Jumat, 29 Agustus 2014

KURSI DAN INDONESIA



Oleh :Arif Saifudin Yudistira

Santri Bilik Literasi Solo
 Peminat masalah sosial dan politik
  
Pemimpin mestinya tak banyak bicara, tapi banyak bekerja.

Para Calon Anggota Legislatif (Caleg) saat ini memang lagi ramai memperebutkan “kursi.” Mereka mulai menarik simpati, mulai dari spanduk di jalan raya, sampai iklan di televisi. Wajah mereka memang hadir sehari-hari, meski tanpa visi, mereka rajin menampakkan diri. Bagi mereka, kursi adalah yang utama, meski harus keluar berapapun biayanya. Kursi adalah tempat dan tujuan mereka, sebab rakyat hanya jembatan semata.

Berfoya-foya dan main perempuan menjadi berita memalukan, meski begitu, mereka tak merasa malu dan menyesal. Anggota dewan kita memang terhormat, tapi juga pengkhianat. Mereka sibuk dengan janji dan wajah manis mereka ketika kampanye, ketika mereka jadi, mereka lupa dan sibuk dengan belanja negara. Calon wakil rakyat kita memang cerdik, mereka pandai merayu dan mengundang simpatik. Mereka rajin blusukan, meski hanya saat menjelang coblosan.

Pejabat sekarang memang identik dengan merebut “kursi.” Kursi, dahulu dimaknai dengan singgasana dan kedudukan raja, serta tempat teragung. Kini. kursi di kantor DPR kita justru kursi kosong. Banyak para anggota dewan kita justru bolos dan tak hadir rapat. Mungkin benar kata Buya Syafii Maarif, kita telah kehilangan negarawan.

Pemilu sebentar lagi, mereka saling berebut “kursi,” sikut kanan-sikut kiri, asal dapat duduk di kursi. Dari yang halal sampai yang haram, dari tebar pesona sampai obral omongan. Tiap lima tahun sekali kita seperti disuguhi gambar dan iklan, tak ada visi atau pandangan bagaimana mengubah Indonesia ke depan. Partai politik seperti tak tahu malu, tak punya kader tangguh dan bermutu. Maka, kita tak perlu heran, bila mereka hanya mengandalkan popularitas dan selebritas.

DPR memang penuh dengan akronim dan plesetan miring, dari Dewan Pengkhianat Rakyat, sampai Dewan Pemeras Rakyat. Maklum, mereka tak kerja, mau gaji tinggi, mereka tak rajin rapat maunya bonus dan insentif tinggi. Bagaimana rakyat akan percaya kata-kata mereka, bila yang dahulu-dahulu sudah banyak kasus dan contohnya.

Mulai dari anggota dewan yang ribut dan ricuh di ruangannya, sampai anggota DPR yang terlihat Closed-Circuit television (CCTV) sedang nonton video porno ketika siding. Dari kasus korupsi sampai kasus impor sapi, dari kasus dan skandal perempuan  sampai kasus terlibat sogokan. Mereka seperti tak layak disebut sebagai yang terhormat, tapi lebih tepat disebut sebagai pengkhianat. Mereka bersumpah di depan Alquran, dan kitab suci, tapi perilaku mereka seperti melupakan janjinya sendiri.
Rasanya Caleg kita memang belum memahami makna pemimpin. Pemimpin mestinya tak banyak bicara, tapi banyak bekerja. Mereka tak harus banyak bersuara, tapi banyak merenung dan banyak mendengar.

Politikus dan pejabat negeri kita kini memang seperti sajak yang ditulis WS Rendra : Semua politisi mencintai rakyat/di hari libur mereka pergi ke Amerika dan mereka berkata/bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat/kadang-kadang mereka anti demonstrasi/kadang-kadang mereka menggerakkan demonstrasi/dan kalau ada demonstran mati yang ditembaki/mereka berkata : itulah pengorbanan/yang lumrah terjadi di setiap perjuangan/lalu ia mengirim karangan bunga/dan mengucapkan pernyataan duka cita/… politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi/ sedang massa tanpa daulat pribadi…(Politisi Itu adalah).

Sajak Rendra tadi seperti menjelaskan bagaimana politikus dan pejabat negeri ini, mereka sibuk untuk mengurusi kekuasaan dan mempertahankannya daripada menjalankan dan menunaikan amanahnya. Sebagaimana puisi Rendra yang lain ia mengatakan : Meskipun hidup berbangsa perlu politik/tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal/ di dalam daulat manusia.
Sepertinya para politikus, Caleg dan pejabat kita memang sudah menaruh politik tanpa hati nurani. Sehingga, mereka tak malu untuk korupsi dan menipu diri. Justru tersenyum dan tertawa seolah-olah mereka sedang bahagia. Hal ini membuat kita semakin risih dan tak percaya pada pemimpin kita sendiri. Hal ini yang menimbulkan kita semakin apatis dan pesimis melihat negeri ini ke depan.
Kita pernah punya tokoh dan negarawan seperti Habibie. Meski penuh kontroversi, ia bekerja tanpa peduli caci maki. Ia memanggul tugas negarawan di masa persimpangan dan peralihan rezim. Tidak dimungkiri, ia adalah tokoh yang membuka keran demokrasi, meski orang sering mencibir demokrasi sekarang terlanjur seperti politik dagang sapi, loe jual gue beli! Kita memang masih berharap di tengah pesimisme dan keputusasaan.

Sudah waktunya para politikus dan partai politik berbenah. Agar masyarakat dan rakyat makin percaya pada pemimpinnya sendiri bukan sebaliknya. Kita memang sudah seperti salah kaprah dalam memilih pemimpin kita. Salah sekali, bisa lima tahun kita menyesali dan meratapi. Kita tentu tak berharap demokrasi hanya menjadi ajang perebutan “kursi.” Kita juga tak ingin demokrasi justru berujung anarki dan chaos seperti di Mesir dan negara lain. Kita ingin Pemilu ke depan menghasilkan wakil-wakil yang kompeten dan memiliki kapabilitas memimpin negeri ini. Bukan pemimpin yang rajin belanja dan wisata ke luar negeri, atau yang rajin melakukan kunjungan dan studi banding ke negara lain yang cuma menghabiskan anggaran negara dan foya-foya.

Rasanya kita perlu membuka kembali sejarah kita di masa lalu. Pemimpin kita adalah pemimpin yang tak pernah berfikir tentang ego dan apa yang menjadi kepentingan mereka. Mereka mendharmabaktikan apa yang mereka miliki untuk bangsa dan negara. Soekarno, Mohammad Hatta, Syahrir, Suwardi Suryaningrat adalah figur pemimpin dan politikus kita yang tak memiliki jiwa haus kuasa dan jabatan. Mereka tak menginginkan duduk di “kursi” kekuasaan apalagi uang.

Ketika mereka diminta untuk memimpin, mereka cenderung berbuat dengan tanggungjawab. Inilah yang ditunjukkan oleh Syahrir, ketika rakyat meminta ia untuk berhenti, maka  Syahrir pun mundur dan menyerahkan kekuasaannya kepada penggantinya tanpa ikut campur dan ikhlas. Berbeda dengan presiden, maupun calon legislatif kita, mereka justru merancang dan menyusun rencana bagaimana cara mereka maju dan menang lagi untuk ke dua kalinya.

Apa yang dialami oleh negeri kita hari ini memang mirip dengan sajak yang ditulis sastrawan makasar Dul Abdul Rahman :  

dunia memang sudah retak/ para penguasa galak-galak/ mereka tak memakai otak/ mereka begitu lihai melompat seperti katak/ memangsa apa saja dengan  congkak/ sumpah dan janji hanya disimpan di ketiak/ lalu mereka berteriak-teriak/ “Atas nama rakyat kami bertindak!”/lalu rakyat pun ikut berteriak : “Sekak!”.

Kita memang perlu memberikan “sekak’’ kepada mereka, agar mereka insaf dan lekas sadar. Para Caleg dan wajah calon pemimpin kita memang sudah bermunculan. Tapi kita masih merenung dan bimbang. Siapa sebenarnya pemimpin kita lima tahun mendatang. Indonesia memang dibentuk dan ditentukan dari siapa yang duduk di “kursi”. Kursi dalam kosmologi politik di Indonesia memang rentan dan penuh goda. Ia bisa menjerat orang yang duduk di dalamnya atau sebaliknya menjunjung tinggi dan mengangkat martabat serta kehormatannya. Semua itu tergantung pada siapa yang duduk di “kursi’ kita di masa mendatang.

Sabtu 15-03-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar