Rabu, 16 Oktober 2013

Teropong Karaeng Pattingalloang: "Matturatema ri Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar."


Teropong Karaeng Pattingalloang: “Matturatema ri Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar”

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-15, I Mannuntungi Daeng Mattola atau lebih dikenal dengan Sultan Malikussaid. Saat itu, pelabuhan Makassar merupakan salah satu kota termasyhur di dunia. Di depan istana Somba Opu, ibukota kerajaan Gowa yang berada di pesisir sungai Jeneberang, juga tak kalah ramainya. Dermaga internasional Makassar banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, atau Belanda. Tak ketinggalan kapal-kapal dagang dari negara-negara Arab, Afrika, atau juga Asia khususnya kapal-kapal dagang dari negeri Tiongkok dan Campa.

Orang yang paling berjasa dalam menggapai kejayaan kerajaan Gowa, selain raja Gowa sendiri, adalah seorang Mangkubumi kerajaan Gowa bernama Karaeng Pattingalloang alias I Mangadacinna Daeng Sitaba. Ia menjabat sebagai mangkubumi (perdana menteri, juru bicara, sekaligus panglima perang). Ia pun menjabat mangkubumi sejak era pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin.

Karaeng Pattingalloang adalah seorang intelektual sejati. Ia menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggeris, Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis, Cina, dan tentu saja bahasa Arab. Dengan penguasaan beberapa bahasa itulah, Karaeng Pattingalloang begitu gampang bekerjasama dan berdiplomasi dengan dunia internasional.

Karaeng Pattingalloang juga adalah seseorang yang sangat haus dengan ilmu pengetahuan. Menurut catatan pastor Alexander de Rhodes yang sering berkunjung ke ruang kerjanya, ruang kerja Karaeng Pattingalloang lebih menyerupai sebuah perpustakaan daripada sebuah ruang kerja seorang perdana menteri, apalagi seorang panglima perang. “Masakan seorang panglima perang tidak mempunyai alat perang atau minimal replika alat perang dalam ruang kerjanya,” begitulah batin de Rhodes.

Buku-buku dari beragam bahasa terpampang di ruang perpustakaan (ruang kerja) Karaeng Pattingalloang. Dari buku-buku Al-Ghazali yang berbahasa Arab hingga buku-buku Louis de Granada yang berbahasa Spanyol. Dari buku-buku agama, sastra dan filsafat hingga buku-buku sains.

Bahkan Karaeng Pattingalloang sangat tergila-gila dengan ilmu sains khususnya matematika dan fisika. Demi menunjang minatnya yang kuat terhadap ilmu sains, ia pun memesan langsung atlas bumi dan teropong bintang dari negeri Belanda. Saat itu, kedua barang tersebut sangat langka dan mahal, bahkan tergolong barang rahasia negara. Andaikan bukan karena Karaeng Pattingalloang, maka tidak mungkin kedua barang langka tersebut dikirim ke Somba Opu. Saingan Belanda kala itu.

Saban malam, bila berada di benteng Somba Opu, Karaeng Pattingalloang pun selalu menggunakan teropong. Ia membayangkan suatu saat ada ilmuwan Tana Mangkasara yang bisa mencapai bulan. Mungkin saja, sambil meneropong bulan dan bintang-bintang, Karaeng Pattingalloang memekik, “Matturatema ri bulang.” (Saya sudah sampai di bulan)
Siang yang sangat terik. Macet di jalan Sultan Alauddin sungguh mencekik. Mahasiswa yang berkampus di jalan poros Gowa-Makassar menutup jalan dengan kasar. Saya, yang kebetulan melewati jalan itu selepas memberikan materi penulisan di kampus Universitas (sultan) Hasanuddin, terperangkap dalam kemacetan panjang. Saya memekik kepanasan, roda dua yang saya kendarai tak ber-AC. Saya yang memang kurang sehat kala itu tak bisa bertahan, saya hampir pingsan. Saya pun menepikan kendaraan dan mampir di sebuah masjid.

Saya tertidur sejenak di dalam masjid. Dalam tidur saya bermimpi melihat Karaeng Pattingalloang sedang asyik membaca buku di perpustakaan pribadinya, sesekali ia memperhatikan atlas bumi yang berada di depannya. Keningnya mengerut, mungkin ia berpikir mengapa yang tercatat dalam sejarah penemu Amerika adalah Christopher Columbus, mengapa bukan orang-orang Celebes. Bukankah perahu-perahu Pinisi dari Celebes sudah bisa mencapai Madagaskar atau Venecia, bahkan terdampar di Pulau Acapulco jauh sebelum Columbus juga terdampar di pantai itu lalu mengklaim diri sebagai penemu?

Karaeng Pattingalloang berdiri sejenak. Ia memandangi buku-buku di perpustakaannya.. Sambil tersenyum, Karaeng Pattingalloang berharap dalam hati, “Kelak anak-cucuku harus banyak membaca dan meneliti, tana Mangkasara harus menjadi lokomotif ilmu pengetahuan.”

Terlihat Karaeng Pattingalloang memasang telinganya. Ia menuju jendela perpustakaannya. Lalu ia mengambil teropongnya. Nampak nyata tana Mangkasara di pelupuk matanya. Buku-buku di perpustakaan kampus tetap baru tapi berdebu karena jarang tersentuh. “Dimana mahasiswa?” Batinnya sambil mengarahkan dan menge-zoom teropongnya ke arah jalan Sultan Alauddin. Mahasiswa membakar dan berteriak-teriak histeris sambil menutup jalan. Karaeng Pattingalloang pun memekik, “Quo Vadis mahasiswa Makassar?”

1 komentar: