Oleh: dul abdul rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)
Mangkasara’ bori’ ada
Bori’ pa’rimpungang pacce
Sukku’ sungguna
Kimassing paenteng siri’
Nani areng Mangkasara’
Kania’ pacce attayang
Punna taena
Bellai ri pangngadakkang
(Makassar negeri adat
Negeri perkumpulan kasih sayang
Sangatlah baik
Jika saling tegakkan harga diri
Diberi nama Makassar
Sebab kasih sayang menanti
Jika tak ada
Jauh dari adat-istiadat)
Mungkin saja jika para mahasiswa di Makassar pernah membaca dan memahami kelong Makassar tersebut di atas maka mereka akan menjaga nama baik Makassar di mata orang-orang luar Makassar. Betapa tidak! Istilah “Makassar yang kasar” selalu saja memerah-hitamkan telinga saya ketika berkunjung ke daerah-daerah lain seperti Jakarta, Yogyakarta, hingga Padang.
Istilah “Makassar yang kasar” tentu saja “diiklankan” oleh para mahasiswa di Makassar. Bukan hanya dalam melakukan aksi-aksi demonstrasi yang sesungguhnya bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Tapi yang memalukan adalah jika para mahasiswa berkelahi antar mahasiswa atau antar fakultas dalam internal kampus yang seolah menjadi trend mahasiswa di Makassar.
Dibanding dengan kota-kota besar lainnya seperi Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Medan, wajah Makassar memang lebih dominan (baca: sangar) muncul di teve jika itu menyangkut demo anarkis. Bahkan saya sendiri mengenal baik fly over di Jalan Urip Sumoharjo lewat teve. Dan sampai saat ini bayangan saya akan fly over adalah tempat berkumpulnya para mahasiswa atau tempat mahasiswa berkejar-kejaran dengan polisi.
Untuk mengembalikan mahasiswa Makassar kepada jati dirinya. Sebagai insan akademis yang cerdas, memperjuangkan hak-hak rakyat dengan “merakyat”(tidak mengganggu kepentingan rakyat, seperti mengganggu lalu lintas) maka mahasiswa Makassar perlu diagnosa dan diobati dengan ajaran-ajaran adiluhung yang bersumber dari budaya-budaya lokal. Bukankah ajaran adilihung orang Bugis-Makassar-Mandar-Toraja yang mayoritas menghuni Sulawesi Selatan adalah prinsip sipakatau (saling menghargai), sipakainga (saling mengingatkan), sipakalebbi (saling memuliakan).
Adalah Chaeruddin Hakim, seorang seniman dan penyair Makassar, patut diapresiasi dalam menjaga dan melestarikan ajaran-ajaran adiluhung dan pappaseng dalam bahasa Makassar. Lewat bukunya “Kitab Kelong Makassar”, Chaeruddin Hakim berhasil mengumpulkan dan menuliskan kembali Kelong Makassar Tradisi yang bersumber dari kelong asli (anonim). Selanjutnya Cheruddin Hakim memberi pesan kelong-kelong tersebut sehingga mudah dipahami dan dipelajari oleh pembaca. Bukan hanya itu, Chaeruddin Hakim juga mencipta beberapa Kelong Makassar Modern yang berisi pesan-pesan moral yang berguna sebagai alat pembelajaran. Kelong yang menjadi pembuka tulisan ini adalah salah satu ciptaan Chaeruddin Hakim.
Pembelajaran nilai-nilai moral sepatutnya memang menjadi perhatian pemerintah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, tentu saja pelajaran muatan lokal haruslah bertumpu pada nilai-nilai lokal setempat. Memang pembangunan seharusnya bermuatan budaya. Pun pembangunan haruslah “berbudaya”. Menggusur tempat-tempat bersejarah yang menjadi lambang sejarah dan peradaban adalah sebuah pembangunan yang mengingkari wajah sejarah. Selain itu, nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis pada bahasa dan sastra lokal haruslah menjadi perhatian pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat memang harus turun tangan menjaga budaya dan bahasanya. Adagium Kalau Bukan Kita Siapa Lagi, seharusnya menjadi sebuah cambuk untuk melestarikan budaya sendiri. Yang menjadi keresahan utama sebenarnya adalah sebuah paradigma baru yang mengatakan bahwa sastra, bahasa, dan budaya lokal akan tergerus oleh arus deras globalisasi. Asumsi ini tidaklah mencengankan, karena diam-diam tsunami globalisasi menerjang ruang-ruang kita tanpa kita sadari. Anak-anak pada zaman dahulu yang disuguhi dongeng-dongeng pengantar tidur sebagai media pembelajaran tergantikan dengan acara-acara teve yang menawarkan sebuah trend baru. Maka kemudian, anak-anak kita lebih mengenal tokoh-tokoh macam Batman, Spiderman, Robinhood daripada tokoh-tokoh Lapundarek, Lamellong, Karaeng Pattingaloang, dan lain-lain.
Maka sepatutnya segala daya upaya Chaeruddin Hakim melestarikan kelong dan pappaseng Makassar haruslah didukung dan diapresiasi. Seniman dan penyair yang kreatif ini semestinya diberi aplaus panjang, sepanjang cita-citanya untuk terus menjaga dan melestarikan kearifan-kearifan lokal Sulawesi Selatan. Dan semoga saja budaya, sastra, dan bahasa lokal kita tidak dihanyutkan oleh arus tsunami globalisasi. Budaya lokal sebagai sumber nilai luhur harus menghablur. Ia tidak boleh kabur. Ia harus terus tumbuh subur. dulabdul@gmail.com
Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya, sejauh ini mengarang 7 buah novel)
Salam ilmu Bapak Dul Abdul Rahman.
BalasHapusTerima kasih atas perkongsian maklumat tentang Kelong Makassar, cuma satu pertanyaan dari saya: "Apakah Kelong ini adalah ciptaan baru atau sudah sedia ada daripada manamana sumber promernya sebelum ini.
Daripada:
Muhammad Saiful Haq Bin Hussin
ipul62@um.edu.my
Terima kasih Bapak DR MUHAMMAD SAIFUL HAQ BIN HUSSIN,
HapusDalam buku Chaeruddin Hakim, sebagian ciptaan baru oleh Chaeruddin Hakim, tapi umumnya karya yang sudah sedia yang di-collected oleh beliau.
Salam Makassar
BalasHapussaya punya om yang lagi membuat kamus Makassar-Indonesia-Inggris disertai huruf lontaraknya dah sudah 1000-an halaman, kendalanya belum dapat seseorang yang dapat menerbitkannya agar menjadi konsumsi umum khususnya menjaga kelestarian bahasa makassar
klu ada jalan ini nopeku 085299985500 (ismail burhan)
mohon bantuan infonya bapak Admin :)
Hapus