Kamis, 25 Mei 2017

Terbunuhnya Sang Nabi



Sudah dua musim, para petani kampung Sumpang Ale mengalami gagal panen. Setelah melewati dua musim yang gagal, dan kali itu memasuki musim ketiga, para petani kampung Sumpang Ale tetap menggarap sawah mereka sambil berharap agar musim kali itu tanaman padi tidak gagal panen lagi.
Musim pertama kegagalan panen padi diakibatkan oleh munculnya burung-burung pipit misterius di saat bulir-bulir padi mulai padat berisi. Meski para petani menjaga sawah mereka pada siang hari, tetapi tetap saja burung pipit misterius tersebut memakan bulir-bulir padi mereka. Lalu yang tersisa hanyalah bulir-bulir padi yang kosong berdiri menuding penguasa langit yang mengirimkan burung pipit misterius dan bengis.
Para petani kampung Sumpang Ale heran dan kelimpungan, karena burung pipit misterius tersebut muncul bersamaan dengan berhembusnya angin. Padahal saban pagi, siang, sore, dan malam, kampung Sumpang Ale selalu diterpa oleh anging mammiri yang berhembus dari arah gunung Lompobattang dan gunung Bawakaraeng. Para petani pun tidak bisa berbuat apa-apa karena burung pipit misterius memakan padi mereka secara diam-diam dan sesuka hati di saban waktu, secara tak menentu.
Pada musim kedua kegagalan panen diakibatkan oleh hama wereng. Saat itu burung pipit misterius menghilang, tetapi hama yang lain yaitu hama wereng datang lebih mengganas lagi. Hama tersebut juga muncul secara misterius bersamaan dengan turunnya hujan. Padahal kampung Sumpang Ale terletak di bagian timur gunung Lompobattang dan gunung Bawakaraeng. Daerah-daerah yang terletak dibagian timur kedua gunung kembar yang dikeramatkan tersebut lebih tinggi curah hujannya dibandingkan dengan daerah yang terletak di bagian barat. Para petani pun semakin kebingungan karena mereka tidak mampu lagi membeli pupuk untuk menyuburkan tanaman padi mereka. Pun, mereka tidak bisa membeli racun untuk membunuh hama wereng. Jangankan membeli pupuk dan racun untuk tanaman padi mereka, untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari saja mereka susah, karena mereka tidak punya uang akibat gagal panen musim sebelumnya secara beruntun.
            Di musim menanam padi kali itu, warga kampung Sumpang Ale berharap-harap cemas, semoga tidak muncul lagi segala jenis hama yang bisa menggagalkan panen mereka nantinya. Karena kalau terjadi gagal panen lagi maka warga semakin menderita. Berbagai macam cara sudah mereka lakukan. Yang penting buat mereka, cara tersebut tidak mengeluarkan uang. Maka, ketika ingin memulai menanam padi, para petani kampung Sumpang Ale beramai-ramai memanggil imam kampung bernama Puang Mattuang untuk melakukan ritual khusus agar segala hama menjauh.
            Dengan senang hati, Puang Mattuang pun melayani permintaan para petani. Puang Mattuang yang biasanya diberikan balas jasa berupa uang yang diselipkan pada sehelai daun waru selepas membaca doa, tetapi kali itu Puang Mattuang membuat transaksi dengan para petani.
“Bila padi kalian berhasil kelak maka padi kalian harus diselamati kembali agar sumange[1] padi terus ada. Dan acara selamatan nantinya cukuplah saya yang mengadakan ritual khusus, kalian cukuplah mengirim sekarung beras dan dua ekor ayam yang bersisik hitam dan berbulu putih.”
            Tentu saja para petani kampung Sumpang Ale senang dengan transaksi doa yang diberikan oleh Puang Mattuang. Sebab utang beras sekarung yang tidak ditentukan jenis karungnya serta dua ekor ayam, akan mereka bayarkan manakala padi mereka tidak gagal panen lagi. Stimulan doa yang diberikan oleh imam kampung Sumpang Ale tersebut benar-benar membuat para petani semakin bersemangat menggarap sawah mereka.
            Ketika ada warga bertanya penyebab kegagalan padi mereka, maka dengan sangat khusyu Puang Mattuang pun menjelaskan, “Kalian kan tahu bahwa gunung Lompobattang dan gunung Bawakaraeng dihuni oleh sepasang raksasa. Raksasa perempuan menghuni gunung Lompobattang, sedangkan raksasa laki-laki menghuni gunung Bawakaraeng. Pagi-pagi sekali kedua raksasa tersebut memeriksa kampung kita, bilamana mereka tidak menemukan seorang petani di sawah maka merekapun akan mengutuk sawah-sawah di kampung kita dengan mengambil sumange padi kita.”
Meski sebagian petani tidak begitu yakin dengan penjelasan Puang Mattuang yang memang seorang imam sekaligus dukun, tetapi semua petani berlomba-lomba menuju sawah mereka di saat matahari belum terbit. Penjelasan Puang Mattuang menjadi semangat baru buat para petani kampung Sumpang Ale yang sudah hampir putus asa.
            Ketika ayam jantan baru saja berkokok, kampung Sumpang Ale mulai menggeliat. Para petani sudah beramai-ramai menuju sawah mereka. Mereka mengolah sawah sambil berharap Raksasa Lompobattang dan Raksasa Bawakaraeng bersahabat dengan mereka. Tetapi setelah musim menanam padi selesai, para petani kembali harap-harap cemas, karena di kampung mereka muncul berita yang sangat menggemparkan. Seorang petani yang bisu dan tuli bernama Jamalang Kundung hidup kembali setelah empat malam menghuni kubur.



[1] Semangat, spirit, roh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar