Pesan Cinta dari Hewan
Sepasang burung merpati hidup berkasih-kasihan di sebuah pohon besar.
Sang merpati jantan sangat mencintai dan menyayangi sang merpati betina, pun
sang merpati betina sangat menghormati dan patuh terhadap sang merpati jantan.
Sang merpati jantan adalah sosok suami yang sangat bertanggung jawab, setiap
hari ia keluar mencari makanan. Ia pun tidak pernah memakan sendirian makanan
yang didapatkanya kecuali bersama-sama dengan isterinya sang merpati betina.
Sang merpati betina adalah sosok isteri yang sangat menjaga kehormatan dirinya
dan suaminya. Ia tidak pernah pergi meninggalkan sarangnya selama suaminya
pergi mencari nafkah. Bahkan sang merpati betina tidak pernah tergoda bilamana
ada merpati jantan lainnya yang datang menggodanya manakala suaminya pergi
mencari nafkah.
Saat itu, musim kemarau segera berakhir, dan musim hujan segera tiba.
Sang merpati jantan pun kian rajin mencari makanan sebagai persediaan di kala musim
hujan. Karena musim hujan biasanya agak lama, maka sang merpati jantan sebagai
kepala rumah tangga berusaha keras agar hidup mereka berdua terjamin pada saat
musim hujan nantinya.
Sang merpati jantan mendengar kabar dari burung-burung lainnya, bahwa musim
hujan yang akan tiba kali itu lebih panjang daripada musim-musim hujan
sebelumnya. Lalu, untuk mengantisipasi musim penghujan yang lebih lama tersebut
maka sang merpati jantan pun terus bekerja siang dan malam mengumpulkan
persediaan makanan.
Musim kering yang panjang membuat tanaman jagung dan padi petani juga
berkurang, sehingga para sang merpati jantan pun susah untuk mengumpulkan
makanan. Karena itulah, sang merpati jantan meminta isterinya untuk berhemat.
“Wahai isteriku sayang, karena susah mendapatkan makanan di akhir-akhir
musim kemarau yang panjang ini maka kita harus menghemat makanan kita, biar pada
musim hujan nanti makanan kita terjamin,” ujar sang merpati jantan.
“Saya hanyalah seorang isteri yang harus taat dan menurut kata suami,”
ujar sang merpati betina tersenyum.
Sang merpati jantan sangat senang mendengar ucapan isterinya. Apalagi ia
tahu bahwa isterinya adalah sosok yang jujur, apa yang dikatakannya selalu
ditepatinya. Pun ia tahu bahwa isterinya adalah sosok yang setia.
Sang merpati jantan pun kian bersemangat. Ia kembali membuat sarang
cadangan yang ia gunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan. Setelah bekerja
siang dan malam selama berhari-hari, sarang tempat menyimpan jagung dan padi
pun sudah penuh.
“Alhamdulillah, kita sudah punya persediaan khusus menjelang musim
dingin, isteriku sayang,” ujar sang merpati jantan sambil menatap sarangnya.
“Saya benar-benar bersyukur bisa bersama dengan sosok pendamping yang
sangat baik dan bertanggung jawab,” sang merpati betina memuji suaminya.
“Terima kasih isteriku saying,” balas sang merpati jantan sambil
merapatkan tubuhnya ke tubuh isterinya.
…
Menjelang musim penghujan tiba, biasanya bangsa burung melakukan
pertemuan khusus di puncak Gunung Bawakaraeng. Semua jenis burung diwajibkan
mengirimkan wakilnya pada pertemuan tersebut. Sang merpati jantan yang tinggal
di pohon besar itu pun yang mewakili bangsa burung merpati.
Ketika hendak menuju puncak Gunung Bawakareng, kembali sang merpati
jantan berpesan, “wahai isteriku sayang, jagalah persediaan makanan kita
baik-baik, sebab kalau persediaan makanan kita berkurang sebelum masuk musim
penghujan maka dipastikan persediaan makanan kita selama musim hujan tidak akan
cukup.”
“Janganlah engkau khawatir suamiku sayang, saya akan menjaga persediaan
makanan kita. Dan yakinlah ketika engkau pulang maka persediaan makanan kita
dalam sarang itu tidak akan berkurang walau sebijipun,” jawab sang merpati
betina sambil memeriksa lumbung makanan mereka.
Sang merpati jantan cepat memagut mesra sang merpati betina, lalu mereka
pun memadu kasih bersama. Setelah itu, sang merpati jantan bergegas terbang menuju
puncak Gunung Bawakaraeng yang letaknya nun jauh di sana.
Selama kepergian suaminya, sang merpati betina sangat memegang amanah
suaminya kuat-kuat, ia pun terus menunggui biji-biji jagung dan padinya. Ia
tidak ingin ada burung lain yang mencuri persediaan makanannya tersebut.
Karena pertemuan para bangsa burung berlangsung selama tujuh hari tujuh
malam di puncak Gunung Bawakaraeng, maka selama itu pula sang merpati betina
bertekad menjaga amanah suaminya. Tetapi baru saja hari ketiga kepergian
suaminya, sang merpati betina melihat persediaan makanan mereka berkurang.
“Celaka! Persediaan makanan kami berkurang, padahal seingatku tidak
pernah ada burung lain berkunjung ke tempat ini,” ujar sang merpati betina
dalam hati.
Memasuki hari keempat, persediaan makanan pun semakin berkurang, sang
merpati pun betina semakin panik. Agar persediaan makanan mereka tidak semakin
berkurang, maka sang merpati betina pun semakin memperketat penjagaannya. Sang
merpati betina bahkan tidak pernah tidur di waktu malam demi menjaga amanah
dari suaminya tercinta.
Hingga hari ketujuh, sang merpati betina sudah nampak kurus karena tidak
pernah tidur, pun tidak pernah makan karena ia tidak mau persediaan makanannya terus
berkurang. Tetapi tetap saja persediaan makanan mereka semakin berkurang, hingga
makanan yang ada dalam sarang tinggallah separuhnya saja.
Hari ketujuh itu, sang merpati jantan pun sudah kembali ke sarangnya. Ia
begitu kaget mendapati isterinya yang nampak kurus dan pucat.
“Hai isteriku sayang! Mengapa engkau begitu pucat dan kurus?” tanya sang
merpati jantan dengan lembut.
“Saya agak kurus dan pucat karena tidak pernah tidur, wahai suamiku
sayang,” jawab sang merpati betina dengan sedikit bergetar.
“Mengapa engkau terlihat begitu ketakutan isteriku,” sang merpati jantan
agak curiga.
Sang merpati betina semakin gemetaran, “wahai suamiku, siang malam selama
kepergianmu saya menjaga baik-baik makanan kita, tetapi entah mengapa
persediaan makanan kita semakin berkurang saja.”
Sang merpati jantan langsung menoleh ke sarang tempat persediaan makanan
mereka, “Ha? Tinggal setengahnya saja?”
“Saya juga heran persediaan makanan kita berkurang, padahal saya tidak pernah
memakannya walau sebijipun,” jawab sang burung betina semakin gemetaran.
Seketika sang merpati jantan berteriak, “Apa katamu? Persediaan makanan
kita berkurang tetapi engkau tidak pernah memakannya? Lalu siapa yang
memakannya?”
“Sungguh saya tidak pernah memakannya, saya juga tidak pernah melihat ada
burung lain yang datang memakannya,” jawab sang merpati betina semakin
ketakutan.
“Omong kosong! Tidak mungkin makanan kita berkurang kalau tidak ada yang
memakannya,” sang merpati jantan terbang ke ranting yang lebih tinggi dengan
emosi yang kian meninggi, “saya yakin ada merpati jantan lain yang datang
selama kepergianku, engkau pasti diam-diam menjalin cinta terlarang dengan
merpati jantan tersebut.”
Sang merpati betina langsung menangis mendengar tuduhan suaminya. “Demi
Allah pencipta alam raya ini, saya tidak pernah berkhianat sebagaimana yang
engkau tuduhkan wahai suamiku tercinta,” ujar sang merpati betina di sela-sela
tangisnya.
Melihat ada seekor merpati jantan lainnya yang melintas di atas pohon,
emosi dan cemburu merpati jantan kian terbakar, “Hei sang betina pelacur,
janganlah engkau sok suci, baru sekarang saya tahu bahwa engkau bukanlah isteri
yang baik, engkau hanya berpura-pura baik dan penurut agar saya semakin bekerja
keras sehingga engkau bisa makan sepuas-puasmu tanpa perlu berusaha, padahal
dibelakangku engkau diam-diam menyeleweng.”
Sang merpati betina hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Sang merpati
jantan merasa isterinya hanya berpura-pura dan bersandiwara. Ia pun semakin
marah. Ia terbang mendekati sang betina. Ia pun langsung mematuk kepala sang
merpati betina hingga berkali-kali. Karena kesehatannya memang menurun, sang
merpati betina pun terjatuh dari pohon dan mati seketika.
Setelah emosinya agak mereda, sang merpati jantan sedikit menyesali
sikapnya. Ia pun terbang ke tanah untuk mengambil jasad isterinya. Kemudian
jasad tersebut ia simpan di sarangnya.
“Engkau memang pantas mati karena engkau telah berbohong dan
mengkhianatiku,” batin sang merpati jantan.
Sehari setelah sang merpati jantan membunuh isterinya, hujan pun mulai
turun. Biji-bijian yang masih tersimpan di sarang merpati ikut kehujanan. Biji-bijian
itu kembali mekar sehingga sarang kembali penuh seperti semula.
“Astagfirullah!” teriak sang merpati jantan ketika melihat kejadian itu,
“ternyata isteriku tidak bersalah, biji-bijian itu sebelumnya hanya menyusut
karena mengering.”
Sang merpati jantan pun bergegas menuju sarangnya, ia menangis
sejadi-jadinya sambil memeluk jasad isterinya.
“Maafkan aku wahai isteriku tercinta! Sungguh aku sudah dzalim padamu,
aku sudah menuduhmu, memfitnahmu, bahkan membunuhmu. Sungguh aku menyesal, aku
tidak akan bisa menemukan lagi sosok pendamping sepertimu,” sang merpati jantan
terus terisak-isak memeluk jasad isterinya.
“Wahai isteriku tercinta, sungguh tak ada lagi maknanya seluruh kehidupan
apalagi biji-bijian tanpa engkau berada disisiku,” sang merpati jantan terus
meratap, “wahai isteriku tercinta, tanpamu entah apalagi yang indah di dunia
ini buatku.”
Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, sang merpati jantan itu terus
menangis dan meratapi kematian isterinya. Ia pun terus memeluk tubuh isterinya
yang tidak lagi bernyawa. Sang merpati jantan tak mau lagi makan dan minum. Ia
bahkan sudah membuang seluruh biji-bijian karena gara-gara biji-bijian
tersebutlah ia membunuh isterinya.
Akhirnya sang merpati jantan terbujur kaku dengan posisi kedua kaki dan
kedua sayapnya memeluk jasad isterinya.
Segerombolan semut rangrang yang mencium bau amis segera menuju sarang
sepasang burung merpati yang sudah mati tersebut. Tetapi rombongan semut
rangrang berhenti sejenak ketika melihat posisi kedua jasad burung merpati tersebut,
sang merpati jantan memeluk sang merpati betina. Semua semut rangrang iba
melihat sepasang jasad burung merpati tersebut.
“Sungguh mereka adalah sepasang burung yang saling mencintai dan
mengasihi, kita tidak boleh memakan jasad mereka,” ujar raja semut rangrang.
Semua semut rangrang mengiyakan sambil terisak-isak, sebelum mereka
meninggalkan sarang burung merpati, terlebih dahulu para semut rangrang
bergotong-royong mengambil dedaunan untuk menutupi kedua bangkai burung merpati
tersebut.
Dul Abdul Rahman. Sastrawan dan
peneliti. Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.
Tulisan-tulisannya
berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya pernah dimuat koran
lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Beberapa karya sastranya seperti:
- Lebaran Kali ini Hujan Turun (kumpulan cerpen, Nala Cipta Litera Makassar, 2006)
- Pohon-Pohon Rindu (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2009),
- Daun-Daun Rindu (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2010),
- Perempuan Poppo (novel, Penerbit OMBAK Yogyakarta, 2010)
- Sabda Laut (novel, Penerbit OMBAK Yogyakarta, 2010)
- Sarifah (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2011),
- La Galigo 1, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2012),
- La Galigo 2, Gemuruh Batin sang Penguasa Laut (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2012).
Lewat novelnya La
Galigo, ia pernah diundang dalam Borobudur Writers’ & Cultural
Festival 2012. Karya-karyanya banyak dijadikan sebagai bahan acuan dan
penelitian bagi para mahasiswa.
Alamat
elektronik: dulabdul@gmail.com Penulis
bisa juga ditemui di blog pribadinya www.darsastra.blogspot.com.
Facebook Page: dul abdul rahman (pengarang). Twitter: @dulabdulrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar