POHON-POHON PELURU
Oleh: dul abdul rahman
Pohon-pohon karet itu seumpama
pemukiman yang diam-diam terus meluas dengan buas. Bak penindas sadis berhati
kapitalis, tak ada yang mampu menghalangi, pohon-pohon karet itu terus berjalan
dengan pongah memasuki wilayah demi wilayah meski dengan susah payah. Pohon-pohon
karet itu mungkin sudah lelah puluhan tahun hanya mendiami wilayah kabupaten
Bulukumba saja. Pohon siapa yang tidak cemburu ingin tumbuh di kabupaten Sinjai
yang tanahnya memang sangat subur. Saking suburnya tanah Sinjai, pohon-pohon
berebutan tumbuh di kebun-kebun penduduk. Penduduk pun nampak puas bisa menanam
di kebunnya berbagai macam tanaman komoditi yang menghasilkan uang. Cengkih,
ladah, coklat, dan kopi berdesak-desakan tersenyum di kebun petani. Warga yang
tinggal di pinggiran perkebunan karet pun tanpa syak wasangka seperti menerima
perkebunan karet dengan penuh suka cita. Ibaratnya pohon-pohon karet adalah
tamu agung yang datang menawarkan sebuah penghidupan yang layak bagi khayalak.
Di sebidang kebun yang berbatasan langsung
dengan perkebunan karet itu, berkumpullah beberapa petani di kebun milik
seorang petani yang bernama Sangkala. Sangkala memang sedang mappaolli(bergotong
royong) Sangkala ingin menanami kebunnya yang tak seberapa luas dengan tanaman
cengkeh. Meski tidak luas, tetapi kebun milik Sangkala bak perisai dari
kebun-kebun petani yang lain. Para mandor perkebunan itu tak ada yang berani
mengambil paksa kebun Sangkala. Semua mengenal bahwa Sangkala punya banyak
jaringan LSM.
Setelah
makan siang bersama dengan makanan yang dibawa oleh isteri Sangkala. Mereka
bercengkerama di tengah kebun itu. Semilir angin sore yang berhembus seperti
meniru irama gambus dari Tanah Bugis dari hamparan pohon-pohon karet begitu
menggoda seperti peri-peri penggoda yang siap menenggelamkan kapal-kapal
nelayan di kawasan keramat Pulau Sembilan Sinjai di Teluk Bone. Tak ada
tanda-tanda bahwa pohon-pohon itu datang berhati jahanam ingin mengganti
tanaman komoditi yang sekian lama menjadi mata pencaharian penduduk. Tawa
berderai-derai dari para petani yang menggarap tanah sendiri tanpa intimidasi
seperti penguat bahwa mereka mandiri dan merdeka.
“Saya mendengar kabar dari Mandor
Bajide bahwa kebun-kebun disini akan dibeli oleh perusahaan perkebunan.”
“Hah! Benarkah?” Semua petani
mendadak heran mendengar penuturan Sudding. Hanyalah Sangkala yang kelihatan
cuek saja.
“Benarkah begitu Sangkala?” Sudding
nampak kian tak sabar.
“Benar.” Jawab Sangkala acuh tak
acuh.
“Jadi kebun-kebun kita di sini nanti
akan dimiliki juga perkebunan karet?” Hamide bertanya dengan nada sedih. Tenggorokannya
perih.
“Wah, saya tidak mau menjual
tanahku, tanah disini adalah turun temurun warisan dari nenekku.” Hasang
menampakkan wajah cemberut.
“Jadi bagaimana ini Sangkala?”
Sudding kembali mencecar tak sabar.
Sejenak Sangkala manggut-manggut
seperti sudah mengerti semua persoalan yang ditanyakan oleh teman-temannya sesesama
petani. Inilah sebenarnya tujuan utama Sangkala mappaolli. Disamping meminta
bantuan teman-temannya menggarap kebunnya, ia pun ingin bermusyawarah, bahkan
kalau perlu memberi penjelasan kepada teman-temannya. Bagaimana pun, dari
sesama petani, dirinyalah yang selalu diandalkan. Ia memang pandai bersilat
lidah. Ia pulalah yang paling tinggi sekolahnya diantara sesama petani. Bahkan
sebenarnya takdirlah yang membawanya sehingga ia tidak bisa melanjutkan kuliah
di perguruan tinggi, ibunya tak sanggup membiayai kuliahnya, sementara ayahnya
sudah berpulang ke rahmatullah sejak ia masih duduk di sekolah dasar. Kalaulah
ia pandai bersilat lidah, karena ia memang mantan ketua OSIS sewaktu di SMA
dulu. Sangkala adalah korban dari mahalnya pendidikan serta ketakpedulian
pemerintah pada masyarakat kecil dan dekil.
“Begini kawan-kawan! Memang pihak
perkebunan akan membeli semua kebun-kebun disini untuk ditanami pohon karet.
Tapi keputusannya kan ada di tangan kita sebagai pemilik kebun. Apakah kita mau
menjualnya atau tidak. Ini hak kita kawan.”
“Tapi biasanya kalau Mandor Bajide
yang bilang biasanya jadi.” Sudding memotong pembicaraan Sangkala. Ada
kecemasan yang tak tertahankan bagi Sudding akan kekasaran Mandor Bajide yang
selalu berlagak kompeni. Mandor Bajide memang kemana-mana bawa tongkat seperti
orang kompeni berpangkat zaman dulu.
Sangkala yang pandai berdiskusi
manggut-manggut mendengar penuturan Sudding, ia paham benar dengan kegalauan
Sudding. Sedangkan yang lainnya juga terlihat manggut-manggut meski dengan
mimik berbeda dari Sangkala. Siapa pun memang akan galau bila Mandor Bajide
yang membawa kabar. Karena apa yang dikatakannya biasanya akan terbukti. Bajide
memang adalah seorang mandor di perkebunan karet itu. Itulah sebabnya namanya
melekat menjadi Mandor Bajide. Ia adalah adik kandung dari Petta Loppo, kepala
desa tempat Sangkala dan teman-temannya berdomisili. Keluarga Petta Loppo
sangat berpengaruh di daerah Sinjai dan Bulukumba. Makanya pihak perkebunan
sengaja merekrut Mandor Bajide sebagai mandor sekaligus tenaga keamanan.
“Nah memang Mandor Bajide sekarang
memprovokasi bahkan menakut-nakuti warga agar mau menjual tanahnya kepada pihak
perkebunan.”
“Jadi kita harus bagaimana?” Hasang
menatap Sangkala lekat-lekat. Pandangannya pekat.
“Ya, satu-satunya jalan supaya
kebun-kebun kita tidak jatuh ke tangan kaum kapitalis adalah kita bersepakat
untuk tidak menjualnya.”
“Bagaimana kalau pihak perkebunan
memaksa kita menjual tanah lewat Mandor Bajide dan Petta Loppo?” Hamide seperti
tak percaya dengan pendapat Sangkala. Ia tahu bahwa sebelum menjadi mandor,
Bajide adalah pimpinan preman yang tak beriman yang dikenal luas di Sinjai dan
Bulukumba. Bahkan terkadang Mandor Bajide dipanggil dengan Karaeng Preman.
“Pokoknya satu-satunya jalan adalah
kita sepakat tidak menjual kebun kita. Jangan takut! Kalau memang tidak ada LSM
yang membela kita, kita dirikan LSM sendiri.” Sangkala mencoba menguatkan
teman-temannya.
Sangkala
menatap teman-temannya satu persatu. Menggelantung ketakutan di wajah
teman-temannya. Meski demikian, semua yang hadir tetap percaya kepada Sangkala.
Sangkala memang satu-satunya warga yang mampu bersilat lidah dengan para
birokrat desa di kampungnya. Bahkan andai bukan karena Sangkala, sudah sejak
dulu kampung mereka sudah menjadi lahan perkebunan karet. Masih teringat
peristiwa berdarah tahun lalu di bulan Maret. Orang-orang yang mencoba
mempertahankan kebunnya diseret-seret berderet-deret oleh orang berbaret.
Alasan
Sangkala mempertahankan kampung halamannya karena bila ia menjual tanahnya pada
perkebunan maka sama saja dengan menjual dan menggadaikan kampung halamannya
lalu menjadi pembantu di negeri sendiri. Alasan kedua, dengan menjual tanahnya berarti
ia telah meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kampung halamannya. Alasan
pertama terjadi bila ia menjual kebunnya lalu menjadi tenaga kerja di
perkebunan itu. Alasan kedua, dengan menjual tanahnya berarti ia akan hijrah
mencari tanah yang lain yang mungkin bukan lagi di Sinjai tapi di Sulawesi
Tenggara seperti Kolaka dan Konawe. Sangkala tak mau hal itu terjadi, ia akan
tetap tinggal di kampungnya. Kampung yang sudah ditinggali oleh nenek moyangnya
secara turun temurun. Sangkala tidak mau mengalah pada kekuatan kaum bermodal berhati
dajjal yang datang menawarkan kesejahteraan berbungkus kesengsaraan. Ujung-ujungnya
nanti turunannya akan menjadi budak pekerja di perusahaan perkebunan karet itu.
Jadi budak di kampung sendiri, samasekali tak ada dalam kamus hidup Sangkala.
“Bagaimana
kalau Mandor Bajide meneror supaya kita menjual tanah kita?” Sudding masih
menyimpan sejuta kecemasan.
“Begini
saja kawan-kawan! Kebetulan kebun saya yang berbatasan langsung dengan
perkebunan karet. Jadi tentu saja kebun saya pertama-tama dulu akan dibeli. Dan
saya sudah pasti menolaknya. Jadi misalnya bila ada yang membujuk atau memaksa
kalian menjual tanah ke pihak perkebunan, bilang saja bahwa tanah kalian akan
dijual bila saya juga menjual tanah.”
Semua
manggut-manggut bersemangat mendengar penuturan Sangkala yang sangat berani.
Mereka semua memang sudah mendapatkan
doktrin nasionalis dari Sangkala. Sangkala dengan persepsinya sendiri tentang hakekat
nasionalis adalah mempertahankan tanah sendiri serta hidup bebas di kampung
sendiri, bukan sebagai pembantu, apalagi menjadi pembantu perkebunan karet.
“Hidup miskin dan merdeka di kampung sendiri lebih baik daripada hidup kaya
tapi dalam cengkeraman orang lain.” Begitu selalu ucapan Sangkala dengan semangat
pejuang 45 kepada rekan-rekannya sebagai petani. Mungkin memang kampung dan
kebun bukan habitat Sangkala, tetapi di kampus-kampus, namun apalah daya biaya
tak sampai.
“Merdeka
negeriku! Merdeka tanahku!” Sudding rupanya sudah terjerat sikap nasionalis
versi Sangkala.
“Merdeka
tanah leluhurku!” Hasang tak mau kalah.
“Tanah
leluhurku! Tanah tumpah darahku!” Hamide mengacungkan tangan serupa pahlawan
Robert Wolter Monginsidi.
Sangkala
tersenyum-senyum menatap teman-temannya yang sudah satu semangat dengannya. Ia
yakin, dengan munculnya orang-orang yang berani mempertahankan hak-haknya,
pihak perkebunan akan berpikir seribu kali untuk mengambil paksa tanah rakyat.
“Kawan-kawan! Kita adalah rakyat yang melarat. Makanya jangan lagi mau
disayat-sayat! Kita terus melawan sampai kiamat!” Ujar Sangkala berapi-api
untuk kian memanaskan teman-temannya.
“Semangat!”
Koor yang lain. Lalu sebagai penutup rapat, mereka melakukan tos bersama. Atas
inisiatif Sangkala, sebagai simbol rakyat kecil, mereka melakukan tos dengan
alat pertanian. Cangkul, sabit, parang pemotong rumput, dan alat-alat lainnya
bertalu-talu seperti sebuah simfoni liris yang meringis yang akan
mengiris-ngiris hati yang mendengarnya.
Matahari
sudah condong ke arah Barat, siang sebenarnya masih sangat panjang tetapi
pohon-pohon karet sudah menelan matahari. Hanyalah sesekali sinar matahari
jatuh dan malu-malu bersinar ke arah Sangkala dan kawan-kawan. Akhirnya mereka
pulang ke rumah masing-masing. Sudding, Hamide, dan Hasang paling dulu bergegas
pulang dengan hati mulai tenang. Mereka memang tidak mau ikut-ikutan menjual
tanahnya lalu menjadi tenaga kerja di perkebunan karet itu. Ataukah menjual
tanahnya, lalu pindah ke daerah lain, atau bahkan merantau ke Malaysia.
Bagaimana pun mereka ingin tinggal bebas dan merdeka di kampung sendiri. Hujan
emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, mereka tetap memilih
kampung sendiri. Tetapi mereka tak akan rela bila kampungnya dilanda hujan
batu. Apalagi kalau hanya hujan batu buatan. Dan mereka senang, karena Sangkala
yang mereka anggap sebagai tokoh masyarakat sependapat dengan mereka.
Namun
tak berapa lama perpisahan mereka. Seperti ada komando, Sudding, Hamide, dan
Hasang berlarian kembali ke tempat semula.
“Apa
yang terjadi dengan Sangkala?” Koor ketiganya bertatapan sambil memeriksa tubuh
Sangkala yang berlumuran darah.
“Pohon
itu punya peluru.” Sangkala terengah-engah menahan kesakitan.
“Apa?”
Koor ketiganya masih bertatapan. Tentu saja Sangkala tak bisa mengulangi kalimatnya.
Karena ia telah tidur untuk selamanya.
Cerpen ini pernah dimuat
KORAN SINDO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar