Oleh: Syamsuddin S
(Guru Bahasa dan Sastra Indonesia)
Sudah sejak lama saya bertanya-tanya tentang La Galigo. Yang paling membuat saya bertanya-tanya karena konon katanya karya sastra tersebut adalah kitab sastra terpanjang di dunia. Dan buku asli kitab sastra tersebut dalam bentuk tulisan tangan berada di Negeri Belanda nun jauh disana.
Suatu ketika saya mengajar bidang studi Bahasa Indonesia di kelas dengan materi pokok: Apresiasi Sastra Indonesia. Tiba-tiba seorang siswa bertanya pada saya tentang La Galigo. Saya tergagap, jujur saya tidak tahu isi kitab La Galigo tersebut. Saya meminta kepada siswa-siswi saya untuk bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk menjawabnya. Jeda waktu untuk menjawab tentang La Galigo, saya sedikit tegang karena setiap kali saya masuk di kelas, siswa-siswa selalu menagih janji, padahal saya belum mendapatkan buku tentang La Galigo.
Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mendapatkan sebuah novel berjudul La Galigo yang ditulis oleh sastrawan yang berasal dari Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman. Novel tersebut diterbitkan oleh penerbit nasional, Diva Press Yogyakarta. Dan pada akhirnya saya bisa menjelaskan kepada siswa-siswi saya tentang isi La Galigo.
Benar kabar yang saya dengar bahwa La Galigo adalah kitab sastra terpanjang di dunia. Mengutip tulisan pengantar dari penulisnya bahwa memang La Galigo adalah kitab sastra terpanjang di dunia setara dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India sebagaimana pengakuan ilmuwan Belanda bernama R.A.Kern. Bahkan tidak tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya bernama Sirtjof Koolhof berpendapat bahwa La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia yang terdiri dari 300.000 baris. Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara 160.000-200.000 baris saja.
Dalam novel La Galigo diceritakan bahwa dahulu kala, Kerajaan Bumi hanyalah tanah kosong yang benar-benar tak berpenghuni. Lalu Sang Dewata (Sang Patotoqe) yang berada di Kerajaan Langit segera memutuskan bahwa Kerajaan Bumi tidak bisa dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan untuk menyuburkannya dan tentu saja menyembah-Nya.
Maka atas hasil musyawarah seluruh Dewata penghuni Kerajaan Langit, maka Sang Patotoqe mengirimkan putra sulungnya bernama La Togeq Langiq menjadi manusia pertama yang menghuni bumi. Dialah kemudian menjelma menjadi Batara Guru.
Tidaklah mudah menjadi penguasa di Kerajaan Bumi, meski sang manusia adalah titisan Dewata tersebut bisa saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya. Tapi sang Dewata mengharuskan Batara Guru untuk berusaha. Karena memang begitulah hakekat penciptaan manusia.
“Adinda Datu Palingeq! Tidak usahlah khawatir bila anak kita kelak menjelma manusia lalu mengalamai cobaan di Bumi. Karena memang sudah menjadi hukum Bumi bahwa sesungguhnya hidup adalah cobaan. Juga bukanlah manusia bila tidak tahan menghadapi cobaan,” ujar Sang Patotoqe kepada permaisurinya. (La Galigo, hal.15)
Etos Kerja
Local wisdom utama yang dijumpai pada awal-awal novel La Galigo adalah kerja keras. Diceritakan bahwa ketika pertama kali menghuni bumi, Batara Guru bersedih dan bermalas-malasan. Bahkan ia terus menangis dan mengadu kepada ayahandanya yang berada di Kerajaan Langit. Batara Guru terus meminta agar dikirimkan makanan dan minuman serta pendamping karena ia kelaparan, kehausan, dan kesepian di bumi.
Tentu saja keinginan Batara Guru tidak diamini oleh Sang Patotoqe (Dewata) di Kerajaan Langit. Karena menurut ketentuan Dewata ketika manusia sudah menghuni Bumi maka ia tidak boleh bergantung kepada Kerajaan Langit. Tetapi manusia harus berusaha sendiri.
Naluriah manusia dalam diri Batara Guru akhirnya muncul, ia mencari makanan dan minuman sendiri. Karena memang bersamaan munculnya Batara Guru di Bumi terciptalah juga hutan-hutan, sungai-sungai, tumbuhlah segala jenis buah-buahan. Intinya Sang Patotoqe di Kerajaan Langit sudah menyebarkan rahmatnya di muka bumi, tinggallah manusia sendiri yang mencarinya.
Jadi hidup di Bumi manusia harus bekerja keras. Ini pun sejalan dengan Kitab Suci Al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11 yang artinya, “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” Poin ini pun sejalan dengan local wisdom Bugis-Makassar yang berbunyi “Resopa temmangingi namalomo naletei pammase dewata sewae” (Usaha yang sungguh-sungguh disertai keikhlasan yang mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa)
“Bekerja dan Bekerja”. Mungkin itulah maksud Sang Dewata ketika menurunkan kapak emas dari Langit ketika Batara Guru terus bersedih karena kelaparan dan kehausan di Bumi.
Dan ketika menurunkan kapak emas kepada Batara Guru di Bumi, seolah Sang Dewata juga ingin berkata, “Bekerjalah! Bekerjasamalah!” Itu dibuktikan karena bersamaan diturunkannya kapak emas, diturunkan pula seorang pembantu bernama La Oro Kellong. Selanjutnya La Oro Kelling membantu Batara Guru membuka lahan pertanian dengan kapak emasnya.
Selanjutnya local wisdom yang penting dari novel La Galigo gubahan Dul Abdul Rahman adalah selain bekerja diperlukan pemahaman (ilmu pengetahuan). Dikisahkan bahwa setiap ingin bekerja, sang pembantu dari Langit, La Oro Kelling sangat bersemangat. Ia selalu ingin tampil mengerjakan semua pekerjaan dan meminta Batara Guru beristirahat saja. Pada suatu hari Batara Guru dan La Oro Kelling ingin membuka lahan pertanian. Awalnya Batara Guru yang memulai menebang pohon tetapi La Oro Kelling mengambil alih pekerjaan itu karena ia merasa dirinyalah yang harus bekerja keras karena ia seorang pembantu.
La Oro Kelling pun menebang sebatang pohon. Tetapi kemudian ia mengeluh karena sebatang pohon saja ia butuh waktu yang lama untuk menebangnya. Apalagi kalau harus membabat hutan. Batara Guru tahu akan keresahan hati La Oro Kelling, ia pun mengambil kapak emas lalu menebang pohon yang besar yang letaknya paling atas. Pohon besar itu terjatuh menimpa pohon yang ada di dekatnya. Lalu pohon lainnya menimpa pohon yang ada di dekatnya pula. Hingga kawasan yang awalnya hutan menjelma jadi lahan pertanian hingga ke pinggir sungai.
Maka berkatalah Batara Guru kepada La Oro Kelling: “Begitulah La Oro Kelling! Bekerja harus pakai otak. Manusia tidak akan pernah mampu menaklukkan Bumi dengan tenaganya saja. Manusia hanya bisa menaklukkan Bumi dengan bantuan pikirannya.” (La Galigo, hal.67)
Membaca novel La Galigo tulisan Dul Abdul Rahman yang diadaptasi dari kitab sastra La Galigo sungguhlah sangat menarik. Novel yang cukup tebal tersebut memberi banyak pelajaran-pelajaran sangat berharga. Pantaslah kalau menurut penulisnya yang saya sempat bertemu dengannya bahwa kitab sastra La Galigo sangat diminati oleh mahasiswa di Belanda untuk melakukan kajian sastra. Dan yang paling melegakan adalah badan PBB, UNESCO sudah menetapkan kitab La Galigo sebagai naskah warisan dunia dan diberi anugerah Memory of the World (MOW).
Sumber: HARIAN FAJAR Ahad 4 Maret 2012
setelah saya baca dri sebagian kecil sejarah ini, seakan akan saya telah hidup d masa itu.namun terdesik d benak saya, knapa harus bangsa lain yg mengabadikan karya ini, bukankah ini adalh karya nenek moyang kita, mestinya kita abadikan karya ini dan melestarikanx sebagai budaya bugis, knapa harus bangsa lain..?ini suatu kekurngan besar bagi suku bugis, yg hanya bisa berpangku tangan dan tontonin karya kita sendri, sementara orng lain yg mnuai hasil, bukankah orng bugis makassar bisa tonji? rugi dalam rupiah tapi untung dgn dolar,
BalasHapuskitab lagaligo adalah sastra nenek moyang orng bugis, jd yg harus menuai adalah cucu orng bugis
kesimpulanya mari kita kembali memperkenalkan karya kita dgn mempublikasikan lewat media elektronik, biar suku bangsa bugis lebih dikenal baik d bumi nusantara maupun di seluruh dunia, kita bisa filmkan seperti kisah mahabarata,.....tp jgn lupa libatkan jg dong sekurang2 nya jadi pemeran pembantu,,, ewako to ugi mangkasara!!!!