Kamis, 22 Agustus 2013

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas
Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Setelah berhitung segala ongkos kepulangannya, pun plus-minusnya, akhirnya Sangkala memutuskan untuk mudik. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk tidak mudik. Tidak seperti lima tahun sebelumnya, setiap lebaran tiba, Sangkala selalu terburu-buru memburu mudik. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa. Saat itu pula ia benar-benar menikmati mudik. Mudik baginya seperti sebuah terapi untuk melupakan segala rutinitasnya di kampus. Ia bisa bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya, pun teman masa kecilnya di kampungnya dulu. Ia bisa menikmati wajah-wajah kampung ramah dan bersahabat. Pun ia bisa menjadi sosok idola bagi para bunga-bunga desa di kampungnya. Predikat mahasiswa yang ia sandang kala itu seperti sebuah azimat yang dapat meluluhkan hati setiap bunga desa yang ayu dan kemayu.
            Tapi kini, setiap lebaran tiba, Sangkala benar-benar berhitung masak-masak. Jarak antara Makassar dengan kampung halamannya tidaklah terlalu jauh di pelosok desa di kabupaten Sinjai. Uang transport pulang pergi cukuplah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Tapi bukan itu yang membuat Sangkala berpikir keras. Tapi oleh-oleh buat para kerabat dekatnya, ponakan-ponakannya, bahkan para tetangganya adalah sesuatu yang ia harus persiapkan. Ia malu bila ia tiba di rumah orang tuanya di kampung, lalu banyak kerabat yang mengunjunginya tapi tidak diberikan apa-apa. Apalagi Sangkala telah dicap di kampungnya sebagai orang sukses. Padahal sesungguhnya pendapatan Sangkala hanyalah cukup untuk biaya hidup saja. Ia belum mapan, apalagi mau disebut orang kaya. Tapi Sangkala harus mudik. Lalu. Mau tak mau ia harus mengeringkan rekeningnya di bank.
            Orang-orang seperti Sangkala sangat mudah kita lihat dimana-mana. Di pelabuhan-pelabuhan, di terminal-terminal, tapi jangan lihat di bandara-bandara. Kita bisa melihat wajah para pemudik yang kuyu tetapi tetap terpancar kebahagiaan karena akan bertemu dengan para kerabat dan handai tolan, meski kebanyakan dari mereka tetap membawa sebungkus kegelisahan karena biaya mudik. Tapi hakekatnya mereka tetap bahagia.
Kata mudik tidak persis sama dengan pulang, tapi jelasnya bila kita mendengar idiom mudik maka yang terbayang dalam ingatan kita adalah pulang atau pulang kampung. Berbeda dengan kata pulang, mudik mengandung arti tersendiri. Istilah mudik baru dibicarakan pada saat-saat tertentu yang dianggap sakral seperti saat lebaran, pun natalan.
            Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk pikuk dan kepalsuan kota, ingin menemukan dirinya kembali dengan mengenang masa-masa lalunya di kampung halaman yang penuh dengan kenangan indah. Mereka yang di kota hanya dihitung sebagai angka-angka pecahan, pun sebagai mor kecil yang berkarat dalam mesin raksasa kota yang rakus ingin menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mereka juga ingin melupakan wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati keramahan wajah-wajah kampung dengan girang. Para pembantu rumah tangga ingin bebas sementara dari majikan-majikan perempuan yang galak, atau mata majikan laki-laki yang jalang. Para buruh-buruh pabrik ingin bebas dari raungan mesin-mesin yang pongah dengan menikmati desahan sungai-sungai yang renyah. Dengan mudik, mereka dapat merenungkan apa yang telah dikerjakannya dan merenungkan eksistensi dirinya sebagai manusia. Itulah makna mudik.
            “Mudik adalah salah satu terapi untuk manusia modern,” kata Jalaluddin Rakhmat. “Manusia modern melahirkan manusia robot,” kata Lewis Yablonsky. Manusia robot telah kehilangan kreativitas, mereka menjadi mesin yang terikat pada rutinitas yang monoton, mereka digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan, baik penguasa maupun pengusaha yang terkadang susah dibedakan. Pagi hari bangun, mandi, sarapan lalu ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sehingga kota-kota besar telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar yang dihuni oleh para manusia robot sehingga penyembuhannya memerlukan suatu terapi yang memanusiakan manusia. Ya, itulah makna mudik.
            Sayang! Kebanyakan yang berburu dan terburu-buru untuk mudik hanyalah orang-orang kecil saja. Alangkah indahnya bila mudik sebagai terapi manusia modern dilakukan pula oleh para penguasa pun pengusaha. Dan mudik jangan hanya pada waktu lebaran saja, sehingga mereka itu para penguasa dan pengusaha bukan lagi manusia robot yang melibas manusia dengan tangan kekuasaannya, tetapi mereka memperlakukan manusia secara manusiawi sebab dengan mudik mereka akan menemukan kemanusiaan dirinya sebagai manusia. 

sumber: LITERASI KORAN TEMPO MAKASSAR
Sabtu 3 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar