Lelaki Tomanurung dan Seorang Perempuan Setia
Cerpen: dul abdul rahman
Seolah
bersekutu dengan matahari pagi, seorang lelaki berada di pematang memandangi
bulir-bulir padi. Matanya menyapu hamparan persawahan yang membentang luas
diantara lereng pegunungan. Tanah yang landai membuat pemandangan sawah seperti
anak tangga yang menjulur ke bawah. Lelaki itu berdiri tepat di pematang paling
atas. Matanya tak pernah berkedik. Sepertinya ia takut kehilangan panorama
hamparan sawah yang indah walau sedetikpun.
Ia
berdiri tegak. Seperti memberi hormat kepada sang dewi padi, Dewi Sri, agar
bulir-bulir padi padat berisi. Ia mematung. Mutung. Angin pagi yang hanya
sepoi-sepoi mengibarkan helai rambutnya yang mungkin tak pernah tersentuh
sisir. Wajahnya tirus. Mungkin tak terurus. Kelihatan pakaiannya agak basah.
Embun pagi telah memandikannya.
Aku
mengawasinya dari jauh. Aku teramat ingin tahu tentang lelaki itu. Tapi aku tak berani mendekatinya seorang
diri. Aku hanya berpindah dari pematang ke pematang.
“Apakah
orang itu waras?” Tanyaku pada seorang petani yang baru saja tiba di lokasi
persawahan.
“Yang
mana?”
“Lelaki
yang di ujung sana.”
“Lelaki
yang menghadap ke timur itu?”
“Benar.”
“Oo…ma…masyarakat
disini mengenalnya sebagai lelaki tomanurung,” petani itu menjawab
geragapan. Kerongkongannya seperti dicegat sebaris rahasia.
“Lelaki
tomanurung?”
“Lelaki
penentu baik-buruknya hasil panen padi petani.”
“Hah!
Berarti lelaki itu jelmaan dewa, atau jelmaan Tuhan?”
“Sa…saya
tidak tahu,” petani itu nampak pucat dan ketakutan. Aku bisa memahaminya,
membicarakan lelaki sang penentu nasib bisa-bisa merugikan nasib sendiri.
“Coba tanya kepada orang itu,” petani itu
menjauh sambil menunjuk seseorang tetua yang datang ke pematang tempat aku
berdiri.
Rupanya
yang datang adalah seorang lelaki tua yang cukup disegani di kampung itu. Aku
mengenalnya sewaktu ia dan kepala desa datang menjemputku di kantor kecamatan saat
acara penjemputan penyuluh pertanian. Dari raut wajahnya, jenggot yang sudah
memutih dan memanjang, aku bisa meraba-raba seperti apa orang tua itu. Seorang
ponakan kepala desa pernah bercerita kepadaku, lelaki tua itu menguasai ilmu
gaib.
Lelaki tua itu
semakin mendekat. Syukurlah. Ada tempatku bertanya mengenai lelaki tomanurung penentu
nasib petani tersebut.
“Sudah
tujuh hari aku melihatnya mematung di situ, Pak.”
“Memang
baru seminggu kamu berada di desa ini, Nak.”
“Maksud
Bapak?”
“Lelaki
itu sudah bertahun-tahun disitu.”
“Bertahun-tahun?”
“Sudah
tujuh tahun.”
“Setiap
hari?”
“Yah,
setiap hari disaat padi berbuah,” orang tua berjenggot itu mendesah, “Tetapi lelaki
itu hanya datang bersamaan munculnya bulir-bulir padi. Ia datang menjelang
matahari terbit. Lalu menghilang ketika matahari naik sepenggalah. Esoknya
datang lagi lalu menghilang. Terus menerus. Hingga menjelang panen, ia
benar-benar menghilang. Tapi musim berikutnya, ia akan muncul bersamaan
munculnya bulir-bulir padi.”
“Apakah
orang-orang disini tidak takut, Pak?”
“Ada
yang takut, ada juga tidak.”
“Jadi?”
“Jadi
begitulah. Biasanya petani yang takut akan turun melihat sawahnya selesai
sholat dhuha disaat lelaki itu sudah menghilang. Bagi yang tidak takut tetap
seperti biasa. Mereka menganggap biasa lelaki itu.”
“Tapi
mengapa orang disini tidak berusaha mengusir lelaki itu, Pak?”
Diam.
Orang tua itu hanya mengangkat jari telunjuk ke mulutnya. Aku tahu maksudnya.
Orang tuaku berlaku serupa bila aku menanyakan hal-hal yang berbau pamali. Aku
juga diam. Beberapa jenak kemudian, orang tua itu melanjutkan ceritanya dengan
suara yang melemah.
“Nak!
Kami sudah menganggap lelaki itu sebagai lelaki tomanurung, ia adalah utusan
Dewi Sri, ia penentu hasil panen kami.”
“Dewi
Sri?”
“Ya,
bahkan seandainya ia seorang perempuan, kami pasti sudah menganggapnya jelmaan
Dwi Sri.”
“Mungkin
Dewa Sri, Pak.”
Aku
tak bisa menahan keceplas-ceplosanku. Tapi kulihat orang tua itu tak
terpengaruh dengan omonganku. Ia melanjutkan ceritanya. Aku semakin tertarik
mendengarnya. Amat tertarik. Gaya bertutur orang tua itu mengingatkan aku pada
almarhum kakekku yang bijaksana. Tidak seperti sosok almarhum ayahku, yang
setiap ucapannya bagaikan titah dan sabda bercampur pamali.
“Kami
benar-benar menganggapnya tomanurung utusan Dewi Sri, Nak.”
“Pernah
dulu kami bermufakat untuk mengusir lelaki itu. Tapi kami baru berencana,
lelaki itu sudah menghilang. Semusim lelaki itu menghilang. Tapi kami semua
beroleh celaka. Selama musim itu panen kami gagal total. Padi diserang hama
yang mengganas. Burung pipit, wereng, pun tikus memorak-morandakan padi kami.
Kami tak bisa mengatasinya meski kami melakukan penjagaan ketat. Lalu…” Orang
tua itu kelihatan sedih mengingat masa-masa gagal panen.
Aku
turut bersedih.
“Musim
selanjutnya kami berkumpul memohon kepada Sang Patatoqe agar panen kami
tidak gagal lagi. Agar kami tidak kelaparan lagi. Kami berjanji akan menjadi
warga yang baik, tidak mengusir siapa saja yang datang ke kampung kami, akan
menjaga kelestarian alam kami. Akhirnya kami semua bersyukur, panen padi kami
semakin melimpah seiring dengan munculnya juga lelaki itu. Kami benar-benar
berterima kasih pada lelaki itu.”
Orang
tua itu melirik kepada lelaki yang berdiri mematung di sana. Aku juga melirik.
Kami sama-sama kaget.
“Matahari
memang sudah naik sepenggalah.”
Aku
mengerti maksud orang tua itu. Tapi aku masih sedikit penasaran dengan lelaki
itu. Seberapa hebatkah ia, lalu bisa menentukan baik-buruknya hasil panen.
Mungkinkah aku bisa mengenalnya? Mengapa penduduk disini tidak berusaha
mendekati dan mengenalnya. Aku memang sudah membaca dongeng Dewi Sri sebagai
dewi padi, dewi kesuburan. Tapi bukankah itu hanya dongeng?
“Nak!
Saat-saat seperti ini, ketika matahari naik sepenggalah, penduduk akan turun
memeriksa sawahnya, membersihkan rumput yang tumbuh di pematang, termasuk saya,
Nak.”
“Tapi
mohon waktunya sebentar lagi, Pak.”
“Apa
belum jelas tadi, Nak?”
“Begini
Pak, apakah aku boleh mengenalnya secara dekat. Kalau boleh biarlah besok atau mungkin
lusa aku langsung menemuinya saja.”
“Hush!”
Sekali
lagi orang tua itu meletakkan telunjuk di mulutnya. Orang-orang memang sudah
mulai berdatangan ke sawah. Bahkan sebagian perempuan terlihat menjinjing
rantang yang berisi lauk-pauk untuk bekal makan siang suami mereka.
“Nak!
Lelaki itu tak mungkin didekati. Ia akan menghilang kalau kita mendekatinya. Ia
hanya nampak dari kejauhan.”
“Seperti
pelangi, Pak?”
“Mungkin
saja, Nak. Tapi jangan coba-coba berniat mendekatinya, nanti kau beroleh
celaka.”
Orang
tua itu menjawab sambil bergegas meninggalkan aku. “Ih!” Aku juga bergidik
mendengar cerita orang tua itu.
Matahari
telah merangkak lewat sepenggalah. Ramai orang bekerja di hamparan sawah itu.
Ada yang mencabuti rumput. Ada yang mengecek lubang, takut kalau ada tikus yang
bersarang. “Akh!” Pantas saja desa ini surplus beras karena penduduknya tiap
hari mendekam di sawah.” Aku membatin memuji sambil meninggalkan area
persawahan yang luas itu.
…
Aku
begitu menikmati profesiku sebagai penyuluh pertanian di Desa Sangiasserri ini.
Senang rasanya aku bisa bergaul kembali dengan lingkungan pedesaan.
Sepuluh
tahun berjalan aku tinggal di Desa Sangiasserri. Aku begitu bahagia.
Lahan-lahan pertanian menghijau, menghampar luas. Benarlah kata orang-orang
Eropa sana, apapun yang ditanam di negeriku akan tumbuh subur. Ya benar.
Desa
Sangiasserri memang tidak pernah berubah. Sejak dulu selalu surplus beras.
Selain sebutan surplus beras, satu lagi belum berubah di kampung ini. Kuasa
orang tua terhadap anak gadisnya masih mengcengkeram. Meski surplus beras, lelaki
lajang tetap tak berdaya. Uang panai semakin tak tergapai. Tetapi
sebagian lelaki lajang tak mau terperdaya, mereka memilih jadi TKI di Sabah
Malaysia, lalu menikah di sana dengan biaya yang tak menyiksa. Lalu kembali ke
kampung halaman.
Alhasil,
Desa Sangiasserri dibanjiri oleh perempuan-perempuan berumur yang gigit jodoh.
Kekasih mereka terpaksa lari ke lain hati, ke lain desa, karena mereka tak
menjangkau uang panai yang dipatok oleh orang tua sang perempuan. Dari
perempuan-perempuan berumur itulah, aku mendapat cerita asal mula lelaki
tomanurung versi lain. Konon, lelaki tomanurung itu adalah jelmaan seorang lelaki
yang terpaksa bunuh diri di pematang sawah tujuh belas tahun silam. Musabab
lelaki itu bunuh diri, ia tak mampu memenuhi uang panai yang dipatok oleh orang
tua kekasihnya. Versi lain kudengar, lelaki itu berusaha bunuh diri bersama
kekasihnya, tetapi perempuan itu bisa diselamatkan, bahkan perempuan itu
akhirnya pindah ke kota. Ada yang menambahkan, perempuan setia itu bisa
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Warga
Desa Sangiasserri, terutama kaum perempuan berumur, memang pandai berkisah.
Belum juga aku meninggalkan desa itu, mereka sudah mencipta kisah tentang
diriku: Ibu penyuluh sang perawan tua.
Sinjai-Bulukumba,
2013
Tomanurung = orang yang turun dari langit.
Sang Patotoqe = Sang penentu nasib, dewa tertinggi dalam
kepercayaan Bugis Kuno
Uang panai = uang belanja, uang mahar bagi masyarakat Bugis-Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar