Sabtu, 03 November 2012

Epilog Buku: Jejak Dunia Yang Retak

Dul Abdul Rahman[1]

“Manusia mencela zaman
Padahal tak ada cela pada zaman selain pada diri kita
Kita kecam zaman padahal kecaman itu ada pada kita
Sekiranya zaman dapat berkata
Ia akan menggugat kita”
(Ali Ridha)

            Saya sengaja mengutip pendapat Ali Ridha, salah seorang cucu Ali bin Abi Thalib, untuk memulai tulisan epilog ini. Itu karena, selepas membaca semua tulisan dalam buku ini saya juga ikut-ikutan berteriak:
Dunia memang sudah retak,
Para penguasa galak-galak,
Mereka tak memakai otak,
Mereka begitu lihai melompat serupa katak,
Memangsa apa saja dengan congkak,
Sumpah dan janji hanya disimpan di ketiak,
Lalu mereka berteriak-teriak:
“Atas nama rakyat kami bertindak!”
Lalu rakyat pun ikut berteriak:
“Sekak!”

Kalaulah saya berteriak demikian, itu berarti saya sudah “terprovokasi” oleh tulisan-tulisan dalam buku ini. Kata “terprovokasi” bisa mencipta banyak act word, seperti demonstrasi atau inspirasi. Tentu saja buat saya sebagai penulis akan menjadi sebuah inspirasi. Contoh kecil adalah puisi atau teriakan sederhana yang saya buat di atas. Dan itulah kesuksesan awal dari kumpulan tulisan dalam buku ini: Memprovokasi.
            Tetapi tentu saja, tulisan yang baik bukan hanya sekedar menyemprotkan kata-kata emosi serupa sang suami menyemprot nyamuk dengan baygon di sebuah gang kumuh di pinggir kota metropolitan karena ingin nyaman bercinta dengan istrinya yang masih meneteki seorang bayi. Seorang penulis memang berhak menggunakan bahasa emotif. Bahasa yang bisa membuat pembaca bersimpati, berantipati, ikut marah-marah, kecewa, bahagia, dan lain-lain. Tetapi bukan berarti seorang penulis harus ‘emosi’ dalam menuliskan ide-idenya. Tujuan utama bahasa emotif yaitu untuk menyentuh kesadaran pembaca, bukan sekedar membuat pembaca marah-marah, resah, gelisah, gundah, dan gulana.
            Aristoteles menyebut tiga cara untuk memengaruhi pembaca atau pendengar, yaitu: ethos, logos, dan pathos. Dengan ethos, seorang penulis atau pembicara bisa dipercaya, mengungkapkan fakta yang sebenarnya, memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia bisa memengaruhi pembaca atau pendengar. Dengan logos, seorang penulis atau pembicara bisa meyakinkan orang lain akan kebenaran argumentasinya. Mengajak pembaca berpikir, menggunakan akal sehat dan berpikir kritis. Dengan pathos, penulis atau pembicara membujuk para pembaca atau pendengar mengikuti pendapatnya. Ali Syariati menyimpulkan teknik komunikasi ala Aristoteles dengan sebuah kalimat, “Seorang penulis atau pembicara harus mengerti bahasa kaumnya.” Tetapi Ali Syariati menambahkan, “Mengerti saja tidak cukup, tetapi harus memberi solusi.”
            Saya yang mengagumi tokoh Ali Syariati seolah-olah merasakan bisikan dari beliau, “Menulis tidak cukup dengan memprovikasi tetapi harus memberi solusi.”
Kritikus Mensonge
            Komunikasi ala Aristoteles yang disederhanakan oleh Ali Syariati rupanya sudah bisa dimengerti oleh keempat penulis dalam buku ini, walau mungkin masih terbatas pada kata memprovokasi. Dan memang saya kira keempat penulis dalam buku ini adalah “provokator” kampus. Tetapi mereka bukanlah provokator kotor. Dengan membaca tulisan-tulisan mereka, saya bisa merasakan bahwa kelima penulis muda ini jiwa-jiwa yang ingin mengikuti jejak Al-Farabi yang ingin menghidupkan ajaran Aristoteles yang rasional. Atau mereka ingin mengikuti jejak Syihabuddin Suhrawardi yang ingin menghidupkan ajaran Plato yang ideal.
Dan saya berharap kelima penulis dalam buku ini terus membuktikan “tuduhan” saya dalam tulisan-tulisan mereka selanjutnya. Karena sungguh banyak pengeritik yang akhirnya jadi itik, ikut arus dan membeo. Para pengeritik akhirnya takluk oleh sebuah adagium: Primum vivere deinde philosopari, hiduplah dahulu baru berfilsafat.
            Maka tak heran, zaman sekarang bermunculanlah kritikus-kritikus dan akademikus mensonge. Kata Mensonge berasal dari bahasa Perancis yang berarti berbohong. Kebohongan memang adalah sebuah alat yang lihai untuk mendapatkan sesuatu. Maka tak heran di kalangan masyarakat Bugis, ada istilah belle-belle fatuo, kebohongan untuk hidup. Maka ramai-ramailah orang berbohong untuk memuluskan niatnya. Dan rasa-rasanya kalau para politikus yang berbohong maka tidaklah terlalu menggelisahkan, karena mereka memang adalah pinokio-pinokio yang mabuk kekuasaan. Hidung mereka serupa karet yang bisa lentur sana sini mencium kue kekuasaan dan kekayaan.
Tetapi bagaimana kalau kaum akademisi yang menjadi kritikus mensonge? Adakah kaum akademisi yang ikut mensonge-mensongean? Entahlah! Tetapi rupanya juga para akademisi sudah terbiasa main akal-akalan untuk mencari dana penelitian, membikin-bikin proyek, bahkan dengan hidung yang semakin memanjang serupa hidung pinokio, membuat argumentasi canggih agar apa yang dikatakannya benar-benar ilmiah.
Seorang akademisi sekaligus novelis Perancis, Malcolm Bradbury, mencoba mengeritik para kaum pengeritik yang merasa sok hebat, sok suci, padahal mereka mengeritik untuk mendapatkan sesuatu. Malcolm Bradbury menulis novel berjudul Mensonge. Tokoh utama dalam novel tersebut bernama Henri Mensonge alias Henri Sang Pembohong. Novel satire tersebut menceritakan kehidupan Henri Mensonge yang seorang akademisi terkemuka. Ketika berbicara, ia lebih banyak membelakangi publik daripada berhadapan dengan publik. Ia pun sering mengutip teori-teori yang menurut seleranya sendiri untuk mendukung pendapatnya. Bahkan dengan semena-mena, ia memutarbalikkan fakta dan data untuk memuluskan niat dan idenya.
Begitulah, satire Malcolm Bradbury memang sudah menjalar dimana-mana. Dari kaum akademisi hingga politisi. Kaum pengacara apalagi. Mereka terus bernyanyi dengan irama koplo: Membela yang bayar.

Benarkah Dunia sudah Retak?
            Konon menurut Kitab Sastra La Galigo, dunia yang mula-mula tercipta adalah Dunia Atas (Dunia Langit) dan Dunia Peretiwi (Dunia Bawah). Sedangkan Dunia Tengah (Bumi) tercipta kemudian. Lalu penguasa Dunia Atas, Sang Patotoqe bermaksud mengirimkan salah seorang putranya menjadi manusia di Dunia Tengah. Setelah diadakan musyawarah dengan melibatkan para penghuni Dunia Peretiwi, maka terpilihlah putra sulung Sang Patotoqe bernama La Togeq Langiq untuk menghuni Bumi.
            La Togeq Langiq pun menjadi manusia pertama di Bumi lalu berganti nama menjadi Batara Guru. Laiknya seorang manusia, Batara Guru pun berusaha keras mengolah Bumi. Lalu Batara Guru pun beranak-pinak. Putra Batara Guru bernama Batara Lattuq memiliki putra bernama Sawerigading. Sawerigading pun memiliki putra pewaris tahta bernama I La Galigo.
            I La Galigo sebagai turunan keempat dari Batara Guru di Bumi mulai melakukan tindakan sewenang-wenang. Ia dengan semena-mena mengubah peraturan yang sudah dibuat oleh Batara Guru yang juga sudah disetujui oleh Sang Patotoqe. Tersebutlah seorang perempuan We Tenriolleq yang sudah menjadi bissu, perantara dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah. Seorang bissu haram hukumnya menikah dengan manusia. Tetapi karena I La Galigo jatuh cinta kepada kecantikan We Tenriolleq, maka I La Galigo sebagai penguasa Bumi menentang peraturan langit tersebut. I La Galigo mengemukakan banyak alasan untuk menikahi We Tenriolleq, salah satunya adalah ia merasa keturunan Sang Patotoqe yang berarti dirinya adalah manusia setengah dewa yang bisa menikah dengan siapa saja, termasuk dengan dewa sekalipun.
            I La Galigo yang maggali-gali, banyak tingkah, membuat penghuni langit meminta kepada Sang Patotoqe agar pintu Langit ditutup rapat sehingga para keturunan Sang Patotoqe di Bumi tidak seenaknya meminta bantuan kepada Langit. Saat itu memang I La Galigo dan Sawerigading begitu gampang meminta bantuan ke Langit kalau menemui kesulitan di Bumi. Saudara kembar emas Sawerigading bernama We Tenriabeng memang tinggal di Langit yang selalu membantu manusia di Bumi.
            Lalu Sang Patotoqe pun meminta kepada kedua dewata penjaga palang pintu Langit bernama I La Becociq dan I La Sualang agar menutup rapat pintu Langit hingga kiamat. Maka saat itu antara Bumi dan Langit benar-benar terpisah. Penghuni Bumi pun termasuk I La Galigo dan Sawerigading tidak bisa lagi seenaknya meminta bantuan ke Langit.
            Kini I La Galigo sudah tiada tetapi jejak-jejak I La Galigo yang semena-mena diwarisi oleh banyak penguasa di Bumi. Salah satu yang mewarisinya adalah Henri Mensonge. Tetapi dizaman edan sekarang, tidaklah sulit untuk menemukan sosok manusia I La Galigo. Wah! Susah rasanya saya melanjutkan tulisan ini karena bisa saja saya ikut-ikutan jadi kritikus mensonge-mensongean. Lebih baik saya menutup tulisan ini dengan mengutip pesan Ali bin Abi Thalib.
            Siapa yang merasa aman menghadapi zaman,
            Zaman akan menipunya.
            Siapa yang tinggi hati menghadapi zaman,
            Zaman akan merendahkannya.
            Siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman,
            Zaman akan menyelamatkannya.
           
            Wallaahu a’lamu bi al-shawaab! Kurru Sumange! Dan selamat kepada kelima penulis muda yang berusaha memaknai zaman lewat-lewat tulisan-tulisan mereka yang: Provokatif.
                                                                                    Makassar, April 2012


[1]               Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra: Lebaran Kali ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta, 2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo (Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta, 2011), La Galigo (Yogyakarta, 2012), dan Dewi Padi dan Kucing Kesayangannya (Yogyakarta, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar