat sedih dan perih tapi aku harus mencari kehidupan
baru untuk menatap hidupku ke depan dengan wajah baru. Tempat yang aku tuju
adalah Malaysia, aku akan tinggal di Kedah dan kuliah di UUM(Universiti Utara
Malaysia) di kawasan Hutan Sintok, Kedah Darul Aman.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009:
343)
Gambaran ini merupakan penggambaran
akhir sebuah penyelesaian cerita dimana Beddu akan meninggalkan kampung
halamannya yang penuh kenangan indah yang sudah mereka lalui bersama dengan
orang-orang yang ia sayangi. Beddu melakukan semua itu demi keluarga almarhumah
Nia karena Beddu tidak ingin kerabat almarhumah Niaa hidup dalam halusinasi
terus menerus. Dan Beddu pun berjanji, bahwa dimanapun berada ia akan selalu
menjaga dan merawat hutan karena pohon-pohon adalah lambang cinta antara Beddu
dan Nia ketika mereka mengikrarkan hubungan mereka dulu di Bukit Bulu Paccing
di Bikeru Sinjai.
Sebelum berangkat ke Malaysia, Beddu
akan minta izin dulu kepada kedua orang tua dan kakak-kakak Nia. Beddu akan
berpamitan dengan alasan untuk melakukan penelitian dan biaya penelitian akan
ditanggung oleh Universitas Hasanuddin. Beddu khawatir, bila ia jujur, maka
keluarga almarhumah Nia akan bertambah sedih.
Pagi-pagi sekali Beddu tiba di
pusara kekasihnya, Beddu bersimpuh luluh di depan pusara perempuan yang amat
dicintainya. Airmatanya menetes, airmata kerinduan, airmata perpisahan.
“Sebagai
janjiku dulu ketika kami sepakat untuk saling mengasihi dan mencintai, bahwa
jika aku merusak hutan, berarti aku menyakitinya. Hutan dan Nia adalah dua hal
yang tak bisa kulupakan. Oh Sinjaiku! Niaku! Bidadariku! Aku mencintaimu,
merindukanmu. Kini aku akan pergi jauh, tapi aku akan selalu menjagamu. Aku
berjanji akan menjaga dan melestarikan kawasan Hutan Lindung Balang sebagai
tempat peristirahatanmu yang terakhir, Duhai Cintaku. Aku akan menjaga semua
hutan yang ada di Sinjai bahkan di seluruh Indonesia dan dunia sekalipun.”
(Pohon-Pohon Rindu, 2009: 349)
Demikianlah akhir cerita dengan
keputusan Beddu untuk meninggalkan kampung halamannya. Ia bertekad menjaga
seluruh hutan dimana saja ia berada. Maka Beddu pun menyatakan, “Tersenyumlah
duhai pepohonan, tersenyumlah duhai hutan, tersenyumlah duhai kekasihku. Oh
Niaku! Bidadariku! Hutanku!”
Akhirnya Beddu kian jauh
meninggalkan pusara Nia, meninggalkan Hutan Lindung Balang. Dan samar-samar
yang nampak hanyalah pepohonan, terlihat senyum Nia disitu, sambil melambaikan
tangan.
Airmata bercucuran.
2. Hubungan antara tema dan alur
cerita novel Pohon-Pohon Rindu
Tema digunakan secara luas untuk menyatakan
makna total mengenai kesatuan artistic. Dari tema tersebutlah cerita
dikembangkan oleh plot atau alur dalam sebuah cerita. Plot merupakan mesin dari
tema, lebih dari tema itu sendiri. Plot juga merupakan garis-garis dalam sebuah
cerita yang merupakan proyeksi temporal terhadap struktur tematik. Dengan
demikian dapat digambarkan sebagai suatu sistim, oleh sebab itu, tema merupakan
bahan baku yang akan diproses oleh alur dan menghasilkan suatu cerita dengan
dukungan perwatakan dan latar.
Tema dapat terbentuk dari sejumlah
ide, tendensi, motif, atau amanat yang sama, yang tidak bertentangan satu sama
lain. Dalam arti yang luas, tema adalah sebuah cerita yang memiliki gagasan,
tujuan, bentuk, dan ajaran yang dikandungnya, tapi diberbagai bentuk mempunyai
suatu hubungan yang erat dalam suatu sisi pokok yang menjadi penekanan
pengarang dalam sebuah cerita. Dengan demikian, tema di interrelasikan dan
diproses dalam plot atau alur, sehingga dapat terbentuk suatu cerita.
Agar lebih jelas hubungan antara tema
dan alur dalam novel Pohon-Pohon Rindu, maka terlebih dahulu ditentukan
tema cerita tersebut. Berdasarkan informasi dalam novel ini, maka temanya
adalah pengalaman menjaga hutan yang ada di lingkungannya. Tema cerita ini
disimpulkan berdasarkan gambaran peristiwa yang ada dalam cerita yang mengarah
kepada suatu pengalaman hidup sang pengarang yang sekaligus sebagai pelaku
utama dalam cerita dengan sudut pandang ‘aku’. Dalam cerita ini dikisahkan tentang
peristiwa yang dialami oleh pelaku utama dan sahabat-sahabatnya tentang
bagaimana menjaga dan melestarikan hutan yang ada di lingkungannya. Diceritakan
antara lain tentang siswi baru, nama dalam sepucuk surat, hutan lindung balang,
Sungai Bejo, cinta di Bukit Gojeng, parakang di Sumpang Ale’, falsafah hidup,
janji di Bulu Paccing, menjadi mahasiswa, rindu, mimpi aneh, cinta dan
halusinasi, dan lain-lainnya.
Informasi yang dapat mendukung tema
cerita, akan digambarkan melalui penjelasan di bawah ini, sehingga penentuan
tema tersebut berdasarkan pada pandangan yang logis dan dapat mendukung cerita.
Pada bagian-bagian awal, pengarang
memulai ceritanya dengan mengisahkan keadaan Sungai Bejo yang banyak dikunjungi
oleh penduduk dari berbagai penjuru. Sungai tersebut dianggap sebagai sungai
keramat. Seperti cerita berikut ini:
“Aku
mengusulkan Sungai Bejo sebagai tempat pertama yang dikunjungi karena lokasi
sungai itu masih termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Balang, dan dianggap
keramat oleh masyarakat setempat. Sungai Bejo amatlah kecil untuk dikatakan
sebuah sungai bila dibandingkan dengan Sungai Apareng yang merupakan sungai
terpanjang di Sinjai, Sungai Mangottong, Sungai Pangesoreng, atau Sungai
Garaccing. Bila melewati Sungai Bejo cukup dengan melompat saja, tapi tidak ada
yang berani melewati Sungai Bejo dengan melompat karena khawatir lompatannya
tidak sampai dan akan terperosok ke dalam sungai yang dalam itu.” (Pohon-Pohon
Rindu, 2009: 101)
Penggalan cerita di atas terlihat
suata gambaran pengarang tentang pengalamannya pada saat mengunjungi Sungai
Bejo. Sungai yang juga sangat ramai dikunjungi oleh penduduk karena dianggap
sungai keramat. Sungai yang sesungguhnya tidak luas tetapi sangat dalam dan
berbahaya.
Selanjutnya Beddu menceritakan
tentang perjalanannya bersama anggota Kompita (Korps Pencinta Alam) mengunjungi
salah satu tempat bersejarah yaitu taman purbakala Batu Pakke Gojeng. Seperti
berikut ini:
“Salah satu tempat
bersejarah yang akan dikunjungi anggota Kompita adalah taman purbakala Batu
Pakke Gojeng. Taman purbakala itu terletak di sebelah barat Kota Balannipa,
ibukota Kabupaten Sinjai, tepatnya di Bukit Gojeng dengan ketinggian 85 meter
dari permukaan laut. Untuk mencapai puncak, pengunjung harus menyusuri kurang
lebih 182 anak tangga. Dan, dari puncak gojeng itulah, para pengunjung dapat
menyaksikan deretan sembilan pulau yang menyembul dari dasar laut.”
(Pohon-Pohon Rindu, 2009: 123)
Petikan di atas jelas tergambar
suatu tempat bersejarah yang ada di ibukota Kabupaten Sinjai. Taman beresejarah
tersebut banyak dikunjungi oleh masyarakat. Dari ketinggian tempat tersebut,
para pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Sinjai dan juga deretan pulau
di Pulau Sembilan.
Beddu juga menceritakan
pengalamannya bersama para sahabatnya mengunjungi Hutan Sumpang Ale’. Hutan
tersebut terletak di perbatasan Sinjai dan Bulukumba yang mulai ramai dibabat
untuk dijadikan lahan pertanian. Seperti berikut ini:
“Hutan
Sumpang Ale’ terletak di daerah perbatasan Sinjai dan Bulukumba, hutan ini
merupakan pemasok oksigen terbesar di wilayah Sinjai dan Bulukumba. Sayangnya,
sedikit demi sedikit hutan itu menjadi lahan pertanian bagi warga, meski tidak
ada hak kepemilikan tanah, warga tetap saja menggarapnya dengan semena-mena.
Anehnya, pemerintah setempat tak peduli sama sekali, bahkan mantan pejabat
daerah turut menguasai lahan tersebut.” (Pohon-Pohon Rindu, 2009: 209)
Petikan di atas menunjukkan bahwa tidak
adanya perhatian pemerintah setempat dengan kondisi hutan yang kaya akan
pemasok oksigen, tapi justru sebagian aparat pemerintah ikut merusak
kelestarian hutan tersebut dengan beramai-ramai membuka lahan pertanian di
hutan tersebut.
Setelah mengunjungi berbagai macam
tempat, dan berkampanye tentang pentingnya menjaga lingkungan, akhirnya tibalah
saatnya Beddu dan kawan-kawan mengikuti ujian akhir sekolah. Ketika tiba saat
pengumuman kelulusan sekolah, mereka pun bernadzar akan menanam pepohonan di
Bukit Bulu Paccing. Berikut kutipannya:
“Kami berlima
berencana akan langsung menanam pohon pinus atau pohon-pohon lainnya di Bukit
Bulu Paccing sebagai ungkapan nadzar, bila lulus sekolah.” (Pohon-Pohon Rindu,
2009: 238)
Gambaran di atas merupakan gambaran
yang patut dicontoh oleh anak-anak generasi sekarang. Betapa mulianya niat
mereka untuk menanam pohon demi kelestarian pepohonan di Bukit Bulu Paccing.
Semenjak tamat SMA, mereka semua
tetap menjaga dan merawat hutan seperti saat-saat mereka di SMA. Bahkan Beddu
bersama orang yang paling disayanginya mengucapkan janji bahwa sampai kapanpun
tetap akan mencintai hutan karena hutan dan pepohonan menjadi lambang dan
simbol cinta mereka.
Dengan demikian, dari tema cerita
ini apabila dihubungkan dengan alur umum maka dapat dikatakan bahwa antara
tema, alur cerita terjadi suatu hubungan baik secara fisik maupun secara
batiniah. Dalam arti bahwa hubungan alur dalam tema secara batin melalui
rangkaian pemikiran pengarang tentang proses cerita yang dirangkaikan dengan
berdasarkan peristiwa fisik dan dari berbagai peristiwa yang diawali selama
perjalanan hidupnya menjaga dan merawat hutan yang ada di lingkungannya.
Hal ini menunjukkan bahwa alur
menjadi alat atau sarana yang memproses tema. Tema yang lahir dari berbagai
pengalaman hidup pelaku, kemudian dijalankan oleh alur sebagai mesin yang
menjadi sebuah cerita. Dari pokok persoalan yang dialami pelaku utama dan
sahabat-sahabatnya kemudian dirangkai atau dihubungkan oleh alur peristiwa ke
peristiwa menjadi rangkaian yang logis. Antara tema dan alur tersebut merupakan
bagian yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Sebab tema tak akan
mungkin berjalan tanpa kehadiran alur yang akan merangkai pokok persoalan
tersebut. Sedangkan alur tak akan mungkin berjalan tanpa adanya persoalan pokok
atau persoalan utama yang akan dibicarakan atau dipersoalkan. Jadi, kedua
bentuk struktur cerita ini saling mengisi dan mendorong dalam sebuah cerita.
Dengan demikian, keterkaitan antara
tema cerita dan alur cerita dalam novel Pohon-Pohon Rindu menunjukkan
bahwa tema cerita yang menyangkut pengalaman hidup menjaga dan melestarikan
hutan. Pelaku utama dan para sahabatnya ini dirangkai dengan alur maju. Tema
yang diangkat pengarang tersebut kemudian diproses alur secarai berangkai dan
beraturan dari awal sampai akhir cerita.
Demikianlah gambaran antara alur dan tema dalam novel Pohon-Pohon
Rindu yang telah memberikan informasi tentang suasana cerita yang
memperlihatkan hubungan logis, yang melahirkan sebuah cerita nyata.
3. Hubungan antara alur dan
perwatakan cerita novel Pohon-Pohon Rindu
Dalam suatu karya sastra, kita lebih
cenderung melihat pada keterlibatan perwatakan dalam suatu cerita daripada alur
atau plot. Menurut JW Marriot dalam Muzakkar, menegaskan bahwa seluruh cerita
pada dasarnya dapat dipelajari melalui perwatakan. Dari perwatakan itulah kita
dapat melihat alur cerita, latar, gaya bahasa, dan hal lain dalam cerita.
Karakter dalam cerita dapat menumbuhkan plot atau plot digerakkan oleh
tindakan. Plot cerita dapat berkembang sesuai dengan perwatakan. Ke arah mana
sebenarnya cerita berkembang didasari oleh bagaimana perwatakan cerita
tersebut.
Bila dalam novel Pohon-Pohon
Rindu perkembangan plot dikatakan tinggi karena novel itu menceritakan
suatu perjalanan hidup pelaku utama semasa di SMA sampai ke jenjang perguruan
tinggi. Dimana perjalanan hidup yang menggambarkan suatu hal yang sangat wajar
dalam pemikiran dan pengalamannya. Apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa
yang dirasakannya digambarkan secara lengkap. Dengan suatu peristiwa yang luar
biasa yang dapat mengalihkan jalan nasibnya.
Watak yang dimiliki oleh pelaku
utama adalah seseorang yang dapat dikatakan dalam tahap belajar pada segala
situasi dan pemeliharaan dan juga pelestarian hutan di lingkungannya. Sehingga
peristiwa yang dialami pelaku utama tak lepas dari peristiwa yang terjadi dalam
kemasyarakatan. Dalam cerita ini sederhana tapi unik karena perkembangan alur
yang tinggi, dimana para pelaku dapat bersosialisasi dengan masyarakat yang ada
di sekelilingnya, dengan menyatakan bahwa kelestarian hutan sangat penting, dan
para pelaku melakukan kegiatan yang sangat mengagumkan yaitu mereka menjaga dan
melestarikan hutan sama halnya seperti mereka menjaga dan merawat cinta yang
mereka miliki. Dan dapat membedakan perkembangan alur yang menyatakan suatu
alur menuju ke penyelesaian cerita.
Hal itu menunjukkan bahwa watak yang
dimiliki pelaku utama diwarnai oleh pemikiran yang tinggi, karena dalam berbuat
dan bertindak dapat mempengaruhi perkembangan alut cerita. Hal ini yang
menyebabkan alur cerita menjadi tinggi hingga cerita sampai selesai. Adapun
konflik yang terjadi dalam cerita ini yaitu yang dapat merubah nasib pelaku,
dan memberikan pengalaman yang sangat luar biasa bagi pelaku.
Namun demikian, perubahan nasib
pelaku ada juga bila ditinjau dari sudut pandang pengalaman hidupnya. Dari
konflik dalam cerita yang berkaitan dengan lingkungan memberikan suatu kekayaan
batin dan banyak belajar dari peristiwa tersebut dan di sinilah perubahan jalan
nasibnya tentang bagaimana seharusnya ia bertindak, berfikir dan mengambil
suatu keputusan. Hal itu diambil dari pengalaman hidupnya dalam lingkungan
keluarganya dan juga masyarakat.
Dengan demikian, hubungan antara
alur dan perwatakan dalam novel Pohon-Pohon Rindu ini, jelas seperti
cerita pada umumnya bahwa perwatakan dapat mempengaruhi alur cerita. Alur
diarahkan sesuai dengan perwatakan dalam cerita. Namun pada novel ini, dapat
dikatakan bahwa perwatakan cerita yang besar dilihat dari sudut pandang pelaku
utama. Dimana cerita berkembang seiring dengan perkembangan waktu dari hari ke
hari sesuai dengan lingkungannya, baik dalam arti lingkungan tempat tinggalnya
maupun lingkungan ditinjau dari sudut hubungan dalam keluarga Beddu dan
masyarakat tempat tinggalnya. Persoalan yang digambarkan adalah pengalaman
Beddu bersama para sahabatnya dalam menjaga dan melestarikan hutan di
lingkungannya sampai akhirnya dia harus meninggalkan kampung halaman yang dia
cintai demi meraih impiannya. Peristiwa yang dialami pelaku utama dalam kurun
waktu tersebut digambarkan secara rinci baik peristiwa yang muncul dari
lingkungan pemikirannya dan para sahabatnya yang melahirkan sikap atau
keputusan maupun peristiwa yang lahir dari lingkungan fisik (tempat tinggalnya)
yang dapat merubah nasib mereka semua.
Daftar Pustaka
-
Abdul Rahman, Dul. 2009. Pohon-Pohon Rindu.
Yogyakarta: Penerbit Diva Press
-
Alam, Syamsul. 2005. Mengungkap Tabir Seputar Roman,
Novel dan Cerpen. Makassar: Zamrud Nusantara.
-
Arifin, Bustanul, dkk. 1986. Sastra Indonesia (Lama,
Baru, Modern). Bandung: Lubuk Agung.
-
Bachri, Sutardji Calzoum. 2008. Dari Menghirup Pucuk
Mawar Hujan. Pekanbaru: Dewan Kesenian Riau.
-
Junaedi, Moha. 1990. Apresiasi Kesusatraan Indonesia.
Ujung Pandang: Pustaka Maspul.
-
Lubis, Mochtar. 1960. Teknik Mengarang. Jakarta:
Balai Pustaka.
-
Moeliono, M.Anton. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
-
Saad, Saleh. 1967. Bahasa dan Kesusastraan sebagai
Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
-
Sukade, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra
Indonesia. Bandung: Angkasa.
-
Sumardjo, Jakob. 1991. Pengantar Novel Indonesia.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
-
Sutrisno, Sulastin. 1979. Analisa Struktur dan
Fungsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
-
Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-Prinsip Dasar
Sastra. Bandung: Angkasa.
-
Tirtawirya, Putu Arya. 1984. Kritik Sastra Sebuah
Antologi. Ende-Flores: Nusa Indah.
-
http://yuditouch.ning.com/profiles/blogs/pohonpohon-rindu-novel-populerFiled
under: Novel Ditandai: POHON-POHON RINDU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar