Blogwalking ke tempat sahabat, Ne, dapat kabar bahwa tanggal 17 Mei adalah Hari Buku Nasional. Maka, bertepatan juga dengan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, ingin kuceritakan sekilas buku yang baru saja kutamatkan berjudul La Galigo, 374 halaman, novel yang ditulis oleh Dul Abdul Rahman, penerbit Divapress, Januari 2012.
Kurasa epik La Galigo ini dapat membangkitkan percaya diri bangsa kita dengan prestasinya yang sudah mendunia. Sejatinya, La Galigo adalah kisah yang diceritakan secara lisan turun temurun di masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan sudah ada sejak abad 14, ketika masih jaman pra Islam. Barulah pada abad 19 atas permintaan B.F Matthes (1818-1908) La Galigo ditulis oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa, terdiri dari 300.000 baris, lebih panjang daripada epos Mahabharata (160.000-200.000 baris) sumber : Kata Pengantar La Galigo. Salinan ini terdiri dari 12 volume dan kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini berbentuk puisi dan ditulis dalam aksara dan bahasa Bugis kuno. UNESCO pada 2011 menganugerahkan La Galigo gelar sastra klasik warisan dunia, Memory of the World (MOW).
Meskipun La Galigo kurang bergema di negaranya sendiri, tetapi di dunia internasional memang sudah sangat dikenal. Banyak ilmuwan yang meriset naskah ini untuk tesisnya. Hikayat La Galigo semakin dikenal dunia internasional setelah dibuat pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson sutradara asal Amerika Serikat, pada 2004 (dari pemberitaan tentang teater inilah dulu pertama kali kudengar tentang La Galigo), tentu saja banyak dukungan seniman Indonesia, termasuk pemerannya yang berasal dari Bugis. Isi novel La Galigo bukanlah terjemahan dari manuskrip di Leiden itu, tetapi berdasarkan apa yang ditangkap oleh penulis dari dongeng turun temurun, tetapi nama tokoh masih mengikuti manuskrip kuno. Nama ini penting, karena di banyak tempat di Sulawesi atau di Malaysia tokoh di La Galigo ini punya nama berbeda.
Dikisahkan bumi (Sulawesi) saat itu masih tak berpenghuni. Hanya ada para dewa di Dunia Atas (Boting Langiq) dipimpin oleh Sang Patotoqe dan Dunia Bawah (Peretiwi). Untuk mengisi kekosongan di bumi diutuslah putra tertua sang Raja Dewa Dunia Atas, Batara Guru, seorang diri di bumi hingga dia bisa membuktikan diri sebagai manusia biasa. Setelah itu barulah diturunkan istana dari kahyangan beserta perlengkapannya termasuk para pengikut dan selir, menjadi kerajaan bernama Ale Luwuq. Kemudian dia menikah dengan sepupunya dari Dunia Bawah, bernama We Nyiliq Timoq. Mereka berputra mahkota Batara Lattuq yang kemudian menikah dengan sepupunya , We Datu Sengngeng dari kerajaan manurung Tompoq Tikkaq (kerajaan diturunkan dari langit).
Tokoh yang paling banyak dibicarakan dan diangkat ceritanya adalah putra Batara Lattuq, bernama Sawerigading. Ia jatuh cinta kepada saudara kembar yang telah dipisahkan dari bayi, seorang putri bernama We Tenriabeng. Karena patah hati, Sawerigading bersumpah meninggalkan negrinya dan tak akan kembali lagi, hanya keturunannya yang boleh kembali ke Ale Luwuq. Atas saran We Tenriabeng ia pergi mencari jodoh ke negeri Ale Cina.
Dalam perjalanan menembus lautan berbulan-bulan banyak dikisahkan keberaniannya menghadapi peperangan dengan rombongan kapal dari negeri lain, sampai akhirnya ia tiba di Ale Cina dan menikah dengan I We Cudaiq. Putra mereka bernama I La Galigo. Sampai di sini berakhirlah cerita novel ini. Sedangkan di versi aslinya cerita masih bersambung sampai dengan putra I La Galigo. Selain tentang mitos dewa-dewa dan seni budaya Bugis kuno, di cerita ini ada juga kisah yang mirip dengan kisah yang banyak dikenal di Jawa, yaitu tentang dewi padi, Dewi Sri. Di kisah ini sang dewi bernama Sangiang Serri, yaitu padi yang menjelma dari makam bayi putri Batara Guru.
Meskipun awalnya agak susah menghafal begitu banyak nama yang asing, tetapi sangat menyenangkan bisa tahu seni budaya kuno milik bangsa kita. Semoga semakin dikenal, semakin berkibar kisah I La Galigo di negara sendiri. Sumber: mondasiregar.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar