Senin, 13 Januari 2014

W A S I A T (POPPO)


WASIAT (POPPO)
Cerpen: dul abdul rahman

“Po…pop…po….”

Bunyi itu seperti menyambut gerimis. Malam kamis. Di luar angin bertiup ganas, melebas segala pepohonan. Lalu. Ada bau amis.   

            Semua penduduk di desa itu mendadak ketakutan. Tak ada yang berani keluar rumah. Anak-anak muda yang biasanya ramai bercengkerama di gardu pos ronda, pun anak-anak belasan tahun yang gemar bermain henggo lari, semuanya tak kelihatan batang hidungnya. Malam mencekam. Amat kelam. Wajah-wajah penduduk digantungi cemas. Sambil berharap tak terjadi apa-apa pada anggota keluarganya ini malam.

            Dahulu, sebagaimana cerita para orang tua, bila ada kejadian seperti ini, maka akan ada penduduk desa yang berpulang ke rahmatullah esok pagi. Dan keyakinan seperti itu telah terselip rapi di benak penduduk setempat. Wajar memang. Karena kejadian serupa setahun silam pernah terjadi. Tempo itu, kepala desa meninggal secara mengenaskan, perutnya kosong melompong sehingga ia dikubur dengan perut bolong. Meski sebagian penduduk percaya bahwa kematian tragis dan aneh kepala desa akibat perbuatannya yang selalu menyelewengkan jatah beras raskin untuk rakyat miskin, tetapi tetap saja penduduk dicekam ketakutan.

            Peristiwa dua tahun silam pun tak bisa menghilang dari ingatan penduduk ketika seorang pegusaha yang berlagak penguasa yang sering dipanggil Haji Loppo tewas mengenaskan. Konon gara-gara ia amat terkejut mendengar bunyi “po…pop…po” sehingga ia tak bisa menguasai kemudi mobilnya lalu terperosok masuk jurang yang dalam. Anehnya, perutnya luka menganga dengan isi perut menghilang. Penduduk setempat percaya bahwa isi perut Haji Loppo dimakan Poppo. Ada sebagian kecil penduduk yakin kalau Haji Loppo dikutuk oleh Tuhan. Haji Loppo memang orang paling kaya di kampung itu. Ia bahkan beberapa kali ke Tanah Suci, tapi penduduk setempat mengenalnya sebagai tengkulak cengkeh dan kakao yang sangat pelit bin kikir.

            Masih menurut cerita para tetua. Konon, yang berbunyi po…pop…po itu adalah seseorang yang memiliki ilmu hitam, bila mewujud jadi poppo, wujudnya kadang tak bisa dilihat, hanya bunyinya yang kedengaran. Sebenarnya dua macam penganut ilmu hitam yang di takuti yaitu poppo dan parakang. Bedanya, poppo bisa terbang sedangkan parakang cuma di darat. Ilmu parakang tidak mutlak diwariskan, tetapi ilmu poppo diwariskan secara turun temurun, bahkan harus diturunkan pada anak. Konon, seorang poppo tidak bisa meninggal dunia jika tidak ada anggota keluarganya yang mengambil ilmunya sebagai mana’, ia hanya tersiksa dalam himpitan sakaratul maut dengan lidah menjulur-julur serta mata terbelalak.

            Sementara semua penduduk desa dikepung kecemasan dan ketakutan. Seorang penduduk yang bernama Labillang kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan ada harapan yang menggelayut dibenaknya. Sebagai seseorang yang berprofesi sebagai penggali kubur, ia memang selalu menggantung harapan di atas penderitaan orang lain. Prinsip penggali kubur, ada mayat ada uang, ada uang ada makanan.

            Malam itu sepertinya harapan besar buat Labillang. Karena di kampung itu seorang pengusaha kaya raya saudara almarhum Haji Loppo yang bernama Haji Lolo sakit keras. Bahkan penduduk setempat memprediksi umur Haji Lolo tak akan lama lagi. Yang was-was hanyalah keluarga calon almarhum,  mereka cemas kalau-kalau kematian Haji Lolo kelak mengikuti jejak Haji Loppo. Di rumah yang lain, Labillang kelihatan tidak begitu bersemangat. Tiba-tiba ia merasa ngeri. Makanannya berbau maut. Ia seperti diintip sakaratul maut. 

            Tujuh bulan yang lalu
            “Woh…oh…woh!” Perempuan tua itu mengerang kesakitan. Antara hidup dan mati. Lidahnya menjulur-julur. Pun matanya terbelalak.

            “Woh…oh! Billang!” Ia terus merintih sambil memanggil cucu tunggalnya.

            “Nek! Aku disini, aku tak pernah meninggalkan nenek.” 

            “Woh…oh…woh! Billang! Billang!” Sepertinya perempuan tua itu tidak mendengar suara cucunya.

            “Nek! Apa yang terjadi? Billang menggoyang-goyang tubuh neneknya.

            “Cucuku, Nenek tak akan lama lagi disini. Nenek sudah kangen sama kedua orang tuamu, dan kakakmu.”
            “Jangan pergi Nek!” Billang terus memeluk neneknya.

            “Nenek harus pergi. Sebelum nenek pergi, akan nenek ceritakan semua rahasia tentang keluargamu.”

            “Rahasia?“

            “Ya rahasia cucuku. Dulu orang tuamulah yang paling kaya di kampung ini. Ayahmu adalah seorang pedagang yang gigih dan ulet. Ibumu adalah anakku satu-satunya. Nenek tidak punya saudara. Sebagai anak tunggal, harta nenek adalah harta ibumu juga. Namun semuanya….” Suara perempuan tua itu tercegat. Airmata terus menghiasi wajahnya yang mengeriput. Sementara Labillang hanya terpekur di sudut.

“Lanjutkan ceritanya Nek!”  

“Baiklah cucuku. Karena kesuksesan kedua orang tuamu, banyak orang yang iri dan berusaha menjatuhkannya. Termasuk kepala desa yang telah meninggal setahun silam.”

“Kepala desa?” Labillang kian penasaran.

“Ya kepala desa itu. Sebenarnya ia adalah pamanmu sendiri. Saudara sepupu ayahmu. Namun ia benci pada ayahmu yang tidak mendukungnya sebagai kepala desa. Hanya ayahmulah satu-satunya di desa ini yang berani mengeritiknya.”

“Tapi kenapa ia bisa terpilih jadi kepala desa sampai beberapa periode Nek?”

“Tidak ada yang berani mencalonkan diri jadi kepala desa selama ia juga masih mencalonkan diri kecuali ayahmu. Dan….” Sekali lagi perempuan tua itu tercegat.  Ada duka yang menghiris wajahnya.

“Dan kenapa Nek” Labillang kian menyelidik.

“Semoga kau bisa menerima kenyataan ini cucuku, kedua orang tuamu serta kakakmu dibunuh secara kejam oleh orang suruhan kepala desa yang bersekutu dengan Haji Loppo dan Haji Lolo.”

“Tapi kenapa aku bisa selamat Nek?”

            “Tempo itu, kau masih bayi belum mengerti apa-apa, mungkin mereka tidak sampai hati membunuhmu.”

            “Bajingan!”Labillang mengutuk.

            “Sabarlah cucuku! Tak ada gunanya mendendam. Nenek telah mendendam kepada mereka yang telah mendzalimi orang tuamu tapi apa yang nenek dapatkan? Tidak ada. Hanya menumpuk dosa. Ingat cucuku! Hanya menumpuk dosa dan penyesalan.”

            “Maksud nenek?”

            “Dengarkanlah cucuku. Masih banyak yang perlu nenek ceritakan sebelum nenek mengharap keharibaanNya.”

            “Lanjutkan Nek”

            “Karena kekejaman kepala desa dan orang-orang suruhannya, nenek sangat mendendam. Tapi tak mungkin nenek bisa membalas dendam secara langsung, nenek tak punya kekuatan. Akhirnya nenek pergi berguru dan mewarisi ilmu poppo dari seorang tetua di kampung sebelah. Dan begitulah, kepala desa dan Haji Loppo telah jadi korban ilmu itu.” Perempuan tua itu berhenti sejenak.

            “Jadi…jadi.” Labillang tergeragap.

            “Maaf cucuku, nenek mengerti maksudmu. Kau tak sudi mewarisi ilmu hitam nenek. Tapi nenek terpaksa mewariskan kepadamu, karena ilmu ini tak bisa hilang dan tidak mungkin diwariskan pada orang lain sebelum diwariskan pada turunan sendiri. Dan ketika kau sudah mewarisi ilmu ini jangan lagi diwariskan pada keturunanmu kelak, pun orang lain. Nenek yakin kau bisa melepaskan diri dari ilmu sesat ini suatu saat dengan memperdalam ilmu agama, pergilah belajar pada kiyai dan ustadz.”

            “Woh…oh…woh!” Tiba-tiba perempuan tua itu merintih kesakitan. Lidahnya menjulur-julur. Mata terbelalak galak.

            Khkhkh! Perempuan tua itu telah menutup mata untuk selama-lamanya. Tapi mendadak keanehan menjelma pada Labillang. Lidah Labillang menjulur-julur, matanya memerah galak terbelalak. Lalu. Pop…po…poppo.
            Malam kamis itu masih terus mencekam. Penduduk desa masih ketakutan. Di sebuah rumah mewah, menghadap ke utara di sebelah timur rumah Labillang, ramai orang berkumpul. Mereka adalah sanak keluarga yang menunggui Haji Lolo. Haji Lolo memang lagi sakit keras. 

            Sementara itu. Di rumahnya, Labillang terus komat-kamit. Ia meracau. Matanya terbelalak, pun lidah menjulur-julur. Seperti ia menahan geram yang maha dahsyat. “Bangsat kau Haji Lolo, terimalah pembalasanku.”

            Hening sejenak. Lalu. Ia kembali komat-kamit. Bukan meracau. Karena lafadz yang ia ucapkan adalah ayat-ayat suci Al-Quran. Lalu. Seperti ada dua makhluk asing yang berperang kejam dalam tubuhnya. 

            “Tidak! Tidak! Aku tak boleh mendendam.”

            “Aku harus membunuhnya.”

            “Tidaaak! Aku harus ingat pesan nenek.”

            “Nyawa harus dibalas dengan nyawa.”

            “Tidaaaak.”

            Kh…kh…khkh. Tubuh Labillang terhempas melawan kekuatan dahsyat dalam tubuhnya. Sesosok bayangan hitam keluar dari mulutnya disertai bunyi po…pop…po. Lalu menghilang bersama malam. Labillang terus melantunkan ayat-ayat suci.

            Keesokan harinya. Labillang terlihat asyik menggali kuburan bersama rekan-rekannya. Haji Lolo memang telah meninggal dunia. Keluarganya sangat bersyukur karena mayat Haji Lolo tidak mengalami keanehan seperti yang mereka prediksi sebelumnya. 

            Sambil menggali kuburan, mata Labillang berkaca-kaca. Ia teringat akan pesan neneknya. Ia bertekad menjaga pesan neneknya itu sebagai wasiat. Tak boleh ada dendam. Labillang berharap wasiat neneknya menjadi lampu penerang baginya menjalani hari-hari mendatang. Langit kian cerah. Secerah hati Labillang.

Sinjai-Makassar, 2008

Catatan
mana’(Bugis)= warisan

Cerpen ini pernah dimuat KORAN SINDO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar