Kamis, 05 September 2013

LELAKI BUGIS, TARO ADA TARO GAU


Lelaki Bugis, Taro Ada Taro Gau

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVI, persekutuan Kerajaan Tellulimpoe (Lamatti, Bulo-Bulo, dan Tondong) melakukan perjanjian dengan Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga  alias I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Ketiga kerajaan yang menjadi cikal-bakal Kabupaten Sinjai itu bersama persekutuan Pitulimpoe, diwakili oleh Arung Lamatti bernama Arung Pali’e. Perjanjian tersebut berlangsung di Aruhu di bawah pohon beringin. Perjanjian itu berisi kesepakatan antara Kerajaan Gowa dan persekutuan Kerajaan Tellulimpoe untuk saling membantu dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Barang siapa yang mengingkari isi perjanjian tersebut, maka ia akan ditimpa oleh pohon beringin yang sudah ditanam bersama di Aruhu. Isi perjanjian lainnya, Gowa dan Tellulimpoe adalah bersaudara. Gowa dan Tellulimpoe harus bersatu padu, bila Gowa meninggal di pagi hari, maka Tellulimpoe menyusul di sore hari. Gowa dan Tellulimpoe akan Mate Siwalung (mati bersama).

            Belum cukup setahun peristiwa perjanjian Aruhu tersebut, datanglah utusan Raja Gowa ke Tellulimpoe. Raja Gowa Karaeng Tunipallangga meminta bantuan dari persekutuan Tellulimpoe untung menyerang Kerajaan Bone. Tentu saja para arung di Tellulimpoe sangat terkejut dengan permintaan Raja Gowa, sebab bagi Tellulimpoe, menyerang Bone sama dengan menyerang dan mengkhianati saudara sendiri.

            Maka berkumpullah para arung dan bangsawan ketiga kerajaan persekutuan Tellulimpoe. Pertemuan berlangsung hening, para bangsawan hanya terdiam, umumnya mereka menyesalkan Raja Gowa yang ingin menyerang Bone, tetapi ada juga yang bisa memahami langkah Raja Gowa, sebab Bone merupakan pesaing utama Gowa, apalagi saat itu Bone sudah menjalin kerjasama erat dengan Soppeng dan Wajo atas prakarsa utama penasehat Kerajaan Bone, La Mellong Kajao Laliddong.

            Di tengah keheningan tersebut, Arung Pali’e yang menjadi wakil persekutuan Tellulimpoe ketika mengadakan perjanjian dengan Karaeng Tunipallangga, berdiri sambil memandang semua yang hadir.

            “Kita tidak mungkin ikut menyerang Bone yang merupakan saudara kita sendiri,” Arung Pali’e menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melanjutkan kalimatnya, “tetapi kita tidak bisa juga menolak permintaan Raja Gowa karena kita sudah mengikat perjanjian dengan mereka.”

            “Lalu apa yang harus kita lakukan, Puang?” Tanya La Patolai yang kelak akan menggantikan Arung Pali’e bertahta di Lamatti.

            “Saya tidak rela pasukan Tellulimpoe ikut menyerang Bone, tetapi karena Tellulimpoe terlanjur sudah mengikat perjanjian dengan Gowa maka saya tetap akan mengutus seorang panglima Tellulimpoe untuk bergabung dengan pasukan Gowa. Karena sayalah yang bertanggung jawab langsung atas segala perjanjian dengan Gowa di Aruhu, maka saya sendirilah satu-satunya utusan Tellulimpoe. Dan, kelak bila saya gugur dalam perang, maka janganlah kalian menganggap saya gugur karena berperang melawan saudara sendiri, tetapi anggaplah saya gugur dalam menegakkan harga diri orang Tellulimpoe, harga diri kita adalah taro ada taro gau (satunya kata dengan perbuatan).

            Maka bergabunglah Arung Pali’e seorang diri dari Tellulimpoe dengan pasukan Gowa untuk menyerang Bone. Dalam peperangan antara Gowa dan Bone yang terkenal dengan nama perang Tobala tersebut, Arung Pali’e pun tewas terbunuh. Orang Tellulimpoe pun menggelari Arung Pali’e sebagai arung tolempu na magetteng (orang jujur dan teguh pendirian)

            Arung Pali’e adalah sosok lelaki Bugis yang memegang prinsip taro ada taro gau. Ia adalah sosok pemimpin yang malempu (jujur) dan magetteng (teguh pendirian). Ia adalah perwujudan nilai-nilai keteladanan orang Bugis-Makassar “Eppa’i gau’na gettennge: tesalaie janci, tessoroe ulu ada, telluka anu pua teppinra assituruseng, mabbicarai naparapi mabbinru’i tepupi napaja.” (Ada empat perbuatan nilai keteguhan: tidak mengingkari janji, tidak menghianati kesepakatan, tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah kesepakatan). 

Adakah lelaki Bugis sekarang seperti Arung Pali’e? Lelaki Bugis yang rela menyerang saudaranya sendiri, menyerang dirinya sendiri, mengorbankan dirinya sendiri, demi menegakkan harga dirinya: taro ada taro gau.

Ah! Jangan-jangan sekarang, lelaki Bugis berubah menjadi lelaki bengis. Lelaki yang begitu gampang membuat janji lalu dengan sangat gampang pula menghianati janji dan kesepakatan, karena ia adalah lelaki pengemis, pengemis harta dan jabatan. Ataukah lelaki Bugis menjadi lelaki gamis, lelaki yang sering puasa senin-kamis, tapi korupsinya juga berjalan lancar seperti air yang tak bertapis. Maka, wahai lelaki Bugis! Jangan pernah memahat janji lalu sibuk mencari alibi untuk tidak menepati janji. Ya, termasuk janji-janji politik. Assekki Ada Jancie (Berpegang teguhlah pada janji).

2 komentar:

  1. Tulisan ini dimuat halaman LITERASI KORAN TEMPO MAKASSAR Kamis 19 September 2013

    salam,
    dar sastra

    BalasHapus
  2. Luar biasa. Inspiratif. Terima kasih.

    BalasHapus