“Manusia mencela zaman
Padahal tak ada cela pada zaman selain pada diri kita
Kita kecam zaman padahal kecaman itu ada pada kita
Sekiranya zaman dapat berkata
Ia akan menggugat kita”
(Ali Ridha)
Saya
sengaja mengutip pendapat Ali Ridha, salah seorang cucu Ali bin Abi
Thalib, untuk memulai tulisan epilog ini. Itu karena, selepas membaca
semua tulisan dalam buku ini saya juga ikut-ikutan berteriak:
Dunia memang sudah retak,
Para penguasa galak-galak,
Mereka tak memakai otak,
Mereka begitu lihai melompat serupa katak,
Memangsa apa saja dengan congkak,
Sumpah dan janji hanya disimpan di ketiak,
Lalu mereka berteriak-teriak:
“Atas nama rakyat kami bertindak!”
Lalu rakyat pun ikut berteriak:
“Sekak!”
Kalaulah
saya berteriak demikian, itu berarti saya sudah “terprovokasi” oleh
tulisan-tulisan dalam buku ini. Kata “terprovokasi” bisa mencipta banyak
act word, seperti demonstrasi atau inspirasi. Tentu saja buat
saya sebagai penulis akan menjadi sebuah inspirasi. Contoh kecil adalah
puisi atau teriakan sederhana yang saya buat di atas. Dan itulah
kesuksesan awal dari kumpulan tulisan dalam buku ini: Memprovokasi.
Tetapi
tentu saja, tulisan yang baik bukan hanya sekedar menyemprotkan
kata-kata emosi serupa sang suami menyemprot nyamuk dengan baygon
di sebuah gang kumuh di pinggir kota metropolitan karena ingin nyaman
bercinta dengan istrinya yang masih meneteki seorang bayi. Seorang
penulis memang berhak menggunakan bahasa emotif. Bahasa yang bisa
membuat pembaca bersimpati, berantipati, ikut marah-marah, kecewa,
bahagia, dan lain-lain. Tetapi bukan berarti seorang penulis harus
‘emosi’ dalam menuliskan ide-idenya. Tujuan utama bahasa emotif yaitu
untuk menyentuh kesadaran pembaca, bukan sekedar membuat pembaca
marah-marah, resah, gelisah, gundah, dan gulana.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk memengaruhi pembaca atau pendengar, yaitu: ethos, logos, dan pathos. Dengan ethos,
seorang penulis atau pembicara bisa dipercaya, mengungkapkan fakta yang
sebenarnya, memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia bisa
memengaruhi pembaca atau pendengar. Dengan logos, seorang penulis
atau pembicara bisa meyakinkan orang lain akan kebenaran
argumentasinya. Mengajak pembaca berpikir, menggunakan akal sehat dan
berpikir kritis. Dengan pathos, penulis atau pembicara membujuk
para pembaca atau pendengar mengikuti pendapatnya. Ali Syariati
menyimpulkan teknik komunikasi ala Aristoteles dengan sebuah kalimat,
“Seorang penulis atau pembicara harus mengerti bahasa kaumnya.” Tetapi
Ali Syariati menambahkan, “Mengerti saja tidak cukup, tetapi harus
memberi solusi.”
Saya
yang mengagumi tokoh Ali Syariati seolah-olah merasakan bisikan dari
beliau, “Menulis tidak cukup dengan memprovikasi tetapi harus memberi
solusi.”
Kritikus Mensonge
Komunikasi
ala Aristoteles yang disederhanakan oleh Ali Syariati rupanya sudah
bisa dimengerti oleh keempat penulis dalam buku ini, walau mungkin masih
terbatas pada kata memprovokasi. Dan memang saya kira keempat penulis
dalam buku ini adalah “provokator” kampus. Tetapi mereka bukanlah
provokator kotor. Dengan membaca tulisan-tulisan mereka, saya bisa
merasakan bahwa kelima penulis muda ini jiwa-jiwa yang ingin mengikuti
jejak Al-Farabi yang ingin menghidupkan ajaran Aristoteles yang
rasional. Atau mereka ingin mengikuti jejak Syihabuddin Suhrawardi yang
ingin menghidupkan ajaran Plato yang ideal.
Dan
saya berharap kelima penulis dalam buku ini terus membuktikan “tuduhan”
saya dalam tulisan-tulisan mereka selanjutnya. Karena sungguh banyak
pengeritik yang akhirnya jadi itik, ikut arus dan membeo. Para
pengeritik akhirnya takluk oleh sebuah adagium: Primum vivere deinde philosopari, hiduplah dahulu baru berfilsafat.
Maka tak heran, zaman sekarang bermunculanlah kritikus-kritikus dan akademikus mensonge. Kata Mensonge
berasal dari bahasa Perancis yang berarti berbohong. Kebohongan memang
adalah sebuah alat yang lihai untuk mendapatkan sesuatu. Maka tak heran
di kalangan masyarakat Bugis, ada istilah belle-belle fatuo,
kebohongan untuk hidup. Maka ramai-ramailah orang berbohong untuk
memuluskan niatnya. Dan rasa-rasanya kalau para politikus yang berbohong
maka tidaklah terlalu menggelisahkan, karena mereka memang adalah
pinokio-pinokio yang mabuk kekuasaan. Hidung mereka serupa karet yang
bisa lentur sana sini mencium kue kekuasaan dan kekayaan.
Tetapi
bagaimana kalau kaum akademisi yang menjadi kritikus mensonge? Adakah
kaum akademisi yang ikut mensonge-mensongean? Entahlah! Tetapi rupanya
juga para akademisi sudah terbiasa main akal-akalan untuk mencari dana
penelitian, membikin-bikin proyek, bahkan dengan hidung yang semakin
memanjang serupa hidung pinokio, membuat argumentasi canggih agar apa
yang dikatakannya benar-benar ilmiah.
Seorang
akademisi sekaligus novelis Perancis, Malcolm Bradbury, mencoba
mengeritik para kaum pengeritik yang merasa sok hebat, sok suci, padahal
mereka mengeritik untuk mendapatkan sesuatu. Malcolm Bradbury menulis
novel berjudul Mensonge. Tokoh utama dalam novel tersebut bernama
Henri Mensonge alias Henri Sang Pembohong. Novel satire tersebut
menceritakan kehidupan Henri Mensonge yang seorang akademisi terkemuka.
Ketika berbicara, ia lebih banyak membelakangi publik daripada
berhadapan dengan publik. Ia pun sering mengutip teori-teori yang
menurut seleranya sendiri untuk mendukung pendapatnya. Bahkan dengan
semena-mena, ia memutarbalikkan fakta dan data untuk memuluskan niat dan
idenya.
Begitulah,
satire Malcolm Bradbury memang sudah menjalar dimana-mana. Dari kaum
akademisi hingga politisi. Kaum pengacara apalagi. Mereka terus
bernyanyi dengan irama koplo: Membela yang bayar.
Benarkah Dunia sudah Retak?
Konon
menurut Kitab Sastra La Galigo, dunia yang mula-mula tercipta adalah
Dunia Atas (Dunia Langit) dan Dunia Peretiwi (Dunia Bawah). Sedangkan
Dunia Tengah (Bumi) tercipta kemudian. Lalu penguasa Dunia Atas, Sang
Patotoqe bermaksud mengirimkan salah seorang putranya menjadi manusia di
Dunia Tengah. Setelah diadakan musyawarah dengan melibatkan para
penghuni Dunia Peretiwi, maka terpilihlah putra sulung Sang Patotoqe
bernama La Togeq Langiq untuk menghuni Bumi.
La
Togeq Langiq pun menjadi manusia pertama di Bumi lalu berganti nama
menjadi Batara Guru. Laiknya seorang manusia, Batara Guru pun berusaha
keras mengolah Bumi. Lalu Batara Guru pun beranak-pinak. Putra Batara
Guru bernama Batara Lattuq memiliki putra bernama Sawerigading.
Sawerigading pun memiliki putra pewaris tahta bernama I La Galigo.
I
La Galigo sebagai turunan keempat dari Batara Guru di Bumi mulai
melakukan tindakan sewenang-wenang. Ia dengan semena-mena mengubah
peraturan yang sudah dibuat oleh Batara Guru yang juga sudah disetujui
oleh Sang Patotoqe. Tersebutlah seorang perempuan We Tenriolleq yang
sudah menjadi bissu, perantara dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah. Seorang bissu
haram hukumnya menikah dengan manusia. Tetapi karena I La Galigo jatuh
cinta kepada kecantikan We Tenriolleq, maka I La Galigo sebagai penguasa
Bumi menentang peraturan langit tersebut. I La Galigo mengemukakan
banyak alasan untuk menikahi We Tenriolleq, salah satunya adalah ia
merasa keturunan Sang Patotoqe yang berarti dirinya adalah manusia
setengah dewa yang bisa menikah dengan siapa saja, termasuk dengan dewa
sekalipun.
I La Galigo yang maggali-gali,
banyak tingkah, membuat penghuni langit meminta kepada Sang Patotoqe
agar pintu Langit ditutup rapat sehingga para keturunan Sang Patotoqe di
Bumi tidak seenaknya meminta bantuan kepada Langit. Saat itu memang I
La Galigo dan Sawerigading begitu gampang meminta bantuan ke Langit
kalau menemui kesulitan di Bumi. Saudara kembar emas Sawerigading
bernama We Tenriabeng memang tinggal di Langit yang selalu membantu
manusia di Bumi.
Lalu
Sang Patotoqe pun meminta kepada kedua dewata penjaga palang pintu
Langit bernama I La Becociq dan I La Sualang agar menutup rapat pintu
Langit hingga kiamat. Maka saat itu antara Bumi dan Langit benar-benar
terpisah. Penghuni Bumi pun termasuk I La Galigo dan Sawerigading tidak
bisa lagi seenaknya meminta bantuan ke Langit.
Kini
I La Galigo sudah tiada tetapi jejak-jejak I La Galigo yang semena-mena
diwarisi oleh banyak penguasa di Bumi. Salah satu yang mewarisinya
adalah Henri Mensonge. Tetapi dizaman edan sekarang, tidaklah
sulit untuk menemukan sosok manusia I La Galigo. Wah! Susah rasanya saya
melanjutkan tulisan ini karena bisa saja saya ikut-ikutan jadi kritikus
mensonge-mensongean. Lebih baik saya menutup tulisan ini dengan
mengutip pesan Ali bin Abi Thalib.
Siapa yang merasa aman menghadapi zaman,
Zaman akan menipunya.
Siapa yang tinggi hati menghadapi zaman,
Zaman akan merendahkannya.
Siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman,
Zaman akan menyelamatkannya.
Wallaahu
a’lamu bi al-shawaab! Kurru Sumange! Dan selamat kepada kelima penulis
muda yang berusaha memaknai zaman lewat-lewat tulisan-tulisan mereka
yang: Provokatif.
Makassar, April 2012
[1] Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra: Lebaran Kali ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta, 2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo (Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta, 2011), La Galigo (Yogyakarta, 2012), dan Dewi Padi dan Kucing Kesayangannya (Yogyakarta, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar